“Hemhhh ... sebenarnya terbuat dari bahan apa sih dia ini? Adem banget,” batin Cia pagi ini sambil menatap satu sosok teman cowok sekelasnya yang duduk hanya berjarak beberapa bangku dari tempatnya. Cowok itu terlihat tenang, pandangan matanya fokus ke arah buku yang terbuka lebar di mejanya. Padahal di kelas mereka pagi ini penghuninya baru mereka berdua, tapi sepertinya keberadaan Cia tak berarti apapun bagi seorang Aka, si cowok dingin itu. Bahkan, beberapa menit kemudian ketika kelas sudah mulai gaduh dengan suara teman–teman mereka yang satu persatu mulai berdatangan, sikap cowok itu sedikitpun tak terusik. Dia tetap tenang, tetap fokus dengan bacaannya.
Valencia, akrab di panggil dengan nama Cia. Gadis cantik yang usianya belum genap 17 tahun di kelas XI ini. Ceria, ramah, pintar, baik hati dan berlatar belakang keluarga kaya namun tidak sedikitpun membentuknya menjadi seseorang yang angkuh selayaknya abg labil jaman sekarang yang sedang mencari jati diri.
Semua predikat istimewa yang lengkap di miliki oleh gadis itu cukup menjadi alasan bagi cowok di sekolah untuk menjadikannya sebagai idola. Berharap suatu hari bisa mendapatkan hatinya. Namun sayangnya sepertinya hati si gadis belum berhasil terketuk oleh siapapun cowok-cowok yang selama ini cukup banyak menjadi fans-nya.
Tidak hanya para cowok yang mengidolakan seorang Cia, klub–klub ekstrakurikuler elite di sekolah semacam cheerleaders, dance dan sebagainya berlomba ingin menjadikannya salah satu anggota klub karena label yang dimilikinya, yaitu “Tajir”. Gadis most wanted, layak di sematkan di selempang gelar Cia di sekolah.
Semua tawaran menarik di sekolah tak lantas membuat Cia tergerak hatinya, hampir semua di tolaknya dengan halus. Dia hanya ingin tetap menjadi dirinya sendiri. Ceria dengan teman–temannya, berangkat dan pulang sekolah tetap setia dengan angkutan umum yang menghubungkan rumah dengan sekolahnya. Tetap rendah hati dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa ada batasan apapun.
Berkebalikan dengan Cia yang ramah dan ceria. Feroka Hatcher yang akrab di panggil dengan nama Aka. Dia menjadi teman sekelas Cia sejak kelas X dulu, namun aura dingin cowok itu sama sekali tak meleleh meskipun musim panas sampai kekeringan di Ethiopia sanggup melelehkan salju di kutub utara dan selatan bumi ini.
Cowok itu begitu pendiam, senyum sangat mahal tercetak dari bibirnya. Meskipun predikat keren sebagai kapten basket sekolah dan atlet karate andalan SMU mereka menambah nilai plus cowok itu, yang tentu saja dengan mudahnya dia bisa mendapatkan cewek manapun yang dia mau, kenyataannya dia tetap tenang dengan status jomblonya.
Di sekolah ini, pasti siapapun tahu itu, terutama cewek–cewek fans setianya.
Mata agak kebiruan cowok itu yang entah asli atau pakai softlens, hehehe …
Rambutnya yang sedikit berwarna kecokelatan entah asli atau pakai pewarna rambut, hehehe …
Dan, kulitnya yang bersih namun bukan putih pucat atau putih kemerahan layaknya orang eropa pada umumnya yang seolah tak memiliki darah di tubuhnya, hehehe ….
Benar-benar menjadikan penampilan Aka yang campuran khas ASIA versus bule itu membuat cewek merasa sayang jika harus mengalihkan pandangan darinya.
Namun begitulah, Aka tetaplah seorang Aka. Dingin, cuek dan seolah punya benteng karang buat melindungi diri dari apapun di sekelilingnya. Seolah dia punya dunia dan kerajaan sendiri yang orang lain tak boleh menyentuh atau memasukinya. Eh, tapi jangan salah. Sikap sedingin es batu yang dia miliki ternyata berbanding lurus dengan nilai–nilai sekolahnya yang memang satupun tidak ada nilai panas alias kebakaran. Angka nilai pelajarannya selalu dingin dan sempurna, yang berhasil membuatnya menjadi juara umum sekolah sejak kelas X dulu.
*****
Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Cia masih duduk di bangkunya. Merlin teman sebangkunya barusan berlari keluar kelas gara–gara hasrat ingin pipisnya yang menggebu–gebu sejak tadi sudah tak terbendung lagi. Setelah membereskan buku–buku di mejanya, kembali tatapan Cia mengarah ke bangku Aka. Cowok itu sedang terlihat mengetik sesuatu di ponselnya.
“Hemhhh … dia lagi kirim pesan ke siapa ya? Serius amat sepertinya, sampai nggak butuh istirahat,” gumam Cia dengan dahi berkerut.
“Hayo lhooo … nglamun aja neng,“ suara cempreng itu menginterupsi suara batin Cia dan berhasil membuat gadis itu terlonjak sangking kagetnya. Matanya mengerjap cepat begitu mendapati sosok Florida, sepupunya yang beda kelas sama dia.
“Haduh Flo, kamu hobi banget ya bikin aku jantungan. Suka ya kalo aku tiba–tiba pingsan gara-gara suara drumband kamu itu?” sembur Valencia panjang dengan sedikit mendelik ke arah Florida yang cengar cengir tak berbentuk.
“Yeee … malah marah. Lha kamu, istirahat bukannya keluar kelas malah bengong pakai dahi berkerut. Mikirin apa, sih?” tanya Florida penasaran dan ternyata tadi dia sempat memperhatikan ekspresi wajah Cia.
“Nggak ada, sih. Cuman dikit merhatiin dia aja,” jawab Cia jujur sambil mengarahkan pandangannya ke arah Aka yang sedang mengantongi ponselnya dan bersiap keluar kelas.
“Aduh sepupuku sayang, sepupuku yang cantik, baik hati, dan tidak sombong. Berapa kali coba aku bilang, udah dehhh … ngapain juga ngabisin waktu buat mikirin makhluk seperti dia. Nggak ada untungnya lagi!” cerocos Flo dengan gaya genitnya yang di buat–buat. Namun, nada sebal jelas terlihat dari kalimat–kalimatnya.
“Ya kan aku cuma penasaran, Flo. Secara kita sekelas hampir 2 tahun ini, tapi kok aku ngerasa nggak pernah kenal dia ya? Ngerasa aneh gitu,” ujar Cia mengemukakan alasannya sekaligus pembelaan diri.
“Percuma deh aku ngabisin energi buat ngingetin arwah, eh, orang penasaran macam kamu. Udah ah, jangan bengong lagi, ke kantin yuk, laperrr …” cerocos Florida sambil menghela nafas kemudian menghembuskannya lagi.
“Tapi Flo …” kalimat Cia menggantung tanpa sempat terselesaikan begitu tangan lembut Florida menyeretnya mengajak keluar kelas
“Nona cantik, yang namanya pangeran salju itu ya seperti itu. Adem, dingin, beku, keras, kayak es batu,” dumel Florida sambil jalan menuju pintu. Cia mengikutinya terseok–seok karena tangannya di tarik paksa.
Mata bening Cia terbelalak lebar mendengar celoteh Florida yang barusan terdengar tanpa dosa. Spontan dia menarik tangan Flo supaya berhenti.
“Apaan sih, Cia?” gadis itu menghentikan langkahnya terpaksa sambil menatap malas ke arah Valencia. Sedangkan gadis yang di tatapnya malah balik menatap bengong dengan mimik lucu menahan tawa.
“Eh gadis! malah bengong!“ semprot Florida tak sabar menunggu kata–kata yang hendak terluncur dari bibir sepupunya. Valencia tak jadi berkomentar, yang terdengar malah ketawa ngakaknya kemudian segera merangkul bahu Florida di ajaknya kembali berjalan.
“Aduh, kayaknya mulai tak waras nih, tiba–tiba ketawa ngakak sendiri,” kedumel Flo penuh heran.
Dan, tawa Valencia terus terdengar hingga kantin mulai nampak di depan mereka.
“Dengerin nih, Flo. Selama ini aku tahunya tuh Snow White alias Putri Salju. Lah, hari ini malah lahir Pangeran Salju dari rahim kamu,” gurau Valencia ketika tawanya mulai mereda. Namun gara–gara mengucapkan kalimat barusan, dia kembali tertawa–tawa geli.
“Rahim aku gimana? Aku kasih tahu ya, yang bener, makhluk seperti dia itu lahir dari kutub selatan,” ucap Florida tak bisa menyembunyikan senyumnya lagi begitu paham penyebab tawa ngakak sepupunya barusan.
****
“Cia, hari ini papa jemput aku lho, ikutan, ya? Nanti mau di traktir makan ke resto idola kamu itu. Katanya ada menu baru yang wajib di coba,” ajak Flo pada Cia yang tengah sibuk membereskan mejanya.
“Yah, sayang banget, Flo. Aku udah janji mau jalan sama teman–teman,” desah Cia dengan nada menyesal.
“Yah Cia, nggak sayang kamu lewatin kesempatan makan besar siang ini?” rayu Florida sedikit merajuk.
“Ya sayang sih sebenarnya, tapi udah terlanjur janji, nggak enak kan?” ujar Cia sambil menatap lembut ke arah Florida yang mulai menampilkan raut kecewanya.
“Cia nggak asyik ah, emang mau kemana sih?” tanya Florida masih penasaran.
“Cari buku di tempat biasanya, buat sumbangin ke anak–anak jalanan acara baksos minggu depan,” jelas Cia dengan iringan senyum lembutnya, berusaha menenangkan Florida yang mulai manyun manja.
“Kan papa aku kangen kamu, Cia. Kamu nggak kangen sama om kamu itu, ya?” ternyata Flo belum menyerah dengan usahanya.
“Iya jelas kangen lah, hari minggu deh aku ke rumah kamu, gimana? Oke kan adikku yang cantik?” kali ini Cia yang menggoda dan merayu Florida.
“Ya udah deh terserah kamu, ini sepertinya papa udah di depan. Aku duluan ya kalau begitu,” akhirnya Flo menyerah juga begitu ponsel di sakunya bergetar memanggil–manggil.
“Iya. Maaf ya Flo, salam ke om, ya,” ucap Valencia sedikit berteriak begitu melihat Florida buru–buru berlari keluar kelasnya, dan gadis itu hanya menoleh sambil menyunggingkan senyum manisnya. Jari tangannya terangkat ke atas membentuk huruf O yang berarti ‘Oke’.
Kelas hening, tadi Valencia sempat janjian sama teman–temannya hendak pergi bersama. Mereka akan saling tunggu di halte tak jauh dari sekolah. Gadis itu sudah buru–buru keluar kelas takut kelamaan, namun sebelum melangkah keluar, gadis cantik berambut lurus sepinggang itu sempat menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan … uppss! pandangannya bertemu dengan sepasang mata tajam kebiruan yang entah sejak kapan menatap ke arahnya dari bangku tempat duduknya. Lagi dan lagi sebuah buku terbuka lebar di depannya, dan sebuah kaos seragam basket terlipat rapi di sampingnya. Oh, jadi dia ada ekstrakurikuler basket, makanya masih ada di kelas sampai jam segini, batin Cia menjawab sendiri pertanyaan di hatinya.
Aka belum mengalihkan pandangannya dari Cia, entah apa yang ada di benak cowok itu tentang gadis teman sekelasnya ini. Jelas saja perbuatan Aka membuat Cia bingung sehingga menjadi sedikit salah tingkah.
Di periksanya bajunya. Kali aja kancingnya ada yang terlepas kemudian terbuka. Duh, pasti jadi malu banget kalau bener seperti itu. Begitu dia rasa penampilannya beres, tanpa sadar pipinya merona merah karena malu sendiri atas pemikiran yang barusan terlintas di otaknya. Idih, ngeres banget sih aku barusan, batinnya.
Cia buru – buru melangkah keluar, tanpa menghiraukan cowok itu meskipun saat ini tatapan Aka masih mengikuti langkah buru-burunya. Seolah terkena daya magis yang mengintimidasi, Cia menghentikan langkahnya.
“Aku … pulang dulu ya, Ka,” pamitnya ragu-ragu tanpa bisa menghilangkan sikap salah tingkah. Aka hanya mengangguk tanpa suara, kemudian tatapannya kembali mengarah ke bukunya. Tanpa Cia sadari, ada sesungging senyum tipis di bibir Aka barusan.
Ya, sesungguhnya Aka merasa geli telah menggoda Cia dengan tatapan menghakimi yang barusan dia lakukan. Ternyata, menurut Aka, gadis itu tak ada bedanya dari cewek–cewek yang selama ini jadi penggemarnya, salah tingkah hanya dengan dia melihat ke arah mereka.
Hemmhh … setidaknya itulah yang ada di fikiran Aka saat ini. Sangat berbeda dari apa yang ada di hati Cia, dadanya bergetar hebat dag dig dug tak karuan. Sambil berjalan buru-buru dia merutuki kebodohannya. Kenapa juga dia tadi harus pamitan pada Aka?
Hwahhh … apa bedanya aku sama cewek – cewek centil di luar sana yang dengan mudah terhipnotis ketampanan Aka? Bodoh … bodoh …. rutuk Cia berusaha mengenyahkan rasa malu yang di deritanya.
*****
Jam dinding menunjukkan angka 19.05.Weekend.Tapi, Cia asyik bergelung diri malas–malasan di kamarnya seorang diri. Satu kondisi yang rutin terjadi hampir setiap minggunya. Cia hanya akan sibuk chat dengan teman–temannya dan menolak menerima telepon dari siapapun yang bukan keluarganya. Gadis itu bukan tipe yang suka menghabiskan waktu dengan kongkow di cafe, keluyuran kesana kemari tanpa tujuan yang jelas atau kumpul-kumpul bersama geng-geng cewek supaya terkenal layaknya remaja gaul masa kini yang mengikuti arus kehidupan modern. Dia tak membutuhkan kehidupan macam itu, biarlah di anggap kolot atau kuper yang penting dirinya enjoy dengan kehidupan santai dan kesederhanaannya.Selesai otak atik ponsel sejenak dan menekan satu tombol untuk mengunci layar ponsel pintarnya, Si Gadis cantik itu meletakkan ponsel yang sedari tadi menemaninya bercanda dengan teman–temannya lewat aplikasi chat berciri khas logo hijau yang paling familiar saat
Setiap pulang sekolah, Flo selalu nyamperin Cia di kelasnya untuk mengajak pulang bersama. Begitupun siang ini, berdua mereka berjalan keluar dari kelas Cia. Baru beberapa langkah dari pintu kelas, mereka terpaksa berhenti karena mendengar sebuah panggilan. Nampaklah Bu Hanny, ibu guru muda dan cantik yang merupakan wali kelas sekaligus tetangga satu blok di komplek perumahan Cia berjalan anggun mendekat ke arah mereka. Senyum terukir di bibir guru berperangai sabar itu. Bu Hanny tak sendiri, ada seseorang di sampingnya.“Eh, Tante Han ... eh, Bu Hanny, A-ada apa, Bu?” tanya Cia gugup dengan kalimat belepotan tak karuan. Dahinya sedikit berkerut merasa heran, kenapa tiba–tiba wali kelasnya itu memanggilnya di jam pulang sekolah. Yang semakin membuatnya heran adalah kenapa ada Aka di samping perempuan cantik ini? Cowok itu berdiri diam dan tenang dengan ekspresi seperti biasanya, dingin. Tanpa sapa meski cuma sekedar isyarat saja.“Kamu mau langs
Cia yang tersentak dari lamunan sejenaknya segera mendesah pelan, balik di tatapnya Aka yang tengah memandangnya dengan mimik keheranan.“Aku masuk ya, Ka,” permisi sopan Cia sekaligus dengan niat menghilangkan kecanggungannya. Tanpa menjawab Aka segera balik badan melangkah masuk di ikuti Cia di belakangnya.“Langsung ke ruang tengah aja, lumayan ada AC-nya buat ngadem,” ajak Aka tanpa menoleh, terus berjalan lurus. Sedangkan Cia kembali mengekor di belakang Aka menuju ruang tengah sambil sesekali matanya tak lepas mengamati suasana di dalam rumah Aka yang nampak rapi dan sepi.Pemandangan nyaman ruang tengah yang di maksud Aka tersuguh di hadapan Cia. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, tapi cukup lengkap perabotnya.Sebuah karpet tebal berwarna hijau segar, sebuah sofa empuk yang terlihat begitu nikmat untuk duduk bersantai sambil nonton TV, sebuah TV besar berukuran kurang lebih 60 inchi lengkap dengan atribut pendampingnya
Cia terpekur sendiri dengan malas di tempat duduknya. Posisi bangkunya yang pas dekat jendela dan kebetulan menghadap lapangan basket, membuatnya bisa dengan leluasa memperhatikan polah tingkah cowok–cowok yang saat ini tengah ramai bertanding basket di jam istirahat mereka.Aka salah satu di antaranya, terlihat serius dalam permainannya dan nampaknya sedang ada pertandingan seru melawan kelas sebelah yang tepatnya kelas Flo. Karena di lapangan itu terlihat juga Vandra, Si Cowok Tengil teman sekelas Florida yang sekaligus mantan teman SMP Cia ikut bermain beda team dengan Aka.Cia yang pada dasarnya menyimpan rasa penasaran pada sosok Aka, fokus memperhatikan segala gerak-gerik cowok itu. Apalagi begitu mengetahui sisi kehidupan Aka yang lain sekitar seminggu lalu ketika dia datang ke rumahnya. Rasa penasaran itu berubah menjadi rasa kagum. Dalam sudut pandang Cia, cowok itu begitu mandiri, itulah salah satu alasan yang melatari rasa kagumnya pada Aka.
Dingin AC mobil Vandra di tambah dengan kondisi jalanan yang padat merayap benar–benar menggoda Cia untuk segera memejamkan matanya. Apalagi sebelum mobil jalan tadi, dengan semangatnya Flo sudah menyodorkan puding manis, lanjut dengan obat dan air mineral supaya segera bermanfaat ke fungsi yang sebenarnya, yaitu mereparasi kondisi tubuh Cia. Dalam keadaan sakit begini Cia memang menjadi sangat istimewa. Bahkan sangking istimewanya, mama mempercayakan tetek bengek urusan obat yang harus di minum Cia secara tepat waktu kepada Florida. Dan atas mandat itulah, Flo benar–benar super perhatian dengan menu sekaligus jadwal makan dan jadwal minum obat Cia, 100% mirip tugas seorang artist manager. Benar sekali, seorang Mama Cia sangat tidak mempercayai putrinya untuk urusan seperti ini. Jika obat berada di tangan Cia, yang ada obat–obat itu nggak akan tersentuh sama sekali. Di tambah lagi sudah di pastikan akan terjadi pergeseran menu makan yang menjadi amburadul keluar dari catatan
Matahari menyapa pagi dengan keceriaan sinarnya. Seceria dan secerah hati para manusia yang penuh semangat. Menikmati dan mensyukuri hidup yang di punya saat ini.“Pagi, Mer... ” sapa Cia pada Merlin yang tumben pagi itu sudah duduk manis di bangku mereka dengan diam. Tepatnya bukan duduk manis, tapi duduk tenang penuh konsentrasi pada sebuah komik yang terbuka lebar di mejanya.“Hemh ... ” Merlin hanya menggeram pelan membalas sapaan teman sebangkunya itu. Selanjutnya dia kembali cuek, bahkan menoleh pun tidak.“Gini nih sedihnya punya teman comic addict. Buku baru di tangan, teman pasti di buang,” ceriwis Cia di pagi hari yang tetap saja tak mendapat tanggapan dari Merlin. Akhirnya, daripada di kacangin dapetnya kacang yang nggak bisa di makan, Cia melangkah keluar kelas.Niat awal Cia hendak menuju kelas Flo nyamperin sepupunya itu yang sekarang sedikit jarang bersama semenjak dia lengket dengan Vandra. Tapi belum sa
Jangan ragu untuk membuka jendela rumahmu di pagi hari, maka kamu akan melihat betapa indahnya dunia dan merasakan nikmatnya bersyukur karena masih bisa menarik nafas panjang sampai dengan hari ini ... (hahay, hanya sebuah nasehat dari ibu untukku di hari minggu pagi)*****Saat ini mereka berdua tengah duduk bersama di meja makan rumah Aka.“Beneran kamu nggak apa-apa makan siang cuma beginian?” tanya Aka sambil menyodorkan sandwich roti tawar yang sudah dia oles pakai selai strawberry di bagian dalam di tambah dengan taburan meises coklat di bagian atasnya ke arah Cia yang duduk di dekatnya dengan tatapan keheranan. Meskipun nampak ragu, gadis itu menerima roti yang di sodorkan Aka kepadanya.“Ya nggak apa-apa, emang kenapa? Khawatir aku nggak kenyang, ya?” Cia berucap polos menyuarakan isi hatinya. Dan seloroh simple itu berhasil menerbitkan senyum di bibir Aka. Meskipun cuma sekejap. Cowok itu tidak menjawab, meskipun
Atmosfer baru tercipta di dalam kelas. Sepertinya gundukan salju yang selama ini menebarkan hawa dingin dan mencekam (yaelahhh ... ) sedikit demi sedikit mulai mencair.Meskipun tidak serta merta menjadi seorang yang super duper ramah, Aka sudah mulai menjadi seorang yang “welcome” untuk orang lain terutama teman–teman sekelasnya. Mereka tak segan lagi untuk sekedar menyapa, bergerombol di bangkunya sekedar ngajak ngobrol dengan berbagai topik, bertanya seputar pelajaran, mengajaknya menghabiskan waktu istirahat dengan bermain basket atau sekedar jajan di kantin bareng–bareng dan pokok intinya adalah warga kelas tak enggan lagi mulai memperlakukan Aka sebagaimana teman mereka yang lain, yang bisa lepas leluasa tanpa sungkan dan segan seperti sebelumnya.Dan sekarang pun, ketika bersama teman–temannya Aka tampak lebih sering menampilkan senyum tawanya. Meskipun belum sampai terdengar suara tawa ngakaknya sebagaimana ciri khas cowok
“Jadi sekarang kamu sudah tahu kan bagaimana aku bisa berada di sini dan maaf harus menahan diri tanpa menemui kamu, Sayang,” beritahu Aka mengakhiri ceritanya. Mereka berbaring di ranjang mewah salah satu kamar di resort Aka, lebih tepatnya Valencia Resort. Sesekali Aka mencium pundak telanjang Cia, memeluknya dengan erat di dalam selimut yang melindungi tubuh mereka dari dingin AC setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. “Sudah, Sayang, terima kasih banyak karena kamu masih kembali kepadaku,” balas Cia yang menikmati setiap sentuhan dan dekapan hangat Aka yang sudah begitu lama di rindukannya. “Terima kasih juga buat kamu yang selalu yakin dan percaya padaku, Sayang. Semua itu kekuatan tak ternilai yang aku punya di hidup aku.” “Jadi sekarang kondisi sudah aman?” “Sudah, kita bisa menikah segera.” “Bukan itu maksudnya, Sayang,” balas Cia sambil tertawa, sadar jika Aka hanya menggodanya meski wajah Pangeran Saljunya ini nampak tak
“Tuan, berikan ponsel tuan kepada saya,” tanpa menunggu jawaban dari Aka Mike langsung merebut ponsel di tangan Aka yang sejak tadi berada di tangan Aka karena cowok itu baru saja mengirimkan pesan kepada Cia mengabarkan bahwa dirinya bersiap untuk penerbangan ke Indonesia. Sepuluh menit lagi Aka harus segera masuk ke dalam pesawat supaya tak ketinggalan penerbangan, namun yang ada justru Mike menahannya dan membuka ponsel itu kemudian mengambil nomornya dan merusak chip kecil itu. Setelahnya memasukkan ponsel itu begitu saja ke dalam kotak sampah tak jauh dari pintu terakhir sebelum menuju masuk pesawat. Aka ingin marah namun lama-lama dia mencerna dan mulai memahami situasi yang ada setelah Mike menariknya cepat untuk pergi meninggalkan bandara melewati pintu yang tak seharusnya. Sebuah mobil sudah menunggunya, dan baru saja masuk ke dalam mobil suara dentuman memekakkan telinga terdengar di seantero bandara itu. Mike duduk diam di sampingnya dan hanya menginstruksikan sop
Cia menatap pria tampan berumur yang duduk di sampingnya. Wajah bulenya sama sekali tak dia lupakan. “Selamat siang, Nona Cia.” “Jimmy? Sungguh ini kamu, Jim?” “Betul Nona, terima kasih masih mengenali saya.” “Ada apa, Jim, kenapa tiba-tiba menemui aku, jangan membuat aku takut, Mommy, Daddy, Kak Zona, Kak Helen dan Zecca semua baik-baik saja, kan?” tiba-tiba ingatan Cia melayang pada kejadian sebulan lalu yang melibatkan interpol harus datang dan muncul di Indonesia memburu para orang jahat yang menurut berita karena urusan persaingan bisnis. Jimmy menyodorkan air mineral dan sekotak makanan kepada Cia. “Semua baik-baik saja, Nona. Lebih baik Nona makan dulu karena perjalanan kita akan memakan waktu kurang lebih empat jam dari sekarang. Cia sedikit tenang meski banyak pertanyaan di kepalanya. Dia mengenali karakter para pengawal keluarga Aka ini. Mereka akan berkata aman jika memang semua aman, dan mereka tak akan banyak bicar
Cia tersenyum gemas melihat baby mungil di dalam ruang bayi meski hanya dari kaca. Kemudian menoleh sekilas ke arah Vendra yang berdiri di sebelahnya dan menerima usapan lembut di kepala dari papa si bayi itu. “Dia lucu, Kak,” ujar Cia tak bisa mengalihkan pandangan dari Baby Azeera, nama yang di berikan untuk putri Alvendra dan Meischa. “Iya, sangat menggemaskan,” jawab Alvendra. Setelah puas melihat bayi akhirnya Cia mengikuti langkah Alvendra menuju kamar rawat Meischa. Dan bertepatan nampak perempuan cantik itu baru kembali dari kamar mandi. “Selamat ya, Kak, Baby nya cantik dan lucu.” “Oh, jadi kamu bahkan melihat dia dulu di bandingkan harus datang menemuiku?” ujar Meischa pura-pura sewot membuat Cia tertawa. “Ketemu Kak Meischa udah sering kali, tapi kalau ketemu Azeera pagi ini baru yang pertama kalinya, jadi penasaran banget.” Meischa ikutan tertawa, kemudian dengan masih di rangkul Cia berjalan menuju ranjangnya.
Hari ini hari pernikahan Flo dan Vandra. Cia mematut lama dirinya yang sudah rapi dan cantik. Gaun peach pada waktu itu melekat pas dan indah di tubuhnya. Peach. Bagaimana bisa seseorang itu mengetahui warna yang sangat pas dengan dirinya. Angan Cia melayang, membayangkan bahwa yang menyarankannya mengambil gaun itu adalah Aka. “Sayang, hari ini aku merasa cantik, lihatlah,” bisik Cia sambil berusaha menyunggingkan senyumannya. Masih tetap berada di depan cermin, tiba-tiba terdengar suara mamanya. “Sayang, ayo, acaranya sudah hampir di mulai,” ajak Ratna yang baru menyusul masuk ke kamar dengan hati-hati, dengan lembut di pegangnya bahu putri cantiknya. “Iya, Ma,” jawab Cia singkat. Ratna menggiring Cia keluar kamar hotel yang sama dengan tempat resepsi Flo di adakan. Sejak siang tadi mereka check in, rencananya setelah acara resepsi selesai malam nanti mereka bisa segera beristirahat di sini, tidak perlu langsung pulang ke rum
Cia sedang menikmati makan siangnya sendiria di sebuah rumah makan tak jauh dari rumah sakit tempat berprakteknya saat ini. Yaitu hanya sebuah rumah sakit kecil yang baru berdiri di Kota Surabaya. Sesungguhnya banyak tawaran yang meminang Cia untuk bergabung di rumah sakit-rumah sakit besar dan terkenal di Surabaya ini, salah satunya RS Surabaya Husada, namun Cia belum mempertimbangkan untuk menerimanya. Justru dirinya lebih menikmati berpraktek di rumah sakit yang baru berdiri ini karena di sini dia merasa lebih enjoy, lebih bisa dekat dan perhatian kepada pasien mengabaikan ke-eksklusif-an yang biasanya terdapat pada pelayanan sebuah rumah sakit besar. Seperti pesan keramat Dokter Abdi, Cia masih menggenggam erat pesan itu sampai kini. Hati dan pengabdian bagi jiwa seorang dokter. Cia mendongak melihat jalan raya ketika terdengar suara sirine bersahutan memecah keramaian jalanan kota sore ini. Mobil polisi beriringan banyak sekali, begitupun ambulance terdapat beberapa di
Cia menatap takjub dua sahabatnya yang saat ini tengah sibuk menerima ucapan selamat atas pernikahan mereka dari para tamu yang datang.Cia yang di daulat menjadi bridesmaid bersama Merlin dan Flo hanya mampu menahan setiap gejolak rasa di dalam dadanya. Antara bahagia atas pernikahan kedua sahabatnya dan di satu sisi hati ada kesedihan yang dia tahan seorang diri saat ini. Di sebekah tempat yang lain nampak Evan, Arya dan Vandra tengah asyik ngobrol bersama. Melihat keberadaan Evan di antara sahabat-sahabatnya, tak urung mata indah Cia berkaca. Harusnya yang berada di sana saat ini adalah kekasihnya, sahabat dari para mereka-mereka yang sudah menjalin ikatan manis pertemanan semenjak masa abu-abu putih mereka.Merlin yang menyadari sikap diam Cia segera merangkul bahu sahabat cantiknya. Begitupun Flo yang berdiri di sebelahnya semenjak tadi. Dua orang gadis itu adalah saksi hidup bagaimana terpuruknya seorang Cia pada saat itu karena kabar akan meninggalnya Aka. Dan,
Serah terima tugas selesai sudah. Di ruang Dokter Abdi, Cia menjabat tangan dokter senior itu dan juga Dokter Adra. Dokter muda penggantinya lulusan dari Universitas Negeri Jember.“Jangan pernah lupa pesan yang seringkali saya sampaikan, Dokter Cia, sukses selalu di manapun berada,” pesan Dokter Abdi.“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Dok. Seperti yang saya sampaikan, saya akan selalu berusaha mengingat pesan keramat dokter yaitu tentang hati dan pengabdian. Semoga Dokter Abdi sehat selalu dan jika suatu saat ada dinas ke Surabaya maka jangan lupa menghubungi saya.”“Tentu, Cia. Itupun jika kamu masih di Indonesia. Jika tiba-tiba kamu benar berangkat ke Inggris maka jangan lupa kabari saya. Jika keyakinanmu masih sangat kuat, maka tetaplah yakin. Tapi bukan satu kesalahan jika suatu saat kamu harus menyerah dan melepaskan keyakinan itu dan mulai kembali menatap ke depan, karena bagaimanapun juga kita hanya manusia yang me
Dua bulan lebih telah berlalu. Vendra dan Tim Medis Surabaya sudah kembali. Aktifitas rutin kembali berjalan seperti biasanya. Cia masih tetap berusaha mengupdate informasi. Sesekali bersama Evan dirinya pergi ke kota sekedar mencari sinyal jaringan internet untuk bisa mengakses update berita tentang kecelakaan pesawat yang Aka tumpangi. Namun sampai dengan saat ini belum ada berita yang menyebutkan bahwa jenasah atau hasil tes DNA dari potongan-potongan anggota tubuh yang berhasil di dapatkan dari badan pesawat yang beberapa puing di temukan menyebutkan nama Feroka Hatcher. Hingga membuat doa tak pernah putus dari hati Cia supaya Tuhan memberikan keajaiban untuk Aka.Di sore hari Cia sedang membersihkan ruang prakteknya ketika nampak seseorang berdiri di ambang pintu. Nina yang biasanya membantu beberes sedang menemani Dela ke rumah warga yang informasinya melahirkan anak kembar serta menolak melahirkan di puskesmas. Jadilah saat ini di puskesmas hanya ada Cia bersama dokter