Aku mengamati seluruh tubuh Daffar yang sedang berbaring miring dengan berbantalkan pangkuanku.Jika ia melakukan perlawanan, apa aku bisa menahan perlawannya?Tubuhku memang tidak mempan sihir Anbar, tapi dengan kekuatan fisiknya, bisakah aku mengalahkannya?Saat ini aku harus memaksa otak ini berputar dengan menutup semua aliran dari perasaan yang mengucurkan semua perasaan sayang, cinta dan semua kehangatan dalam hati.Aku memejamkan mata menimbang kegalauan yang menekan hati dan pikirannya.Egh!Tiba-tiba satu penglihatan seolah terselip dalam benak ini tanpa aku tahu bagaimana itu datang.Seketika aku membuka mata.Hah!Aku terkejut ketika hasil rekam penglihatan yang entah milik siapa itu tetap tergambar di mata ini.Aku memperhatikan apa yang dikirimkan dalam penglihatan kedua ini.Aku melihat sebuah tanah kosong yang luas tanpa batas membentang tak berujung. Dan ketika aku melihat ke arah atas, langit di atas tanah kosong itu sebagian putih bersih dan sebagian jingga.Ini ....
Aku sedikit memiringkan kepala untuk melihat langsung wajah Daffar.“Kamu sadar apa yang Kamu ucapkan?” tanyaku memastikan.“Hehm,” gumam enggan Daffar sambil mempererat pelukannya.Sesaat aku merenung.“Apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanyaku ingin tahu.Daffar mengusap-usapkan kepalanya di pundakku.“Banyak penduduk Anbar yang menikah dengan penduduk Shrim dari jenis manusia. Tapi, kenapa para petinggi itu melarang hubungan kita?” ujar Daffar dengan suara yang berat.Lalu, ia mengembuskan napas dalam.“Bahkan, utusan Ardasyr rela bekerja sama dengan para petinggi Anbar untuk membuat aku dan Kamu terpisah,”sesalnya sedih.Kini giliran aku yang menghela napas dalam.“Ini pertama kali dalam hidupku aku menemukan seorang gadis dari jenisku sendiri, kenapa mereka melarangku?” lanjutnya tak terima.Aku merapatkan bibir agar tak mengeluarkan jawaban atas pertanyaan Daffar yang telah kuketahui.“Ironi,” sambungnya dengan nada sinis.“Dari sekian banyak wanita yang ada di Anbar, Shrim d
Daffar bergegas berjalan ke arah satu lemari yang ada di dapur. Kemudian, ia kembali dengan membawa beberapa kantong snack dan minuman kaleng.Dengan ekspresi wajah seperti anak kecil, ia meletakkan semua yang ada dalam pelukannya itu ke atas karpet."Kita akan nonton film sambil ngemil," ucapnya dengan riang.Aku tertawa terbahak-bahak."Kirain pengen apa gitu, aku sudah mikir yang macam-macam," ucapku setelah puas tertawa.Daffar tersenyum simpul."Mungkin yang begini sudah biasa dilakukan Kamu dan teman-teman mu, tapi aku belum pernah melakukannya," ujarnya dengan ekspresi sedih.Ah....Aku menyesal telah menertawakannya.Aku beringsut mendekat ke arah kantong-kantong snack yang lezat itu, mencomot satu snack potato chips dan segera membuka kantong kembung itu."Kalau begitu, ayo kita lakukan!" seruku dengan semangat.Daffar tersenyum lebar.Lalu, ia menyalakan televisi layar datar berukuran besar yang ada di depan satu set sofa berikut karpet tebalnya ini."Aku yang akan memilih f
Aku kembali menatap mata Daftar dengan dalam, tapi laki-laki itu seolah nggak mengerti jika sedang kuperhatikan. Ia terus menikmati film kartun di layar televisi.Aku meletakkan kantong snack itu di pangkuannya, lalu beranjak ke ujung karpet di mana kumpulan snack dan beberapa minuman kaleng tergeletak tak beraturan.Aku mengambil dua minuman kaleng dan membawanya ke tempat duduk ku semula."Na, minumlah!" pintaku setelah membuka tutup kaleng itu.Daffar menerima minuman kaleng itu tanpa melihatku."Terima kasih," ucapnya lembut. Kemudian ia menyesapnya."Boleh aku lanjut tanya?" izinku dengan hati-hati.Daffar mengangguk, lalu tangannya mampir ke puncak kepala ini, mengusap lembut, lalu kembali menatap layar televisi."Tanya aja," balasnya datar.Aku mengangguk puas."Apa Kamu bisa tebak di mana gelap yang Kamu ingat sebelum jingga menyusul?" tanyaku seperti polisi yang tengah menyusun pertanyaan interogasi.Daffar terlihat berusaha mengingat-ingat, wajahnya seperti sedang berpikir k
"Daffar," ucapku lembut"Setelah rasa sakit itu, apalagi yang Kamu ingat?" sambungku melanjutkan pemenuhan rasa penasaran.Pertanyaan ini membuat tubuh Daffar terlihat santai."Em..., latihan-latihan, terbang, bergerak dengan cepat, melempar bola cahaya dan banyak lagi. Intinya hal-hal seperti itu," jawabnya ringkas.Aku paham, wujud apa yang diucapkannya itu. Itu seperti yang sering aku saksikan ketika ia bertarung dengan orang-orang Anbar yang menyerangku atau apa yang pernah kusaksikan ketika ia bermain-main dengan Mazdak yang tiba-tiba muncul di kantornya."Lalu, apalagi?" lanjutku tak puas."Em... mengelilingi Anbar dan kota-kota sihir lain sebelum akhirnya keluar dari Anbar dan tinggal di kota manusia Shrim," jelasnya datar."Terus?" tanyaku haus informasi tentangnya."Ditugaskan mencari Darah Malaikat," jawabnya lugas.Hem... Sebutan itu membuat jantung ini sempat mencelos.Aku tertegun."Apa yang telah Kamu lakukan untuk mencari Darah Malaikat itu?" tanyaku dengan hati deg-deg
Daftar sedikit memelengkan kepala, matanya sedikit menyipit."Kesalahan besar...," ulangnya lirih."Kesalahan besar seperti apa?" tanyanya sambil menatap ku lembut, ia juga menyertakan sentuhan lembut di pipi ku.Aku terdiam sejenak, mulut ini nggak mungkin mengatakan bahwa kesalahan itu adalah akan membunuhnya. Sejenak lidahku kelu mengutarakan kata."Em... misalnya saja, aku melukaimu dengan sangat... parah," jelasku tersamar.Daffar terkekeh pendek."Kamu pasti punya alasan khusus jika benar-benar melakukan itu padaku. Atau bisa jadi, jika itu terjadi, Kamu nggak sengaja melakukannya," balas Daffar dengan enteng.Aku mengembuskan napas panjang.Gimana harus mengandaikannya, gimana harus menyampaikan pemisalan?Aku nggak punya cara untuk menggambarkan dengan jelas apa yang akan kulakukan pada dirinya itu."Daffar," panggilku, memilih men-skip pengandaian yang kuajukan."Hem," gumam Daffar lembut."Sebagai bagian dari Anbar, apa yang membuatmu beda dari manusia lain di Shrim? Maksudk
Daffar menggelengkan kepala pelan, dan itu begitu terasa di perut ini."Aku tahu Kamu nggak bohong, Anneth. Tapi, aku nggak tahu, karena aku memang benar-benar nggak merasakan apapun," jawabnya pelan.Ah ternyata begitu!Kekuatan Anbar dalam dirinya memang nggak butuh asupan gizi dari intisari jiwa manusia, tapi sepertinya yang Daffar nggak tahu, kekuatan itu mengambil alih sebagian dari dirinya tanpa ia sendiri merasakannya.Aku kembali menyimpulkan perilaku Daffar.Sepertinya, ada dua bagian dari dalam diri Daffar yang saling bertentangan. Sisi kegelapan yang menguasainya menekan sisi manusianya. Tapi, dalam tekanan itu, sisi manusia Daffar masih ada, terbukti dengan dia menginginkan satu kehangatan yang biasanya ada di antara manusia.Dan sekarang ini, dia memanfaatkan momen yang kubagi dengan memperturutkan keinginan manusianya. Itu kenapa tadi, kekuatan kegelapan dalam dirinya sampai menampakkan diri.Mungkin kekuatan kegelapan itu tak ingin sisi manusia itu lebih dominan dari di
Apa yang dikisahkan Daffar beberapa saat lalu tentang apa yang diingatnya seolah kembali terngiang di telinga ku.Aku mengamati dengan seksama tubuh anak laki-laki itu.Dia adalah Daffar kecil dan kegelapan pertama yang diingat dalam pikirannya adalah ketika dia diletakkan di dalam lubang kegelapan bejana darah.Ah!Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi?Tiba-tiba aku merasakan apa yang dirasakan sosok anak kecil itu. Rasa dingin, gelap dan sendiri yang begitu mencekam.Ah ... seketika mata ini merebak.Dengan reflek aku mengusap punggung Daffar dan secara ajaib, pandangan kedua mengirimkan gambar yang sama pada punggung anak kecil itu.“Daf-far,” gumamku lirih.Mendadak tubuhku yang seolah sedang berdiri di tepi Isar didorong hingga terpental.Tubuh ini menabrak tembok seperti kejadian ketika bejana darah itu terbelah.Aku melihat Ghassan dan beberapa petinggi sihir yang biasa berdiri di kanan dan kiri ketua agung, mereka berkumpul di ruang tertinggi gedung sakral ini, menge