“Sudah ku bilang aku tidak mau periksa lagi.”Edd berusaha melepaskan genggaman Liv saat kekasihnya menyeretnya ke ruang pemeriksaan. Sejak dia mendapatkan hasil positif kanker hati, Edd tidak pernah mengunjungi dokter secara pribadi. Pun ketika panggilan dari rumah sakit berkali-kali masuk ke ponselnya, dia tetap mengabaikannya.Dia pikir semua ini terlalu menyakitkan. Pertama kali mendengar kabar buruk itu saja membuat Edd nyaris jatuh dan dunianya runtuh. Dia tidak berniat untuk mengunjungi dokter lagi sekalipun seharusnya dia ke sana.“Kita sudah di sini, Edd.” Liv membujuk dengan sungguh-sungguh. “Ruby belum siuman, kita masih punya waktu yang luang. Sekali ini saja, please.”“Hasilnya akan tetap sama,” tolak Edd, dia lebih memilih duduk di kursi tunggu. “Mustahil penyakitku bisa sembuh seketika.”“Klise kalau ku bilang tak ada yang mustahil, tapi mencoba tak ada salahnya.”“Ini bukanlah hal yang bisa menghilang begitu saja, Liv. Tak bisa seperti sulap. “Liv menghela nafas, beru
Ruby terbangun sekitar pukul sembilan malam. Kesadaran gadis itu sepenuhnya ada terlebih ketika dia mencium bau aroma desifektan khas rumah sakit yang menyengat hidungnya. Matanya mengerjap, menatap nyalang langit-langit rumah sakit berwarna putih bersih.Setiap jengkal tubuhnya seolah babak belur dihantam oleh kenyataan pahit mengerikan yang nyaris merenggut nyawanya. Bayang-bayang jilatan api mengejarnya, membuat Ruby mulai merasakan nafasnya terasa sesak, monitor pun menunjukkan penurunan detak jantung.Tapi Ruby membujuk dirinya sendiri untuk tetap sadar. Dia memejamkan mata, melihat senyuman Marry yang sedang memberikan bunga matahari untuknya. Senyuman secerah bunga matahari itu membantu Ruby tetap berada dalam kesadaran yang penuh, hingga denyut jantungnya kembali stabil, gadis itu membuka matanya lagi.Dia masih hidup. Itu adalah hal mengesankan karena tak mudah baginya untuk meloloskan diri dari rengkuhan Patricia. Kaki kanannya terasa seperti dibakar oleh api, sangat panas d
Ashley duduk dengan tenang, menunggu di ruang kunjungan penjara khusus tahanan kejaksaan. Karena terlibat dengan beberapa masalah bisnis ilegal yang merugikan negara dan juga lingkungan, Brenda menjadi tahanan istimewa. Dia tidak disatukan dengan tahanan dari kasus pembunuhan, pelecehan atau perampokan.Penjara wanita ini khusus untuk para politikus atau pengusaha seperti Brenda, yang ketahuan melakukan korupsi, atau pencucian uang, atau bisnis ilegal yang mendatangkan kerugian cukup besar bagi negara.Kematian Jude tidak termasuk pembunuhan walau Louis dan Ruby pernah bersikukuh untuk berdebat dengan petugas, menyatakan Brenda membunuhnya. Unsur ketidaksengajaan dan kondisi kejiwaan yang terganggu, adalah pernyataan dari dokter yang mematahkan tuduhan itu. Dan Ashley tidak sanggup berhadapan dengan Ruby setelah itu semua.Sudah berlalu selama berminggu-minggu, ini kali pertama Ashley memberanikan diri mengunjungi Brenda. Bukan berrati dia sudah memaafkannya, tapi karena Ashley ingin
Kepala Ashley terayun-ayun waktu James menggendongnya masuk ke dalam lift. Dia membantu dirinya sendiri untuk semakin mengeratkan tangan yang melingkar di leher James, memposisikan dirinya senyaman mungkin.Ashley sebenarnya sudah bangun waktu James membuka pintu mobil saat mereka sudah tiba di apartemen James. Tapi Ashley terlalu malas untuk bangun, atau dia terlalu merindukan pelukan James yang sepertinya sudah bertahun-tahun tidak menyentuhnya, padahal mereka berpisah baru beberapa minggu.James meletakkan Ashley di kamarnya, memperbaiki posisi bantal dan menyelimuti Ashley. Dia menyibak rambut yang menutupi wajah Ashley, mendapati gadis itu menatapnya dengan tatapan yang teduh namun penuh kesedihan.James menyapukan ibu jarinya di tulang pipi Ashley, sangat lembut, hingga Ashley merasa sangat ingin menangis. Ada rasa bersalah dalam dirinya ketika dia berhadap-hadapan dengan James seperti ini, mengingat semua kata-kata kasar yang sudah dilontarkannya.Buliran bening kembali jatuh m
Ruby memejamkan mata untuk melawan rasa sakit dan mual yang muncul di saat yang bersamaan ketika Ruby mengunyah pil penghilang rasa sakit yang diberikan perawat. Dia meminta untuk diberi suntikan saja, tapi dokter menyarankan untuk diberikan pil dan Ruby akhirnya pasrah daripada tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.Kakinya benar-benar terasa sangat sakit, bahkan ketika digerakkan sedikit saja, Ruby merasa kalau kulitnya seperti dikoyak-koyak. Gadis itu membuka mata, menatap langit-langit ruangannya dengan tatapan kosong.Louis sedang pergi ke luar untuk makan malam karena dia tidak makan sejak Ruby bangun pukul sembilan tadi. Dan sekarang jarum jam sudah menunjukkan angka satu pagi, Ruby harap-harap cemas apakah kantin rumah sakit masih menyediakan makanan untuk Louis.Dia menghela nafas, tiba-tiba mendengar suara pintu terbuka. Ruby setengah bangun, menunggu dengan cemas siapa yang muncul.“Louis, apakah itu kamu?”Tidak ada jawaban, namun Ruby bisa mendengar suara langkah kaki. Ja
Ketika bangun keesokan harinya, Ashley masih mendapati dirinya berada dalam pelukan James. Gadis itu menatap pria yang masih tidur dengan nyenyak itu diam-diam, merasakan jantungnya bergetar tak menentu.Alis James tersusun sangat rapi, dengan warna hitam pekat. Hidungnya pun sangat tinggi dengan tulang rahang tegas yang membingkai wajah. Rasanya, Ashley tak akan pernah bosan menatap wajah James walau hingga seumur hidupnya.Dia menggigit bibir, mengingat keintiman mereka tadi malam. Setelah dibakar oleh hasrat liar yang menggebu-gebu, nyatanya, James masih bisa mengontrol dirinya dan Ashley benar-benar sangat terkesan.Dia sudah mengangguk setuju jika James sudah boleh menyentuhnya dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh para pasangan pada umumnya. Tapi di tengah-tengah hasrat yang memuncak, James mendadak melepaskannya.James tetap bersikukuh bahwa dia akan menyentuh Ashley jika sudah tiba waktunya, jika usianya sudah lebih matang. Sebagai pelepasan, James memilih untuk ber
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob