Louis menatap lautan lepas di hadapannya, menunggu matahari menghilang di ufuk barat. Cahaya keemasannya dan suara-suara burung laut yang hendak kembali ke sarang masing-masing membuat suasana semakin hangat dan menenangkan.
“Masih menunggunya di sini?” Edd menyusulnya, berdiri di samping Louis dengan kedua tangan diselipkan ke saku celana.Louis tidak menyahut. Dia menyisir seluruh pantai itu, berharap diantara puluhan orang yang memenuhi pantai, Ruby-lah salah satunya.Namun selama satu jam berada di sana, dia tidak menemukan sosok wanita yang dicarinya.“Mungkin dia turis,” Edd membuka kaca mata hitam yang menggantung di hidungnya yang tinggi.“Bukankah dia bilang dia baru saja mengetahui perselingkuhan kekasihnya? Bisa jadi sebenarnya dia berasal dari luar kota dan datang ke sini hanya untuk melihat kebenaran tentang kekasihnya. Karena dari berapa orang yang bernama Ruby yang sudah diselidiki, tidak ada satu pun mengarah ke ciri-ciri yang kamu sebutkan.”“Kamu sudah memeriksa setiap nama Ruby?”Edd mendesah.Agak konyol. Bukan. Ini gila!Tugas yang dilimpahkan Louis padanya kali ini begitu keterlaluan.“Kamu tahu butuh waktu yang lama memeriksa satu per satu nama Ruby di kota ini,” jawab Edd.
“Aku tidak peduli Edd. Aku hanya ingin menemukannya, tidak peduli berapa lama waktu yang kita butuhkan.”“Well,” Edd kembali mendesah. “Akan ku usahakan secepatnya, namun aku tidak menjanjikan hal yang positif.”Diam-diam Edd merasa sedikit kasihan pada Louis. Bagaimana tidak? Sahabatnya itu baru saja merelakan mantan kekasihnya yang selama ini menghuni hatinya.Dia bertemu seorang wanita yang sanggup menggugah batin dan perasaannya, namun wanita itu meninggalkan Louis begitu saja.Dan sekarang Louis seperti setengah gila. Setiap sore agendanya selalu ke pantai dengan harapan bisa menemukan sosok Ruby di sana.Namun sudah seminggu mereka melakukannya, Ruby tidak pernah muncul kembali di pantai.“Bagaimana jika kamu tidak akan pernah menemukannya lagi?” tanya Edd tiba-tiba.Hening.Yang terdengar hanyalah suara hembusan angin dan deburan ombak yang memecah karang.“Kita juga harus punya planning B, bukan?” tanya Edd lagi.“Mau bagaimana lagi.” Louis menatap Edd. “Mungkin ini bagian dari takdir. Mungkin dia memang tidak ditakdirkan bersama denganku.”Edd mengangguk pelan. “Tapi bagaimana jika ternyata dia seorang penyihir?”Louis menatap Edd dengan mata menyipit. Jelas-jelas Edd sedang mengejeknya sekarang.“Bisa jadi dia sedang berubah wujud ketika bertemu denganmu dan...”“Hentikan,” potong Louis cepat. “Jika dia penyihir, maka kamu adalah burung gagaknya," ujar Louis kesal.Dia buru-buru meninggalkan pantai. Edd tersenyum. Dia memang harus segera mengusir Louis dari sana sebelum kedua orang tuanya kembali meneror ponselnya, menanyakan apa yang terjadi dengan Louis.***“Dan apa kabar Ruby yang cantik pagi ini? Apa kamu baik-baik saja? Aku mendengar banyak hal selama aku bepergian.”Sambil mengalihkan pandangannya dari layar laptop, Ruby berusaha untuk tidak menunjukkan reaksi apa pun ketika Dick Mario yang bertubuh gempal memasuki ruangannya.Seperti biasa, atasanya yang tau bangka dan sudah menikah sebanyak lima kali itu, menyentuh bokong para wanita dengan santai, dan mengklaim jika hal itu hanya sebatas candaan dan sapaan biasa.“Selamat pagi, Tuan Dick,” ujar Ruby datar dengan nada mengusir, dan matanya terus terarah pada layar laptop dan jemarinya menari diantara tombol-tombol.Dia menghela nafasnya dalam saat atasannya itu memilih menghampiri mejanya dengan santai.Teman-teman kerja Ruby sudah menjauh, sebagian membuat alasannya sendiri, entah itu mengambil kopi atau ke kamar kecil.Yang lain, seperti Ruby yang tidak bisa meninggalkan mejanya karena desakan pekerjaan, mencoba bertahan dengan pura-pura tidak memperhatikan keberadaan Dick.Namun, pria itu justru mencondongkan tubuh ke arah Ruby, hingga dia bisa mencium aroma krim cukurnya yang menyengat dan pedih di hidung Ruby.Wanita itu masih mencoba bertahan sementara teman satu ruangannya yang lain terlihat menatapnya penuh simpati.“Kamu menulis novel yang baru?” Dick membaca apa yang diketik Ruby di layar laptopnya.Ruby paling tidak suka jika seseorang membaca apa yang sedang dia ketik. Ide mentah itu terkadang masih sangat berantakan dan perlu diperbaiki, dan keberadaan seseorang seperti Dick ini membuat idenya hilang dan pekerjaannya terganggu.Dengan sedikit kasar Ruby melipat layar laptopnya, lalu tersenyum datar pada Dick.“Jika Tuan Dick tidak keberatan, tolong tinggalkan mejaku Tuan. Aku perlu bekerja.”“Apa yang mengejarmu?” Tangan Dick bergerak ke pundak Ruby, membuat gadis itu bisa mencium wangi alkohol yang masih menempel di kemejanya.Dia ingin muntah saat ini juga ke tubuh Dick. Seandainya saja pria ini bukan atasannya, Ruby sudah mendepaknya sejak tadi.“Tolong jaga sikapmu Tuan.” Ruby berdiri, menggeser tubuhnya, dan masih berusaha menahan diri.“Memangnya kenapa?” Dick bertanya seolah-olah dia tidak melakukan apa pun.Ruby menelan ludah. Dia menggeser kursinya sedikit menjauh dari Dick, lalu kembali melanjut mengetik. Ada naskah yang harus dikejarnya dan Dick sedang mempersulitnya sekarang.Mau tak mau Ruby harus mengalah dan terus bekerja dan menganggap pria setengah tua itu tidak ada di sana.“Boleh kupakai ini?”Dick dengan sengaja mengambil sebuah pulpen yang terletak di atas meja, dekat ke dada Ruby. Dengan sengaja tangannya bersentuhan dengan dada Ruby dan membuat gadis itu meradang.Di dekat laptop Ruby, jelas-jelas ada sebuah tempat pulpen. Kenapa dia harus mengambil yang sedang dipakai Ruby?“Tuan Dick, sudah kubilang aku tidak suka jika Anda menyentuhku.” Ruby berdiri, menatap Dick tajam. “Aku tahu posisi Anda lebih tinggi dariku, tapi bukan berarti Anda bisa melecehkanku dan staff wanita di sini!” teriak Ruby lantang.Teman-teman Ruby mematung menatap adegan menarik di depan mereka. Ruby memang terkenal berani dan tegas, dia sering maju untuk membela hak-hak teman-temannya yang lain.Dan sekarang dia sedang bertarung menghadapi Dick Mario seorang diri.“Kapan aku menyentuhmu, hah?” Dick balik membentak Ruby. “Kamu hanya staff biasa di sini. Jangan karena semua novel yang kamu tulis bestseller, kamu boleh bertindak sesukamu. Kalau bukan karena promosi yang kulakukan, kamu juga tidak akan menjadi seperti sekarang. Bagaimana bisa kamu memfitnahku dan mengatakan jika aku menyentuhmu?”Ruby menelan ludahnya. Habis sudah kesabarannya menjadi seorang penulis novel di Quantum Media.Sebenarnya, dia cukup menikmati kehidupan pekerjaannya di sini. Semuanya berjalan dengan baik dan seperti yang dikatakan Dick, semua novel yang dia tulis menjadi salah satu novel bestseller dan dia sudah menghasilkan banyak uang dari sana.Satu-satunya hal yang membuatnya tidak betah adalah keberadaan Dick.Sayangnya, Dick bukan hanya atasannya, namun dia juga anak dari Steffano Mario, pemilik sekaligus pendiri Quantum Media.Melawannya sama saja mengorbankan masa depannya di perusahaan ini dan dia tahu betul resiko itu.“Mungkin aku tidak punya bukti. Tapi mereka melihatnya.”Dick menoleh. Semua mata tertuju pada mereka, bahkan staff lain yang bukan dari ruangan itu ikut mencondongkan kepala di pintu ruangan, sebagian melihat dari dinding kaca yang memisahkan ruangan Ruby dengan ruangan lain.Dick masih merasa jika dia tidak melakukan apa pun, dengan kasar membanting pulpen milik Ruby ke lantai.Ruby mengernyit melihat pulpennya rusak. Padahal pulpen itu sangat berharga baginya karena itu adalah pemberian orang tuanya. Dia menatap Dick tajam, lalu menunjuk pulpennya yang berserak di lantai.“Tolong pungut pulpen saya, Tuan Dick.” Wajah Dick memerah saat mendengar perintah Ruby.
Cara Ruby menunjuk terkesan kasar dan merendahkan, seolah-olah posisinya jauh lebih tinggi dari Dick. Dengan gemetar menahan tubuh gempalnya, pria itu meninju meja Ruby dengan kencang.
“Aku memecatmu, Ruby Estella! Kemas barang-barangmu sekarang semuanya dan jangan sampai aku melihatmu di sini lagi.”
Seketika ruangan itu hening.
Ruby hanya diam saat mendengar perintah pemecatannya dan menunggu hingga Dick keluar meninggalkan mejanya. Saat Ruby memungut pulpennya yang rusak, teman-temannya yang lain mengerumuninya.“Ruby, kamu baik-baik saja?”“Astaga By. Dick si Gempal memecatmu, kamu yakin tidak apa-apa?”“Bagaimana dengan proyek novel barumu?”Ruby hanya mendesah mendengar pertanyaan demi pertanyaan dari teman-teman kerjanya. Ruby tersenyum.“Semuanya akan baik-baik saja.”Dia membereskan barang-barang miliknya. Toh dia memang tidak betah lagi bekerja di sana sejak Dick menjadi atasannya. Walau perusahaan ini memberinya banyak hal, termasuk kenangan berharga yang tidak bisa dibelinya, keberadaan Dick membuatnya tidak ingin berlama-lama lagi di sana. Selama lima tahun bekerja di Quantum Media, Dick-lah satu-satunya penghalang yang berbahaya.Dengan santai Ruby meninggalkan perusahaan setelah membuat laporan resmi ke ruangan HRD. Dia sepakat akan tetap menyelesaikan naskah yang sedang dikerjakannya dan men
“Kamu sungguh-sungguh dipecat?” Liv menatap Ruby yang membaca buku dengan serius.Ruby hanya menganggukkan kepalanya, menyesap kopinya lalu membuka lemaran baru buku yang dipegangnya. “Jadi sekarang apa rencanamu?” tanya Liv lagi.Ruby memilih menutup bukunya. Dia mengamati Liv yang terlihat simpati padanya. Dia bergumam pendek, terlihat menimbang-nimbang. “Aku akan menulis secara independen.”“Lalu karya-karyamu?”“Karena sebelumnya aku sudah menandatangi kontrak dengan Quantum Media, maka karya yang kubuat di sana harus tetap kubagi dengan perusahaan itu. Dan aku juga masih harus mengerjakan dua proyek lagi. Setelah menyelesaikannya, aku akan mulai menulis sendiri.”Liv menyeruput kopinya, mengangguk-angguk setuju. “Kamu masih menggunakan nama samaranmu yang lama? Perusahaanmu tidak keberatan?”“Tidak. Aku tetap bisa menggunakannya, sudah ku bicarakan dengan mereka.”“Ada buktinya?”“Tentu saja.” Ruby tersenyum, mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. “Aku tidak akan melupa
Ruby berjalan perlahan menuju garis pantai. Dia berdiri, mengamati deburan ombak sebentar lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Didera oleh berbagai tuntutan dari Quantum media –dugaan Ruby itu adalah ulah Dick si maniak seks itu, dia nyaris tidak tidur selama dua malam penuh.Kepalanya sakit, lehernya tegang dan sekujur tubuhnya lelah luar biasa. Namun walau lelah, Ruby harus segera menyelesaikan sisa proyek yang dipegangnya. Dia sudah terlanjur menandatangani kontrak dan hal itu digunakan Dick untuk membuatnya kewalahan.Dan berjalan-jalan sebentar di pantai adalah jawaban untuk merilekskan otot-otot tubuhnya yang kaku.Saat matahari sore meninggalkannya dan gelap secara cepat melingkupi, Ruby berjalan pelan diantara pasti-pasir putih yang lembut. Karena memiliki kenangan secara pribadi terhadap pantai ini, Ruby selalu merasa jika Louis berada di sekitarnya.Namun itu mustahil. Mana mungkin pria itu mencarinya?Saat itu, dia tiba-tiba mendengar suara seseorang memanggilnya.“Ruby?”Ru
Terkejut mendapat perlawanan dari Ruby, Louis mematung dan melepaskan tubuh Ruby perlahan-lahan. Dia tersenyum pahit, perlahan mengelus wajahnya. Tidak sakit. Ruby juga tidak mengerahkan tenaga untuk menamparnya.Tapi yang sakit malah berada di dadanya. Dadanya terasa ditusuk oleh ribuan jarum yang membuatnya bahkan bisa merasakan efek tusukan itu hingga ke jemarinya.Namun ini pantas. Bagaimana bisa dia mencium Ruby sesuka hati?Ketika dia menemukan jika wajah Ruby memerah dan bibirnya bengkak, perasaan bersalah menelusup di dada Louis.“Ruby, maafkan aku.”Nafas Ruby tertahan. Pundaknya naik turun menahan emosi yang bergulung-gulung didadanya karena kerinduannya pada Louis dan karena dia tahu Louis sangat jauh di luar jangkauannya.“Ruby...” Louis membelai bibir Ruby yang memerah dan bengkak karena ulahnya. “A-aku tidak berniat seperti itu. Malam itu...”“Jangan bahas apapun lagi tentang malam itu. Tuan Louis, aku harus pergi!” Ruby jelas merasa sangat bersalah. Dia buru-buru berl
“Aku sudah membelikan dua buah tiket.” Liv yang sedang memakai sheet mask duduk di sofa apartemen Ruby. Dia merapikan maskernya sambil terus mengarahkan matanya pada drama komedi yang sedang ditayangkan di televisi.Ruby yang sedang mengetik naskah dilaptopnya mengangkat alis. Dia menghentikan sementara aktivitasnya lalu menoleh. “Tiket?” Dia mengernyit.“Ya. Aku mengambil cuti selama seminggu jadi kita bisa pergi liburan,” sahut Liv santai.“Liburan?” Ruby lebih kaget lagi.“Mmm. Kenapa kamu terlihat kaget? Ini bukan pertama kalinya kamu berlibur.”“Bukan. Tapi untuk apa?” Ruby masih belum mengerti.“Untukmu,” sahut Liv pendek. “Aku tahu kamu masih sedih dan malu dengan kegagalan hubunganmu. Apalagi akhir-akhir ini Arden mengunggah banyak sekali fotonya dengan pria itu dan orang banyak masih membahas dirimu disetiap postingannya. Aku tahu kamu selalu memikirkannya.”“Tidak juga,” gumam Ruby, kembali mengetik di laptopnya. “Ini sudah beberapa bulan dan aku sudah semakin ikhlas. Aku ti
Louis meletakan kunci mobil ke atas tempat kunci yang terbuat dari kayu yang divernis halus. Dengan enggan dia melangkah masuk dan menyalakan lampu di apartemennya. Ketika usianya memasuki dua puluh tiga tahun, Louis memutuskan untuk mandiri dan pindah dari rumah orang tuanya. Dia membeli satu unit apartemen tak jauh dari kantor utama perusahaan dari komisi pertamanya setelah menggantikan Antonio yang sakit kala itu.Dia mengambil sebotol wine dari lemari penyimpanan beserta satu buah gelas dan membawanya ke balkon. Sambil menikmati pemandangan malam kota yang berninar, dia duduk santai di balkon yang terletak di lantai dua puluh dua tersebut. Louis menuang winenya, menyesapnya sedikit lalu angannya kembali terbang.Dia sama sekali tidak bisa melupakan Ruby. Wanita itu bak memiliki pelet yang kuat, yang melekat dan sangat mempengaruhi emosinya. Baginya, Ruby bagaikan dewi yang bisa dia puja setiap saat. Louis memejamkan matanya. Dia mengingat dengan jelas bagaimana ranumnya bibir R
Sementara Liv masih membereskan kartu identitas dan beberapa barang lainnya, Ruby menunduk, menutupi wajahnya dengan rambut panjang menjuntai.Jantungnya berdetak sangat cepat saat mendengar langkah kaki tegap yang melintas dibelakangnya. Ruby menggigit bibirnya pelan. Dia ingin melihat Louis dengan jelas, namun dia tidak punya nyali untuk menoleh.Kebetulan macam apa ini? Ternyata hal-hal seperti ini benar-benar terjadi?Dia datang ke sini untuk melupakan Louis, dia ingin ingatannya berhenti memutar setiap detail kebersamaannya yang singkat dengan pria itu.Ruby ingin bangkit dan melanjutkan hidupnya dengan normal. Siapa yang menyangka liburan kali ini malah membuatnya kembali mengingat siapa Louis?Sementara ketika Louis lewat melewati meja resepsionis, empat orang staff yang sedang melayani beberapa tamu hotel terlihat menundukkan tubuh mereka menyapa Louis. Namun satu hal menarik, tiba-tiba saja Louis mengendus wangi yang sedikit familiar dengan penciumannya. Dia menoleh, namun d
Delapan tahun lalu, musim gugur,Gadis gemuk berbobot sembilan puluhan itu terlihat menyapu halaman belakang bangunan sekolah. Bangunan itu adalah gedung lama yang kini dialihfungsikan sebagai tempat kegiatan ekstrakurikuler.Gadis itu sendirian. Tapi seharusnya dia bersama teman-teman sekelasnya yang lain. Ginny Maueren namanya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu terpaksa membersihkan halaman belakang yang luas seorang diri. Dia tidak mau, namun dia tidak punya pilihan lain.Wajahnya yang berbintik merah, memakai kaca mata minus tebal dan tubuh gemuknya menjadikan dia sebagai objek perisakan oleh teman-teman sekelasnya.Dia menengadah saat pepohonan kembali meruntuhkan daunnya, seolah ikut merisaknya. Sudah setengah jam dia mengerjakan pekerjaan itu dan dia sudah lelah. Ginny memungut daun-daun dengan gontai lalu mengumpulkannya ke tumpukan yang lebih banyak. Saat itu, seorang anak laki-laki sekelasnya melintas tak jauh darinya. Laki-laki itu melempar sebuah permen pada Ginny da
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob