Setiap pulang sekolah, Flo selalu nyamperin Cia di kelasnya untuk mengajak pulang bersama. Begitupun siang ini, berdua mereka berjalan keluar dari kelas Cia. Baru beberapa langkah dari pintu kelas, mereka terpaksa berhenti karena mendengar sebuah panggilan. Nampaklah Bu Hanny, ibu guru muda dan cantik yang merupakan wali kelas sekaligus tetangga satu blok di komplek perumahan Cia berjalan anggun mendekat ke arah mereka. Senyum terukir di bibir guru berperangai sabar itu. Bu Hanny tak sendiri, ada seseorang di sampingnya.
“Eh, Tante Han ... eh, Bu Hanny, A-ada apa, Bu?” tanya Cia gugup dengan kalimat belepotan tak karuan. Dahinya sedikit berkerut merasa heran, kenapa tiba–tiba wali kelasnya itu memanggilnya di jam pulang sekolah. Yang semakin membuatnya heran adalah kenapa ada Aka di samping perempuan cantik ini? Cowok itu berdiri diam dan tenang dengan ekspresi seperti biasanya, dingin. Tanpa sapa meski cuma sekedar isyarat saja.
“Kamu mau langsung pulang, Cia?” tanya Bu Hanny lembut.
“Iya, Tante,” jawab Cia cepat. Ups! spontan gadis itu menutup mulutnya begitu menyadari dia salah dengan istilah panggilannya. Bu Hanny tertawa geli, apalagi melihat ekspresi Cia yang sungguh salah tingkah. Aka tetap diam di samping Bu Hanny dengan ekspresi datarnya. Namun, sesungguhnya tatapannya sedikit melembut tak lagi sedingin tadi. Sebenarnya dia hanya sedang berusaha tetap cool karena sesungguhnya dia pun tengah berusaha menahan senyum begitu melihat ekspresi salah tingkah Cia yang salah bicara barusan.
“A-ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya Cia belum bisa menghilangkan kikuknya. Sedikitpun dia tak berani melirik ke arah Aka, meskipun dia penasaran setengah mati dengan ekspresi yang di tampilkan cowok itu karena kesalahannya tadi. Sesungguhnya dia merasa sangat malu, dan dia nggak mau semakin terbebani rasa malu jika ternyata dan mungkin saja cowok itu tengah menertawakannya dengan sebentuk senyum sinis yang menyakitkan. Aih ... Cia benar– benar nggak mau menderita batin.
“Tante boleh minta tolong, Cia?” kali ini Bu Hanny menyebut dirinya untuk Cia dengan istilah “Tante”, cukup melegakan dan menyenangkan untuk Cia.
“Iya boleh, Tante,” halahhh ... masa bodohlah dengan istilah panggilan Cia ke ibu guru wali kelasnya itu. Gadis itu berusaha santai melepaskan rasa kikuknya, melepaskan jerat intimidasi tatapan dingin dari seorang cowok yang juga berdiri di depannya hingga dia tak berniat mengkoreksi lagi kata panggilannya.
“Tapi, bener kan kamu langsung pulang? Enggak ada mau mampir ada keperluan kemana gitu?” tanya Bu Hanny meyakinkan.
“Iya, saya sama Flo mau langsung pulang kok, memangnya apa Tante yang bisa saya bantu?” Horray ... Cia sudah normal sekarang. Kalimat–kalimatnya sudah bisa terluncur dengan manis bebas hambatan, kayak jalan tol aja bebas hambatan, hehehe ...
“Tante kan mau pinjam buku Aka, buat Om Bram yang mau berangkat dinas ke Bandung. Kebetulan Om Bram berangkat pesawat nanti jam tujuh malam. Tapi, Tante nggak bisa ambil di rumah Aka sekarang, karena harus ikut bezuk Bu Tanti di rumah sakit bareng guru–guru yang lain. Cia bisa bantu Tante, ke rumah Aka untuk ambil buku itu buat Om Bram? Tolong tante ya, Cia.” Wanita berusia akhir 20-an itu menatap penuh harap ke arah gadis muridnya. Nada suaranya jelas terdengar penuh permohonan. Cia menoleh sejenak ke arah Flo yang sedari tadi diam tak bersuara, berniat meminta pertimbangan. Namun sialnya, gadis itu malah asyik dengan smartphone-nya.
“Saya ... saya ke rumah Aka, Tante?” tanya Cia dengan nada tak yakin, matanya mengerjap tak percaya seolah baru dibangunkan dari tidur lelapnya.
“Iya, bisa kan? Tolong Tante ya, Cia.” Penuh harap Bu Hanny menunggu jawaban Cia. Gadis itu masih galau, belum memberi jawaban kesediaan, memutar bola matanya kesana kemari mempertimbangkan sesuatu, dan akhirnya ... ”Iya deh Tante, bisa kok,” selanjutnya dia menoleh ke arah Flo yang sudah kembali mengantongi ponselnya.
“Flo ...” belum selesai kalimatnya, panggilan Cia terinterupsi suara cempreng itu.
“Oke, kalau begitu aku pulang duluan ya, Cia. Selamat siang Bu Hanny, Aka, dan Cia. Selamat menikmati waktu bersama Pangeran Salju, ya,” pamit Flo dengan nada cerianya. Kemudian gadis itu bergegas lari dengan rambut ikal panjangnya yang melambai indah.
Setelah kepergian Flo, dengan sengaja Cia menoleh ke arah Aka. Dia menemukan senyum tipis di bibir cowok itu. Rona merah sedikit menjalar di pipi Cia. Aka pasti tahu maksud perkataan Flo barusan. "Awas ya Floooo …" geram Cia tanpa kata.
“Baik, kalau begitu. Terima kasih, ya, Cia, Aka. Saya pamit dulu, udah di tunggu guru–guru lain sedari tadi, kalian hati-hati pulangnya. Nanti sampai rumah kasih aja bukunya ke Om Bram atau Eliza ya Cia” pamit Bu Hanny sekaligus berpesan pada Cia. Terdengar suara Cia menjawab pamit barusan, namun tidak terdengar suara yang sama dari cowok yang berdiri di depannya.
“Ayo.” Terdengar suara Aka dan cowok itu sudah berlalu beberapa langkah di depan Cia. Membuat gadis itu segera ikut berjalan dan mempercepat langkahnya berusaha menyamai jalan di samping Aka. Beberapa waktu mereka berjalan bersama tanpa kata, hingga terdengar suara Cia membuka obrolan.
“Kita naik bus kota ya, Ka?” kalimat basa basi itu terlontar penuh pertimbangan.
“Iya, kamu pernah kan naik bus kota?” tanya balik Aka tanpa sedikitpun menoleh ke arah gadis yang berjalan di sampingnya.
“Pernah dong, kan aku juga tiap hari naik bus kota, Ka” jawab Cia, santai tanpa maksud apa–apa.
“Oh iya? Ya kali aja kamu golongan cewek kaya manja yang nggak doyan angkutan umum,” lanjut Aka dengan nada datarnya.
“Eh, aku enggak manja ya, lagian siapa juga yang kaya, itu semua punya orang tua aku kok,” sedikit bernada sewot Cia menjawabnya. Untuk pertama kalinya Aka menoleh ke arah gadis itu dengan seulas senyum yang cukup lebar. Sayang banget ... Cia tidak melihat senyum itu. Karena terlanjur terbelenggu rasa jengkelnya yang tiba-tiba muncul. Seenaknya Aka menyamakan dirinya dengan cewek kaya kebanyakan, dia tahu tentang dirinya aja sepertinya enggak mungkin. Sama seperti dirinya sendiri yang menilai Aka sebagai cowok dengan kehidupan penuh ke-misterius-an.
Baru lims menit mereka berdiri di halte, sebuah bus sudah ada yang berhenti. Kernet yang turun dari bus meneriakkan tujuan dari bus tersebut. Entah sadar ataupun enggak, cowok itu segera menarik tangan Cia menuju masuk ke dalam bus. Gadis itu pun hanya bisa menurut dengan raut wajah bingung. Dia sempat menatap sekilas ke arah tangannya yang berada dalam genggam erat tangan Aka.
Suasana dalam bus penuh sesak, bangku kosong sudah tidak nampak. Bahkan beberapa orang sudah berdiri berderet di jalur tengah bus, tempat jalan kondektur berlalu lalang menarik karcis dari satu penumpang ke penumpang lain.
Aka tidak melepaskan genggaman tangannya, justru dia menarik Cia supaya berdiri lebih mendekat ke arahnya, gadis itu dia posisikan di depannya dengan tangan mereka yang tetap terpaut. Cia yang bingung dengan kondisi bus yang penuh sesak seperti itu cuma menurut saja. Sesungguhnya, dia merasa tidak nyaman. Apalagi, di depannya berdiri seorang lelaki paruh baya berambut gondrong dan bertindik. Jarak berdirinya tak lebih dari 30 sentimeter dari tempat Cia berdiri. Membuat gadis itu bergidik ngeri membayangkan maraknya berita pelecehan seksual di dalam bus yang penuh sesak seperti ini yang kerap menimpa perempuan. Tanpa sadar bahunya sedikit bergidik sebagai reaksi ngeri.
Bus sudah berjalan beberapa saat lalu. Aka sempat memperhatikan gerak tubuh Cia barusan yang jelas merasa tidak nyaman. Tiba–tiba Cia merasa Aka melepaskan genggaman tangannya. Tak berapa lama sebuah tangan menyentuh pundaknya. Cia menoleh dan menemukan wajah Aka di belakangnya yang terlihat cukup dekat. Aka mendekatkan bibirnya di telinga Cia dan membisikkan kata yang cukup di dengar oleh gadis itu.
“Kamu putar badan hadap aku aja,” bisik Aka. Tanpa harus di ulang dua kali, Cia yang sungguh merasa tidak nyaman segera menuruti permintaan Aka. Lebih baik dia melihat Aka daripada melihat penampilan preman orang itu yang membuatnya takut. Jadilah mereka kini dalam posisi berhadapan dengan jarak hanya beberapa senti. Mendadak Cia merasa resah berdiri begitu dekat dengan Aka seperti ini, ada desir aneh dan detak jantung dag dig dug der yang terpompa keras. "Omaigad! aku kenapa nervous begini ..." rutuk Cia berusaha menenangkan degub jantungnya yang tak bersahabat di kondisi kayak gini.
“Kamu pasti shock, ya?” terdengar lirih suara Aka. Cia sedikit mendongak mencoba memperjelas penangkapan indera dengarnya. Olalaaa ... Aka yang jelas lebih tinggi darinya sedikit menunduk sambil menatapnya. Oh God ... mata ini, hidung mancung ini, bibir ini ... sempurna sekali! Cia tak sanggup mengeluarkan jawabannya.
“Di tanya malah bengong, tak berkedip lagi. Terpesona sama aku?” celetuk Aka membuyarkan banyak kata yang terangkai di otak Cia.
“Eh, enggak. Iya, sedikit,” jawab Cia ambigu, ada semburat merah di pipinya yang gagal dia sembunyikan.
“Sedikit terpesona maksudnya?” lanjut Aka yang niat menggoda, alisnya sedikit terangkat keheranan.
“Idih, GR. Sedikit shock,” ralat Cia dengan cepat.
“Oh.” Cuma itu yang keluar dari bibir Aka. Beberapa saat mereka kembali terdiam. Cia kembali sibuk dengan fikirannya. Aroma parfum lembut yang Aka pakai memberi sensasi tenang untuknya. Dan, sukses besar, dia menyukai wangi itu. Hingga ketika bus mengerem mendadak, Cia tak berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya. Reflek tangannya melepaskan tas yang sedari tadi dia dekap di depan dadanya menjadi pembatas antara dia dan Aka. Dan, kali ini wajahnya sudah tersuruk di dada Aka. Membau dengan nyata parfum lembut itu hingga membuatnya terbuai. Sebuah tangan terasa melingkari punggungnya. Lagi-lagi, benarkah posisi mereka saat ini benar–benar layaknya sepasang kekasih dalam drama Korea? Berpelukan mesra di dalam bus yang penuh sesak. Tiba–tiba pipi Cia kembali memanas membayangkannya, dengan segera dia menarik tubuhnya dari tubuh Aka dan tangan yang melingkari punggungnya-pun terlepas begitu saja.
Bus mulai berjalan lagi. Terdengar kedumel sopir dengan kernet dan kondekturnya. Ternyata dalam kondisi jalanan yang padat merayap itu, sebuah sepeda motor main potong jalan seenaknya. Hingga sopir harus mengerem mendadak menghindari celaka.
“Sori ya, Ka,” ucap Cia lirih tanpa berani mendongakkan wajahnya.
“Aku yang sori, kamu nggak nyaman banget, ya di dalam bus yang sesak gini?”
“Enggak apa-apa kok, cuma dikit nggak nyamannya. Karena bus yang biasa aku tumpangi tidak pernah sepenuh ini.”
“Iya, tadi harusnya nunggu bus yang agak longgar juga ada. Tapi aku khawatir kamu nanti kesorean jadinya.”
Kali ini Cia memberanikan diri mendongakkan wajah cantiknya. Seulas senyum dia pamerkan. Ada rasa tenang yang dia rasakan mendengar Aka cukup peduli dengannya. Di balik sikap dinginnya selama ini, Cia merasakan adanya kepedulian untuknya di hari ini. Aka menatap senyum itu, senyum yang amat cantik dan hanya beberapa senti di hadapannya. Tak bisa di pungkiri, senyum dengan lesung pipi di sebelah kiri itu sangat cantik dan mengagumkan, sungguh!
“Bentar lagi sampai, kok,” Aka berusaha menjaga ekspresinya, senyum tidak tampil di wajahnya saat itu. Meski jika boleh jujur, tak ada bosan matanya menatap pemandangan indah ini dari dekat. Alis tebal yang rapi, bulu mata lentik alami, wajah putih bersih tanpa jerawat sebutir pun dan senyum manis merekah dari bibir merah muda yang selalu nampak basah.
Turun dari bus, mereka berjalan bersama memasuki sebuah gerbang komplek perumahan. Dengan sopan dan ramah, Aka menyapa satpam komplek yang hanya membalasnya dengan lambaian tangan. Mereka terus berjalan, blok pertama sudah terlewat, hingga akhirnya langkah Aka berbelok, masuk di blok kedua. Sama sekali tidak terdengar obrolan di antara mereka. Aka berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, tapi memiliki halaman yang cukup asri. Pemandangan rumput hijau dengan taman mungil berkonsep sederhana cukup indah di pandang mata. Cia menyukai itu. Rumah itu tak berpagar layaknya konsep rumah minimalis modern jaman sekarang, begitupun rumah sebelah–sebelah lainnya, semua tanpa pagar. Cia sempat membandingkan dengan rumah–rumah megah di komplek perumahannya yang semuanya berpagar tinggi. Sungguh nuansa yang sangat berbeda.
Suasana rumah Aka terlihat sepi, tak nampak adanya orang lain di dalam rumah itu. Dan, kembali itu menerbitkan tanda tanya di hatinya. "Memangnya Aka tinggal sendirian? Jadi, dia di kota ini hanya sendiri? Lalu, kemana orang tuanya? Emang dia nggak ngerasa kesepian ya, kalau sendirian begini? Aku aja yang masih bisa ketemu mama sama papa setiap hari meskipun cuma sebentar–sebentar, seringkali merasa kesepian, apalagi kalau benar–benar di rumah sendiri seperti ini?
Beragam fikiran berkecamuk di kepala Cia, sampai–sampai gadis itu tak sadar kalau Aka sudah membuka pintu rumah sedari tadi, sudah masuk ke dalam rumah dan bahkan saat ini cowok itu dalam rangka berbalik menuju pintu karena melihat seorang gadis berdiri mematung dengan tatapan kosong di depan pintu rumahnya.
“Kamu nggak mau masuk ke dalam? Kalau nggak mau ya sudah, tunggu disitu aja dulu. Aku mau makan dan santai–santai sejenak, setelah itu baru aku ambilkan bukunya,” kalimat panjang lebar itu terlontar dengan nada dingin, namun cukup untuk menyadarkan Cia dari kelana fikirnya, kembali menjatuhkannya di kehidupan dunia fana.
*****
Cia yang tersentak dari lamunan sejenaknya segera mendesah pelan, balik di tatapnya Aka yang tengah memandangnya dengan mimik keheranan.“Aku masuk ya, Ka,” permisi sopan Cia sekaligus dengan niat menghilangkan kecanggungannya. Tanpa menjawab Aka segera balik badan melangkah masuk di ikuti Cia di belakangnya.“Langsung ke ruang tengah aja, lumayan ada AC-nya buat ngadem,” ajak Aka tanpa menoleh, terus berjalan lurus. Sedangkan Cia kembali mengekor di belakang Aka menuju ruang tengah sambil sesekali matanya tak lepas mengamati suasana di dalam rumah Aka yang nampak rapi dan sepi.Pemandangan nyaman ruang tengah yang di maksud Aka tersuguh di hadapan Cia. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, tapi cukup lengkap perabotnya.Sebuah karpet tebal berwarna hijau segar, sebuah sofa empuk yang terlihat begitu nikmat untuk duduk bersantai sambil nonton TV, sebuah TV besar berukuran kurang lebih 60 inchi lengkap dengan atribut pendampingnya
Cia terpekur sendiri dengan malas di tempat duduknya. Posisi bangkunya yang pas dekat jendela dan kebetulan menghadap lapangan basket, membuatnya bisa dengan leluasa memperhatikan polah tingkah cowok–cowok yang saat ini tengah ramai bertanding basket di jam istirahat mereka.Aka salah satu di antaranya, terlihat serius dalam permainannya dan nampaknya sedang ada pertandingan seru melawan kelas sebelah yang tepatnya kelas Flo. Karena di lapangan itu terlihat juga Vandra, Si Cowok Tengil teman sekelas Florida yang sekaligus mantan teman SMP Cia ikut bermain beda team dengan Aka.Cia yang pada dasarnya menyimpan rasa penasaran pada sosok Aka, fokus memperhatikan segala gerak-gerik cowok itu. Apalagi begitu mengetahui sisi kehidupan Aka yang lain sekitar seminggu lalu ketika dia datang ke rumahnya. Rasa penasaran itu berubah menjadi rasa kagum. Dalam sudut pandang Cia, cowok itu begitu mandiri, itulah salah satu alasan yang melatari rasa kagumnya pada Aka.
Dingin AC mobil Vandra di tambah dengan kondisi jalanan yang padat merayap benar–benar menggoda Cia untuk segera memejamkan matanya. Apalagi sebelum mobil jalan tadi, dengan semangatnya Flo sudah menyodorkan puding manis, lanjut dengan obat dan air mineral supaya segera bermanfaat ke fungsi yang sebenarnya, yaitu mereparasi kondisi tubuh Cia. Dalam keadaan sakit begini Cia memang menjadi sangat istimewa. Bahkan sangking istimewanya, mama mempercayakan tetek bengek urusan obat yang harus di minum Cia secara tepat waktu kepada Florida. Dan atas mandat itulah, Flo benar–benar super perhatian dengan menu sekaligus jadwal makan dan jadwal minum obat Cia, 100% mirip tugas seorang artist manager. Benar sekali, seorang Mama Cia sangat tidak mempercayai putrinya untuk urusan seperti ini. Jika obat berada di tangan Cia, yang ada obat–obat itu nggak akan tersentuh sama sekali. Di tambah lagi sudah di pastikan akan terjadi pergeseran menu makan yang menjadi amburadul keluar dari catatan
Matahari menyapa pagi dengan keceriaan sinarnya. Seceria dan secerah hati para manusia yang penuh semangat. Menikmati dan mensyukuri hidup yang di punya saat ini.“Pagi, Mer... ” sapa Cia pada Merlin yang tumben pagi itu sudah duduk manis di bangku mereka dengan diam. Tepatnya bukan duduk manis, tapi duduk tenang penuh konsentrasi pada sebuah komik yang terbuka lebar di mejanya.“Hemh ... ” Merlin hanya menggeram pelan membalas sapaan teman sebangkunya itu. Selanjutnya dia kembali cuek, bahkan menoleh pun tidak.“Gini nih sedihnya punya teman comic addict. Buku baru di tangan, teman pasti di buang,” ceriwis Cia di pagi hari yang tetap saja tak mendapat tanggapan dari Merlin. Akhirnya, daripada di kacangin dapetnya kacang yang nggak bisa di makan, Cia melangkah keluar kelas.Niat awal Cia hendak menuju kelas Flo nyamperin sepupunya itu yang sekarang sedikit jarang bersama semenjak dia lengket dengan Vandra. Tapi belum sa
Jangan ragu untuk membuka jendela rumahmu di pagi hari, maka kamu akan melihat betapa indahnya dunia dan merasakan nikmatnya bersyukur karena masih bisa menarik nafas panjang sampai dengan hari ini ... (hahay, hanya sebuah nasehat dari ibu untukku di hari minggu pagi)*****Saat ini mereka berdua tengah duduk bersama di meja makan rumah Aka.“Beneran kamu nggak apa-apa makan siang cuma beginian?” tanya Aka sambil menyodorkan sandwich roti tawar yang sudah dia oles pakai selai strawberry di bagian dalam di tambah dengan taburan meises coklat di bagian atasnya ke arah Cia yang duduk di dekatnya dengan tatapan keheranan. Meskipun nampak ragu, gadis itu menerima roti yang di sodorkan Aka kepadanya.“Ya nggak apa-apa, emang kenapa? Khawatir aku nggak kenyang, ya?” Cia berucap polos menyuarakan isi hatinya. Dan seloroh simple itu berhasil menerbitkan senyum di bibir Aka. Meskipun cuma sekejap. Cowok itu tidak menjawab, meskipun
Atmosfer baru tercipta di dalam kelas. Sepertinya gundukan salju yang selama ini menebarkan hawa dingin dan mencekam (yaelahhh ... ) sedikit demi sedikit mulai mencair.Meskipun tidak serta merta menjadi seorang yang super duper ramah, Aka sudah mulai menjadi seorang yang “welcome” untuk orang lain terutama teman–teman sekelasnya. Mereka tak segan lagi untuk sekedar menyapa, bergerombol di bangkunya sekedar ngajak ngobrol dengan berbagai topik, bertanya seputar pelajaran, mengajaknya menghabiskan waktu istirahat dengan bermain basket atau sekedar jajan di kantin bareng–bareng dan pokok intinya adalah warga kelas tak enggan lagi mulai memperlakukan Aka sebagaimana teman mereka yang lain, yang bisa lepas leluasa tanpa sungkan dan segan seperti sebelumnya.Dan sekarang pun, ketika bersama teman–temannya Aka tampak lebih sering menampilkan senyum tawanya. Meskipun belum sampai terdengar suara tawa ngakaknya sebagaimana ciri khas cowok
Untuk kali ini Zona masih dengan sabar menunggu Aka melanjutkan kalimatnya. Dia tak berani memaksa seperti obrolan mereka sebelumnya tadi, di biarkannya Aka berfikir sejenak begitu melihat adanya sorot ragu yang terpancar jelas dari mata Aka.“Aku ... aku belum yakin dengan perasaanku, Kak,” akhirnya Aka berhasil menyelesaikan kalimatnya.“Maksudnya, kamu belum benar–benar sayang ke dia?” respon Zona cepat berusaha meyakinkan pengertiannya atas ungkapan Aka barusan.“Sayang, Kak. Aku sayang banget pada Cia, pengin selalu bisa lihat dia, ketemu, ngobrol dan memiliki senyumnya setiap hari setiap saat, tapi ... ” kalimat Aka kembali terpenggal penuh keraguan.“But?”“Tapi, mungkin aku masih sebatas mengaguminya kak, karena dia begitu memiliki banyak hal yang sangat berbeda dengan cewek lainnya, aku masih ngerasa ragu, apakah aku pantas untuknya?”“Kamu takut kehilangan dia
Jam dinding sudah nunjuk pukul 06.30. Zona sudah bersiap di meja makan. Hari ini dia nggak ada kuliah pagi, jadi bisa sedikit bersantai di rumah. Dan pagi ini dia menyiapkan menu sarapan berupa nasi goreng dengan telur mata sapi, semua sudah terhidang siap di meja makan.Biasanya jam segini Aka sudah siap dengan seragam sekolahnya dan duduk di meja makan menungguinya yang sedang mempersiapkan menu sarapan pagi. Ya, cowok itu hanya duduk sambil memperhatikan aksi memasak kakaknya, bukan karena Aka tidak mau membantu, tetapi Zona yang lumayan hobi masak itu sama sekali tidak mau di campuri urusannya ketika celemek sudah nempel di badannya dan dia sudah berdiri di depan kompor. Hihi ... jika sudah seperti itu Aka selalu merasa geli, dia seolah anak kelaparan yang sedang menunggui ibunya yang lagi memasak untuk menyiapkan menu makannya.Lima belas menit berlalu dan Aka belum menyusul Zona di meja makan. Hemhhh ... apakah gara–gara semalam Aka jadi susah tidur dan sek
“Jadi sekarang kamu sudah tahu kan bagaimana aku bisa berada di sini dan maaf harus menahan diri tanpa menemui kamu, Sayang,” beritahu Aka mengakhiri ceritanya. Mereka berbaring di ranjang mewah salah satu kamar di resort Aka, lebih tepatnya Valencia Resort. Sesekali Aka mencium pundak telanjang Cia, memeluknya dengan erat di dalam selimut yang melindungi tubuh mereka dari dingin AC setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. “Sudah, Sayang, terima kasih banyak karena kamu masih kembali kepadaku,” balas Cia yang menikmati setiap sentuhan dan dekapan hangat Aka yang sudah begitu lama di rindukannya. “Terima kasih juga buat kamu yang selalu yakin dan percaya padaku, Sayang. Semua itu kekuatan tak ternilai yang aku punya di hidup aku.” “Jadi sekarang kondisi sudah aman?” “Sudah, kita bisa menikah segera.” “Bukan itu maksudnya, Sayang,” balas Cia sambil tertawa, sadar jika Aka hanya menggodanya meski wajah Pangeran Saljunya ini nampak tak
“Tuan, berikan ponsel tuan kepada saya,” tanpa menunggu jawaban dari Aka Mike langsung merebut ponsel di tangan Aka yang sejak tadi berada di tangan Aka karena cowok itu baru saja mengirimkan pesan kepada Cia mengabarkan bahwa dirinya bersiap untuk penerbangan ke Indonesia. Sepuluh menit lagi Aka harus segera masuk ke dalam pesawat supaya tak ketinggalan penerbangan, namun yang ada justru Mike menahannya dan membuka ponsel itu kemudian mengambil nomornya dan merusak chip kecil itu. Setelahnya memasukkan ponsel itu begitu saja ke dalam kotak sampah tak jauh dari pintu terakhir sebelum menuju masuk pesawat. Aka ingin marah namun lama-lama dia mencerna dan mulai memahami situasi yang ada setelah Mike menariknya cepat untuk pergi meninggalkan bandara melewati pintu yang tak seharusnya. Sebuah mobil sudah menunggunya, dan baru saja masuk ke dalam mobil suara dentuman memekakkan telinga terdengar di seantero bandara itu. Mike duduk diam di sampingnya dan hanya menginstruksikan sop
Cia menatap pria tampan berumur yang duduk di sampingnya. Wajah bulenya sama sekali tak dia lupakan. “Selamat siang, Nona Cia.” “Jimmy? Sungguh ini kamu, Jim?” “Betul Nona, terima kasih masih mengenali saya.” “Ada apa, Jim, kenapa tiba-tiba menemui aku, jangan membuat aku takut, Mommy, Daddy, Kak Zona, Kak Helen dan Zecca semua baik-baik saja, kan?” tiba-tiba ingatan Cia melayang pada kejadian sebulan lalu yang melibatkan interpol harus datang dan muncul di Indonesia memburu para orang jahat yang menurut berita karena urusan persaingan bisnis. Jimmy menyodorkan air mineral dan sekotak makanan kepada Cia. “Semua baik-baik saja, Nona. Lebih baik Nona makan dulu karena perjalanan kita akan memakan waktu kurang lebih empat jam dari sekarang. Cia sedikit tenang meski banyak pertanyaan di kepalanya. Dia mengenali karakter para pengawal keluarga Aka ini. Mereka akan berkata aman jika memang semua aman, dan mereka tak akan banyak bicar
Cia tersenyum gemas melihat baby mungil di dalam ruang bayi meski hanya dari kaca. Kemudian menoleh sekilas ke arah Vendra yang berdiri di sebelahnya dan menerima usapan lembut di kepala dari papa si bayi itu. “Dia lucu, Kak,” ujar Cia tak bisa mengalihkan pandangan dari Baby Azeera, nama yang di berikan untuk putri Alvendra dan Meischa. “Iya, sangat menggemaskan,” jawab Alvendra. Setelah puas melihat bayi akhirnya Cia mengikuti langkah Alvendra menuju kamar rawat Meischa. Dan bertepatan nampak perempuan cantik itu baru kembali dari kamar mandi. “Selamat ya, Kak, Baby nya cantik dan lucu.” “Oh, jadi kamu bahkan melihat dia dulu di bandingkan harus datang menemuiku?” ujar Meischa pura-pura sewot membuat Cia tertawa. “Ketemu Kak Meischa udah sering kali, tapi kalau ketemu Azeera pagi ini baru yang pertama kalinya, jadi penasaran banget.” Meischa ikutan tertawa, kemudian dengan masih di rangkul Cia berjalan menuju ranjangnya.
Hari ini hari pernikahan Flo dan Vandra. Cia mematut lama dirinya yang sudah rapi dan cantik. Gaun peach pada waktu itu melekat pas dan indah di tubuhnya. Peach. Bagaimana bisa seseorang itu mengetahui warna yang sangat pas dengan dirinya. Angan Cia melayang, membayangkan bahwa yang menyarankannya mengambil gaun itu adalah Aka. “Sayang, hari ini aku merasa cantik, lihatlah,” bisik Cia sambil berusaha menyunggingkan senyumannya. Masih tetap berada di depan cermin, tiba-tiba terdengar suara mamanya. “Sayang, ayo, acaranya sudah hampir di mulai,” ajak Ratna yang baru menyusul masuk ke kamar dengan hati-hati, dengan lembut di pegangnya bahu putri cantiknya. “Iya, Ma,” jawab Cia singkat. Ratna menggiring Cia keluar kamar hotel yang sama dengan tempat resepsi Flo di adakan. Sejak siang tadi mereka check in, rencananya setelah acara resepsi selesai malam nanti mereka bisa segera beristirahat di sini, tidak perlu langsung pulang ke rum
Cia sedang menikmati makan siangnya sendiria di sebuah rumah makan tak jauh dari rumah sakit tempat berprakteknya saat ini. Yaitu hanya sebuah rumah sakit kecil yang baru berdiri di Kota Surabaya. Sesungguhnya banyak tawaran yang meminang Cia untuk bergabung di rumah sakit-rumah sakit besar dan terkenal di Surabaya ini, salah satunya RS Surabaya Husada, namun Cia belum mempertimbangkan untuk menerimanya. Justru dirinya lebih menikmati berpraktek di rumah sakit yang baru berdiri ini karena di sini dia merasa lebih enjoy, lebih bisa dekat dan perhatian kepada pasien mengabaikan ke-eksklusif-an yang biasanya terdapat pada pelayanan sebuah rumah sakit besar. Seperti pesan keramat Dokter Abdi, Cia masih menggenggam erat pesan itu sampai kini. Hati dan pengabdian bagi jiwa seorang dokter. Cia mendongak melihat jalan raya ketika terdengar suara sirine bersahutan memecah keramaian jalanan kota sore ini. Mobil polisi beriringan banyak sekali, begitupun ambulance terdapat beberapa di
Cia menatap takjub dua sahabatnya yang saat ini tengah sibuk menerima ucapan selamat atas pernikahan mereka dari para tamu yang datang.Cia yang di daulat menjadi bridesmaid bersama Merlin dan Flo hanya mampu menahan setiap gejolak rasa di dalam dadanya. Antara bahagia atas pernikahan kedua sahabatnya dan di satu sisi hati ada kesedihan yang dia tahan seorang diri saat ini. Di sebekah tempat yang lain nampak Evan, Arya dan Vandra tengah asyik ngobrol bersama. Melihat keberadaan Evan di antara sahabat-sahabatnya, tak urung mata indah Cia berkaca. Harusnya yang berada di sana saat ini adalah kekasihnya, sahabat dari para mereka-mereka yang sudah menjalin ikatan manis pertemanan semenjak masa abu-abu putih mereka.Merlin yang menyadari sikap diam Cia segera merangkul bahu sahabat cantiknya. Begitupun Flo yang berdiri di sebelahnya semenjak tadi. Dua orang gadis itu adalah saksi hidup bagaimana terpuruknya seorang Cia pada saat itu karena kabar akan meninggalnya Aka. Dan,
Serah terima tugas selesai sudah. Di ruang Dokter Abdi, Cia menjabat tangan dokter senior itu dan juga Dokter Adra. Dokter muda penggantinya lulusan dari Universitas Negeri Jember.“Jangan pernah lupa pesan yang seringkali saya sampaikan, Dokter Cia, sukses selalu di manapun berada,” pesan Dokter Abdi.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Dok. Seperti yang saya sampaikan, saya akan selalu berusaha mengingat pesan keramat dokter yaitu tentang hati dan pengabdian. Semoga Dokter Abdi sehat selalu dan jika suatu saat ada dinas ke Surabaya maka jangan lupa menghubungi saya.”“Tentu, Cia. Itupun jika kamu masih di Indonesia. Jika tiba-tiba kamu benar berangkat ke Inggris maka jangan lupa kabari saya. Jika keyakinanmu masih sangat kuat, maka tetaplah yakin. Tapi bukan satu kesalahan jika suatu saat kamu harus menyerah dan melepaskan keyakinan itu dan mulai kembali menatap ke depan, karena bagaimanapun juga kita hanya manusia yang me
Dua bulan lebih telah berlalu. Vendra dan Tim Medis Surabaya sudah kembali. Aktifitas rutin kembali berjalan seperti biasanya. Cia masih tetap berusaha mengupdate informasi. Sesekali bersama Evan dirinya pergi ke kota sekedar mencari sinyal jaringan internet untuk bisa mengakses update berita tentang kecelakaan pesawat yang Aka tumpangi. Namun sampai dengan saat ini belum ada berita yang menyebutkan bahwa jenasah atau hasil tes DNA dari potongan-potongan anggota tubuh yang berhasil di dapatkan dari badan pesawat yang beberapa puing di temukan menyebutkan nama Feroka Hatcher. Hingga membuat doa tak pernah putus dari hati Cia supaya Tuhan memberikan keajaiban untuk Aka.Di sore hari Cia sedang membersihkan ruang prakteknya ketika nampak seseorang berdiri di ambang pintu. Nina yang biasanya membantu beberes sedang menemani Dela ke rumah warga yang informasinya melahirkan anak kembar serta menolak melahirkan di puskesmas. Jadilah saat ini di puskesmas hanya ada Cia bersama dokter