"Kenapa? Apa ada yang sakit lagi?". Tanya Rakha menjadi panik karena melihat raut wajah pucat pasi Clara sekarang."Ada yang mengalir pak Rakha, darah". Ucap Clara seraya melihat ke arah kedua kakinya."A-apa?". Kini pak Rakha yang berganti terkejut karena melihat darah yang mengalir di kaki Clara.Dengan sigap pak Rakha membawa Clara ke rumah sakit. Ternyata, setelah pemeriksaan dari dokter yang menangani Clara bahwa ia sudah mengalami pecah ketuban. Dokter segera mengambil tindakan dengan menggunakan jalan operasi secar untuk Clara.Alhamdulillah, tindakan cepat yang diambil oleh dokter membuat nyawa Clara dan bayinya selamat. Bahkan sampai detik ini, Rakha masih saja sebagai malaikat penolong bagi Clara."Hei mama Revan kok malah bengong gitu sih?". Suara Rakha membuyarkan lamunanku pada peristiwa saat aku melahirkan Revan tiga bulan yang lalu."Eh, apa Rakha?". Ucapku terbata menyahut perkataan Rakha barusan."Kamu yakin besok sudah mau bekerja lagi?". Rakha menanyakan kembali pe
Aku yang merasa masih menjadi istri sah seorang Yoga tidak bisa menerima begitu saja lamaran seseorang. Tentu saja aku menolaknya dengan alasan yang membuat Rakha menertawaiku."Istri?". Ucap Rakha kala itu."Iya". Kataku dengan tegas."Suami macam apa yang tega meninggalkan seorang istri dan anak kandungnya seperti ini?". Kata Rakha menjadi kesal dengan alasanku menolak lamarannya."Kamu tak berhak mengatakan hal tersebut, Rakha. Walau begitu dia sampai detik ini juga belum menjatuhkan talak padaku". Ucapku kala itu hingga sukses membuatku mulut Rangka bungkam.Aku memang tak salah mengatakan hal tersebut karena memang ingin memberikan ketegasan kepada Rakha. Aku juga tak ingin memberikan sebuah harapan atau janji apapun itu kepada Rakha.Walaupun aku tahu dan sadar bagaimana sebenarnya pernikahanki dengan Yoga selama ini. Aku bahkan tak tahu bagaimana kabar Yoga sampai sekarang. Namun, sebelum ketok palu dipukul, aku dan Yoga tetap sah menjadi suami istri. Itulah keyakinan yang aku
Jantungku berpacu dengan cepat, tak menyangka dengan apa yang aku lihat dengan kedua mataku saat ini. Ternyata Frengky tidak sendirian saat ini, namun kenapa aku tak melihatnya tadi bahwa Frengky bersama orang lain.Pandangan kami kini bertemu, netra kami haus dengan masing-masing sosok yang selama setahun ini tidak pernah kami temui. "Yoga". Ucapku dalam hati.Aku memandangnya lekat dan tak menyangka akan bertemu dengannya hari ini. Aku mengamati tubuh Yoga yang tidak seperti dulu, badannya yang dulu kekar dan tegap kini layu dan tak bersemangat."Apa yang telah terjadi kepada laki-laki yang setahun ini tidak bertatap muka denganku?". Tanyaku lagi.Terlebih lagi kini ia sedang duduk di atas kursi roda. Pantas saja aku tak melihatnya saat mengintip Frengky dari jendela. Ia kini tengah menatapku intens, aku bahkan kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan saat ini."Clara". Aku mendengar suara pelan Yoga memanggilku. Bahkan untuk bersuara, Yoga saja agak kesulitan
Aku tak tahu jika tindakanku yang saat itu meninggalkan Clara akan berbuah sepahit ini. Jika bisa dan diberikan satu kali kesempatan, aku ingin mengulang waktu walau sedetik saja. Aku tidak akan pernah berburuk sangka kepada Clara, istriku seperti waktu itu. Namun, jelas aku tahu, pengandaianku itu tidak akan pernah ada.Sekarang yang ada hanyalah sebuah penyesalan yang akan aku sesali seumur hidupku. Nyatanya, keputusan yang aku buat dengan emosi dan penuh keegoisan membuat hubungan aku dan Clara menjadi semakin tidak berujung kepada kebahagiaan.Karena rasa cemburu, aku tidak bisa berpikir dengan logis. Aku dengan egois membenarkan apa yang aku lihat dengan mataku tanpa menanyakan terlebih dahulu kebenarannya dengan Clara. Bahkan saat Clara mencoba untuk menjelaskan, aku malah tak mau mendengarkan dan merasa apa yang aku lihat itulah kebenaran yang sesungguhnya."Kamu tak mau mendengarkan penjelasan Clara?". Tanya Frengky saat aku bercerita mengenai kejadian beberapa bulan yang lalu
"Stop dulu videonya sebentar di bagian Clara yang baru saja keluar dari restoran Yummy". Ucapku mencoba memberi tahu Frengky maksud ucapanku barusan."Oh, kirain apaan. Kamu bikin orang jantungan saja. Sudah lelah dan lama aku menunggumu untuk siuman, jangan membuat aku kembali khawatir". Frengky malah berkata sedikit kesal."Stop disitu, di bagian itu". Tunjukku cepat saat Frengky kembali mengulang beberapa detik sebelumnya. Aku lantas memandangi Clara dengan seksama saat ia baru saja keluar dari restoran. Ternyata ia masih bekerja disana. Namun, bukan itu tujuan utamaku saat melihat video bagian ini. Aku malah fokus ke bagian perut Clara yang sudah mulai membuncit.Sepertinya Clara menjaga kehamilannya dengan baik. Kini, ia sudah nampak gemuk dengan perut yang mulai kelihatan membesar. Clara malah nampak semakin cantik di mataku. Lebih bahagia yang kurasakan, Ia kini mengandung anak yang berasal dari genku.Puas memandangi Clara, aku lantas kembali menyuruh Frengky untuk kembali me
"Sesuatu terjadi kepada ibu Clara". Jawab frengky dengan raut kesedihan.Aku mengernyitkan dahiku, "Ibu Clara?"."Iya, Yoga".Ternyata, masa kebahagiaan bagi Clara belum datang padanya saat ini. Kini ia harus mengalami cobaan baru lagi yang jauh lebih berat. Aku mengusap pelan wajahku, aku merasa gusar mengetahui keadaan Clara yang begitu banyak mengalami cobaan selama ini. Aku tidak tahu apakah ia membenciku karena ketika ia sedang dalam keterpurukan aku malah menghilang dan tak pernah menemuinya sekalipun. Kini aku ingin memarahi diriku sendiri mengenai kejadian yang menimpa diriku hingga mengharuskan aku tidur di ranjang seperti ini."Ibu Clara meninggal". Ucap Frengky dengan jelas ketika melihatku hanya diam."Mengapa ini bisa terjadi, Frengky. Kenapa orang tua Clara harus meninggalkannya di saat aku bahkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa". Ucapku sedikit berteriak.Aku merasa frustasi, dan seperti menjadi seorang pecundang. Dibalik kematian orang tua Clara pasti karena memikirk
"Coba, kamu melangkahkan kakimu ke depan sana, Yoga?". Ucap Frengky yang berusaha menguji kekuatan kaki Yoga."Baiklah, akan aku coba". Kata Yoga patuh, dia juga mau melihat bagaimana perkembangan latihan sarafnya selama ini.Aku pun mencoba menggerakkan kakiku pelan, mengayunkannya ke bawah lantai tempat tidurku. Dengan berpegang ranjang tanganku menumpu berat badanku. Dengan susah payah aku melangkahkan kakiku namun begitu berat satu ayunan kaki yang akan aku angkat."Aw...". Aku terpekik kaget saat langkah kelima ayunan kakiku."Kita bisa berhenti jika ini masih sulit bagimu, Yoga". Ucap Frengky menasehatiku dan mencoba membuatku menghentikan percobaanku hari ini."Tidak, Frengky". Ucapku cepat. Aku masih ingin melanjutkan latihanku lagi.Frengky pun patuh dan hanya mengawasiku dari samping. Ternyata sungguh berat sekali satu ayunan langkah kaki ini. Setelah sepuluh langkah aku berhenti melangkah. Sungguh, aku tak bisa lagi melanjutkan, tubuhku luruh sendiri ke bawah menyentuh lant
"Clara hendak melahirkan, dan ia sudah pecah ketuban saat berada di restoran". Kata Frengky menjelaskan."A-apa?". Ucapku berteriak. Kini aku merasa sangat panik."Lantas apa terjadi sesuatu kepada Clara dan bayiku? Semua baik-baik saja, kan?". Ucapku lagi dengan penuh terburu-buru, aku masih merasa syok."Semua baik-baik saja, Yoga. Kamu tak perlu khawatir". Ucap Frengky pasti."Kenapa Clara bisa seperti itu, Frengky?". Kataku masih merasa khawatir."Tidak diketahui, Yoga. Mungkin saja Clara kelelahan begitulah prediksi dokter kemarin". Kata Frengky memberitahuku.Mendengar kata 'kelelahan' yang diucapkan oleh Frengky, aku menjadi serba salah. Ini sedikit pasti akulah yang ikut andil hingga menyebabkan Clara mengalami kejadian seperti ini.Kelelahan yang dialami oleh Clara dikarenakan aku, lagi dan lagi akulah penyebab awal semuanya. Aku mengusap kasar wajahku, entah apa yang sudah aku lakukan terhadap Clara.Kini, mobil kami sedang mengiringi mobil Rakha yang sedang membawa Clara me
"Aww... ". Gumamku pelan. Aku terbangun dan merasa seluruh badanku pegal, aku sedikit menggeliat pelan. Deg, aku seperti menyentuh tubuh seseorang, aku pun menoleh ke samping.Aku kaget, karena yang kulihat adalah seseorang. Dan itu adalah Yoga. Kejadian seperti ini mengingatkan aku pada malam pertamaku bersama Yoga juga, dan ini malam keduaku. Aku kini menyadari apa yang telah terjadi dan apa yang sudah kami lakukan tadi malam."Apa karena aktifitas kami tadi malam yang membuat badanku pegal seperti ini". Aku berkata pelan takut mengganggu tidur Yoga. Ditambah dengan perpindahan kami ke rumah hari ini membuat tubuhku terasa begitu lelah. Sama seperti sebelumnya, aku tersenyum dan rasanya tidak mau bangun dari tempat tidur ini. Aku ingin lebih lama berada di samping suamiku ini. Dulu, pagi hari itu adalah hari yang sudah lama berlalu, dan hari ini harus aku tunggu dengan begitu lamanya. Lalu, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku mengamati tiap guratan wajah tampan Yoga, p
"Janji yang mana? ".''Memeluk mama. Tapi papa ingin melakukannya tidak di dapur seperti yang tadi, tapi ditempat yang mama suka". Yoga membuat aku kembali menerka dan membuat aku kembali penasaran. "Mama suka lagi? Tempat yang mana? "'Makanya cepat selesaikan makannya. Biar mama juga tahu?!".Aku melihat Yoga kini mengerling dengan nakal, ia menggodaku. Detak jantungku berbunyi dengan kuat, kenapa aku malah menjadi gugup seperti ini. Untuk memasukkan satu sendok nasi ke mulut pun rasanya urung aku lakukan. Pikiranku pun sudah traveling kemana-mana. "Aish, apalah yang aku pikirkan ini". "Aku akan setia menunggu". Sambung Yoga yang membuat aku semakin menelan ludahku sendiri. Lima menit kemudian. Aku melirik dengan ekor mataku bahwa Yoga yang masih setia menungguku dengan duduk di meja makan. Aku baru saja menyelesaikan makanku dan kini sedang mencuci piring kami berdua dan peralatan memasak tadi. Aku sengaja melambatkannya karena gugup dengan apa yang akan Yoga lakukan setelah i
"Kalau mau dimaafkan harus ada syaratnya? ". Yoga memberiku satu syarat entah apa itu. "Apa syaratnya? ". Tanyaku dengan penasaran. Awas saja jika syaratnya aneh-aneh, aku tidak mau melakukannya. "Syaratnya sangat gampang kok, pasti mama suka"."Mama suka? A-apa, pa? "."Iya mama pasti suka dengan syarat yang akan papa ajukan". Yoga kembali mengulangi perkataanya dengan intonasi pelan agar aku mengerti apa maksud dan tujuannya. Aku kembali memutar otakku menerka apa syarat yang dimaksud oleh suami tuaku itu. Aku jadi ingin tertawa, sudah lama aku tak mengatai Yoga pria tua. Awal pernikahan dulu, aku sering memanggilnya sebagai pria tua. Hal itu aku lakukan karena membenci Yoga. Siapa juga yang tidak akan membenci seseorang yang tiba-tiba hadir didalam kehidupan kita dengan mendadak. Lagipula dulu aku merasa kehadirannya tidak menyenangkan bagiku. Aku yang masih remaja harus menikah dengan seorang pria berumur empat puluh tahun. "Kenapa kamu malah tertawa? ".Sontak pertanyaan dar
"Mau kemana, mama Revan? ".Aku melototkan mata terkejut karena Yoga ternyata tidak tidur. "Eh, ka-kamu tidak tidur?". Tanyaku dengan suara terbata karena terkejut."Mana bisa aku tidur jika kamu tidak ada di sampingku, Clara". Mendengarkan gombalan Yoga pipiku terasa bersemu merah. Aku menjadi salah tingkah saat ini. "Kapan Revan tidur? ". Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baru saja, tadi kami asyik bermain namun sepertinya dia mengantuk. Aku bawa saja ke kamar dan tak lama setelah minum susu, revan tertidur"."Oh, pasti kecapekan". Ucapku mengiyakan. "Kamu juga tidak capek? ". Yoga bertanya kepadaku.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Yoga. Aku bahkan seperti merenggangkan otot tangan dan pinggangku agar lebih nyaman. "Sini aku pijitin, biar agak enakan badannya". Tawar Yoga kepadaku seraya menarik tubuhku biar berdekatan dengannya. Yoga pun bangun dari tidurnya dan duduk disampingku. Jantungku berdebar kencang saat ini karena jarak kami yang begitu dekat. Aku m
"Maafkan saya pak Rakha. Sepertinya saya harus berhenti bekerja". Ucapku pada akhirnya. Hufft.... Aku bisa menghembuskan nafas lega karena sudah berhasil mengeluarkan kata-kata yang tersangkut berat di tenggorokanku. "A-apa? Aku tidak salah dengar kan Clara? ". Ucap Yoga seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan. "Namun, saya akan tetap bekerja hingga satu bulan ke depan". Sambungku lagi. "Apa?"."Iya pak Rakha saya akan berhenti bekerja. Saya akan memberikan surat pengunduran diri saya satu bulan kemudian". Ucapku menjelaskan keinginanku. "Kenapa tiba-tiba seperti ini Clara? Apakah ada yang salah? ". Jawab Rakha seolah tidak percaya. Rakha pun meletakkan sendoknya di atas piring dan memilih tidak melanjutkan suapan selanjutnya. Kabar mengenai pengunduran diri Clara masih teringat di pikirannya. Kini ia sendiri di meja makan ini, Clara sudah meninggalkan dirinya beberapa menit yang lalu. Rakha teringat kembali dengan perkataan Clara yang menjelaskan kenapa ia harus berhent
"Kamu yakin Clara sudah mempertimbangkan semuanya dan mau memberikan aku jawabannya? ". Ucapku kembali bertanya untuk menyakinkan dengan lebih lagi kepada Clara. "Iya, aku yakin. Seratus persen yakin dengan keputusan yang akan aku ambil"."Baiklah, apapun itu aku harap semua untuk kebahagiaan dan kebaikan untuk aku, kamu dab baby Revan". Ucapku dengan penuh penekanan.Clara mengangguk dan mantap akan menjawabnya. Aku malah gugup dan berharap dengan cemas. Sungguh aku takut dan tak bisa memprediksi dengan jelas apa jawaban yang akan Clara katakan. "Aku akan berhenti bekerja dan mulai menjalani hidup sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak kita". Aku menatap Clara dengan binar penuh kebahagiaan karena mendengar jawaban yang memang sesuai dengan harapanku. "Tapi aku punya satu syarat? ". Lanjut Clara memyambung lagi. "Apapun syaratnya jika tidak bertentangan dengan kebaikan kita akan aku penuhi". Ucapku dengan serius dan penuh keyakinan."Syaratnya cuma ada satu, Yoga. Aku hara
"Aku akan menunggu".Aku pun mengetikkan pesan itu dan mengirimkannya kepada Clara. Aku sudah bertekad untuk menunggu dan menanti disini. Rindu yang aku rasakan terlalu berat untuk aku pikul dan aku bawa kembali kerumah. Aku harus menuntaskan rindu ini malam ini juga. Cukup lama aku menunggu dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan Clara. Rasa senang dan bahagia sungguh sangat indah saat ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal di dalam hatiku saat ini. Akankah bakal ada lagi hari-hari yang akan Clara lewatkan sampai larut malam seperti ini. Meninggalkan baby Revan seharian dirumah bersama seorang pengasuh. "Apakah kamu bisa berhenti bekerja? ". Tanyaku kepada Clara. Sontak sejak saat aku mengajukan pertanyaan tersebut suasana menjadi kaku dan hening. Aku tak bisa menahan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Clara. Aku ingin dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sepertinya Clara tidak menyukai sikapku. Mungkin sekarang ia berpikir aku mulai mengekang dunianya. Baru saja ka
Aku tak menyangka bahwa wanita yang sedang memegang lenganku adalah Clara. Aku terjatuh saat berusaha melatih otot kakiku untuk bisa berjalan. Sudah dua puluh menit berlalu mungkin itu yang menyebabkan kekuatanku semakin melemah. "Kau disini? ". Itulah kalimat yang aku ucapkan saat aku terkejut melihat ia memegangi tubuhku d n kini berada di depanku. Aku lihat netra mata Clara yang berembun dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Clara juga tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih menjawab, Clara malah langsung memeluk tubuh lemahku yang sedang terjatuh. Saat memelukku itulah, aku merasakan ada buliran air hangat jatuh ke lenganku. Aku pun melihat sudah begitu banyak air mata yang mengalir di kedua pipi Clara."Kenapa semuanya kamu tanggung sendiri, Yoga? "."Kenapa selama ini kamu menghilang dan menyembunyikan ini semua dariku? "."Kenapa? Kenapa Yoga? ".Pertanyaan demi pertanyaan Clara lontarkan kepadaku dengan tanpa melepaskan pelukanku lagi. Clara bahkan menangis semakin menjadi
Penasaran mengenai tentang apa itu, aku memutuskan untuk mengikuti arahan tangannya yang menyuruh aku untuk duduk di dekatnya. "Apakah ini mengenai masalah pekerjaan, kamu masih ingin menyuruhku untuk berhenti bekerja?". Tanyaku langsung kepada Yoga saat aku telah duduk di kursi. "Bukan. Bukan hal itu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Clara? "."Lalu? ""Kembalilah kerumah kita, mari kita tinggal bersama seperti dahulu".Aku mengarahkan tatapan mataku ke wajah Yoga. Dari ekspresi yang ia berikan, aku tahu dia mengatakannya dengan sangat serius. Aku cukup terkejut akan pembahasan pembicaraan mengenai ini dan tidak menyangka."Bagaimana, kamu setuju kan Clara? "."A-apa? ". Ucapku terbata, aku belum mengetahui jawaban apa yang harus aku katakan. "Kamu bisa mempertimbangkan nanti. Sekarang baby Revan sudah tidur, sebaiknya aku juga pulang".Aku juga tampak bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. Diam kembali menyelimuti beberapa saat di antara kami. "Kamu tidak mau makan dulu, bi