Ruby tahu Louis serius. Tapi tetap saja ini terlalu cepat. Hatinya belum sepenuhnya pulih oleh perselingkuhan Arden dan dia belum siap menerima pria lain.Louis baik!Bahkan dari gesturnya saja Ruby tahu jika Louis serius padanya dan dia bukan seperti pria dalam gambaran otaknya selama ini. Ruby hanya merasa jika Louis pantas mendapatkan yang lebih baik darinya.Lagipula, kenyataan jika Louis bersahabat dengan Edd juga melukai batinnya. Bagaimana dia akan menghadapi Liv nanti? Sahabatnya itu sudah sangat menderita. Jika dia memiliki hubungan khusus dengan Louis yang juga sahabat dekat Edd, bisa jadi mereka akan sangat sering bertemu.Memikirkan hal itu saja membuat Ruby sakit hati. “Ruby?”“Louis, maafkan aku.” Ruby berdiri. “Aku rasa aku tidak bisa memberimu kesempatan.”“Kenapa?” Louis ikut berdiri dan mereka kini berhadap-hadapan.“Ada banyak alasan yang tidak bisa ku katakan padamu.” Ruby menatap Louis sendu.“Jadi apa yang kita lakukan dua bulan lalu tidak meninggalkan kesan apa
“Kamu cukup mengantarku sampai disini saja. Tidak perlu naik.” Ruby memberanikan diri menatap Louis ketika mereka tiba di lobby. Louis menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tindakan biasa, namun membuat jantung Ruby nyaris copot.“Mmm. Baiklah.” Louis tersenyum padanya.Ruby menatap Louis, lebih tepatnya menatap bibir Louis yang memerah, yang baru saja digunakan untuk melumat bibirnya sendiri. Ruby memaksa dirinya untuk sadar dan segera berbalik.“Ingat untuk memikirkannya, Ruby.”Langkah Ruby terhenti saat mendengar suara Louis lagi. Dia menoleh.“Aku menunggu jawabanmu. Dan...” Pria itu mendekatinya, mendekatkan kepalanya ke telinganya. “Aku tidak menerima penolakan apapun.”Kening Ruby mengernyit. Aku berhak menolak siapapun, bahkan seorang Louis Winston sekalipun.“Aku tahu kamu menikmati ciuman tadi dan...”“Tutup mulutmu.” Wajah Ruby memerah menahan malu. Dia melihat sekelilingnya, harap-harap cemas seseorang mungkin mendengarnya.Louis tersenyum, bahkan senyuman it
Liv buru-buru duduk, menatap Ruby heran.“Bukankah kamu bersama Louis?” tanyanya lagi.“Kami sudah bicara.” Ruby duduk, membalutkan jaket Liv ke tubuhnya.“Sudah? Cepat sekali. Aku pikir kamu akan bermalam bersama Louis.”“Kamu ini.” Ruby berdecak, lalu mendesah panjang. “Aku terus memikirkan apa yang dia katakan padaku.”“Dia mengatakan apa?”“Dia bilang dia menyukaiku dan ingin hubungan kami dijalani dengan serius.”“Bagus! Aku mendukungnya.”“Tolong serius sedikit.” Ruby merengek. “By, sejak awal aku tidak menentang hubunganmu dengan Louis. Namun aku mengingatkanmu agar berhati-hati. Pria mapan dan sukses sepertinya dengan latar belakang keluarga yang mumpuni, dia pasti dikelilingi wanita yang menakjubkan.”“Aku tahu,” gumam Ruby, lalu kembali merebahkan tubuhnya. “Aku tidak mengatakan apapun tadi.”“Sepertinya kamu memiliki pertimbangan lain selain hal itu.” Liv menatapnya serius.Memang!Kenyataan jika Edd adalah sahabat dekat Louis menjadi salah satu poin penting yang membuat R
“Apa maksudnya mereka sudah check out?” Louis terperanjat saat dia naik ke kamar Ruby pagi-pagi, kamar itu sudah kosong dan petugas hotel sedang bersih-bersih di dalam.“Benar, Tuan Louis. Mereka check out pagi-pagi sekali, mungkin mengejar penerbangan paling awal,” sahut petugas hotel. “Kalau Tuan tidak percaya, Tuan bisa mengecek sendiri di lobby.”Sial!Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah tadi malam hubungan mereka masih panas? Dia marah karena aku menciumnya?Tapi seharusnya tidak! Bukankah dia juga menikmati ciuman itu?Louis menarik nafasnya, bergegas turun menuju lobby. Dia mendekati petugas di resepsionis dan mencari sendiri data pribadi Ruby. Ini termasuk pelanggaran privasi dan jika Ruby menuntutnya, Louis bisa terkena tidakan hukum.Namun Louis tidak punya pilihan lain. Bahkan tadi malam pun dia tidak sempat menanyakan dimana dia tinggal, dimana dia bekerja, nomor ponselnya dan yang lebih parah, siapa nama belakangnya.Semua itu menguap begitu saja dikalahkan oleh pesona
“Jadi kenapa kamu meminta bertemu? Kamu sekarang sudah tidak sibuk?”Edd menyilangkan tangan di dada, sengaja mengkonfrontasi emosi James yang masih memanas karena mengalami ‘pelecehan’ di lorong tadi. Louis ikut melipat tangannya di dada dan menatap James juga.“Ckk. Enyahlah.” James berdecak dan membuat tawa Louis dan Edd meledak. Keduanya begitu menikmati penderitaan James yang sedari tadi menggerutu karena merasa dirinya sangat ternodai.“Aku serius,” gumam James menatap kedua sahabatnya. “Aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian.”Merasa jika atmosfer yang ditunjukkan James lewat ekspresi wajahnya memang serius, Louis dan Edd memaksa diri untuk tidak tertawa lagi. Edd mengisi gelas mereka bertiga lalu menatap James kemudian. “Ada apa?”“Perusahaan Paman bermasalah?” Louis ikut menimpali.James menenggak alkoholnya, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Perusahaan Dad baik-baik saja.”“Lalu apa?”“Kalian masih ingat dengan wanita yang kusukai sejak lima tahun lalu itu?”James menatap ke
“Siapa yang datang malam-malam begini?”Ruby bersungut-sungut bangun dari tempat tidurnya yang nyaman. Jarum jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Rambutnya yang berantakan dibiarkannya begitu saja.Dengan malas dia berjalan keluar dari kamar, mendekati pintu dan mencoba melihat dari peep hole siapa yang datang selarut ini. Dan begitu mengetahui jika Louis ada di balik pintu, Ruby terkejut bukan main.“Apa yang dia lakukan di sini? Bagaimana dia bisa mengetahui apartemenku?”Ruby terkejut saat detik berikutnya Louis kembali mengetuk pintu. Tak ingin mengganggu penghuni apartemen yang lain, Ruby pun akhirnya membukakan pintu. Tubuh Louis limbung dan terjatuh tepat di pelukannya. Ruby gelagapan, bingung dan tak kuat menahan bobot tubuh Louis. Dengan susah payah dia menutup pintu terlebih dahulu sebelum akhirnya meletakkan Louis di lantai.“Apa yang terjadi denganmu? Kamu mabuk?”Benar!Ruby mencium aroma alkohol yang menguar dari tubuh Louis. Aroma pekat itu bahkan bisa menunju
“Di mana James?”Ruby meletakkan tas berisi laptopnya di atas meja lalu membuka sweater berwarna abu-abu yang membalut tubuhnya. Karena dia dan James sangat dekat, semua pelayan di cafe buku itu bahkan sudah menganggap Ruby layaknya James sebagai pemilik cafe buku.“Tuan James sepertinya belum bangun, Nona Ruby,” sahut salah seorang pelayan.“Dia tidur di belakang?” tanya Ruby lagi.Pelayan itu mengangguk. “Sepertinya Tuan mabuk semalam. Bahkan dari luar saja kami bisa mencium aroma alkohol yang sangat pekat.”“Mabuk? Tumben!”“Aku juga tidak tahu hal apa yang membuat Tuan James mabuk seperti itu, Nona.”“Baiklah. Aku akan melihatnya nanti.”Ruby bergegas ke ruangan khusus milik James. James sudah pernah berpesan jika Ruby dan Liv bisa masuk ke sana sesuka hati. Bahkan Ruby dan Liv pernah beberapa kali istirahat di sana. Dia membuka pintu, mengintip sedikit dan melihat jika James masih tidur dengan sangat nyenyak. Dia mengibaskan hidungnya saat mencium aroma menyengat sisa alkohol ya
“Aku baru saja akan menemui kalian.” Liv bertemu keduanya ketika Ruby dan James keluar dari ruangan pribadi James.“Liv, aku ingin memberitahumu sesuatu.”Begitu Ruby melihat Liv, dia langsung merangkul Liv dan menuntunnya duduk di meja mereka. Liv mengernyit, bola matanya berputar antara Ruby dan James.“Apa?” tanya Liv.“James menyukai seseorang,” bisiknya pelan sambil tersenyum. “Tapi sayang sekali wanita itu tidak menyukai James kita.”Wajah Liv berubah serius. Dia menatap James yang duduk di samping Ruby, pura-pura tersenyum dan mengangguk membenarkan cerita Ruby. Tapi untuk apa dia berpura-pura di hadapannya? Liv bukan Ruby. Sejak awal, Liv menyadari jika James memiliki perasaan tertentu pada Ruby. Perlakuannya pada Ruby sudah cukup memberinya sinyal jika perasaan cinta itu sudah tumbuh sejak dulu.“By, apa kamu ingat toko es krim yang terletak satu blok dari sini waktu itu?” tanya Liv tiba-tiba.Ruby mengernyit, lalu mengangguk. “Memangnya kenapa?”“Aku ingin sekali makan es k
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob