“Dengarkan aku baik-baik.” Pria itu menunduk mendekati Ruby. “Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu di sini. Jadi kamu harus segera menyingkir.”“Bu-bukankah kamu bosnya?” Ruby beringsut gugup.Pria itu menggeleng. “Bukan. Aku juga hanya bawahan dan besok pagi bosku akan turun. Jika dia menemukanmu, aku tidak bisa membayangkan apa yang dia lakukan padamu.”“Tapi bagaimana caranya aku kabur?”“Nanti malam akan ada pengiriman barang. Aku akan membantumu untuk masuk dan bersembunyi ke dalam peti-peti itu.”“Bagaimana denganmu?”“Aku akan baik-baik saja.” Pria itu meyakinkan Ruby. “Sekarang, jangan beranjak selangkah pun dari dalam tenda ini. Hanya di sini kamu akan aman.”Ruby mengangguk. Pria itu langsung meninggalkannya, menarik resleting untuk menutup kembali tenda. Namun dia meninggalkan sedikit celah dan Ruby penasaran untuk melihat apa yang mereka lakukan.Ruby merangkak, diam-diam mengintip lewat celah kecil. Hewan-hewan buas teronggok lemas tak berdaya, dugaan Ruby mereka semua s
Suasana di luar gelap dan mencekam, namun Ruby tidak punya pilihan. Tubuhnya kaku namun dia memaksa untuk berdiri dengan sedikit bantuan dari Maxi. Namun karena terlalu lama melipat kakinya, dia tidak bisa langsung berdiri dan malah duduk diantara peti-peti yang terkunci.“Cepatlah atau kita bakal ketahuan.”Ketika Ruby hendak berdiri, mereka mendengar suara pintu depan dibanting. Maxi mendudukkan Ruby dengan paksa dan menyembunyikannya diantara celah kosong.“Apa yang kamu lakukan, bocah? Cepatlah atau kita akan kena sanksi,” bentak si supir.“Petinya terbuka sedikit, aku harus menutupnya kembali,” seru Maxi.“Cepatlah,” seru si supir sekali lagi.Ketika nyala senter yang dibawa supir menjauh, Ruby kembali menyembulkan kepalanya. Dia merangkak dan bergerak menaiki peti-peti hingga menjangkau pintu belakang lalu turun. Maxi menyusulnya dan memberi sebuah senter kecil padanya.“Kita masih di hutan, tapi sudah sedikit lebih dekat dengan hutan lindung. Akan ada patroli kepolisian selama
Ruby tidak berani berjalan melalui jalan yang dilewati oleh truk tadi malam. Dia khawatir dengan keselamatannya, jadi dia terus berjalan dari dalam hutan. Kelelahan mendera tubuhnya, kerongkongannya kering karena tidak minum sejak kemarin.Di balik pohon, dia duduk dan mengambil nafas. Walau dia sedang menuruni bukit, namun ternyata perjalanannya sangat sulit dan melelahkan. Jalanan yang menurun membuatnya harus lebih hati-hati, karena tanah yang lembab dan juga dedaunan busuk yang kadang-kadang licin.Ruby bertanya-tanya dalam hati pukul berapa sekarang. Maxi mengatakan jika petugas kepolisian hutan akan berpatroli pagi dan sore hari. Jika menilik posisi matahari, ini sudah hampir tengah hari namun dia tidak menemukan tanda-tanda mobil patroli.Tiba-tiba dia mendengar suara menderu dari arah belakangnya. Ruby tidak bisa melihat dari dalam hutan dan memastikan apakah itu kendaraan polisi hutan atau tidak. Jika aku turun ke jalan, bagaimana kalau kendaraan itu milik para penjahat? Ta
Langkah kaki Liv berderap kencang saat berlari memasuki lorong rumah sakit kecil di perbatasan hutan. Di belakangnya, Ashley juga terengah-engah karena ingin langkahnya sejajar dengan Liv, namun tak bisa.Begitu melihat Ruby sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit, Liv langsung menghambur dan memeluk Ruby sambil menangis sesenggukan. Ruby juga tak kuasa menahan air matanya dan dia menangis memeluk erat Liv, sebagian karena apa yang dia alami, sebagian karena Louis.Begitu tiba, Ashley juga melakukan hal yang sama, memeluk Ruby dan Liv dan ketiganya menangis bersamaan.“Bisa tolong pelankan suara kalian? Ini rumah sakit.”Ketiganya melepas pelukan setelah salah satu perawat menegur mereka. Liv mencoba tersenyum, menyeka air mata Ruby dan juga air matanya.“Apa yang terjadi denganmu?” tanya Liv.“Kenapa kamu terluka begini?” Ashley juga memperhatikan seluruh tubuh Ruby. “Astaga, apa yang mereka lakukan padamu?” isaknya.“Aku baik-baik saja.” Ruby mengelus lengan Ashley. “Berhentila
Detektif Hudson melayangkan senyumnya yang hangat dan ramah. Tubuh tegapnya terlihat dari balutan jaket hitam dan dia tampak mengesankan. Dengan tinggi di atas seratus delapan puluh dan rambut pirangnya, orang-orang mungkin akan menyangka jika dia seorang model.“Kalau begitu, kami tidak akan mengganggu istirahatmu lagi. Sampai bertemu Nona Ruby.”Begitu para petugas meninggalkannya, Ruby menatap keduanya. “Louis akan segera tiba.”“Lalu kenapa?” Liv terlihat tak acuh.“Dia kekasihmu, memang sudah seharusnya dia menemuimu,” sahut Ashley lagi.“Kalian ini.” Ruby bersungung-sungut.Dia kembali berbaring, menatap langit-langit ruangannya sembari membayangkan kembali kepahitan yang dia alami. Sulit baginya untuk percaya jika dia berhasil selamat. Dia membayangkan kembali bagaimana tubuhnya terhempas jatuh berguling-guling menuruni jurang dan rasa sesak di dalam peti.Rasanya menyakitkan, namun dia berhasil.Luar biasa!“Apa kamu akan istirahat?” tanya Liv lembut.Ruby menggeleng. “Ayo bic
“Aku mengirimimu pesan?” Louis mengernyit heran ketika detektif Hudson yang dia sewa berada di ruang Ruby lagi.Ruby mengangguk. “Kamu memintaku untuk mengambil berkas rahasia di hotel cabang Burwood.”“Tapi aku tidak melakukannya.” Louis menggeleng, mengeluarkan ponselnya dan mencari-cari riwayat pesan mereka. “Lihat,” Louis menunjukkan layar ponselnya pada Ruby. “Aku tidak mengirim pesan apapun padamu di hari kamu menghilang.”Apa-apaan ini? jJelas-jelas aku membaca pesan yang dia kirim waktu itu. apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal ini tidak ada sama sekali?“Sepertinya masalah ini menjadi sedikit kompleks,” gumam Detektif Hudson. “Tapi tenang saja. Ada banyak cara untuk membuktikan jika pesan itu benar-benar diterima oleh Nona Ruby atau tidak.”“Aku tidak akan berbohong.” Kedua bola mata Ruby berkaca-kaca. “Aku memang tidak bisa membuktikannya. Tapi aku tidak akan pergi tanpa alasan apapun.”“Hei, tenanglah.” Louis mengusap kepala Ruby. “Kami percaya padamu. Hanya saja dia me
Detektif Hudson mengamati beberapa lembar bukti riwayat pesan yang baru diterimanya. Diamatinya pesan-pesan dari ponsel Louis dan membaca satu per satu hingga usai. Namun sama sekali tak ada pesan yang meminta Ruby untuk pergi ke Burwood.Dia kembali memeriksa riwayat pesan Ruby. Dan mengejutkan, di sana pun tak ada pesan yang diterima Ruby yang mengatakan Louis memintanya ke Burwood. Dia beralih ke layar komputernya, memasang flasdisk dan mendengar beberapa rekaman suara dan panggilan.Hasilnya sungguh nihil.Dia membuka kaca matanya, mengunyah permen karet sambil terus mengamati kertas-kertas di atas mejanya. Apa gadis mengada-ada? Atau dia berhalusinasi?“Baiklah. Aku mengerti.” Louis mengangguk pertanda dia paham ketika dia menerima panggilan telepon dari Detektif Hudson. “Aku akan mencoba membicarakannya dengan Ruby.” Dia menoleh dari taman dan mendapati Ruby sedang tertawa bersama Liv dan Ashley, lalu menarik nafas dalam-dalam. “Bagaimana kalau kita menunggu hingga mental Ruby
“Aku ingin mengklaimmu di sini, Ruby.” Louis mendaratkan sebuah kecupan di keningnya, lalu bergeser turun ke pipi dan berhenti di bibirnya. “Aku kehilanganmu selama beberapa hari. Dengan melihatmu sangat jelas seperti ini akan meyakinkanku jika kamu sedang berada dalam pelukanku dan aku tidak akan melepaskanmu barang sedetikpun lagi.”Kelihaian Louis menguasainya dan cara pria itu sangat luar biasa hingga membuat Ruby kewalahan. Dia mengucapkan kata-kata namun lebih ke arah bisikan karena dia tak mampu berbicara lebih keras lagi.Louis benar-benar menguasainya, membuatnya payah bahkan untuk sekedar bernafas. Ruby berusaha mencengkeram sisi sofa namun tak berhasil sehingga dia hanya bisa menjambak rambut Louis.“Louis,” Ruby mengerang, seluruh persendiannya lemas dan sarafnya berderum penuh antisipasi. Tidak pernah dia melihat Louis seliar ini dan bahkan sangat transparan. Apa terjadi sesuatu padanya?Louis tidak benar-benar mendengarnya, tidak merespon panggilan Ruby.Ketika kaki Ruby
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob