Beberapa saat kemudian tak ada apapun yang terjadi. Situasi gedung utama Anbar tetap sunyi dan beku.“Ting!”Tiba-tiba telinga ini menangkap suara denting yang aku yakin berasal dari bagian belahan belati dari Anbar yang baru saja mencapai dasar lubang dalam Isar.Dan mendadak kegoncangan dashyat mengikuti bunyi denting belati Anbar. Tempat itu kembali goncang seperti ketika belahan belati itu baru saja bersatu dengan belahan belati dari Ardasyr.Gedung utama Anbar itu berderak-derak seperti akan roboh.Tiba-tiba fokus pandangan keduaku beralih ke Isar.Bejana darah yang terbelah itu bergerak dengan pelan untuk merekatkan dirinya. Dan ketika isar itu kembali menyatu, goncangan dashyat itu berhenti total.Pelan-pelan bagian dalam Isar kembali terisi dengan air bening, lalu air bening itu berubah menjadi darah dan berikutnya berganti menjadi cairan hitam.Cairan hitam itu mulai mendidih, dan air yang mendidih itu menyentuh ujung ekor ular kobra yang telah menjadi patung di tepi Isar.Ca
Aku kembali melihat tubuh Daffar yang diam tak bergerak dalam posisi semula seperti saat aku tinggalkan.Aku yang sedang berjongkok merasa ada otot-otot yang mendadak tercerabut dari posisinya. Dan itu membuatku terduduk menggelesot.“Daf-far,” ucapku tanpa suara.Aku memutar tubuh dan bergerak ke tepi ranjang dalam posisi masih menggelesot.Tangan ini terulur hendak menyentuh telapak tangannya. Tapi, aku mengurungkannya, khawatir mendapati suhu tubuhnya yang mulai dingin.Air mata ini mulai keluar tak terkendali, tapi tangis ini tertahan di dada.Aku terus berusaha mengeluarkan teriakan sampai pada akhirnya suara tangisan itu keluar dari kerongkongan ini.“Aaa.”“Daffar!”Aku menangis meraung-raung.Dan tentu saja Daffar tak sedikit pun menanggapi tangisanku.Aku menangis sampai tangis ini seolah tak bersisa lagi. Isak tangis tersendat menutup ujung tangis.Aku menyeka air mata yang membuat pandangan normalku kabur.Tunggu!Aku nggak bisa terus menangis seperti ini. Ada seseorang yan
Aku menangis di pangkuan Sinna.Sinna membiarkan aku menumpahkan kesedihan, tangannya tak henti mengelus punggung ku dan tangannya yang lain mengelus puncak kepala ini.Beberapa saat kemudian tangisku mereda.“Kamu bisa cerita nanti, sekarang isi dulu perutmu, ayo!” bujuknya seperti ibu yang sedang membujuk anaknya yang males makan.Sinna mengangkat kedua bahu ku dan kembali membaringkan di atas tumpukan dua bantal. Lalu, ia kembali mengangsurkan gelas kecil itu.Aku menutup mata setelah Sinna memaksaku memegang gelas kecil ini.“Minum!” paksanya pelan.Aku meminum cairan manis yang telah dicampur dengan air hangat itu. Berikutnya, Sinna memaksaku menghabiskan sup ayam, jus jeruk, puding dan kue yang disajikannya.Kalau bukan karena dipaksa dan diawasi Sinna dengan ketat, mungkin aku akan memuntahkan semua makanan ini karena kerongkongan ini seolah menolaknya. Berulang kali aku harus memaksa tenggorokan ini untuk melakukan gerak menelan.Beberapa saat kemudian Sinna bertepuk tangan ri
Allen menatap ku dengan tatapan mengharap jawab. Tapi, aku balas menatapnya dengan mengirimkan sinyal-sinyal enggan menjawab.“Ah ...,” desah Allen sambil menepiskan tangan di udara kosong.“Heh ...sudah! Sudah! Kalau mau tanya-tanya nanti setelah Anneth pulih, lihat wajahnya aja sembab-sembab memilukan gitu,” saran Sinna sambil beranjak.“Allen, gantiin aku ya,” ucap Sinna sambil mengusap kepalaku.“Aaron, anakku masih dibawah?” tanyanya sambil berjalan ke arah pintu.“Ya,” sahut Aaron sambil ikut beranjak.“Kutinggalkan kalian berdua ya, aku harus membantu yang lain, akan kubikinkan kalian makanan yang enak nanti,” ucap Aaron ketika mendekat ke arahku.“Terima kasih,” ucapku lirih.Aaron tersenyum, berbalik, lalu menyusul Sinna keluar dari ruangan ini.Allen pindah ke ranjangku dan duduk dengan melipat lututnya.“Kamu masih demam?” tanyanya khawatir.Aku meletakkan punggung tangan ini, lalu menggeleng pelan.Gadis ini menatapku dengan ragu.“Demammu kali ini aneh banget lo, nggak il
Aku menggeleng pelan.“Aku baik-baik saja, aku akan sembuh ... besok,” ucapku parau.Sinna mengembuskan napas berat. Dan mereka semua memandangku dengan wajah yang terpaksa dibuat baik-baik saja.“Nah, kalau bisa bangun, mandilah! Aku sudah siapkan air hangat, mungkin setelah mandi, pikiranmu akan sedikit segar,” saran Sinna lembut.Aku mengangguk patuh, lalu beranjak ke kamar mandi dengan badan gemetar.Beberapa saat kemudian, setelah selesai keluar dari kamar mandi, aku melihat ranjangku sudah tertata rapi dengan sprei baru. Dan juga melihat mereka berkumpul di atas karpet dengan makanan yang telah tersaji.“Kami percaya Kamu akan sembuh besok, Anneth,” ujar Allen riang ... atau dipaksakan riang.Aku tersenyum kaku, terpaksa. Lalu, aku bergabung dengan mereka. Dan ketika melihat bayi Sinna, mata ini kembali terasa hangat.“Dan kehangatan itu juga muncul ketika aku bersamamu yang menggendong bayi Sinna.” Kata-kata Daffar seolah kembali diputar berulang-ulang di telinga ini.Tapi, aku
Mataku membelalak dengan mulut menganga total.Aku nggak butuh melihat wajah ini di cermin untuk mengetahui bahwa saat ini wajahku seputih kertas, tak berdarah.Aku beringsut mundur dengan cepat sambil melihat sosok yang berdiri di depan ambang pintu rumahku.Aku mengerjap-ngerjapkan mata, berharap sosok itu hanya satu halusinasi sesaat. Halusinasi yang terjadi karena seharian ini aku tidak menemukan tempat-tempat yang dulu aku datangi.Tapi, berapa kali pun mata ini mengerjap, sosok itu tak hilang. Ia tetap berdiri sambil menatapku lekat.Aku menelan ludah dan berusaha bernapas dengan normal karena sesaat tadi seolah aku lupa bagaimana caranya bernapas.Mata ini menelusuri sosok itu dari bawah ke atas dan dari atas kembali ke bawah, begitu terus berulang-ulang.Sosok setinggi seratus delapan puluh sembilan koma sembilan centimeter, rambut hitam dan manik mata dengan warna yang sama. Hidung mancung dengan bibir seimbang yang mendukung wajah yang hampir sempurna itu, terus menatapku.A
Aku kelagapan, mulut ini menganga dengan bibir bergerak-gerak, tapi tak ada satu pun kata-kata yang keluar.Sosok yang mirip Daffar itu menghela napas dalam, kedua bahunya bergerak turun dengan samar.“Maaf, aku tentu telah menakutimu, pasti tidak pernah ada orang asing yang mendadak naik sampai ke rooftop ini ya,” simpulnya sambil menatapku lekat.Aku seperti mendapat contekan jawaban. Kemudian, mengangguk dengan cepat sebelum celah jawaban itu menguap.“Ah ...,” desahnya paham.Sosok yang mirip Daffar itu berjalan dengan pelan. Ia berjalan menuju anak tangga paling atas. Ia berdiri dan melihat lurus ke bawah.Aku mendekat ke arahnya dengan sangat pelan dan berhenti dengan menyisakan jarak sekian langkah ..., aku nggak ingin terlalu dekat dengannya.Ia menoleh ke arahku.“Gadis itu mungkin tingginya kira-kira se-”Sejenak ia diam, terlihat sedang mengingat-ingat, lalu ia meletakkan telapak tangannya di dada untuk mengukur tinggi gadis yang ia maksud.“Kira-kira mungkin setinggi ini,”
Aku bergeming, hanya melihatnya dan sama sekali nggak berniat untuk mendekat.“Anneth! Sudah pulang?” sapa Aaron riang.Aku menyahut pendek.“Lapar, ya? Duduk dulu deh!” pinta Aaron sambil menunjuk satu tempat duduk.Ia berhenti ketika sekilas aku memandang dengan aneh ke arah Daffar.Aaron yang membaca itu mengikuti arah pandangku.“Temanmu?” ucap Aaron enteng.“Hai!” sapa Daffar seolah ini adalah pertemuan pertama mereka.“Dia temanmu?” tanya Daffar ke arahku.Aku mengangguk pelan.“Kamu mengenalnya?” tanya Aaron singkat.“Hem?” sahutku pendek.Aku bingung antara ingin mengangguk atau menggeleng. Karena kedua gerakan itu artinya aku harus memberikan penjelasan pada kedua laki-laki yang saat ini sedang menatapku secara bersamaan.Akhirnya aku hanya menatap kosong pada keduanya secara bergantian.“Ah, sudah duduklah dulu!” seru Aaron sambil menarik tanganku ke arah depan.Kemudian, Aaron memanggil temanku yang lain untuk membawakan katalog menu untuk Daffar, setelah menjawab sapaan Da
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te