“Kenapa kamu sibuk sekali?” Ruby bergumam sementara kedua bolanya matanya yang berat masih tertutup. Dia mendengar suara gemerasak dan tak bisa menahan diri untuk tidak bangun. Dia melihat Liv tengah siap-siap, mengenakan jaket tebal dan sepatu ankle boots hitamnya. Ruby mengernyit, setengah bangun dia memperhatikan Liv lagi.“Kamu akan keluar? Ini baru pukul berapa?”“Aku ingin menyaksikan matahari terbit.” Liv tersenyum padanya. “Jangan khawatir. Aku akan pergi sendirian. Aku tahu kamu menyelesaikan naskahmu hingga menjelang pagi jadi aku tidak akan mengajakmu ikut serta.”“Kamu pergi sendirian? Bukankah itu akan berbahaya?” Ruby tampak keberatan. “Begini saja. Aku akan menemanimu.”“Jangan.” Liv menahan tubuh Ruby ketika dia hendak turun dari tempat tidur. “Kamu butuh istirahat yang cukup agar kita bisa menjelajahi daerah ini nanti. Aku sudah pernah kesini sekali jadi aku tahu jalan disekitar pulau ini.”“Benarkah?”Liv mengangguk, meminta Ruby kembali tidur dan menyelimutinya. “K
“Beruntung sekali wanita yang menjadi cinta pertamamu itu. dia bisa menempel dalam memorimu hingga masa sekarang,” sahut Liv.Edd tersenyum. “Tapi aku mengacaukannya.”“Kalian putus?”“Tidak.” Edd tertawa pahit. “Kami bahkan belum memulainya.”“Jadi kamu meninggalkannya?”“Dia yang meninggalkanku," gumam Edd. “Aku bukan pilihan terbaiknya dan dia pergi begitu saja.”Bagus sekali. Kamu memang layak menerimanya. Jika memungkinkan dan Tuhan mendengar, sendirilah selama-lamanya. Enyahlah dari muka bumi ini tanpa merepotkan orang lain.“Ah, aku bicara sangat banyak.” Edd terlihat canggung. "Baiklah, Liv.” Edd menghela nafasnya. “Kamu masih mau disini? Aku ada urusan penting hari ini jadi aku harus segera turun.”“Turun saja lebih dulu. Aku masih ingin sendirian disini.”Nada bicaranya sedikit mengusir dan Edd tahu jika dia sudah mengganggu waktu Liv. Itu sebabnya Edd tak lagi bicara banyak dan langsung menuruni bukit setelah melambaikan tangannya pada Liv. Liv langsung terjatuh begitu Ed
“Aku pikir malah tidak akan bisa menenangkan diri disini.” Ruby menatap Liv. “Aku bertemu Louis tadi.”“Kamu juga bertemu pria yang tidak ingin kamu temui?” Liv berdecak.“Benar. Aku sudah berusaha mengendap-endap dan menghindarinya, tahu-tahu ketika aku turun, dia malah sudah berdiri dihadapanku. Sepertinya dia sudah melihatku sekilas. Itu sebabnya dia langsung menemuiku.”Liv menarik nafasnya panjang. Mereka kembali diam saat pelayan datang menyajikan makanan untuk sarapan. Keduanya sama-sama memilih hidangan mie rebus yang dipadukan dengan aneka seafood khas penduduk lokal. “Silahkan dinikmati,” kata pelayan, dan keduanya sama-sama mengangguk ramah.Liv mengaduk mienya yang langsung mengepulkan asap tipis. “Katakan, apa rencanamu sekarang,” ujarnya.“Aku? kenapa denganku?”“Kamu sudah bertemu pria itu. Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”“Tidak ada.” Ruby mengunyah mienya dengan santai. “Aku yakin dia tidak akan melepaskanmu begitu saja.”“Dia tidak punya hak untuk menahank
“Kamu menyukainya atau hanya sekedar penasaran padanya?” tanya Edd dalam kamar hotel mereka setelah acara peresmian hotel usai. Keduanya duduk di sofa, menyandarkan tubuh dan menaikkan kaki ke atas meja untuk sedikit membuat otot-otot mereka rileks.“Jika aku mengatakan aku menyukainya, apa kamu percaya?” Louis balik bertanya.“Tidak, tentu saja.” Edd tersenyum mengejek. “Siapa yang tidak bisa lepas dari Angela selama dua tahun? Mustahil posisi Angela bisa disingkirkan oleh wanita yang bahkan kamu sendiri tidak kenal siapa.”“Tapi aku benar-benar menyukainya, Edd.” Louis menegakkan tubuhnya, menggunakan nada yang lebih antusias untuk meyakinkan Edd. “Kamu tahu, sejak aku melihatnya malam itu, aku sama sekali tidak mengingat Angela. Semua kenangan kami tergerus dan menguap begitu saja.”“Begitu saja?” Edd menaikkan alisnya, masih tidak percaya.“Bukankah kamu sudah melihat kesungguhanku? Aku mencarinya kemana-mana, bahkan setelah dia menolakku, perasaanku tak berubah. Pikirmu kenapa ak
Louis memilih duduk di sofa. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Di atas meja terdapat satu buah laptop. Ternyata mereka juga bekerja disini, bukan hanya berlibur, gumam Louis. Louis berdiri karena jantungnya tidak nyaman. Dia merasa sangat gugup bertemu Ruby, mungkin karena apa yang mereka lakukan malam itu, mungkin juga karena penolakan Ruby terakhir kali mereka bertemu.“Air panasnya habis. Jadi aku membilas kepalaku dengan air dingin dan sekarang aku kedinginan.” Louis menoleh ketika mendengar suara Ruby. Ruby berjalan keluar dari kamar mandi dengan posisi menunduk. Dia sedang melilitkan handuk ke rambutnya dan begitu dia berdiri tegak, dia nyaris terjengkang melihat Louis sudah ada dalam kamar, sedang berdiri tegap menatapnya.“Ka-kamu?” Ruby terkejut. “Apa yang kamu lakukan? Dimana Liv?”“Sahabatmu itu turun ke bawah untuk minum kopi," sahut Louis, berusaha tetap tenang.Sudah kuduga dia akan melakukan ini padaku, gumam Ruby. Dia mendesah, tiba-tiba menyadari jik
“Ini yang kamu katakan tempat bagus untuk makan?”Ruby menatap bangunan di hadapannya. Itu bukanlah sebuah restoran. Bangunan itu lebih mirip sebuah rumah, mungkin semacam penginapan. Ketika berjalan-jalan bersama Liv, keduanya bahkan melewati rumah ini. Apa yang direncanakan Louis padanya?“Aku tidak akan menyakitimu.” Louis tersenyum, seolah bisa membaca kekhawatiran Ruby. “Ini rumah pribadiku. Ketika aku berkunjung kesini, aku biasanya menginap disini.”“Tapi kamu menginap di hotel, bukan di sini," sahut Ruby.“Itu karena Edd tidak setuju kami tinggal disini. Kami perlu mempersiapkan diri untuk acara peresmian gedung hotel yang kami lakukan tadi. Menurut dia, akan lebih efektif jika kami menginap di hotel.”“Oh," sahut Ruby pendek.“Ayo masuk.” “Aku lapar dan aku ingin makan. Kenapa kita kesini?” tolak Ruby.Louis hanya tersenyum. Dia membuka pintu dan mempersilahkan Ruby masuk. Tak punya pilihan, Ruby akhirnya setuju untuk masuk ke rumah yang tak terlalu besar itu. Ketika dia mas
“Keberatan jika aku bertanya sesuatu?”Liv menahan nafas ketika Edd lagi-lagi bicara dengannya. Ya Tuhan, kenapa pria ini harus ada disini sekarang? Kenapa dia tidak ada di tempat lain? Liv tahu bar ini boleh didatangi oleh siapa saja. Dia hanya tidak menyangka jika seorang Edd, pria yang selalu tidak ingin ditemuinya malah berada disampingnya dan yang terburuk, dia bicara pada Liv.“Apa?” sahut Liv dingin.“Kenapa kamu terlihat seperti seseorang yang sedang memiliki masalah yang berat?” tanya Edd, membuat Liv tidak bisa untuk tidak menatapnya.Memang. Aku selalu berbeban berat dan itu karenamu. Aku malah heran kenapa ada manusia sepertimu didunia ini. Setelah apa yang kamu lakukan dalam kehidupanku, kamu bisa duduk santai seperti ini dan masih menyempatkan diri untuk minum. Bukankah kamu seorang bajingan?“Aku tahu aku sedikit lancang. Tapi aku hanya penasaran. Lagipula, kamu benar-benar mengingatkanku pada seseorang.”Liv menarik nafas, mencoba tersenyum lalu menenggak alkoholnya p
Ruby tahu Louis serius. Tapi tetap saja ini terlalu cepat. Hatinya belum sepenuhnya pulih oleh perselingkuhan Arden dan dia belum siap menerima pria lain.Louis baik!Bahkan dari gesturnya saja Ruby tahu jika Louis serius padanya dan dia bukan seperti pria dalam gambaran otaknya selama ini. Ruby hanya merasa jika Louis pantas mendapatkan yang lebih baik darinya.Lagipula, kenyataan jika Louis bersahabat dengan Edd juga melukai batinnya. Bagaimana dia akan menghadapi Liv nanti? Sahabatnya itu sudah sangat menderita. Jika dia memiliki hubungan khusus dengan Louis yang juga sahabat dekat Edd, bisa jadi mereka akan sangat sering bertemu.Memikirkan hal itu saja membuat Ruby sakit hati. “Ruby?”“Louis, maafkan aku.” Ruby berdiri. “Aku rasa aku tidak bisa memberimu kesempatan.”“Kenapa?” Louis ikut berdiri dan mereka kini berhadap-hadapan.“Ada banyak alasan yang tidak bisa ku katakan padamu.” Ruby menatap Louis sendu.“Jadi apa yang kita lakukan dua bulan lalu tidak meninggalkan kesan apa
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob