Jam dinding menunjukkan angka 19.05.
Weekend.
Tapi, Cia asyik bergelung diri malas–malasan di kamarnya seorang diri. Satu kondisi yang rutin terjadi hampir setiap minggunya. Cia hanya akan sibuk chat dengan teman–temannya dan menolak menerima telepon dari siapapun yang bukan keluarganya. Gadis itu bukan tipe yang suka menghabiskan waktu dengan kongkow di cafe, keluyuran kesana kemari tanpa tujuan yang jelas atau kumpul-kumpul bersama geng-geng cewek supaya terkenal layaknya remaja gaul masa kini yang mengikuti arus kehidupan modern. Dia tak membutuhkan kehidupan macam itu, biarlah di anggap kolot atau kuper yang penting dirinya enjoy dengan kehidupan santai dan kesederhanaannya.
Selesai otak atik ponsel sejenak dan menekan satu tombol untuk mengunci layar ponsel pintarnya, Si Gadis cantik itu meletakkan ponsel yang sedari tadi menemaninya bercanda dengan teman–temannya lewat aplikasi chat berciri khas logo hijau yang paling familiar saat ini.
Satu per satu temannya undur pamit karena mau menikmati weekend mereka dengan tamu–tamu istimewa yang mungkin sudah mereka tunggu sejak beribu detik lalu. Sedangkan Cia? Yuppp! dia sukses kembali dengan kesendiriannya. Bukan karena tidak ada yang mengajaknya melewati weekend yang indah ini, tapi memang Cia sendiri yang belum bisa membuka pintu hati untuk mereka–mereka yang tengah berjuang mendapatkan cintanya.
Mata indah berbulu mata lentik itu menatap sekilas ponsel mungil dengan softcase warna putih bersih yang kini udah sukses nangkring manis di atas nakas samping tempat tidurnya. Dan terulurlah tangan berjari lentik itu meraih album foto yang setia tergeletak di nakas itu juga. Di timang–timangnya sejenak dan seperti biasa, dia mulai membuka lembar demi lembar album itu. Album scrapbook mungil dengan penampilan dan hiasan girly berwarna peach cantik. Ada catatan pendek di setiap foto menceritakan kisah demi kisah setiap gambar yang terpampang.
Album itu terisi semenjak Cia masuk SMA. Dan selalu saja, tatapannya terhenti lama di foto yang dia tempel terakhir. Foto bersama teman–teman sekelasnya saat baksos kira–kira tiga bulan yang lalu. Di situ ada foto Aka juga dan saat itu entah sadar atau enggak, gambar cowok itu terambil kamera sedang tersenyum. Senyum yang cukup hangat dan manis. Tatapan matanya terlihat ramah, sungguh berbeda dengan tatapan dinginnya yang nampak selama ini.
"Kamu cakep dengan senyum kamu yang seperti itu, aku menyukainya," batin Cia setiap kali. Dan, setiap kali pula senyum manis akan terukir di bibir mungilnya.
"Ahhhh ... Aka, kenapa juga aku penasaran banget sama kamu, ya? lihat kamu tersenyum seperti di foto itu, aku jadi ngerasa sesungguhnya kamu seseorang yang hangat juga. Apa yang kamu tampilkan selama ini, serasa itu bukan kamu yang sebenarnya."
Gadis itu masih melanjutkan obrolan hatinya. Namun, senyum di bibirnya sudah memudar sejak beberapa waktu lalu ketika sekelebat bayangan cowok dengan gaya cuek dan tatapan dinginnya berseliwer tanpa permisi di ingatannya
Tiba–tiba dia kembali tersenyum geli.
"Ka, weekend gini kamu lagi ngapain, ya? lagi ngapel, ngedate ke rumah seseorang juga kah? Trusss ... seperti apa juga ya model pacaran kamu itu? apakah penuh gurau canda tawa atau cewek kamu cuma kamu diemin dan anggurin kayak suguhan di meja yang tamunya lagi males buat ngincipin gitu, ya?" Hahaha … tanpa sadar Cia terkikik geli seorang diri.
“Aduh ... jahat banget sih aku ini, mbatinin orang kayak gitu. Konyol banget sok–sok jadi paranormal, bisa tahu apa yang lagi di lakuin orang lain,” tanpa sadar dia ngedumel sendiri sambil menggeleng kuat–kuat mengenyahkan fikiran–fikiran konyol di kepalanya barusan.
“Mbak Cia,” sebuah panggilan pelan dan sopan sukses membuat kepala mungil Cia menoleh cepat karena terkejut.
“Aduh Mbak Yun, bikin Cia kaget aja,” seloroh Cia begitu melihat siapa seseorang yang barusan menyapanya. Seorang wanita yang kira–kira berusia pertengahan 30 tahun sedang berdiri di pintu kamar dengan sebuah nampan dan segelas susu yang nangkring manis di nampan. Terlihat masih hangat dengan kepulan uap tipis dari gelas yang tidak tertutup. Tutup gelas di letakkan di sampingnya pada nampan yang sama.
Perempuan yang di panggil Mbak Yun oleh Cia itu senyum tersipu merasa bersalah melihat majikan mudanya yang terlihat terkejut. Namun kembali bisa bernafas lega ketika senyum tersungging di bibir gadis yang begitu dekat dengannya. Gadis yang sudah dia layani dengan penuh kasih sayang semenjak masih berseragam putih merah. Meskipun sesungguhnya status mereka hanyalah majikan dan asisten rumah tangga.
“Maaf Mbak Cia, tadi saya ketuk–ketuk pintunya lama nggak ada sahutan. Akhirnya saya coba dorong pintu, eh ternyata nggak terkunci. Akhirnya saya masuk aja. Lha wong lihat lampunya masih nyala terang,” ucap polos Mbak Yun menjelaskan alasannya kenapa tiba–tiba dirinya sudah berada di kamar Cia. Gadis itu bangkit dari dunia rebahannya, merapikan rambut sejenak sambil mengulas senyum.
“Iya, Mbak Yun. Nggak apa-apa kok. Lagian masa iya jam segini udah bobok. Trus itu, kenapa Mbak Yun pakai repot bikinin susu? Kan nanti Cia bisa bikin sendiri. Harusnya Mbak Yun istirahat aja,” jelas Cia sambil menerima susu yang di ulurkan ART-nya itu ke arahnya. Kemudian perlahan mereguknya, melegakan Mbak Yun yang sudah susah payah menyiapkan untuknya.
“Nggak ah, Mbak Cia banyak bohongnya kalau bilang bikin susu sendiri, saya jadinya yang di marahi ibu,” seloroh itu berhasil menciptakan tawa renyah dari seorang Cia.
“Ah Mbak Yun, kayak aku masih SD dulu aja pakai di bilangin ke Mama gara-gara lupa nggak minum susu,” protes Cia dengan nada candanya. Mbak Yun tersenyum saja mendengarnya.
“Oh iya Mbak, mama sama papa ada acara kundangan di mana sih?” tanya Cia sambil kembali mengulurkan gelas susunya yang sudah tandas beralih tempat menyusuri pencernaan organ tubuhnya.
“Pamitnya tadi di hotel Shangrilla, Mbak,” jawab singkat Mbak Yun sambil bersiap hendak kembali keluar kamar.
“O ... eh-eh kalau gitu, Mbak Yun disini aja deh temenin aku ngobrol. Mbak Yun sudah ngantuk apa belum?”
Perempuan yang sudah mengabdi di keluarga itu hampir 10 tahun lamanya, kembali tersenyum. Meletakkan nampan di atas nakas dan perlahan menempatkan dirinya duduk di pinggiran tempat tidur nyaman itu.
“Mbak Yun belum ngantuk, kok. Mbak Cia mau di temeni dulu?” tanya lembut perempuan itu dengan kasih sayang penuh. Dia mengerti sekali, gadis ini seringkali kesepian di rumah besarnya. Kesepian ketika kedua orang tuanya sibuk dengan bisnis dan kolega–koleganya.
Dan, seringkali weekend Cia berujung dengan seperti saat sekarang. Bercerita dan ngobrol santai dengan Mbak Yun, yang sebenarnya hanyalah berstatus Asisten Rumah Tangga di keluarganya. Tapi, Cia tahu, perempuan itu sangat menyayanginya .
*****
“Cia, kita pulang naik taksi aja yuk. Panas banget nih,” rajuk Flo yang mengiringi langkah Cia. Mereka berjalan menuju halte tak jauh dari sekolah.
“Kamu aja deh yang naik taksi, nanti pingsan lagi ngikut aku naik bus kota. Di omeli deh aku, sama Si Tante mama kamu,” jawab cuek Cia tetap dengan langkah santainya.
“Yahhh ... Cia, sekali kali naik taksi yuk, aku yang bayar deh,” Cia hanya tersenyum tanpa menjawab, langkahnya tetap lurus menuju halte.
Seperti biasanya, jam pulang sekolah halte ramai dengan siswa–siswa dari sekolah yang sama dengan mereka berdua. Namun, meskipun panas, suasana tetap meriah dengan canda tawa anak–anak berseragam putih abu–abu itu. Ada yang saling mengolok, ngobrol di selingi tawa keras sesama kelompok mereka. Bahkan ada yang sempat berdua–duaan, terlihat Si Cewek sedang tersenyum malu–malu ketika Si Cowok nampak serius mengatakan sesuatu kepadanya. Sepertinya sih mereka barusan jadian, jadi ya begitulah, masih malu–malu dan sok jaim sama pacarnya. Padahal, nanti kalau udah pacaran beberapa lama, bakal nampak watak aslinya ... haha ngomongin apa lagi yak jadinya?
Cia mengedarkan pandangannya dan akhirnya nampaklah sosok yang selama ini diam–diam sedikit mencuri perhatiannya. Aka berdiri tak jauh dari tempatnya, sama–sama menunggu bus kota yang menuju ke arah rumahnya. Namun, ternyata cowok itu tak sendiri. Di sampingnya berdiri Soraya, gadis yang sesungguhnya cukup cantik tapi terkenal dengan keganjenannya di sekolah yang sudah seperti keripik maicih level 10, sangat pedas dan terkenal. Namun, cewek itu yang pedas adalah ucapannya. Ketika terlihat cewek lain sedang mendekati atau di dekati oleh cowok yang menjadi gebetannya, maka tak segan dia menyemburnya dengan kata–kata pedas dan panas. Cia jelas pernah menjadi salah satu korbannya.
Soraya terlihat cukup agresif mengajak Aka mengobrol. Namun yang nampak lucu, cowok itu sama sekali tidak menggubrisnya. Bahkan melihat atau hanya sekedar menoleh ke arah gadis di sampingnya pun tidak. Tapi, nampaknya Soraya cuek dengan hal itu. Dia tetap bicara, seolah–olah Aka sedang setia menjadi pendengarnya. Tak pelak, adegan yang mirip salah satu serial sitkom komedi itu membuat Cia tanpa sadar senyum–senyum seorang diri. Sedangkan Flo yang berdiri di sampingnya hanya mengernyit heran tidak tahu apa yang sedang terjadi pada saudara sepupunya itu. Begitu sampai di halte tadi, tiba-tiba Cia jadi pendiam, lalu sekarang senyum–senyum sendiri tanpa alasan yang jelas.
Florida tak tahan, dia takut kekhawatirannya terbukti.
Bukan ... bukan, Flo bukan khawatir Cia tiba–tiba sudah gila atau tak waras sakit jiwa. Tapi, dia khawatir Cia kesambet setan gila di halte situ. Hiiii ... ngeri kan? Flo menyenggol–nyenggol lengan Cia, hingga gadis itu tergeragap dengan mimik wajah layaknya baru kembali dari dunia lain.
“Hei, kamu kenapa? kesambet atau ada kecenderungan mengarah gila? Sedari tadi diem, trus senyum–senyum. Cia, sadar dong, nanti aku kesusahan cari mbah dukun buat sembuhin kamu,” cerocos Flo begitu Cia menatapnya tanpa kata, dahinya berkerut mencoba memahami kalimat panjang barusan. Dan, begitu sadar tangannya segera terulur mengacak rambut ikal panjang Florida yang tergerai rapi.
“Apa’an sih, jadi nggak cantik nih, kamu kesambet beneran, ya?” sungut Flo sambil sibuk merapikan rambutnya.
“Itu Flo, lihat serial adegan itu,” tunjuk Cia dengan isyarat memajukan dagunya dan mata tertuju lurus ke satu arah. Flo mengikuti arah pandang Cia dan ups! tanpa dapat di tahan, spontan gadis itu tertawa ngakak melihat seorang gadis yang bicara sendiri dengan gerak tubuh seperti sedang acting untuk casting sinetron komedi dengan sebuah patung sebagai objeknya, berdiri diam di sampingnya. Tawa keras Florida sempat menjadi pusat perhatian siswa lain yang masih tersisa di halte itu, hingga Cia harus membantu mendiamkannya dengan membekap mulut Florida.
“Yah, dasar ganjen, Pangeran Salju nekat di godain mau di makan sekalian. Mana bisa nelen dia, orang kena panas kayak gini aja kagak leleh, gimana bisa berhasil tergoda itu Si Pangeran?” celetuk flo asal, setelah tawanya sudah cukup bisa di tenangkan. Cia yang mendengar itu malah jadi tertawa dan spontan mengacak kembali rambut Florida.
“Kamu ini ya, Flo, selalu aja komentar semaumu, namanya juga lagi usaha PDKT.”
“Haduh, nih anak. Selalu menyiksa rambut indah aku, jadi berantakan nih,” omel Flo pura-pura sewot sambil sibuk merapikan rambutnya kembali.
“Lha kamu juga gitu, nyeplos aja komennya. Jadi lucu dengarnya,” ujar Cia tanpa meminta maaf.
“Lha emang lucu, kalo mau PDKT sama Si Pangeran Salju itu harus bawa lilin apa obor gitu lho, pasti dia cepet leleh dan lumer.”
“Flo ... Flo ..., rasain nanti jika suatu saat kamu kena virus cinta, aku yakin kamu nggak kalah gila dari Si Soraya itu.”
Tiba-tiba sebuah mobil sport keren nampak minggir mengambil tempat parkir di halte dan berhenti tepat di depan dua gadis yang asyik mengobrol itu. Sebuah kepala dengan rambut cepak keren model kekinian menyembul dari kaca mobil samping kemudi yang sudah terbuka. Pemilik kepala itu berwajah cakep juga, secakep mobil yang di kendarainya. Senyum simpatik tersuguh dari wajah tampannya.
“Lagi nunggu bus kota ya, Cia?” sapa Jordi basa basi. Seorang cowok dari sekolah yang sama tetapi beda kelas. Cowok yang selama ini tak pantang menyerah berusaha ngedapetin hati Cia. Cia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, sedangkan Flo yang di sampingnya mulai beraksi dengan menarik–narik baju seragam sepupu cantiknya itu memberi kode alam.
“Bareng aku aja yuk, Cia. Daripada kelamaan nunggu bus kota,” tawar jordi melanjutkan aksi PDKT-nya.
“Iya Cia, bareng Jordi aja yuk, jadinya nggak kepanasan,” bisik Flo tepat di telinga Cia. Jordi yang membaca isyarat tubuh dari Florida yang berusaha mempengaruhi Cia merasa menemukan peluang extra.
“Ayo Flo, sekalian sama kamu. Nanti aku antar sampai rumah deh,” rayu Jordi yang membuat Florida semakin mupeng. Mata indahnya menatap memelas ke arah Cia yang tak bersuara sedari tadi.
“Cia ...” bisik lembut Florida dengan nada memohon, bukannya menjawab apa-apa Cia malah melotot mengintimidasi ke arah Florida hingga nyali gadis itu menciut menjadi beberapa milimeter saja, sekaligus menghentikan aksi tarik seragam yang sejak tadi belum di hentikannya.
“Makasih Jor, tapi aku sama Flo naik bus aja,” tolak halus Cia tanpa banyak kata.
“Ayolah Cia, Flo,” Jordi hendak melanjutkan rayuannya, tapi keburu terdengar suara Florida yang menyetujui ucapan Cia barusan.
“Iya Jor, nggak usah. Aku mau sama Cia aja naik bus,” ucap Flo meskipun nada tidak rela jelas terdengar dari suaranya.
Jordi mengedikkan bahunya tanda menyerah. Ada raut kecewa yang nampak di wajahnya. Entahlah, ini penolakan Cia yang ke berapa kali dia terima sampai-sampai sudah lupa karena ogah menghitungnya.
“Ya sudah deh, aku duluan, ya,” pamit Jordi pada akhirnya dan mobil mewah itu perlahan meninggalkan dua gadis bersaudara itu.
“Ah, dasar Cia nggak asyik. Kan harusnya tadi enak naik mobil bagus, bisa ngadem, dengerin musik ...” belum sempat Flo menyelesaikan kalimatnya, tangan Cia sudah menariknya menuju bus kota yang menuju ke arah rumah mereka yang mulai merapat siap-siap berhenti di halte menaik turunkan penumpang.
Tanpa kedua gadis itu tahu, sepasang mata elang tajam berwarna kebiruan memperhatikan kepergian mereka. Tak berapa lama kemudian dia pun melangkah menuju bus kota tujuan rumahnya yang telah berhenti 1 menit yang lalu. Meninggalkan gadis genit yang tetap asyik bercerita sendiri tanpa menyadari targetnya berlalu pergi. Siapa lagi kalau bukan si Soraya ... hahay.
*****
Setiap pulang sekolah, Flo selalu nyamperin Cia di kelasnya untuk mengajak pulang bersama. Begitupun siang ini, berdua mereka berjalan keluar dari kelas Cia. Baru beberapa langkah dari pintu kelas, mereka terpaksa berhenti karena mendengar sebuah panggilan. Nampaklah Bu Hanny, ibu guru muda dan cantik yang merupakan wali kelas sekaligus tetangga satu blok di komplek perumahan Cia berjalan anggun mendekat ke arah mereka. Senyum terukir di bibir guru berperangai sabar itu. Bu Hanny tak sendiri, ada seseorang di sampingnya.“Eh, Tante Han ... eh, Bu Hanny, A-ada apa, Bu?” tanya Cia gugup dengan kalimat belepotan tak karuan. Dahinya sedikit berkerut merasa heran, kenapa tiba–tiba wali kelasnya itu memanggilnya di jam pulang sekolah. Yang semakin membuatnya heran adalah kenapa ada Aka di samping perempuan cantik ini? Cowok itu berdiri diam dan tenang dengan ekspresi seperti biasanya, dingin. Tanpa sapa meski cuma sekedar isyarat saja.“Kamu mau langs
Cia yang tersentak dari lamunan sejenaknya segera mendesah pelan, balik di tatapnya Aka yang tengah memandangnya dengan mimik keheranan.“Aku masuk ya, Ka,” permisi sopan Cia sekaligus dengan niat menghilangkan kecanggungannya. Tanpa menjawab Aka segera balik badan melangkah masuk di ikuti Cia di belakangnya.“Langsung ke ruang tengah aja, lumayan ada AC-nya buat ngadem,” ajak Aka tanpa menoleh, terus berjalan lurus. Sedangkan Cia kembali mengekor di belakang Aka menuju ruang tengah sambil sesekali matanya tak lepas mengamati suasana di dalam rumah Aka yang nampak rapi dan sepi.Pemandangan nyaman ruang tengah yang di maksud Aka tersuguh di hadapan Cia. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, tapi cukup lengkap perabotnya.Sebuah karpet tebal berwarna hijau segar, sebuah sofa empuk yang terlihat begitu nikmat untuk duduk bersantai sambil nonton TV, sebuah TV besar berukuran kurang lebih 60 inchi lengkap dengan atribut pendampingnya
Cia terpekur sendiri dengan malas di tempat duduknya. Posisi bangkunya yang pas dekat jendela dan kebetulan menghadap lapangan basket, membuatnya bisa dengan leluasa memperhatikan polah tingkah cowok–cowok yang saat ini tengah ramai bertanding basket di jam istirahat mereka.Aka salah satu di antaranya, terlihat serius dalam permainannya dan nampaknya sedang ada pertandingan seru melawan kelas sebelah yang tepatnya kelas Flo. Karena di lapangan itu terlihat juga Vandra, Si Cowok Tengil teman sekelas Florida yang sekaligus mantan teman SMP Cia ikut bermain beda team dengan Aka.Cia yang pada dasarnya menyimpan rasa penasaran pada sosok Aka, fokus memperhatikan segala gerak-gerik cowok itu. Apalagi begitu mengetahui sisi kehidupan Aka yang lain sekitar seminggu lalu ketika dia datang ke rumahnya. Rasa penasaran itu berubah menjadi rasa kagum. Dalam sudut pandang Cia, cowok itu begitu mandiri, itulah salah satu alasan yang melatari rasa kagumnya pada Aka.
Dingin AC mobil Vandra di tambah dengan kondisi jalanan yang padat merayap benar–benar menggoda Cia untuk segera memejamkan matanya. Apalagi sebelum mobil jalan tadi, dengan semangatnya Flo sudah menyodorkan puding manis, lanjut dengan obat dan air mineral supaya segera bermanfaat ke fungsi yang sebenarnya, yaitu mereparasi kondisi tubuh Cia. Dalam keadaan sakit begini Cia memang menjadi sangat istimewa. Bahkan sangking istimewanya, mama mempercayakan tetek bengek urusan obat yang harus di minum Cia secara tepat waktu kepada Florida. Dan atas mandat itulah, Flo benar–benar super perhatian dengan menu sekaligus jadwal makan dan jadwal minum obat Cia, 100% mirip tugas seorang artist manager. Benar sekali, seorang Mama Cia sangat tidak mempercayai putrinya untuk urusan seperti ini. Jika obat berada di tangan Cia, yang ada obat–obat itu nggak akan tersentuh sama sekali. Di tambah lagi sudah di pastikan akan terjadi pergeseran menu makan yang menjadi amburadul keluar dari catatan
Matahari menyapa pagi dengan keceriaan sinarnya. Seceria dan secerah hati para manusia yang penuh semangat. Menikmati dan mensyukuri hidup yang di punya saat ini.“Pagi, Mer... ” sapa Cia pada Merlin yang tumben pagi itu sudah duduk manis di bangku mereka dengan diam. Tepatnya bukan duduk manis, tapi duduk tenang penuh konsentrasi pada sebuah komik yang terbuka lebar di mejanya.“Hemh ... ” Merlin hanya menggeram pelan membalas sapaan teman sebangkunya itu. Selanjutnya dia kembali cuek, bahkan menoleh pun tidak.“Gini nih sedihnya punya teman comic addict. Buku baru di tangan, teman pasti di buang,” ceriwis Cia di pagi hari yang tetap saja tak mendapat tanggapan dari Merlin. Akhirnya, daripada di kacangin dapetnya kacang yang nggak bisa di makan, Cia melangkah keluar kelas.Niat awal Cia hendak menuju kelas Flo nyamperin sepupunya itu yang sekarang sedikit jarang bersama semenjak dia lengket dengan Vandra. Tapi belum sa
Jangan ragu untuk membuka jendela rumahmu di pagi hari, maka kamu akan melihat betapa indahnya dunia dan merasakan nikmatnya bersyukur karena masih bisa menarik nafas panjang sampai dengan hari ini ... (hahay, hanya sebuah nasehat dari ibu untukku di hari minggu pagi)*****Saat ini mereka berdua tengah duduk bersama di meja makan rumah Aka.“Beneran kamu nggak apa-apa makan siang cuma beginian?” tanya Aka sambil menyodorkan sandwich roti tawar yang sudah dia oles pakai selai strawberry di bagian dalam di tambah dengan taburan meises coklat di bagian atasnya ke arah Cia yang duduk di dekatnya dengan tatapan keheranan. Meskipun nampak ragu, gadis itu menerima roti yang di sodorkan Aka kepadanya.“Ya nggak apa-apa, emang kenapa? Khawatir aku nggak kenyang, ya?” Cia berucap polos menyuarakan isi hatinya. Dan seloroh simple itu berhasil menerbitkan senyum di bibir Aka. Meskipun cuma sekejap. Cowok itu tidak menjawab, meskipun
Atmosfer baru tercipta di dalam kelas. Sepertinya gundukan salju yang selama ini menebarkan hawa dingin dan mencekam (yaelahhh ... ) sedikit demi sedikit mulai mencair.Meskipun tidak serta merta menjadi seorang yang super duper ramah, Aka sudah mulai menjadi seorang yang “welcome” untuk orang lain terutama teman–teman sekelasnya. Mereka tak segan lagi untuk sekedar menyapa, bergerombol di bangkunya sekedar ngajak ngobrol dengan berbagai topik, bertanya seputar pelajaran, mengajaknya menghabiskan waktu istirahat dengan bermain basket atau sekedar jajan di kantin bareng–bareng dan pokok intinya adalah warga kelas tak enggan lagi mulai memperlakukan Aka sebagaimana teman mereka yang lain, yang bisa lepas leluasa tanpa sungkan dan segan seperti sebelumnya.Dan sekarang pun, ketika bersama teman–temannya Aka tampak lebih sering menampilkan senyum tawanya. Meskipun belum sampai terdengar suara tawa ngakaknya sebagaimana ciri khas cowok
Untuk kali ini Zona masih dengan sabar menunggu Aka melanjutkan kalimatnya. Dia tak berani memaksa seperti obrolan mereka sebelumnya tadi, di biarkannya Aka berfikir sejenak begitu melihat adanya sorot ragu yang terpancar jelas dari mata Aka.“Aku ... aku belum yakin dengan perasaanku, Kak,” akhirnya Aka berhasil menyelesaikan kalimatnya.“Maksudnya, kamu belum benar–benar sayang ke dia?” respon Zona cepat berusaha meyakinkan pengertiannya atas ungkapan Aka barusan.“Sayang, Kak. Aku sayang banget pada Cia, pengin selalu bisa lihat dia, ketemu, ngobrol dan memiliki senyumnya setiap hari setiap saat, tapi ... ” kalimat Aka kembali terpenggal penuh keraguan.“But?”“Tapi, mungkin aku masih sebatas mengaguminya kak, karena dia begitu memiliki banyak hal yang sangat berbeda dengan cewek lainnya, aku masih ngerasa ragu, apakah aku pantas untuknya?”“Kamu takut kehilangan dia
“Jadi sekarang kamu sudah tahu kan bagaimana aku bisa berada di sini dan maaf harus menahan diri tanpa menemui kamu, Sayang,” beritahu Aka mengakhiri ceritanya. Mereka berbaring di ranjang mewah salah satu kamar di resort Aka, lebih tepatnya Valencia Resort. Sesekali Aka mencium pundak telanjang Cia, memeluknya dengan erat di dalam selimut yang melindungi tubuh mereka dari dingin AC setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. “Sudah, Sayang, terima kasih banyak karena kamu masih kembali kepadaku,” balas Cia yang menikmati setiap sentuhan dan dekapan hangat Aka yang sudah begitu lama di rindukannya. “Terima kasih juga buat kamu yang selalu yakin dan percaya padaku, Sayang. Semua itu kekuatan tak ternilai yang aku punya di hidup aku.” “Jadi sekarang kondisi sudah aman?” “Sudah, kita bisa menikah segera.” “Bukan itu maksudnya, Sayang,” balas Cia sambil tertawa, sadar jika Aka hanya menggodanya meski wajah Pangeran Saljunya ini nampak tak
“Tuan, berikan ponsel tuan kepada saya,” tanpa menunggu jawaban dari Aka Mike langsung merebut ponsel di tangan Aka yang sejak tadi berada di tangan Aka karena cowok itu baru saja mengirimkan pesan kepada Cia mengabarkan bahwa dirinya bersiap untuk penerbangan ke Indonesia. Sepuluh menit lagi Aka harus segera masuk ke dalam pesawat supaya tak ketinggalan penerbangan, namun yang ada justru Mike menahannya dan membuka ponsel itu kemudian mengambil nomornya dan merusak chip kecil itu. Setelahnya memasukkan ponsel itu begitu saja ke dalam kotak sampah tak jauh dari pintu terakhir sebelum menuju masuk pesawat. Aka ingin marah namun lama-lama dia mencerna dan mulai memahami situasi yang ada setelah Mike menariknya cepat untuk pergi meninggalkan bandara melewati pintu yang tak seharusnya. Sebuah mobil sudah menunggunya, dan baru saja masuk ke dalam mobil suara dentuman memekakkan telinga terdengar di seantero bandara itu. Mike duduk diam di sampingnya dan hanya menginstruksikan sop
Cia menatap pria tampan berumur yang duduk di sampingnya. Wajah bulenya sama sekali tak dia lupakan. “Selamat siang, Nona Cia.” “Jimmy? Sungguh ini kamu, Jim?” “Betul Nona, terima kasih masih mengenali saya.” “Ada apa, Jim, kenapa tiba-tiba menemui aku, jangan membuat aku takut, Mommy, Daddy, Kak Zona, Kak Helen dan Zecca semua baik-baik saja, kan?” tiba-tiba ingatan Cia melayang pada kejadian sebulan lalu yang melibatkan interpol harus datang dan muncul di Indonesia memburu para orang jahat yang menurut berita karena urusan persaingan bisnis. Jimmy menyodorkan air mineral dan sekotak makanan kepada Cia. “Semua baik-baik saja, Nona. Lebih baik Nona makan dulu karena perjalanan kita akan memakan waktu kurang lebih empat jam dari sekarang. Cia sedikit tenang meski banyak pertanyaan di kepalanya. Dia mengenali karakter para pengawal keluarga Aka ini. Mereka akan berkata aman jika memang semua aman, dan mereka tak akan banyak bicar
Cia tersenyum gemas melihat baby mungil di dalam ruang bayi meski hanya dari kaca. Kemudian menoleh sekilas ke arah Vendra yang berdiri di sebelahnya dan menerima usapan lembut di kepala dari papa si bayi itu. “Dia lucu, Kak,” ujar Cia tak bisa mengalihkan pandangan dari Baby Azeera, nama yang di berikan untuk putri Alvendra dan Meischa. “Iya, sangat menggemaskan,” jawab Alvendra. Setelah puas melihat bayi akhirnya Cia mengikuti langkah Alvendra menuju kamar rawat Meischa. Dan bertepatan nampak perempuan cantik itu baru kembali dari kamar mandi. “Selamat ya, Kak, Baby nya cantik dan lucu.” “Oh, jadi kamu bahkan melihat dia dulu di bandingkan harus datang menemuiku?” ujar Meischa pura-pura sewot membuat Cia tertawa. “Ketemu Kak Meischa udah sering kali, tapi kalau ketemu Azeera pagi ini baru yang pertama kalinya, jadi penasaran banget.” Meischa ikutan tertawa, kemudian dengan masih di rangkul Cia berjalan menuju ranjangnya.
Hari ini hari pernikahan Flo dan Vandra. Cia mematut lama dirinya yang sudah rapi dan cantik. Gaun peach pada waktu itu melekat pas dan indah di tubuhnya. Peach. Bagaimana bisa seseorang itu mengetahui warna yang sangat pas dengan dirinya. Angan Cia melayang, membayangkan bahwa yang menyarankannya mengambil gaun itu adalah Aka. “Sayang, hari ini aku merasa cantik, lihatlah,” bisik Cia sambil berusaha menyunggingkan senyumannya. Masih tetap berada di depan cermin, tiba-tiba terdengar suara mamanya. “Sayang, ayo, acaranya sudah hampir di mulai,” ajak Ratna yang baru menyusul masuk ke kamar dengan hati-hati, dengan lembut di pegangnya bahu putri cantiknya. “Iya, Ma,” jawab Cia singkat. Ratna menggiring Cia keluar kamar hotel yang sama dengan tempat resepsi Flo di adakan. Sejak siang tadi mereka check in, rencananya setelah acara resepsi selesai malam nanti mereka bisa segera beristirahat di sini, tidak perlu langsung pulang ke rum
Cia sedang menikmati makan siangnya sendiria di sebuah rumah makan tak jauh dari rumah sakit tempat berprakteknya saat ini. Yaitu hanya sebuah rumah sakit kecil yang baru berdiri di Kota Surabaya. Sesungguhnya banyak tawaran yang meminang Cia untuk bergabung di rumah sakit-rumah sakit besar dan terkenal di Surabaya ini, salah satunya RS Surabaya Husada, namun Cia belum mempertimbangkan untuk menerimanya. Justru dirinya lebih menikmati berpraktek di rumah sakit yang baru berdiri ini karena di sini dia merasa lebih enjoy, lebih bisa dekat dan perhatian kepada pasien mengabaikan ke-eksklusif-an yang biasanya terdapat pada pelayanan sebuah rumah sakit besar. Seperti pesan keramat Dokter Abdi, Cia masih menggenggam erat pesan itu sampai kini. Hati dan pengabdian bagi jiwa seorang dokter. Cia mendongak melihat jalan raya ketika terdengar suara sirine bersahutan memecah keramaian jalanan kota sore ini. Mobil polisi beriringan banyak sekali, begitupun ambulance terdapat beberapa di
Cia menatap takjub dua sahabatnya yang saat ini tengah sibuk menerima ucapan selamat atas pernikahan mereka dari para tamu yang datang.Cia yang di daulat menjadi bridesmaid bersama Merlin dan Flo hanya mampu menahan setiap gejolak rasa di dalam dadanya. Antara bahagia atas pernikahan kedua sahabatnya dan di satu sisi hati ada kesedihan yang dia tahan seorang diri saat ini. Di sebekah tempat yang lain nampak Evan, Arya dan Vandra tengah asyik ngobrol bersama. Melihat keberadaan Evan di antara sahabat-sahabatnya, tak urung mata indah Cia berkaca. Harusnya yang berada di sana saat ini adalah kekasihnya, sahabat dari para mereka-mereka yang sudah menjalin ikatan manis pertemanan semenjak masa abu-abu putih mereka.Merlin yang menyadari sikap diam Cia segera merangkul bahu sahabat cantiknya. Begitupun Flo yang berdiri di sebelahnya semenjak tadi. Dua orang gadis itu adalah saksi hidup bagaimana terpuruknya seorang Cia pada saat itu karena kabar akan meninggalnya Aka. Dan,
Serah terima tugas selesai sudah. Di ruang Dokter Abdi, Cia menjabat tangan dokter senior itu dan juga Dokter Adra. Dokter muda penggantinya lulusan dari Universitas Negeri Jember.“Jangan pernah lupa pesan yang seringkali saya sampaikan, Dokter Cia, sukses selalu di manapun berada,” pesan Dokter Abdi.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Dok. Seperti yang saya sampaikan, saya akan selalu berusaha mengingat pesan keramat dokter yaitu tentang hati dan pengabdian. Semoga Dokter Abdi sehat selalu dan jika suatu saat ada dinas ke Surabaya maka jangan lupa menghubungi saya.”“Tentu, Cia. Itupun jika kamu masih di Indonesia. Jika tiba-tiba kamu benar berangkat ke Inggris maka jangan lupa kabari saya. Jika keyakinanmu masih sangat kuat, maka tetaplah yakin. Tapi bukan satu kesalahan jika suatu saat kamu harus menyerah dan melepaskan keyakinan itu dan mulai kembali menatap ke depan, karena bagaimanapun juga kita hanya manusia yang me
Dua bulan lebih telah berlalu. Vendra dan Tim Medis Surabaya sudah kembali. Aktifitas rutin kembali berjalan seperti biasanya. Cia masih tetap berusaha mengupdate informasi. Sesekali bersama Evan dirinya pergi ke kota sekedar mencari sinyal jaringan internet untuk bisa mengakses update berita tentang kecelakaan pesawat yang Aka tumpangi. Namun sampai dengan saat ini belum ada berita yang menyebutkan bahwa jenasah atau hasil tes DNA dari potongan-potongan anggota tubuh yang berhasil di dapatkan dari badan pesawat yang beberapa puing di temukan menyebutkan nama Feroka Hatcher. Hingga membuat doa tak pernah putus dari hati Cia supaya Tuhan memberikan keajaiban untuk Aka.Di sore hari Cia sedang membersihkan ruang prakteknya ketika nampak seseorang berdiri di ambang pintu. Nina yang biasanya membantu beberes sedang menemani Dela ke rumah warga yang informasinya melahirkan anak kembar serta menolak melahirkan di puskesmas. Jadilah saat ini di puskesmas hanya ada Cia bersama dokter