“Ruby, aku gay.”
Ruby menahan rasa mual kala mengingat pengakuan mantan kekasihnya yang kepergok beradu pedang di apartemen yang keduanya persiapkan untuk masa depan mereka.Ternyata, Ruby hanya dijadikan tameng selama 6 tahun belakangan agar pria itu tak dihakimi keluarga dan lingkungan.Luar biasa!“Are you okay, Ruby?”Ucapan sang sahabat menyadarkan Ruby dari lamunan tentang kejadian beberapa hari lalu.“No. I’m not,” jujur Ruby, “Arden ternyata menyukai laki-laki.”“Selama ini, aku berpikir jika aku sangat menawan, sehingga bisa mempertahankan dia.” Tak peduli keadaan klub yang berisik, entah mengapa tangisan yang ditahan Ruby, keluar juga.“Ternyata aku sama sekali tidak menarik dan dia sama sekali tidak menyukaiku. Aku—”
“Kamu menarik, bestie. Arden saja yang bajingan,” hibur Liv cepat.Dituangnya alkohol dan memberikannya pada Ruby untuk diminum.“Tapi tetap saja aku sakit hati.” Ruby memelas lirih.“Aku tahu ...” Liv harus berhenti bicara saat musik tiba-tiba menyala.“Aku mengerti rasa sakitmu, By. Maka bersenang-senanglah dan lupakan laki-laki itu. Bebaskan dirimu, Ruby,” teriak Liv di telinga Ruby agar dia bisa mendengarnya.“Ayo ikut berdansa.” Liv menari tangannya.Ruby menggeleng cepat.Bagaimana jika dia malah mengacau di sana? Ruby jarang ke klub malam. Lagipula, dia di sini untuk melupakan sejenak Ardeng, bukan untuk menambah masalah.Untungnya, Liv mengerti.
Teman Ruby itu pun turun ke lantai dansa sendirian.
Cukup lama, gadis itu memperhatikan temannnya. Namun, getaran ponsel membuatnya mengalihkan fokus.
Ada banyak sekali notifikasi dari salah satu sosial medianya.Saat membukanya, Ruby rasanya kehilangan napas ... Arden ternyata mengunggah foto dirinya yang sedang berciuman dengan kekasih prianya waktu itu![ Astaga @Ruby, bukankah kamu sudah menjalin hubungan serius dengan Arden? Kenapa bisa berakhir seperti ini? ][ Mereka sepasang kekasih? Astaga @Ruby yang malang. ][ @Ruby, masih ada aku. Menikahlah denganku.][ @Ruby, aku mendukungmu.][ Pengakuan besar-besaran ini membuatku terkejut. Apakah kamu baik-baik saja, @Ruby?]Teman-temannya yang lain mempertanyakan hubungan mereka selama ini. Bahkan, sang ayah tiba-tiba menelponnya!“Apa maksud Arden dalam postingannya itu? Bagaimana denganmu? Apa maksudnya?” teror pria itu dengan rentetan pertanyaan.“Dad, kami sudah putus dan aku harap kalian tidak membahas hal ini lagi kedepannya.”“Apa maksudmu, Nak? Kenapa? Bagaimana dengan pertunangan kalian?”“Semuanya sudah selesai dan tidak ada pertunangan Dad. Tolong beritahu Mom soal ini juga. Maaf kalau kalian harus tahu lewat internet dan bukan dariku sendiri. Aku masih berusaha menenangkan diriku, Dad.”“Astaga, putriku. Apa kamu mau Mom dan Dad datang mengunjungimu?”Ruby menggeleng meski tak dapat dilihat sang ayah. “Aku baik-baik saja Dad. Malah aku sedikit lega setelah hubungan kami berakhir,” bohongnya, “jadi kalian jangan khawatir. Setelah ini, aku akan mencarikan menantu untuk kalian.”“Kami hanya menginginkan kebahagiaanmu, Nak. Soal laki-laki, Mom dan Dad akan bantu mencarikan. Istirahat yang cukup dan bersenang-senanglah di sana. Lupakan laki-laki sialan itu. Dia tidak pantas mendapatkan putriku yang berharga.”Ruby hanya bisa tertawa kecil sebelum sambungan telepon mereka berakhir.Brak!Gadis itu melempar ponselnya ke dalam tas dan langsung menenggak alkohol di depannya sampai habis.Rasanya, dia ingin berteriak keras seorang diri! Namun, dia tak nyaman bila melakukannya di sini.
Melihat Liv yang masih asyik menari, Ruby lantas memutuskan untuk meletakkan beberapa lembar uang di atas meja.
Dipanggilnya pelayan yang tak jauh darinya untuk menyampaikan pada Liv jika dia harus pergi dari sana.
Untungnya, sebuah taksi lewat begitu Ruby berhasil membelah lautan manusia untuk keluar dari klub.
“Pak. Tolong antar saya ke pantai terdekat …,” ucapnya kala berhasil mencegatnya.
Jadi, begitulah kisah Ruby, hingga dia berada di pantai pasar pantai putih saat ini.
Melepas siletonya, gadis itu menyusuri garis pantai seorang diri.
Tak dia pedulikan angin malam yang berhembus menembus dress pendeknya atau kaki telanjangnya.
Emosinya sedikit pulih.
Hanya saja, teriakan seorang laki-laki membuat Ruby nyaris melompat. “Ahh!!! Siapa yang menginjakku?!”
Gadis itu lantas mundur kala menyadari jika kakinya telah menginjak kaki laki-laki paruh baya yang sedang terlentang di atas pasir.“Maafkan aku,” ujarnya tulus. “Aku tidak melihatmu, Tuan.”
Namun, laki-laki berusia setidaknya empat puluhan itu justru berdiri dengan sempoyongan. “Apa katamu?”Bau alkohol yang menguar membuat Ruby mencoba menyingkir dari sana. Sayangnya, laki-laki itu tidak meloloskannya begitu saja.
Dia menarik tangan Ruby dengan kasar dan memegangnya erat.“Lepaskan aku!” teriak Ruby.Dia juga berusaha melepas genggaman laki-laki mabuk itu dengan sekuat tenaga.Melihat kesempatan, dia pun berlari. Hanya saja, dia terus dikejar.“Hei, kamu punya kekasih? Butuh seseorang untuk menemanimu? Malam ini aku tidak akan pulang agar dia tidak bisa menceramahiku. Ayo pesan hotel, Sayang.”“Aish, kenapa malah seperti ini? Aku ke sini untuk mencari ketenangan, malah seperti ini,” gerutu Ruby dalam hati.Lebih baik, dia diam dan duduk di klub malam saja tadi. Setidaknya, dia tidak berlari sampai lelah seperti ini.Paling hanya mengorbankan indra pendengarannya karena musik yang hingar-bingar.Ruby terus berlari, hingga....
Bugh!Dia tak sengaja menabrak seorang pria dengan tubuh menjulang.Ruby hampir saja jatuh jika pria itu tak menangkap tubuhnya dalam pelukan.“Tolong aku…” Panik, membuat Ruby memohon pada pria asing di hadapannya.Untungnya, dia segera menempatkan Ruby ke belakang tubuh seolah sedang melindunginya.“Berhenti di sana!” Suara baritonnya yang begitu mendominasi membuat sang laki-laki mabuk terhenyak.“Enyah dari sini atau kamu akan menerima konsekuensinya setelah bangun besok,” perintahnya lagi.“Kenapa? Mau menuntutku? Memangnya pantai ini milik nenek moyangmu?”“Aku bisa menjebloskanmu saat ini juga ke dalam penjara.”Pria penyelamat Ruby itu mendekati si pemabuk dan menatapnya dengan dingin.Entah apa yang terjadi, laki-laki mabuk itu langsung ketakutan saat mengenali pria di hadapannya.Dia adalah Louis, atasannya di kantor! Dan pantai ini ... memang masih bagian dari resort milik turun-temurun dari Louis!“Maaf, Tuan. Aku tadi tidak mengenalimu,” paniknya menundukkan tubuh di hadapan Louis, "Maafkan aku."“Pergilah!”“Ba-baik Tuan.”Seketika, pria pengganggu itu pun pergi.Meksi bingung, akhirnya Ruby bisa bernafas lega.
“Kamu baik-baik, saja?”Suara bariton sang penyelamat membuat Ruby mendongakkan wajahnya untuk melihat jelas wajahnya.Di bawah sinar bulan yang keemasan, dia bisa melihat garis wajah tegas terpahat di sana.Ruby menelan ludahnya sendiri. ‘Tampan sekali!’“Halo?”“Ya. Aku baik-baik saja. Thanks sudah membantuku,” jawab Ruby setelah berhasil menenangkan diri.Hanya saja, dia sadar pria tampan di depannya ini tampak mengamati penampilan Ruby, juga sepatu yang masih menggantung di tangannya.“Jangan salah paham. Aku ke sini sebenarnya untuk menenangkan diri, bukan untuk hal lain yang mungkin terlintas di pikiranmu.”Ck!Ini semua salah Liv. Sahabatnya itulah yang memaksa Ruby berpakaian seperti ini dengan dalih untuk melepas penatnya. Namun, wanita itu bukannya menemaninya bicara malah asyik sendiri menikmati dunianya di klub malam.“Menenangkan diri?” Pria itu mengernyit, “apa kamu mabuk?”“Aku hanya minum beberapa gelas. Mungkin dua tiga gelas. Tidak sampai satu botol jadi aku tidak mabuk.”Ruby lantas menjatuhkan sepatunya tepat di sampingnya lalu duduk di atas hamparan pasir putih yang lembut.“Oh, iya. Namaku Ruby.” Dia mengulurkan tangannya, “Ruby Estella.”Pria di depannya itu tampak ragu sebelum akhirnya menjabat tangan Ruby. “Lou
Merasa bahaya, Ruby mencoba menolak. Didorongnya tubuh Louis yang menghimpitnya. Namun, kedua tangan Louis langsung meraih dan menyatukan kedua tangannya ke atas kepala gadis itu. “Emmph….” Louis kembali mencecap bibir Ruby dengan penuh hasrat. Sentuhan Louis membuat Ruby hilang kendali. Mungkin juga karena alkohol yang diteguknya di klub sebelumnya? Di sisi lain, Louis--yang merasa Ruby tak lagi menolak--melepaskan tangan Ruby hingga kedua tangan wanita itu bergerak ke pinggangnya. Telapak tangannya menyentuh wajah Ruby, membelainya sebelum kemudian bergerak menyugar rambut Ruby yang masih lembab. “Ruby, bolehkah aku...?” Bola mata Louis menjelajahi tubuh Ruby yang akhirnya mengangguk pelan. Dalam hitungan detik, Ruby sudah berada dalam pelukan Louis yang membawanya ke luar dari kamar mandi dan meletakkannya di atas ranjang. Tangan Ruby menahan tubuh Louis yang menjulang di atasnya. Tubuh gadis itu bergetar gugup. Dia tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya dengan laki
Jujur, Louis tidak pernah terpikir jika dia kelak akan berkenalan dengan wanita yang baru saja ditemuinya. Biasanya, dia akan menghindar terlebih karena dia tahu wanita-wanita yang mendekatinya hanya memanfaatkan ketenaran dan uang yang dimilikinya. Namun, Ruby berbeda. Dia sepertinya tidak mengenalinya sebagai Winston, sosok turun temurun yang memiliki dinasti perusahaan perhotelan terbesar di negeri ini. Louis sekali lagi menatap sepanjang garis pantai milik keluarganya tersebut setelah dia sudah memakai kembali pakaiannya. Dia duduk sebentar di kursi rotan, masih berharap jika Ruby akan kembali. Hanya saja, pria itu tiba-tiba ingat tentang tujuan awalnya datang ke pantai! Louis lantas merogoh kantong jasnya dan mengeluarkan sebuah cincin berlian.“Aku pikir sekarang waktunya aku melepaskannya."Dua tahun sejak pernikahan wanita yang dicintainya, Louis akhirnya merasa yakin tak ingin terikat selamanya.Terlebih, dia menemukan sosok Ruby yang mampu memutarbalikkan prinsipnya.Lo
Sementara itu, Ruby yang jadi sumber kegelisahan dua pria tadi, kini merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar. Dia tengah kembali mengingat semua yang sudah dilakukannya tadi malam bersama Luois. Louis begitu memikat sampai-sampai dia lupa betapa mengenaskannya kisah cintanya yang sudah berakhir. Untung saja, ini akhir pekan jadi dia bisa menghindari berondongan pertanyaan yang pasti akan diajukan teman-teman kerjanya. Namun, semalam itu merupakan malam terbaik bagi Ruby. Seperti memiliki magisnya sendiri, setiap detik yang dia lewati bersama Luois memiliki sisi positifnya. Setidaknya dia bisa melupakan Arden untuk sementara waktu. Bersama Louis, dia tidak ingat jika dia baru saja gagal bertunangan!“Dan dia benar-benar sangat tampan.” Tanpa sadar, Ruby tersenyum. Tubuhnya kembali dialiri hawa panas saat mengingat betapa lihainya Louis menguasai dirinya. Mereka bahkan melakukan hubungan itu bukan hanya sekali, namun tiga kali sepanjang malam. Dan kenyataan jika Louis
Wajah Ruby memerah saat Liv bertanya soal pengaman. Tadi malam dia tidak terlalu memperhatikan hal lain selain tubuh Luois. Matanya hanya terfokus pada pria itu seolah dia terhipnotis.Namun, dia ingat-ingat kalau tadi malam Louis menggunakan sesuatu di tengah-tengah permainan panas itu. Seharusnya, dia menggunakannya, kan?Ruby melirik sekelilingnya untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. Kemudian dia berbisik, “Aku rasa dia menggunakannya.”“Aku rasa?" Liv berdecak. "Kamu tidak melihat dengan jelas dia menggunakannya?”Ruby salah tingkah. Dia berdehem, lalu menatap Liv lagi. “Tidak. Malah aku tidak terpikir tentang hal itu.”Liv terbelalak. Dia tidak tahu harus mengatakan apa saking merasa shock dengan pengakuan polos Ruby. "Ruby, itu poin penting ketika kamu melakukannya dengan pria. Tidak lucu jika dua bulan lagi kamu mendapati dirimu tengah...” Liv melirik sekitarnya lagi. “Hamil!”Hamil?Ruby langsung bergidik mendengar kata hamil yang dilontarkan L
“Ke mana kita sekarang?” Setelah puas, Liv membereskan barang-barangnya dan menjejalkannya ke dalam tas setelah mereka terlalu lama menghabiskan waktu di coffe shop.Tatapan para pelayan coffe shop pada mereka sudah cukup menjadi sinyal jika mereka harus segera angkat kaki. Biasanya keduanya tidak melakukan hal itu, seperti sengaja duduk berlama-lama demi menikmati layanan wifi gratis. Mereka hanya punya banyak hal yang harus dibahas dan dibicarakan, namun mereka lupa jika waktu yang mereka gunakan cukup banyak.Ruby menyandang tas dan jaketnya. “Nanti saja kita bicarakan. Kita harus segera keluar dari sini.”Liv mengikuti Ruby keluar dari coffe shop. Keduanya tertawa cekikikan saat mengingat bagaimana para staff sengaja lalu lalang lewat di samping mereka untuk sekedar mengingatkan waktu. Setelah menyadari jika mereka memang sudah duduk di sana selama hampir tiga jam, Ruby seketika merasa bersalah. Di luar sedang turun hujan dengan lebat. Orang-orang banyak memadati coffe shop h
Louis menatap lautan lepas di hadapannya, menunggu matahari menghilang di ufuk barat. Cahaya keemasannya dan suara-suara burung laut yang hendak kembali ke sarang masing-masing membuat suasana semakin hangat dan menenangkan. “Masih menunggunya di sini?” Edd menyusulnya, berdiri di samping Louis dengan kedua tangan diselipkan ke saku celana.Louis tidak menyahut. Dia menyisir seluruh pantai itu, berharap diantara puluhan orang yang memenuhi pantai, Ruby-lah salah satunya. Namun selama satu jam berada di sana, dia tidak menemukan sosok wanita yang dicarinya.“Mungkin dia turis,” Edd membuka kaca mata hitam yang menggantung di hidungnya yang tinggi. “Bukankah dia bilang dia baru saja mengetahui perselingkuhan kekasihnya? Bisa jadi sebenarnya dia berasal dari luar kota dan datang ke sini hanya untuk melihat kebenaran tentang kekasihnya. Karena dari berapa orang yang bernama Ruby yang sudah diselidiki, tidak ada satu pun mengarah ke ciri-ciri yang kamu sebutkan.”“Kamu sudah memeriksa s
Ruby hanya diam saat mendengar perintah pemecatannya dan menunggu hingga Dick keluar meninggalkan mejanya. Saat Ruby memungut pulpennya yang rusak, teman-temannya yang lain mengerumuninya.“Ruby, kamu baik-baik saja?”“Astaga By. Dick si Gempal memecatmu, kamu yakin tidak apa-apa?”“Bagaimana dengan proyek novel barumu?”Ruby hanya mendesah mendengar pertanyaan demi pertanyaan dari teman-teman kerjanya. Ruby tersenyum.“Semuanya akan baik-baik saja.”Dia membereskan barang-barang miliknya. Toh dia memang tidak betah lagi bekerja di sana sejak Dick menjadi atasannya. Walau perusahaan ini memberinya banyak hal, termasuk kenangan berharga yang tidak bisa dibelinya, keberadaan Dick membuatnya tidak ingin berlama-lama lagi di sana. Selama lima tahun bekerja di Quantum Media, Dick-lah satu-satunya penghalang yang berbahaya.Dengan santai Ruby meninggalkan perusahaan setelah membuat laporan resmi ke ruangan HRD. Dia sepakat akan tetap menyelesaikan naskah yang sedang dikerjakannya dan men
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob