Sepulang kuliah, aku menyalakan mobilku. Lihat apa yang terjadi, mobilku mogok. Padahal tadi pagi mobilku baik-baik saja.Seharusnya aku menerima tawaran ibu saat dia akan mengantarku.Siang ini aku berencana ke kafe, tapi sepertinya rencana itu harus gagal.Aku hendak menelepon ayahku sampai seorang kakak tingkatku berhenti tepat di depanku yang bersandar pada mobil sedan hitam pemberian orang tuaku.Pria di dalam mobil itu menurunkan kaca jendela mobilnya. Dia melirikku dengan tatapan yang sedikit merendahkan.“Sepertinya ada yang terkena masalah?”Aku benci pria ini, aku benci dia. Dia adalah kakak kelas paling menyebalkan. Hanya karena dia tampan dan pintar, dia pikir semua wanita tertarik padanya. Jangan-jangan dia memang mengidap erotomania.“Tidak ada masalah di sini. Kamu bisa lewat dengan tenang.” Jawabku sembari membuang muka.Justin, dia adalah pria dengan paras yang memang harus kuaki ketampanannya. Wajahnya seperti seorang artis, dia mencolok dengan wajah dan tinggi badan
Rahangku menengang saat mendengar ucapan Luna yang berbelit-belit. Aku memilih untuk pergi, aku tidak ingin punya urusan lagi dengannya. Luna mengikutiku, sembari meneriaki namaku berulang kali.Langkah kakiku yang lebih panjang membuatnya tidak bisa mengikutiku. Kami berpisah saat dia menyerah dan berhenti mengikutiku.Aku nyaris dibohongi oleh temanku sendiri. Yang tanpa sadar sudah menjadi cinta pertamaku yang langsung pupus.Aku seperti sedang dipermalukan. Selama ini aku sudah berbuat hal yang bodoh. Aku hanya perlu meluruskan perasaanku lagi. Toh belum ada yang aku lakukan dengannya.*** Aku berhenti di depan sebuah toko bunga. Entah kenapa aku ingin membelikan ibuku bunga untuk permintaaan maaf. Bagaimana pun, aku sudah membuat kondisi rumah jadi tidak kondusif.Aku membuka pintu toko bunga dengan keyakinan penuh bahwa aku sudah tahu apa yang akan kulakukan. Aroma wangi bunga langsung membuatku tenang. Selama ini aku lebih sering mencium aroma bahan kimia yang sama sekali tida
Ibuku sudah datang. Satu hal yang seharusnya membuatku bahagia.Aku ingat masa kecilku, saat aku kelas 6 sekolah dasar. Saat itu hujan deras, dan semua sudah pulang karena adanya prediksi badai akan datang. Ibuku yang saat itu tidak bisa langsung menjemputku datang sangat terlambat, dia bilang mobilnya tiba-tiba mogok.Saat itu dia datang dengan berlari sekencang mungkin dari mobilnya. Dengan tubuh yang basah kuyup, tanpa payung dan tanpa jas hujan, Dia langsung memelukku dengan erat saat tahu aku masih menunggunya.Bibirnya yang mengigil membuatku sadar kalau dia juga kedinginan saat itu. Sama sepertiku yang sudah menunggunya.Pada waktu itu, aku sempat berpikir kalau aku telah dibuang, ditinggalkan karena sudah membuatnya kehilangan sesuatu yang amat penting dalam tubuhnya.Tapi apa yang ia ucapkan pertama setelah membuatku menunggu adalah hal yang luar biasa bagiku. Ibuku meminta maaf dan mulai menyalahkan dirinya. Rupanya aku tidak suka saat ibu memojokan dirinya. Sebab, di mataku
"Aku tidak suka Gina, jangan paksa aku." Karina mengetik sesuatu dengan tergesa-gesa "Aku bisa mengurus diri sendiri."Gina menghembuskan nafas panjang "Tapi sepertinya aku yang tidak tahan. Setaiap akhir pekan kamu malah sibuk dengan pekerjaan. Nikmati masa muda mu Karina."Tidak ada yang tau kenapa Karina selalu menolak usulan tentang kencan dan hal-hal yang menyangkut perasaan. Gadis itu memilih bersembunyi di balik laptopnya yang terus menyala dari pagi tadi.Wajah Karina tampak lesu, dia ingin menyumpal telinganya dengan sesuatu agar tidak mendengar rekan kerja yang selalu mengoceh soal hal itu."Kalau begitu, aku pergi dulu. Pastikan kamu tidak lembur."Karina berhenti dari aktifitasnya, dia melirik jam dinding. Sudah pukul 7 malam, dan apa yang sedang dia lakukan adalah bekerja. Dia mengusap wajahnya yang mungil, sebenatar lagi dia harus kembali ke kampung halamannya. Kakaknya akan menikah, dan dia masih melajang. Di usia 24 tahun, Karina sudah berhasil sukses berkat kepintara
Ketika pria yang seharusnya menjadi pendampingnya malam ini mendekati meja Karina. Evan dengan cekatan mendekatkan kursi pada Karina. Jelas wanita itu tidak tampak baik-baik saja.Pria berwajah muda itu tampak bingung "Karina?"Dia heran, seharusnya wanita cantik itu mengenalinya karena dia memakai baju yang sama persis seperti di foto profilnya.Belum sempat Karina menjawab,mata karina tertuju pada sepatu hitam. Karina hanya ingin keluar dari sini.Evan terlebih dulu mengedikan bahu,dengan senyum penuh merendahkan dia menatap pria yang kebingungan itu "Maaf, aku menemukannya duluan. Kami harus pergi sekarang."Karina yang linglung kini mengikuti Evan yang menarik tangannya.Tangan Evan terasa hangat dan kokoh meremas jemari Karina yang basah.Evan memecah kerumunan dengan mudah. Bahkan saat ada antrian di luar restoran yang mengular, Evan berhasil memberikan nafas lega bagi Karina.Mereka berdua berdiri di terotoar tak jauh dari parkiran."Sudah, sekarang kamu bebas." Karina mengger
Karina membawa tasnya, dia harus pulang. Atau lebih tepatnya dia tidak bisa melihat Gina yang mencoba merayu Evan.Ini tidak mungkin perasaan cemburu. Evan bukanlah orang yang spesial, dan tadi hanya sebuah ciuman. Mungkin itu yang di yakini Karina saat ini.Adam mengikuti Karina, dia juga harus menjadi pria yang perhatian. Siapa tau,Evan butuh waktu berduaan dengan teman kencannya.Saat gadis-gadis seusia Karina sedang berpetualang mencari cinta sejati. Karina malah harus terjebak dengan teman kencan temannya sendiri.Gadis itu memijat pelipisnya,Adam tiba-tiba berdiri di depannya seolah menghadang Karina.“Aku bisa mengantar mu. Di mana rumah mu,Karina?” tawar Adam, wajahnya berseri.Karina menggeleng “Kamu tadi minum sake,Adam. Aku harus pulang.”“Benar juga. Kalau begitu hati-hati di jalan.”“Oke.”Tidak ada alasan khusus yang membuat Karina pulang. Bahkan telepon tadi hanyalah sebuah alasan agar dia bisa segera keluar dari situasi canggung ini.Membayangkan ciuman tadi membuat Ka
Ruang ganti baju yang tidak lebih besar dari pada kamar mandi Karina,kini menjadi tempat perangnya. Malam ini dia harus tampil cantik.Dia ingin terlihat spesial di mata Evan. Sebisa Karina saja sebenarnya.Namun, gaun terindahnya hanyalah kimono dress yang ia beli beberapa tahun lalu. Dress dengan bahan satin berwarna biru, belahan dada yang dalam serta tidak ketat,padahal menurut Karina ketat adalah salah satu kompenen penting untuk terlihat seksi.Rencana Karina untuk tampil mempesona gagal sudah. Dia malah terlihat seperti wanita yang hendak mendatangi rekan kerjanya di sebuah bar.Kini dia mengikat rambut dan memoleskan lipstik berwarna merah muda.Dia siap, entah apa yang akan dia lakukan. Dia siap untuk malam ini.Karian keluar dari apartemennya,dia menuju mobil yang terparkir di bawah. Sesosok wanita dengan wajah sedih berdiri tak jauh dari sana.Wanita itu adalah Gina. Karina dengan cepat mendekati Gina yang tampak kacau.“Gina? Ada apa?” tanya Karina, dia menopang tubuh Gina
Aroma lavender, seprei satin yang dingin namun nyaman. Karina membuka matanya perlahan, dia samar-samar melihat beberapa buku yang tersusun di nakas dekat rajang. Lampu tidur menyala dengan redup.“Sudah bangun?” Evan baru datang membawakan dua cangkir kopi yang masih hangat.Karina mengangguk “Maaf, tapi kenapa aku di sini?”“Kamu pingsan.” Evan menaruh kopinya di meja, kamarnya besar dan bersih. Tidak pernah terbayangkan kamar seorang pria lajang akan serapi ini.Karina memijat pelipisnya, dia masih terbaring di ranjang king size milik Evan. Wajahnya memancarkan ekspresi sangat menyesal,itu langsung terbaca oleh Evan.“Aku tidak keberatan kamu tidur di sini,Karina.” Evan duduk di pinggir ranjang dan menempelkan telapak tangannya di dahi Karina “Apa kamu sakit?”“Aku... ini cuma serangan panik.” Gumam Karina, dia malu mengakui kelemahannya itu.“Separah ini, tapi aku tidak tau. Aku minta maaf,Karina.” Bohong Evan, dia tidak mau membuat Karina malu karena dirinya yang tau soal masala