Detektif Hudson mengamati beberapa lembar bukti riwayat pesan yang baru diterimanya. Diamatinya pesan-pesan dari ponsel Louis dan membaca satu per satu hingga usai. Namun sama sekali tak ada pesan yang meminta Ruby untuk pergi ke Burwood.Dia kembali memeriksa riwayat pesan Ruby. Dan mengejutkan, di sana pun tak ada pesan yang diterima Ruby yang mengatakan Louis memintanya ke Burwood. Dia beralih ke layar komputernya, memasang flasdisk dan mendengar beberapa rekaman suara dan panggilan.Hasilnya sungguh nihil.Dia membuka kaca matanya, mengunyah permen karet sambil terus mengamati kertas-kertas di atas mejanya. Apa gadis mengada-ada? Atau dia berhalusinasi?“Baiklah. Aku mengerti.” Louis mengangguk pertanda dia paham ketika dia menerima panggilan telepon dari Detektif Hudson. “Aku akan mencoba membicarakannya dengan Ruby.” Dia menoleh dari taman dan mendapati Ruby sedang tertawa bersama Liv dan Ashley, lalu menarik nafas dalam-dalam. “Bagaimana kalau kita menunggu hingga mental Ruby
“Aku ingin mengklaimmu di sini, Ruby.” Louis mendaratkan sebuah kecupan di keningnya, lalu bergeser turun ke pipi dan berhenti di bibirnya. “Aku kehilanganmu selama beberapa hari. Dengan melihatmu sangat jelas seperti ini akan meyakinkanku jika kamu sedang berada dalam pelukanku dan aku tidak akan melepaskanmu barang sedetikpun lagi.”Kelihaian Louis menguasainya dan cara pria itu sangat luar biasa hingga membuat Ruby kewalahan. Dia mengucapkan kata-kata namun lebih ke arah bisikan karena dia tak mampu berbicara lebih keras lagi.Louis benar-benar menguasainya, membuatnya payah bahkan untuk sekedar bernafas. Ruby berusaha mencengkeram sisi sofa namun tak berhasil sehingga dia hanya bisa menjambak rambut Louis.“Louis,” Ruby mengerang, seluruh persendiannya lemas dan sarafnya berderum penuh antisipasi. Tidak pernah dia melihat Louis seliar ini dan bahkan sangat transparan. Apa terjadi sesuatu padanya?Louis tidak benar-benar mendengarnya, tidak merespon panggilan Ruby.Ketika kaki Ruby
Terakhir kalinya Ruby merasa tidurnya nyenyak adalah malam sebelum dia diculik. Setelah itu, dia dihadapkan dengan mimpi buruk berulang hingga kadang membuatnya kesulitan untuk sekedar menutup mata.Kamar terpisah yang direncanakan berubah. Louis tak pernah meninggalkan Ruby. Pria tidur di kamar Ruby alih-alih menggunakan kamarnya sendiri. Walau Ruby tidak setuju, Louis tetap bertahan dengan pendapatnya.Luka dan memar di tubuh Ruby mulai sembuh. Secara perlahan mereka kembali menjalani kehidupan yang sibuk dan melupakan semua masa pahit.Minggu-minggu berikutnya berlalu tanpa ancaman dan perlahan Ruby sudah mulai lupa, namun bukan berarti tak ada masalah yang akan datang padanya.“By, aku ingin membicarakan sesuatu padamu,” kata Louis pada suatu malam ketika mereka sedang makan malam.“Katakan.”“Aku akan dinas ke luar kota selama tiga hari.”Ruby memotong steiknya. “Lalu?”“Tidak masalah jika aku meninggalkanmu?”Tawa Ruby nyaris meledak. “Tentu saja tidak masalah.”“Kamu tahu aku s
“Kamu tahu apa yang kamu lakukan sekarang?” Ashley menatap Ruby tajam. Di ruang tengah, Mary sedang menonton film kartun yang diputar Ruby. “Dia puteri Angela.”“Dia memang sudah gila.” Liv meletakkan cemilannya, mengambil selembar tissue lalu melap tangannya.“Memangnya apa yang salah kalau aku membawa Mary? Toh dia juga adalah puteri Louis,” jawab Ruby.“Kamu tidak menyadari apa yang terjadi padamu beberapa minggu yang lalu? Masalah itu saja belum terselesaikan, kamu sudah menambah masalah baru,” dengus Liv kesal.“Apa hubungannya penculikanku dengan Mary?”“Bukan dengan Mary, tapi Ibunya!” tandas Ashley lagi. “Bukankah kamu mencurigai Angela? Kenapa mudah sekali membawa Mary ke sini?”Ruby menatap keduanya bergantian. Memang dia pun awalnya berpikiran seperti itu. Tapi ketika Mary memanggilnya Mom, ada rasa haru dalam dadanya yang membuat seluruh perasaan negatifnya runtuh.Lagipula apa yang dikatakan Angela masuk akal. Buat apa dia bersinggungan dengan hukum? Dia punya Mary. Dia t
Ruby meletakkan Mary yang sudah tertidur lelap selama perjalanan menuju desa ibunya, Paloma di atas kasur. Di ambang pintu, Paloma melipat kedua tangan di dada sambil menatap Ruby penuh tanda tanya.“Anak siapa dia? Kenapa mengajaknya kemari?” tanya Paloma begitu Ruby keluar dan menutup pintu kamar.Ruby sedang menimbang-nimbang apakah dia harus jujur atau tidak. Namun Mary sudah ada di sana, dia tidak akan bisa mengelak. Lagipula jika dia membawa Mary, bukankah resiko ditanyai seperti ini akan terjadi?“Duduk saja dulu, Mom,” sahut Ruby.“Kamu bertingkah mencurigakan.”Ruby menahan senyum. Dia melihat sekelilingnya. Rumah kayu ini sederhana dan khas rumah seorang nenek tua. Tak banyak yang direnovasi Paloma karena mungkin dia ingin rumah masa kecil itu tetap seperti itu adanya.“Kamu betah di sini Mom?”“Jangan mengalihkan pembicaraan.”“Aku tidak mengalihkan pembicaraan.”“By, siapa anak itu? Puteri siapa dia? Jangan bilang dia milikmu.”“Tentu saja tidak, Mom.” Ruby menggeleng cepa
Ruby memejamkan mata di tengah perjalanan setelah dia ditangkap. Petugas tak banyak bicara padanya, dan Ruby pun enggan untuk bicara. Dia menatap kedua pergelangan tangannya yang diborgol.Tarikan nafas Ruby terdengar berat. Mendadak Ruby membayangkan kembali saat dia berusia belasan tahun, berdiri di podium karena terpilih sebagai juara lomba baca puisi. Lalu saat dia kuliah dan berkenalan dengan Liv. Masa-masa indah itu menguntai di benaknya.Dan semua itu berbanding terbalik dengan apa yang dia alami kini.Setelah mengikuti beberapa prosedur ketika dia tiba, Ruby digiring masuk ke dalam sel. Ruangan 2x2 itu kosong dan Ruby cukup beruntung. Salah satu petugas melepas borgolnya lalu dia masuk.“Sebentar lagi pemeriksaan fisik. Bersiaplah!” ujar si petugas.Di sudut ruangan, Ruby duduk. Dia terlalu terguncang untuk memahami kenapa dia ada di sana. Ruby memejamkan mata, mengurutkan semua kejadian yang terjadi hingga bagaimana dia bisa berada di sana.Dia tidak menculik Mary. Dan satu-s
Ruby berada di dalam kamar mandi hingga dua jam lebih. Air terdengar mengalir, pintu dikunci, dan Liv tak bisa melakukan apa pun. gadis itu hanya menempel telinga sesekali ke pintu kamar mandi untuk memastikan apakah Ruby baik-baik saja atau tidak.Di bawah air yang menghambur, Ruby duduk dan membiarkan tubuhnya basah kuyup. Seluruh kulitnya memerah karena digosok terlalu keras. Dia jijik ketika mengingat kulitnya disentuh dan bagaimana para petugas pria itu menatapnya dengan air liur yang menggenang.Air mata Ruby tak habis-habis. Tangannya bergerak naik meremas rambutnya yang cepak. Runtuh sudah dunia feminitas Ruby sebagai seorang wanita. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding, meluruskan kakinya lalu memejamkan mata.Jarum jam sudah berada di angka sebelas, dan Ruby tidak berniat keluar dari kamar mandi.“Aku sudah menghubungi Kapten.” Suara Edd terdengar lewat speaker yang dinyalakan James. “Dia bilang akan menyelidiki kasus ini juga menindak bawahannya jika mereka benar-benar mele
“Louis, ada yang salah pada Mary.” Angela setengah berteriak pada Louis.Louis yang senantiasa duduk menunggu di luar apartemen Liv mendadak berdiri. “Katakan ada apa?”“Dia tidak bergerak sama sekali.” Suara Angela terdengar seperti orang yang sedang berlari. “Aku sudah membangunkannya bahkan dengan menggunakan air tapi dia tidak bergerak. Aku sekarang membawanya ke rumah sakit. Jika kamu tidak sibuk, susul aku sekarang.”“Aku mengerti.”Louis memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantong jas, lalu bergegas meninggalkan apartemen Liv.Ketika Louis tiba di rumah sakit, Mary sudah tergeletak lemah di atas tempat tidur. Jarum infus menancap di tangan mungilnya dan Angela duduk di sisi Mary.“Apa yang terjadi?” Louis terengah-engah. “Bukankah dia tadi baik-baik saja?”“Dia tidak bangun-bangun.” Angela terlihat gelisah, air matanya menetes. “Ketika tiba jam dia minum susu, aku membangunkannya, tapi dia tidak bangun. Biasanya, walau dia tidak bangun pun, dia tetap akan minum susu dengan po
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob