Ruby memilih berjalan-jalan sendirian di garis pantai saat yang lain sedang mempersiapkan sarapan. Kulit kakinya mneyentuh air yang dingin, cahaya matahari yang hangat membelai lembut kulitnya.Membelakangi matahari, Ruby berdiri menghadap lautan lepas di hadapannya. Sorot matanya kosong, hatinya hampa dan penuh kepedihan. Di tangannya dia menggenggam ponselnya, namun sejak kembali dari kantor polisi, ponselnya tak berdering sama sekali.Tak ada panggilan dari Louis, tak ada pesan darinya.Entah bagaimana nasib hubungannya, Ruby sebenarnya nyaris menyerah. Louis seolah sangat jauh dari genggamannya saat ini. Jarak diantara mereka seakan melebar sejak kehadiran Angela dan Mary.Sekuat apa pun Ruby mencoba membujuk hatinya untuk memahami keadaan Louis, dia menyadari kekecewaan malah menumpuk perlahan dan lama-lama menggunung. Ruby tidak menyalahkan Mary –karena anak itu tak bisa memilih kelahirannya sendiri. Tapi kenapa Louis seolah tak bisa mengambil sikap?Apakah kami akan benar-benar
“Dia tidak mau makan?” Liv berdiri setelah melihat Ashley kembali membawa nampan dengan makanan yang tak berkurang sedikit pun.Ashley menggeleng, meletakkan kembali nampan di atas meja. “Sepertinya Ruby benar-benar sangat terguncang.”“Tapi bukankah kita tadi sudah bicara? Dia baik-baik saja.” Liv mengernyit.“Entahlah.” Ashley kembali menghela nafas. “Omong-omong, aku sedikit bosan. James, bisakah kita berjalan-jalan sebentar?”“Matahari sudah mulai naik. Udaranya cukup panas.” James menggeleng.Ashley membelalak, memberi kode dengan ekor matanya melirik Liv tajam. Melihatnya James langsung mengerti. Dia berdiri, tersenyum dengan hangat. “Baiklah. Aku akan menemanimu.”Keduanya berjalan menuruni tangga villa. “Hei, jangan tinggalkan Ruby sendirian, mengerti?” teriak James pada Liv dan Edd.Dasar bocah, sungut Liv dalam hati. Memangnya aku tidak bisa melihat niatmu sengaja meninggalkanku? Kamu mau aku berdua saja dengan Edd bukan? Dasar!Liv menghela nafas, meletakkan minumannya di a
Dengan lembut Edd mengelus rambut Liv, turun hingga ke punggungnya. Gadis itu menangis sesenggukan dalam dekapannya di bawah sinar matahari yang panas. Hingga tangisan panjang itu berubah menjadi hentakan-hentakan kecil yang terus berlanjut, Edd selalu memeluk Liv.“Kamu mau membicarakannya?” bujuk Edd pelan.Liv masih bungkam, dia masih berada di pelukan Edd yang tak bisa dipungkirinya terasa amat nyaman. Dulu ketika usianya delapan belas tahun, dia pernah membayangkannya. Dia membayangkan Edd memeluk tubuh gendutnya dan bertanya-tanya sehangat apa berada dalam dekapan dada bidang itu.Dan sekarang dia bisa merasakannya. Kehangatan dan rasa aman-lah yang pertama kali dia rasakan. Ternyata selama bertahun-tahun perasaan itu tak pernah hilang dari diri Liv. Edd adalah cinta pertamanya dan dia kini membayangkan dirinya kembali berusia delapan belas.“Aku tidak berniat menggali kembali luka batinmu,” bisik Edd, Liv masih berada di pelukannya. “Tapi aku sungguh meminta maaf dengan tulus p
“Apa katamu?”Ruby berusaha menjauhkan ponsel dari telinganya ketika mendengar teriakan Liv. Gadis itu menghela nafas dalam sembari memejamkan mata.“Tolong belikan aku alat tes kehamilan saat kamu pulang nanti,” ulangnya.Liv diam sebentar sebelum merespons, dia melihat layar ponselnya kembali. “Halo?” ujar Liv, suaranya jauh lebih nyaring dari kalimat pertamanya. “Ruby? Ini kamu? Atau ponselmu dibajak orang?”“Liv. Ini aku, sungguh,” jawab Ruby, tangannya yang satu memegang perutnya.“Kamu benar-benar meminta dibelikan alat tes kehamilan?”Ruby sebenarnya ingin membeli sendiri karena dia tidak mau hal ini diketahui oleh siapapun. Namun apa gunanya dia bersembunyi dari fakta kalau memang dia benar-benar hamil? Hal itu bukan sesuatu yang bisa disembunyikan selama-lamanya. Kelak, perutnya pasti akan membesar dan semua orang juga akan tahu.“Mmm,” gumam Ruby pelan.“Baiklah. Aku akan segera pulang dan kamu jangan ke mana-mana.”Ruby mengamati ponselnya ketika dia sudah mengakhiri panggi
Ruby sedang membaca laman internetnya ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Dia berpikir jika itu mungkin James atau Edd, namun begitu membuka pintu, Angela-lah yang justru berdiri di sana.Tanpa aba-aba, wanita itu menampar Ruby hingga membuat Ruby terhuyung.Tarikan nafas Ruby berubah cepat dan kekesalan memenuhi dirinya. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa menamparku?” teriak Ruby.Angela mendelik, melempar beberapa lembar kertas ke wajah Ruby. Ruby yang masih merasakan panas di pipinya memungut kertas berisi hasil pemeriksaan kesehatan Mary.“Kenapa kamu memberinya padaku?”“Kenapa? Haruskah aku memberinya pada polisi?” bentak Angela.“Apa maksudmu?” Ruby semakin tidak paham.“Kamu menculiknya dan memberinya obat penenang. Bukankah itu luar biasa hina, Ruby?”“Aku?” Ruby menunjuk dirinya sendiri. “Tidak. Aku tidak melakukan apapun pada Mary. Jangan menuduhku sembarangan. Lagipula kamu mengatakan aku menculiknya?” Ruby tertawa, namun tawanya langsung menguap digantikan ekspresi waja
James dan Edd tidak menemukan Louis di dalam rumah, namun mereka mendengar suara musik dari arah basement. Keduanya turun dan benar, Louis sedang ada di sana sendirian bermain billiard dan minum.Musik yang dipasang Louis sangat kencang sehingga dia tidak menyadari kehadiran Edd dan James. Bahkan kedua sahabatnya itu masih menyempatkan diri mengamati permainannya.Louis tidak mengenakan alas kaki. Dan pakaiannya saja hanya kaus longgar yang dipadukan dengan celana pendek jeans. Dua sahabatnya bisa melihat wajah Louis begitu lelah dan sedih.Dan semua ini pasti karena Ruby.Edd berjalan ke arah pemutar musik dan mematikannya, barulah Louis menengok ke arah mereka. Dia menghela nafas, namun kembali bermain billiard.Tenaga yang dikerahkan Louis untuk menyodok bola putih ke arah bola kuning polos memberitahu Edd dan James jika Louis sedang kesal dan marah. Dan ketika bola itu tidak masuk ke lubang yang di sasar, Louis mengumpat kasar.Louis meletakkan stik-nya, berjalan ke arah meja lain
Louis menyadari perubahan ekspresi Edd. Edd diam sangat lama dan James mendesaknya lagi. “Kamu baik-baik saja, kan?”Edd menghela nafasnya. “Kelak, kita harus lebih sering minum seperti ini.”“Jangan bermain-main.” Louis menepis tangan Edd ketika dia hendak merangkul Louis. “Katakan, ada apa?”“Well, aku hanya ingin minum dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama kalian. Memangnya apa yang salah?”“Edd, jika kamu menyembunyikan sesuatu dari kami berdua dan hal itu fatal, jangan harap kita masih bisa bersahabat kelak,” ancam James. “Jika ada sesuatu yang perlu kami ketahui, katakan sekarang juga.”Edd tertawa, namun perlahan tawanya menguap. Dia merogoh kantong celananya, mengeluarkan beberapa lembar kertas yang terlipat-lipat. Dia meletakkanya di hadapan keduanya.“Kanker hati, stadium dua.”Tiba-tiba saja Liv merasa dunianya gelap, seisi bumi berhenti pada tempatnya dan waktu tak lagi berdetak. Apa dia salah mendengar? Kanker hati? Edd?“Jangan bercanda.” James meletakkan kembali k
Ruby segera memasukkan password pintu mereka ketika sudah tiba dan langsung mendengar celetuk ringan dari Ashley. “Suamimu tidak mengganti kata sandinya, itu artinya dia menunggumu kembali.”“Jangan bicara omong kosong.” Ruby memelototkan matanya.Keduanya berjalan mengitari rumah, namun mereka tidak menemukan siapa pun di sana. Liv setengah mengintip ke lantai atas, tapi dia merasa suasana lantai dua terlalu sepi sehingga dia mengurungkan niatnya untuk naik.“Gudang penyimpanan alkohol ada di basement. Seharusnya mereka di sana,” gumam Ruby.Ketiganya turun melalui tangga kayu yang dipernis mengkilap. Dan benar saja, ketika mereka tiba, Louis dan James sudah tergeletak. Louis terlihat tidur dengan tangan terlipat di meja dan James duduk di lantai dengan bersandar di meja.Dan mereka tidak menemukan Edd di sana.“Astaga, kenapa kalian sangat mabuk?” gerutu Ashley.Wajah Louis dan James sama-sama memerah dan mereka sama-sama tak bergerak walau Ashley sudah sibuk menggerutu pada James.
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob