Langkah Patricia terhenti ketika dia hendak turun namun dia melihat puluhan petugas bersenjata laras panjang lengkap sudah menyambutnya. Jantungnya berdebar kencang, namun raut wajahnya masih terlihat datar. Langkah kakinya perlahan mundur, dan sebaliknya, para petugas melangkah lebih dekat padanya.Patricia mengamati sekitarnya. Tak ada jalan keluar selain kembali ke lokasi awal. Namun dia sudah mendengar ledakan bom dan gedung-gedung pasti runtuh.Langkah kakinya terus mundur dan pikirannya kabur oleh kelelahan yang mendera. Seharusnya Ruby sudah mati. Kalaupun dia tidak dilalap oleh api, bom itu pasti sudah mencabik-cabik tubuhnya dan membuatnya hancur.Setidaknya, kalau aku tak berhasil lolos, Ruby sudah lenyap dari bumi ini.Patricia tersenyum menyeringai. Dia melepas koper berisi uang yang sedari tadi dipegangnya lalu berlari kembali dan hilang di balik tembok. Para petugas itu mengejarnya, namun api sudah melalap sebagian besar gedung dan mereka tidak mungkin mengambil resiko.
“Kamu pulang?” Liv berdiri ketika Levin menemuinya.Levin mengangguk tipis, menatap jas yang melekat di tubuh Liv. Sepertinya hubungan mereka tidak sesederhana yang dia pikirkan selama ini. Walau dalam dirinya masih ada sedikit rasa berat hati, tapi Levin menyerahkan semuanya pada Liv seorang.Pilihan adiknya itu pasti sudah yang terbaik.“Aku mendapat panggilan tugas besok, jadi aku harus segera kembali. Jaga dirimu.” Levin mengelus kepala Liv dengan lembut. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu.”Liv mengangguk. “Pasti.”Levin berbalik, namun dia memutar tubuhnya lagi. “Ginny, tentang Edd...”“Kami sudah putus,” sahut Liv cepat. “Jangan khawatir.”“Aku hanya mengatakan kalau aku akan mendukung siapapun yang menjadi pendampingmu, selama kamu merasa bahagia.”Liv termangu, kelopak matanya mengerjap. “Kamu setuju?”“Ya.” Levin mengangguk. “Hanya kalau kamu bahagia.”Senyum di wajah Liv merekah seketika. Dia melambaikan tangan pada Levin, merasa sedikit lega karena pria itu sudah memberikan
James mengibaskan tangan untuk menciptakan sedikit angin diantara wajahnya. Sebenarnya dia bisa langsung masuk ke rumah sakit tempat Ashley akan kontrol, tapi entah kenapa dia malah menemukan dirinya berdiri di bawah pohon ketika suhu udara di luar mencapai 34 derajat.Dia berharap, setidaknya jika Ashley melihatnya di sini, gadis itu bisa mengapresiasi ketulusannya. Berpisah dari Ashley menjadi salah satu momok menakutkan yang tak pernah terlintas di benak James. Dia tidak pernah menyangka kalau kehidupannya benar-benar sangat hampa tanpa celotehan gadis itu.Walau hubungan mereka baru terjalin selama beberapa bulan, kehadiran Ashley ternyata amat berpengaruh pada hidup James. Pernah sekali James pergi ke luar kota setelah perpisahan mereka, namun dia bahkan tidak bisa melakukan pekerjaan yang sudah biasa dia lakukan dengan baik.Yang ada dalam otaknya hanya sosok Ashley dengan tangisan yang membuat James patah hati. Memang, mungkin akan terasa sulit bagi Ashley untuk memaafkannya. T
Ruby harus menerima puluhan jahitan di punggung dan kakinya nyaris diamputasi kalau saja mereka terlambat membawanya ke rumah sakit. Tak hanya menderita luka tembak, kaki Ruby pun patah karena terjatuh dari ketinggian.Seluruh wajahnya penuh memar di sana sini dan juga goresan-goresan halus. Para dokter harus berjibaku memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh peluru yang menembus kulit Ruby dan merobek ligamennya hingga nyaris menghancurkan tulang. Beruntung proyektil peluru berhenti tepat sebelum mencapai tulang, jadi kondisinya masih tidak terlalu rumit.Operasi berlangsung selama kurang lebih dua belas jam dan positifnya berjalan dengan lancar. Ketika Louis bicara dengan dokter bedah di sana, beliau mengatakan kalau dia optimis Ruby akan bisa berjalan lagi tanpa mengalami cacat.Kabel-kabel kecil yang halus menempel di dada Ruby dan terhubung ke mesin kecil yang diletakkan di atas nakas. Layar monitor menampilkan sensor detak jantung Ruby berupa denyutan seirama yang teratur.Lo
Patricia berbagi sel dengan tiga narapidana lainnya dan semuanya wanita. Dia ditempatkan di penjara paling mengerikan, East Benhill yang dikenal dengan narapidana kelas kakap yang kebanyakan adalah pembunuh.Salah satu peristiwa terkenal yang dilakukan oleh narapidananya adalah ketika Linda Stuart melakukan penembakan massal di salah satu pusat perbelanjaan. Saat itu Natal akan segera tiba dan para keluarga berburu barang diskon.Luapan manusia itu membuat darah Linda mendidih dan keinginan untuk mencicipi nyawa sudah begitu menggelenyar. Dan tembakan pertama dia lepaskan di salah satu gerai pakaian, di mana kebanyakan pengunjungnya adalah pasangan suami istri yang membawa serta anak-anaknya.Lalu dia beralih pada restoran cepat saji, gerai sepatu, serta gerai-gerai lain yang masih dipenuhi orang-orang. Dia memegang dua buah pistol dengan cadangan amunisi yang sudah dibawanya, menjadikan pusat perbelanjaan itu sebagai tempat berdarah.Linda Stuart hanya seorang mantan polisi wanita ya
“Sudah ku bilang aku tidak mau periksa lagi.”Edd berusaha melepaskan genggaman Liv saat kekasihnya menyeretnya ke ruang pemeriksaan. Sejak dia mendapatkan hasil positif kanker hati, Edd tidak pernah mengunjungi dokter secara pribadi. Pun ketika panggilan dari rumah sakit berkali-kali masuk ke ponselnya, dia tetap mengabaikannya.Dia pikir semua ini terlalu menyakitkan. Pertama kali mendengar kabar buruk itu saja membuat Edd nyaris jatuh dan dunianya runtuh. Dia tidak berniat untuk mengunjungi dokter lagi sekalipun seharusnya dia ke sana.“Kita sudah di sini, Edd.” Liv membujuk dengan sungguh-sungguh. “Ruby belum siuman, kita masih punya waktu yang luang. Sekali ini saja, please.”“Hasilnya akan tetap sama,” tolak Edd, dia lebih memilih duduk di kursi tunggu. “Mustahil penyakitku bisa sembuh seketika.”“Klise kalau ku bilang tak ada yang mustahil, tapi mencoba tak ada salahnya.”“Ini bukanlah hal yang bisa menghilang begitu saja, Liv. Tak bisa seperti sulap. “Liv menghela nafas, beru
Ruby terbangun sekitar pukul sembilan malam. Kesadaran gadis itu sepenuhnya ada terlebih ketika dia mencium bau aroma desifektan khas rumah sakit yang menyengat hidungnya. Matanya mengerjap, menatap nyalang langit-langit rumah sakit berwarna putih bersih.Setiap jengkal tubuhnya seolah babak belur dihantam oleh kenyataan pahit mengerikan yang nyaris merenggut nyawanya. Bayang-bayang jilatan api mengejarnya, membuat Ruby mulai merasakan nafasnya terasa sesak, monitor pun menunjukkan penurunan detak jantung.Tapi Ruby membujuk dirinya sendiri untuk tetap sadar. Dia memejamkan mata, melihat senyuman Marry yang sedang memberikan bunga matahari untuknya. Senyuman secerah bunga matahari itu membantu Ruby tetap berada dalam kesadaran yang penuh, hingga denyut jantungnya kembali stabil, gadis itu membuka matanya lagi.Dia masih hidup. Itu adalah hal mengesankan karena tak mudah baginya untuk meloloskan diri dari rengkuhan Patricia. Kaki kanannya terasa seperti dibakar oleh api, sangat panas d
Ashley duduk dengan tenang, menunggu di ruang kunjungan penjara khusus tahanan kejaksaan. Karena terlibat dengan beberapa masalah bisnis ilegal yang merugikan negara dan juga lingkungan, Brenda menjadi tahanan istimewa. Dia tidak disatukan dengan tahanan dari kasus pembunuhan, pelecehan atau perampokan.Penjara wanita ini khusus untuk para politikus atau pengusaha seperti Brenda, yang ketahuan melakukan korupsi, atau pencucian uang, atau bisnis ilegal yang mendatangkan kerugian cukup besar bagi negara.Kematian Jude tidak termasuk pembunuhan walau Louis dan Ruby pernah bersikukuh untuk berdebat dengan petugas, menyatakan Brenda membunuhnya. Unsur ketidaksengajaan dan kondisi kejiwaan yang terganggu, adalah pernyataan dari dokter yang mematahkan tuduhan itu. Dan Ashley tidak sanggup berhadapan dengan Ruby setelah itu semua.Sudah berlalu selama berminggu-minggu, ini kali pertama Ashley memberanikan diri mengunjungi Brenda. Bukan berrati dia sudah memaafkannya, tapi karena Ashley ingin
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob