“Kamu sungguh-sungguh dipecat?” Liv menatap Ruby yang membaca buku dengan serius.
Ruby hanya menganggukkan kepalanya, menyesap kopinya lalu membuka lemaran baru buku yang dipegangnya.“Jadi sekarang apa rencanamu?” tanya Liv lagi.Ruby memilih menutup bukunya. Dia mengamati Liv yang terlihat simpati padanya. Dia bergumam pendek, terlihat menimbang-nimbang. “Aku akan menulis secara independen.”“Lalu karya-karyamu?”“Karena sebelumnya aku sudah menandatangi kontrak dengan Quantum Media, maka karya yang kubuat di sana harus tetap kubagi dengan perusahaan itu. Dan aku juga masih harus mengerjakan dua proyek lagi. Setelah menyelesaikannya, aku akan mulai menulis sendiri.”Liv menyeruput kopinya, mengangguk-angguk setuju. “Kamu masih menggunakan nama samaranmu yang lama? Perusahaanmu tidak keberatan?”“Tidak. Aku tetap bisa menggunakannya, sudah ku bicarakan dengan mereka.”“Ada buktinya?”“Tentu saja.” Ruby tersenyum, mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. “Aku tidak akan melupakan hal penting seperti ini.”“Baguslah.” Liv mengangguk puas. “Aku hanya khawatir si Dick itu menggunakan segala cara untuk menindasmu. Dengan bukti ini, setidaknya dia tidak bisa mengganggu profesimu. Jangan khawatir. Penulis independen juga memiliki banyak kesempatan untuk sukses.” Liv menyakinkannya.“Serius sekali. Kalian membicarakan apa?” James bergabung dengan keduanya.Dia membawa sendiri minuman cola dingin untuknya serta sebuah buku.Buru-buru Ruby meletakkan kopinya kembali setelah melihat buku yang dipegang James, lalu membelalak tak percaya.“Kamu mendapatkan tanda tangannya? Benarkah?” mata Ruby berbinar.“Tentu saja. Aku sudah berjanji padamu untuk mendapatkan tanda tangan penulis favoritmu itu. Tentu saja akan ku wujudkan.”“Astaga.” Ruby nyaris berteriak, mengelus buku bersampul keemasan itu.Buku itu adalah karya dari penulis kesukaannya, Ellie King.Sejak duduk di bangku sekolah, dia sudah memimpikan jika suatu hari dia bisa mendapatkan tanda tangan Ellie King.Penulis misterius itu begitu piawai menulis novel yang semuanya pasti masuk dalam jajaran best seller. Karena dia jugalah Ruby bercita-cita menjadi seorang penulis, sama seperti Ellie King.James dan Liv tersenyum melihat Ruby terus mengamati tanda tangan Ellie King dengan tinta emas itu. Mendapatkan tanda tangan Ellie King bukan hal yang sulit bagi James. Ellie King adalah temannya, namun karena masalah privasi, temannya melarang James mengatakan siapa dia sebenarnya.Ellie King adalah nama samarannya sehingga tak satu orang pun akan mengenalinya.“Kalau masih butuh, aku akan memintanya lagi,” ujar James santai.“Benarkah? Apa kamu mengenalnya?” tanya Ruby sambil mencondongkan tubuhnya.“Tidak.” James menggeleng, berbohong pada Ruby. “Aku memiliki banyak koneksi, jadi aku bisa mendapatkannya dengan mudah,” kilahnya.Liv yang sedari tadi mengamati buku yang dipegang oleh Ruby meminta untuk membacanya. Dia tertegun ketika membaca sinopsis disampul novel.Novel itu menceritakan kisah seorang gadis berbobot seratus kilogram yang menjadi objek perisakan oleh teman-teman sekolahnya. Diam-diam gadis itu jatuh cinta pada seorang murid paling tampan di sekolahnya, namun kemudian ketahuan oleh teman-temannya yang lain. Dia semakin dirundung, membuat gadis itu meninggalkan sekolah...Cerita itu seperti mengisahkan dirinya sendiri.“Kamu tertarik?” tanya Ruby saat dia melihat Liv membaca serius sinopsis novel tersebut.Liv menggeleng, mengembalikan novel itu pada Ruby. “Hanya penasaran kenapa kamu sangat menyukai penulis ini. Ternyata karyanya memang cukup bagus."“Cukup bagus katamu? Memang sangat bagus.” Ruby nyaris berteriak. “Mengatakan karyanya cukup adalah hal yang menghina,” tegurnya lagi.“Kenapa kamu sangat bersemangat sekali? Bukankah kamu baru saja dipecat?” Liv mengernyit.“Itu tidak ada hubungannya.”“Sepertinya putus dari Arden memberimu nafas baru.” James menimpali. “Kamu memang terlihat bersemangat.”Ruby mendesah. “Jika kamu bertanya padaku sekarang apakah aku masih sakit hati, aku akan menjawab ya padamu. Kamu tahu, menjalin hubungan selama enam tahun itu bukanlah waktu yang sedikit. Aku mencintainya, benar-benar mencintainya setulus hatiku.”Dia melihat kedua orang terdekatnya yang mendengar keluh kesahnya dengan serius. “Hanya saja mungkin takdir tidak memihak padaku.”“Tapi malah bagus kamu mengetahuinya sekarang,” ujar James santai.“Itu sisi positifnya.” Ruby mengangguk membenarkan. “Jika aku mengetahuinya setelah kami bertunangan, entah bagaimana jadinya.”“Bukannya kamu tidak larut dalam kesedihan karena orang lain?” Liv tersenyum mengejeknya.Mata Ruby membulat dan kakinya menendang kaki Liv di bawah meja. James menyadari perubahan rona wajah Ruby.Tadinya ekspresinya pasrah dan santai, namun begitu Liv mengatakan kalimat terakhirnya, mendadak Ruby panik dan wajahnya bersemu merah.Orang lain?“Dia mendekati orang lain segera setelah dia putus dari Arden.” Liv memberi penjelasan pada James tanpa diminta.“Liv, apa yang kamu katakan?” Ruby memberengut kesal. “Bukan James. Itu hanya..” Dia diam, berpikir sebentar. “Hanya kebetulan! Ya, itu hanya kebetulan.”“Kamu memang mencari pelampiasan. Apa salahnya berterus terang? Kita semua sudah dewasa, itu bukan hal yang tabu,” sahut Liv masih dengan nada yang santai.“Jadi kamu benar-benar bertemu pria lain?” James menatapnya gelisah. “Kalian...”“Stop!” Ruby mengangkat jarinya.“Berhenti disana. Aku tidak mau membahasnya. Lagipula dia hanya seseorang yang menumpang lewat dalam kehidupanku.”Pria? Dia bertemu pria lain secepat itu? Walau itu hanya pelampiasan, kenapa dia tidak mencariku saja?James kecewa pada dirinya. Kenapa saja dia selalu selangkah lebih lambat dari orang-orang?Dulu dia selangkah lebih lambat dari Arden, dan sekarang dia selangkah lebih lambat dari pria asing itu.Apakah selamanya akan seperti ini?“Kamu memikirkan apa?” Ruby menyesap kopinya. Dia memiringkan kepalanya menatap James yang termenung.Bahkan saat seperti ini wajahmu sangat bersinar. Ruby, apakah kamu menyadari jika ekspresi ini mematikan? Mau berapa kali lagi kamu membuat jantungku berhenti berdetak?“Aku masih ada pekerjaan lain. Kalian santai saja di sini.”James memilih tidak menjawab pertanyaan Ruby dan beranjak kembali melayani beberapa tamu yang mulai datang memadati cafe.Diam-diam Liv mengikuti kemana James pergi. Dia menelan ludah, menggeleng pelan sambil tersenyum.Mau berapa lama lagi kamu berpura-pura? Hanya Ruby yang bodoh di sini sehingga kamu bisa membohonginya. Aku tahu kamu sangat menyukai Ruby, James. Berhentilah berpura-pura!***“Kenapa kita ke sini lagi?” Edd tidak percaya ketika dia bangun tahu-tahu dia sudah di pantai yang sama dengan yang dia datangi belakangan ini. “Seharusnya aku tidak tertidur ketika kamu mengemudi,” sungutnya lagi.Louis tidak menyahut. Dia berdiri di batas garis pantai, menyaksikan ombak memecah pelan dan berubah menjadi buih-buih putih yang tertinggal dipasir halus.Matahari akan terbenam. Sungguh pemandangan yang sangat indah.“Dia mungkin tidak akan kembali.” Edd bergumam di sampingnya. “Sudah hampir dua minggu kita terus menerus kesini tanpa hasil yang positif. Dia tidak ada dimana pun, bahkan aku mulai ragu apakah kamu benar-benar bertemu dia atau tidak.”“Kamu menganggapku gila?” Louis meliriknya tajam.“Tentu saja tidak. Aku hanya ragu apakah saat itu kamu sedang mabuk berat atau tidak.”“Aku memang minum, tapi tidak terlalu mabuk...”“Artinya kamu mabuk!” potong Edd cepat. “Ayolah Lou, bisakah kamu hitung berapa jam yang kita habiskan di sini?”“Kalau tidak mau, kenapa mengikutiku?” Louis meradang.Edd mendesah. Louis memang agak gila dalam hal ini dan ini kali pertama Edd melihat Louis seperti ini. Bahkan ketika Angela meninggalkannya, dia tidak pernah menyia-nyiakan waktu seperti yang dia lakukan sekarang.Saat wanita itu meninggalkannya, Louis tidak berusaha mencari atau mengejar penerbangannya. Dia hanya menghabiskan waktunya berada dalam ruang kerjanya, menyibukkan diri dengan puluhan proyek dan setumpuk pekerjaan lainnya.Dan sekarang, dia bersedia menyia-nyiakan waktunya yang berharga hanya karena seorang wanita yang tidak tahu keberadaannya di mana?!"Ruby!"
Teriakan seorang wanita membuat Edd sontak menolehkan kepala. Jangan-jangan, itu Ruby-Ruby yang membuat Louis gila?!
Ruby berjalan perlahan menuju garis pantai. Dia berdiri, mengamati deburan ombak sebentar lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Didera oleh berbagai tuntutan dari Quantum media –dugaan Ruby itu adalah ulah Dick si maniak seks itu, dia nyaris tidak tidur selama dua malam penuh.Kepalanya sakit, lehernya tegang dan sekujur tubuhnya lelah luar biasa. Namun walau lelah, Ruby harus segera menyelesaikan sisa proyek yang dipegangnya. Dia sudah terlanjur menandatangani kontrak dan hal itu digunakan Dick untuk membuatnya kewalahan.Dan berjalan-jalan sebentar di pantai adalah jawaban untuk merilekskan otot-otot tubuhnya yang kaku.Saat matahari sore meninggalkannya dan gelap secara cepat melingkupi, Ruby berjalan pelan diantara pasti-pasir putih yang lembut. Karena memiliki kenangan secara pribadi terhadap pantai ini, Ruby selalu merasa jika Louis berada di sekitarnya.Namun itu mustahil. Mana mungkin pria itu mencarinya?Saat itu, dia tiba-tiba mendengar suara seseorang memanggilnya.“Ruby?”Ru
Terkejut mendapat perlawanan dari Ruby, Louis mematung dan melepaskan tubuh Ruby perlahan-lahan. Dia tersenyum pahit, perlahan mengelus wajahnya. Tidak sakit. Ruby juga tidak mengerahkan tenaga untuk menamparnya.Tapi yang sakit malah berada di dadanya. Dadanya terasa ditusuk oleh ribuan jarum yang membuatnya bahkan bisa merasakan efek tusukan itu hingga ke jemarinya.Namun ini pantas. Bagaimana bisa dia mencium Ruby sesuka hati?Ketika dia menemukan jika wajah Ruby memerah dan bibirnya bengkak, perasaan bersalah menelusup di dada Louis.“Ruby, maafkan aku.”Nafas Ruby tertahan. Pundaknya naik turun menahan emosi yang bergulung-gulung didadanya karena kerinduannya pada Louis dan karena dia tahu Louis sangat jauh di luar jangkauannya.“Ruby...” Louis membelai bibir Ruby yang memerah dan bengkak karena ulahnya. “A-aku tidak berniat seperti itu. Malam itu...”“Jangan bahas apapun lagi tentang malam itu. Tuan Louis, aku harus pergi!” Ruby jelas merasa sangat bersalah. Dia buru-buru berl
“Aku sudah membelikan dua buah tiket.” Liv yang sedang memakai sheet mask duduk di sofa apartemen Ruby. Dia merapikan maskernya sambil terus mengarahkan matanya pada drama komedi yang sedang ditayangkan di televisi.Ruby yang sedang mengetik naskah dilaptopnya mengangkat alis. Dia menghentikan sementara aktivitasnya lalu menoleh. “Tiket?” Dia mengernyit.“Ya. Aku mengambil cuti selama seminggu jadi kita bisa pergi liburan,” sahut Liv santai.“Liburan?” Ruby lebih kaget lagi.“Mmm. Kenapa kamu terlihat kaget? Ini bukan pertama kalinya kamu berlibur.”“Bukan. Tapi untuk apa?” Ruby masih belum mengerti.“Untukmu,” sahut Liv pendek. “Aku tahu kamu masih sedih dan malu dengan kegagalan hubunganmu. Apalagi akhir-akhir ini Arden mengunggah banyak sekali fotonya dengan pria itu dan orang banyak masih membahas dirimu disetiap postingannya. Aku tahu kamu selalu memikirkannya.”“Tidak juga,” gumam Ruby, kembali mengetik di laptopnya. “Ini sudah beberapa bulan dan aku sudah semakin ikhlas. Aku ti
Louis meletakan kunci mobil ke atas tempat kunci yang terbuat dari kayu yang divernis halus. Dengan enggan dia melangkah masuk dan menyalakan lampu di apartemennya. Ketika usianya memasuki dua puluh tiga tahun, Louis memutuskan untuk mandiri dan pindah dari rumah orang tuanya. Dia membeli satu unit apartemen tak jauh dari kantor utama perusahaan dari komisi pertamanya setelah menggantikan Antonio yang sakit kala itu.Dia mengambil sebotol wine dari lemari penyimpanan beserta satu buah gelas dan membawanya ke balkon. Sambil menikmati pemandangan malam kota yang berninar, dia duduk santai di balkon yang terletak di lantai dua puluh dua tersebut. Louis menuang winenya, menyesapnya sedikit lalu angannya kembali terbang.Dia sama sekali tidak bisa melupakan Ruby. Wanita itu bak memiliki pelet yang kuat, yang melekat dan sangat mempengaruhi emosinya. Baginya, Ruby bagaikan dewi yang bisa dia puja setiap saat. Louis memejamkan matanya. Dia mengingat dengan jelas bagaimana ranumnya bibir R
Sementara Liv masih membereskan kartu identitas dan beberapa barang lainnya, Ruby menunduk, menutupi wajahnya dengan rambut panjang menjuntai.Jantungnya berdetak sangat cepat saat mendengar langkah kaki tegap yang melintas dibelakangnya. Ruby menggigit bibirnya pelan. Dia ingin melihat Louis dengan jelas, namun dia tidak punya nyali untuk menoleh.Kebetulan macam apa ini? Ternyata hal-hal seperti ini benar-benar terjadi?Dia datang ke sini untuk melupakan Louis, dia ingin ingatannya berhenti memutar setiap detail kebersamaannya yang singkat dengan pria itu.Ruby ingin bangkit dan melanjutkan hidupnya dengan normal. Siapa yang menyangka liburan kali ini malah membuatnya kembali mengingat siapa Louis?Sementara ketika Louis lewat melewati meja resepsionis, empat orang staff yang sedang melayani beberapa tamu hotel terlihat menundukkan tubuh mereka menyapa Louis. Namun satu hal menarik, tiba-tiba saja Louis mengendus wangi yang sedikit familiar dengan penciumannya. Dia menoleh, namun d
Delapan tahun lalu, musim gugur,Gadis gemuk berbobot sembilan puluhan itu terlihat menyapu halaman belakang bangunan sekolah. Bangunan itu adalah gedung lama yang kini dialihfungsikan sebagai tempat kegiatan ekstrakurikuler.Gadis itu sendirian. Tapi seharusnya dia bersama teman-teman sekelasnya yang lain. Ginny Maueren namanya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu terpaksa membersihkan halaman belakang yang luas seorang diri. Dia tidak mau, namun dia tidak punya pilihan lain.Wajahnya yang berbintik merah, memakai kaca mata minus tebal dan tubuh gemuknya menjadikan dia sebagai objek perisakan oleh teman-teman sekelasnya.Dia menengadah saat pepohonan kembali meruntuhkan daunnya, seolah ikut merisaknya. Sudah setengah jam dia mengerjakan pekerjaan itu dan dia sudah lelah. Ginny memungut daun-daun dengan gontai lalu mengumpulkannya ke tumpukan yang lebih banyak. Saat itu, seorang anak laki-laki sekelasnya melintas tak jauh darinya. Laki-laki itu melempar sebuah permen pada Ginny da
Ruby bergetar, air matanya sulit dikontrol dan mengalir begitu saja. Sepanjang cerita, dia hanya bisa menahan nafas mendengar penuturan Liv. Ini pertama kalinya Liv bicara padanya tentang hari buruknya setelah bertahun-tahun.Ketika Liv bicara, suaranya terdengar lirih namun terkesan tegas. Dan caranya bercerita tanpa meneteskan setetes air matapun membuat hati Ruby semakin tercabik-cabik.Dia bertemu Liv ketika mereka kuliah dan dia sama sekali tidak mengetahui cerita mengerikan dalam kehidupan Liv. Ruby pikir Liv hanya anak pasangan pebisnis sukses dan memiliki kakak laki-laki yang sangat mencintainya.Ruby pikir kehidupan Liv sangat beruntung. Ternyata, ada bagian kelam yang tak pernah diceritakannya pada orang lain.“Liv.” Ruby memeluknya erat. “Kenapa baru mengatakannya sekarang?” isak Ruby lagi.Liv tertawa kecil, mengelus punggung Ruby yang menangis sesenggukan untuknya. “Aku ingin membicarakannya denganmu. Setelah bertahun-tahun dan perasaanku masih buruk, aku ingin menemukan
“Kenapa kamu sibuk sekali?” Ruby bergumam sementara kedua bolanya matanya yang berat masih tertutup. Dia mendengar suara gemerasak dan tak bisa menahan diri untuk tidak bangun. Dia melihat Liv tengah siap-siap, mengenakan jaket tebal dan sepatu ankle boots hitamnya. Ruby mengernyit, setengah bangun dia memperhatikan Liv lagi.“Kamu akan keluar? Ini baru pukul berapa?”“Aku ingin menyaksikan matahari terbit.” Liv tersenyum padanya. “Jangan khawatir. Aku akan pergi sendirian. Aku tahu kamu menyelesaikan naskahmu hingga menjelang pagi jadi aku tidak akan mengajakmu ikut serta.”“Kamu pergi sendirian? Bukankah itu akan berbahaya?” Ruby tampak keberatan. “Begini saja. Aku akan menemanimu.”“Jangan.” Liv menahan tubuh Ruby ketika dia hendak turun dari tempat tidur. “Kamu butuh istirahat yang cukup agar kita bisa menjelajahi daerah ini nanti. Aku sudah pernah kesini sekali jadi aku tahu jalan disekitar pulau ini.”“Benarkah?”Liv mengangguk, meminta Ruby kembali tidur dan menyelimutinya. “K
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob