Ruby hanya diam saat mendengar perintah pemecatannya dan menunggu hingga Dick keluar meninggalkan mejanya.
Saat Ruby memungut pulpennya yang rusak, teman-temannya yang lain mengerumuninya.“Ruby, kamu baik-baik saja?”“Astaga By. Dick si Gempal memecatmu, kamu yakin tidak apa-apa?”“Bagaimana dengan proyek novel barumu?”Ruby hanya mendesah mendengar pertanyaan demi pertanyaan dari teman-teman kerjanya. Ruby tersenyum.“Semuanya akan baik-baik saja.”Dia membereskan barang-barang miliknya. Toh dia memang tidak betah lagi bekerja di sana sejak Dick menjadi atasannya.Walau perusahaan ini memberinya banyak hal, termasuk kenangan berharga yang tidak bisa dibelinya, keberadaan Dick membuatnya tidak ingin berlama-lama lagi di sana.Selama lima tahun bekerja di Quantum Media, Dick-lah satu-satunya penghalang yang berbahaya.Dengan santai Ruby meninggalkan perusahaan setelah membuat laporan resmi ke ruangan HRD. Dia sepakat akan tetap menyelesaikan naskah yang sedang dikerjakannya dan mengirimnya lewat email.Pihak perusahaan mengatakan dia tetap akan mendapat kredit dan komisi atas novelnya seperti biasa.Karena ini perintah Dick secara langsung, perusahaan juga tidak bisa menahan Ruby walau mereka berat hati melepas wanita bertalenta itu.[Liv, apa kamu sibuk?]Ruby duduk sendirian di taman. Hari masih siang, tapi dia yang pengangguran tidak memiliki tujuan lain dan berakhir di taman yang hanya dia sendiri yang mendatanginya.Angin musim panas yang kering menerbangkan rambutnya, membuat pearasaan Ruby semakin gerah. Dia menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata untuk sekedar menikmati hari-harinya yang santai.Namun tiba-tiba bayangan Louis terlintas dalam benaknya, membuatnya buru-buru membuka matanya kembali.Ruby mengeluarkan ponselnya, mengetik nama Louis Winston dalam mesin pencarian diinternet.Dia tidak lupa pada Louis. Dia harus berpura-pura karena tahu kelakukan sahabatnya Liv dengan baik. Jika dia memberitahu Louis siapa, maka Liv akan bergegas meneror pria itu dan memberitahu keberadaannya.Apa yang dilakukannya dengan Louis adalah sebuah kesalahan. Dengan dalih melepas stres dan depresinya pasca pengkhianatan Arden, dia melakukan hal terlarang yang tidak seharusnya dia lakukan.Dan sekarang isi kepalanya penuh dengan kenangannya malam itu bersama Louis. Cukup bagus, Ruby tidak menampik jika kenangan satu malam itu mampu membuat rasa sakitnya pada Arden menguap.Namun bukan berarti tindakannya bisa dibenarkan.Apalagi setelah dia mengetahui siapa Luois sebenarnya, dia semakin memantapkan diri untuk tidak bersinggungan dengan pria itu lagi.Setelah mesin pencariannya menampilkan foto-foto Louis, Ruby tidak bisa menahan diri untuk tidak mengecek satu-satu.Dia tersenyum ketika menyadari Louis memang sangat menawan dari segala sudut foto. Dia adalah seorang CEO bisnis perhotelan, namun semua gambarnya ibarat foto model profesional.Jika orang melihatnya, mereka pasti menebak Louis adalah seorang model sungguhan.Percikan hangat kembali mengalir didarahnya ketika tiba-tiba saja dia mengingat bagaimana ahlinya Louis menguasai tubuhnya.Ruby memejamkan matanya.Itu adalah kali pertama dia melakukan hal yang dilakukan pasangan pada umumnya. Namun fakta lucunya adalah, dia dan Louis bukan pasangan.Desahan Ruby berikutnya terdengar lebih dalam. Dia membuka matanya kembali ketika ponselnya berdengung. Ruby melihat, ternyata Liv membalas pesannya.[Sedang bekerja. Ada apa? Apa ada masalah?]Ruby tersenyum, lalu mengetik.[Sepertinya aku harus menumpang padamu selama beberapa hari kedepan.]Dia kembali memejamkan matanya, lalu ponselnya berdengung konstan ketika Liv meneleponnya. Dengan enggan dan malas Ruby mengangkat sambil terus menyandarkan tubuhnya.“Apa yang terjadi? Kamu dipecat?”“Mmm,” gumam Ruby santai.“Bukankah kamu masih mengerjakan beberapa proyek?”“Aku akan menyelesaikannya walau tidak bekerja di sana lagi. HRD dan aku sudah setuju.”“Bajingan itu menyentuhmu lagi?”Ruby mendesah lagi. “Benar. Dan aku benar-benar muak. Aku pikir bagus aku keluar dari sana, tapi tidak melakukan apapun ternyata membuatku sangat bosan.”Ruby mendengar decakan khas Liv dari seberang.“Baiklah. Kita bertemu di cafe buku biasa. Satu jam lagi aku ke sana.”Ruby memasukkan ponselnya kedalam tas dan bergegas pergi. Cafe buku yang dimaksud Liv adalah sebuah cafe kecil yang menyediakan ribuan buku yang bisa dibaca dan dipinjam kapan saja.Ruby dan Liv sudah menjadi anggota tetap sejak mereka kuliah dan mengenal sangat dekat pemilik cafe buku itu.Pria berusia pertengahan dua puluhan itu tersenyum menyambut Ruby ketika dia membuka pintu. Dia adalah James Madison, pemilik cafe sekaligus teman dekat Ruby.Dengan malas Ruby duduk di meja yang biasa ditempatinya. Letaknya di belakang persis dekat dengan rak buku dan bersebelahan langsung dengan dinding kaca.Posisi itu khusus diberikan James padanya dan Liv dan dari sana dia bisa mengamati pejalan kaki yang sedang melintas.“Aku sudah melihat beritanya.” James duduk di depan Ruby yang sedang berpangku tangan melihat jalanan.“Berita apa?" Ruby menatapnya.“Tentang hubunganmu dan Arden.”“Ahh,” Ruby berdecak malas, memilih untuk melipat tangannya di atas meja lalu merebahkan kepalanya. “Aku tidak ingin membahas bajingan itu.”James tertawa kecil. “Aku hanya tidak menyangka jika dia ternyata..” Pria itu berhenti bicara. “Kamu baik-baik saja?”“Kamu tahu aku tidak baik-baik saja. Alih-alih menanyaiku tentang pria itu, kenapa kamu tidak membuatkan segelas kopi saja untukku?” Ruby memberengut.James kembali tertawa, hingga membuat Ruby berdecak dan menatapnya tajam. “Tawamu menghina sekali,” sungutnya lagi.“Rasanya memang lucu dan aneh. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Sungguh.” Lengkungan kecil masih tergambar di wajah James walau dia sudah berusaha menahan dirinya untuk tidak tertawa, membuat Ruby menyipitkan mata mengintimidasinya.“Sudah selesai menghinaku?” tanyanya kesal.“Oke oke, aku salah. Baiklah. Akan ku seduh kopi favoritmu,” seru James sembari beranjak. “Oh iya, di rak tengah ada buku baru. Jika kamu masih memiliki sedikit semangat, kamu bisa melihatnya.”Ruby mengumpulkan kembali semangatnya yang pupus karena dihantam habis oleh Arden dan si gempal menjijikkan Dick.Kedua pria itu benar-benar digarishitamkan Ruby dalam kehidupannya, mengecualikan mereka dari daftar orang yang diharapkannya ada di dunia ini.James memperhatikan Ruby dari kejauhan. Dia suka melihat Ruby membaca buku dengan serius seperti sekarang.Cahaya matahari yang masuk lewat dinding kaca membuat Ruby semakin bercahaya. Rambutnya berubah keemasan karena pantulan sinar dan kulitnya berseri seperti matahari pagi.Dia sangat mengagumkan, batin James.James tidak menampik perasaannya pada Ruby sejak pertama kali wanita itu masuk ke cafenya.James bahkan masih ingat pesanan pertama wanita itu, segelas cappucino hangat dengan taburan bubuk cokelat di atasnya dan camilan donat matcha yang menurut James rasanya seperti rasa rumput ilalang.Namun karena Ruby menyukainya, dia pun berusaha menyesuikan seleranya hingga sama seperti Ruby.Lima tahun sudah James memendam perasaannya sendiri.Ketika Ruby dan Liv memutuskan menjadi anggota tetap di cafenya, dia mengetahui jika ternyata Ruby sudah memiliki kekasih.Sore itu dia melihat pria yang menurutnya sangat jauh dari yang seharusnya bisa Ruby miliki, seorang pria kurus yang wajahnya biasa saja.Ruby tidak pilih-pilih dalam hal mencintai. Wanita luar biasa itu menerima pria kurus itu apa adanya, hingga membuat James semakin jatuh cinta padanya.James menunggu, setahun dua tahun kemudian, namun ternyata hubungan Ruby dan si pria kurus semakin kuat tak terpatahkan.Dan ketika Ruby mengabarinya beberapa minggu lalu jika dia dan pria itu akan bertunangan, dunia James nyaris runtuh.Tapi, sepertinya takdir masih berpihak padanya. Dia mengetahui jika Ruby dan pria itu sudah selesai.Alasannya yang tidak masuk akal membuat James kasihan pada Ruby, namun dia juga tidak menampik jika dia sangat bahagia.“Kamu sungguh-sungguh dipecat?” Liv menatap Ruby yang membaca buku dengan serius.Ruby hanya menganggukkan kepalanya, menyesap kopinya lalu membuka lemaran baru buku yang dipegangnya. “Jadi sekarang apa rencanamu?” tanya Liv lagi.Ruby memilih menutup bukunya. Dia mengamati Liv yang terlihat simpati padanya. Dia bergumam pendek, terlihat menimbang-nimbang. “Aku akan menulis secara independen.”“Lalu karya-karyamu?”“Karena sebelumnya aku sudah menandatangi kontrak dengan Quantum Media, maka karya yang kubuat di sana harus tetap kubagi dengan perusahaan itu. Dan aku juga masih harus mengerjakan dua proyek lagi. Setelah menyelesaikannya, aku akan mulai menulis sendiri.”Liv menyeruput kopinya, mengangguk-angguk setuju. “Kamu masih menggunakan nama samaranmu yang lama? Perusahaanmu tidak keberatan?”“Tidak. Aku tetap bisa menggunakannya, sudah ku bicarakan dengan mereka.”“Ada buktinya?”“Tentu saja.” Ruby tersenyum, mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. “Aku tidak akan melupa
Ruby berjalan perlahan menuju garis pantai. Dia berdiri, mengamati deburan ombak sebentar lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Didera oleh berbagai tuntutan dari Quantum media –dugaan Ruby itu adalah ulah Dick si maniak seks itu, dia nyaris tidak tidur selama dua malam penuh.Kepalanya sakit, lehernya tegang dan sekujur tubuhnya lelah luar biasa. Namun walau lelah, Ruby harus segera menyelesaikan sisa proyek yang dipegangnya. Dia sudah terlanjur menandatangani kontrak dan hal itu digunakan Dick untuk membuatnya kewalahan.Dan berjalan-jalan sebentar di pantai adalah jawaban untuk merilekskan otot-otot tubuhnya yang kaku.Saat matahari sore meninggalkannya dan gelap secara cepat melingkupi, Ruby berjalan pelan diantara pasti-pasir putih yang lembut. Karena memiliki kenangan secara pribadi terhadap pantai ini, Ruby selalu merasa jika Louis berada di sekitarnya.Namun itu mustahil. Mana mungkin pria itu mencarinya?Saat itu, dia tiba-tiba mendengar suara seseorang memanggilnya.“Ruby?”Ru
Terkejut mendapat perlawanan dari Ruby, Louis mematung dan melepaskan tubuh Ruby perlahan-lahan. Dia tersenyum pahit, perlahan mengelus wajahnya. Tidak sakit. Ruby juga tidak mengerahkan tenaga untuk menamparnya.Tapi yang sakit malah berada di dadanya. Dadanya terasa ditusuk oleh ribuan jarum yang membuatnya bahkan bisa merasakan efek tusukan itu hingga ke jemarinya.Namun ini pantas. Bagaimana bisa dia mencium Ruby sesuka hati?Ketika dia menemukan jika wajah Ruby memerah dan bibirnya bengkak, perasaan bersalah menelusup di dada Louis.“Ruby, maafkan aku.”Nafas Ruby tertahan. Pundaknya naik turun menahan emosi yang bergulung-gulung didadanya karena kerinduannya pada Louis dan karena dia tahu Louis sangat jauh di luar jangkauannya.“Ruby...” Louis membelai bibir Ruby yang memerah dan bengkak karena ulahnya. “A-aku tidak berniat seperti itu. Malam itu...”“Jangan bahas apapun lagi tentang malam itu. Tuan Louis, aku harus pergi!” Ruby jelas merasa sangat bersalah. Dia buru-buru berl
“Aku sudah membelikan dua buah tiket.” Liv yang sedang memakai sheet mask duduk di sofa apartemen Ruby. Dia merapikan maskernya sambil terus mengarahkan matanya pada drama komedi yang sedang ditayangkan di televisi.Ruby yang sedang mengetik naskah dilaptopnya mengangkat alis. Dia menghentikan sementara aktivitasnya lalu menoleh. “Tiket?” Dia mengernyit.“Ya. Aku mengambil cuti selama seminggu jadi kita bisa pergi liburan,” sahut Liv santai.“Liburan?” Ruby lebih kaget lagi.“Mmm. Kenapa kamu terlihat kaget? Ini bukan pertama kalinya kamu berlibur.”“Bukan. Tapi untuk apa?” Ruby masih belum mengerti.“Untukmu,” sahut Liv pendek. “Aku tahu kamu masih sedih dan malu dengan kegagalan hubunganmu. Apalagi akhir-akhir ini Arden mengunggah banyak sekali fotonya dengan pria itu dan orang banyak masih membahas dirimu disetiap postingannya. Aku tahu kamu selalu memikirkannya.”“Tidak juga,” gumam Ruby, kembali mengetik di laptopnya. “Ini sudah beberapa bulan dan aku sudah semakin ikhlas. Aku ti
Louis meletakan kunci mobil ke atas tempat kunci yang terbuat dari kayu yang divernis halus. Dengan enggan dia melangkah masuk dan menyalakan lampu di apartemennya. Ketika usianya memasuki dua puluh tiga tahun, Louis memutuskan untuk mandiri dan pindah dari rumah orang tuanya. Dia membeli satu unit apartemen tak jauh dari kantor utama perusahaan dari komisi pertamanya setelah menggantikan Antonio yang sakit kala itu.Dia mengambil sebotol wine dari lemari penyimpanan beserta satu buah gelas dan membawanya ke balkon. Sambil menikmati pemandangan malam kota yang berninar, dia duduk santai di balkon yang terletak di lantai dua puluh dua tersebut. Louis menuang winenya, menyesapnya sedikit lalu angannya kembali terbang.Dia sama sekali tidak bisa melupakan Ruby. Wanita itu bak memiliki pelet yang kuat, yang melekat dan sangat mempengaruhi emosinya. Baginya, Ruby bagaikan dewi yang bisa dia puja setiap saat. Louis memejamkan matanya. Dia mengingat dengan jelas bagaimana ranumnya bibir R
Sementara Liv masih membereskan kartu identitas dan beberapa barang lainnya, Ruby menunduk, menutupi wajahnya dengan rambut panjang menjuntai.Jantungnya berdetak sangat cepat saat mendengar langkah kaki tegap yang melintas dibelakangnya. Ruby menggigit bibirnya pelan. Dia ingin melihat Louis dengan jelas, namun dia tidak punya nyali untuk menoleh.Kebetulan macam apa ini? Ternyata hal-hal seperti ini benar-benar terjadi?Dia datang ke sini untuk melupakan Louis, dia ingin ingatannya berhenti memutar setiap detail kebersamaannya yang singkat dengan pria itu.Ruby ingin bangkit dan melanjutkan hidupnya dengan normal. Siapa yang menyangka liburan kali ini malah membuatnya kembali mengingat siapa Louis?Sementara ketika Louis lewat melewati meja resepsionis, empat orang staff yang sedang melayani beberapa tamu hotel terlihat menundukkan tubuh mereka menyapa Louis. Namun satu hal menarik, tiba-tiba saja Louis mengendus wangi yang sedikit familiar dengan penciumannya. Dia menoleh, namun d
Delapan tahun lalu, musim gugur,Gadis gemuk berbobot sembilan puluhan itu terlihat menyapu halaman belakang bangunan sekolah. Bangunan itu adalah gedung lama yang kini dialihfungsikan sebagai tempat kegiatan ekstrakurikuler.Gadis itu sendirian. Tapi seharusnya dia bersama teman-teman sekelasnya yang lain. Ginny Maueren namanya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu terpaksa membersihkan halaman belakang yang luas seorang diri. Dia tidak mau, namun dia tidak punya pilihan lain.Wajahnya yang berbintik merah, memakai kaca mata minus tebal dan tubuh gemuknya menjadikan dia sebagai objek perisakan oleh teman-teman sekelasnya.Dia menengadah saat pepohonan kembali meruntuhkan daunnya, seolah ikut merisaknya. Sudah setengah jam dia mengerjakan pekerjaan itu dan dia sudah lelah. Ginny memungut daun-daun dengan gontai lalu mengumpulkannya ke tumpukan yang lebih banyak. Saat itu, seorang anak laki-laki sekelasnya melintas tak jauh darinya. Laki-laki itu melempar sebuah permen pada Ginny da
Ruby bergetar, air matanya sulit dikontrol dan mengalir begitu saja. Sepanjang cerita, dia hanya bisa menahan nafas mendengar penuturan Liv. Ini pertama kalinya Liv bicara padanya tentang hari buruknya setelah bertahun-tahun.Ketika Liv bicara, suaranya terdengar lirih namun terkesan tegas. Dan caranya bercerita tanpa meneteskan setetes air matapun membuat hati Ruby semakin tercabik-cabik.Dia bertemu Liv ketika mereka kuliah dan dia sama sekali tidak mengetahui cerita mengerikan dalam kehidupan Liv. Ruby pikir Liv hanya anak pasangan pebisnis sukses dan memiliki kakak laki-laki yang sangat mencintainya.Ruby pikir kehidupan Liv sangat beruntung. Ternyata, ada bagian kelam yang tak pernah diceritakannya pada orang lain.“Liv.” Ruby memeluknya erat. “Kenapa baru mengatakannya sekarang?” isak Ruby lagi.Liv tertawa kecil, mengelus punggung Ruby yang menangis sesenggukan untuknya. “Aku ingin membicarakannya denganmu. Setelah bertahun-tahun dan perasaanku masih buruk, aku ingin menemukan
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob