Leroy dan Jay bersantai di dalam ruang billiard, tepatnya di area lounge dengan sofa empuk dan meja, tempat yang sempurna untuk bersantai.Jay Qasam, yang mendengar penjelasan Leroy berpikir bahwa Bastian Mamahit adalah seorang pemain. Dia meneguk bir kalengnya lagi. Sementara Leroy meletakkan rokok di asbak, lalu membuka bir kaleng. Jay yang semakin penasaran, langsung bertanya, "Saya pernah denger nama Pagoda Beats. Tapi sebatas yang saya tau, itu tempat kasino. Bener nggak, Tuan Muda? Apa Tuan Bastian penjudi?"Pagoda Beats terletak di kota Celestial, Venom. Pagoda Beats adalah salah satu kasino termegah dan terbesar di dunia. Kasino ini tidak hanya menawarkan pengalaman berjudi yang luar biasa, tetapi juga berbagai fasilitas mewah lainnya yang populer.Leroy menjawab, "Iya. Pagoda Beats adalah kasino sekaligus tempat pelacuran berkedok wisata. Ha! Ha! Ha!""Tuan Muda ngapain ke sana sama Tuan Bastian?" tanya Jay lagi. "Ada dua kalah judi dan berutang banyak?""Nggak. Tian emang p
Gina memberikan tepuk tangan meriah, "Bagus sekali, Bastian! Kamu mulai menguasai permainan ini."Leroy mengangguk setuju. "Kamu memang punya bakat, Bastian. Teruskan seperti itu!"Bartender membawakan anggur untuk mereka. Leroy langsung mengangkat gelasnya untuk bersulang. Mereka semua tertawa dan menikmati momen tersebut, merayakan setiap pukulan yang berhasil dan menikmati kebersamaan di ruang billiard yang mewah itu. Leroy mengambil giliran terakhirnya dengan penuh konsentrasi. Dia memukul bola putih dengan tepat, membuat bola hitam terakhir masuk ke dalam lubang."Permainan selesai!" serunya dengan senyum lebar. Gina dan Bastian memberikan tepuk tangan meriah, mengakui kemenangan Leroy."Selamat, Tuan Muda! Kamu memang hebat," kata Gina sambil tersenyum. Bastian mengangguk setuju, "Kamu benar-benar menguasai permainan ini."Leroy mengangkat gelasnya sekali lagi. Mereka semua bersulang.Ketika semua orang lengah, Bastian mendekati Gina. "Kamu sengaja deketin Tuan Muda? Kamu mau
"Gimana, Tuan Matteo?" tanya Ronaldーmanajer restoran Golden Alfa. "Apa semua kartu Anda bermasalah?"Matteo tidak bisa berkelit lagi. Dia gugup. Dia berusaha negosiasi dengan Ronald. Dengan tatapan memelas, Matteo berkata, "Nggak tau kenapa, semua kartu Saya terblokir. Saya lagi coba alternatif lain, Pak Ronald."Bisnis tetaplah bisnis. Nominal uang Rp 50 juta tidaklah sedikit. "Kalo gitu, hubungi anak kamu atau Sekretaris kamu aja, Tuan Matteo!" seru Ronald, emosi. Kemudian, dia mengangguk ke arah pintu. Detik berikutnya, 4 pria berbadan kekar masuk ke ruang VIP. Lutut Matteo lemas. Matteo menghubungi Issac, tetapi tidak ada jawaban. Lalu, dia menghubungi Adipati, tetapi tidak ada jawaban juga. "Ah, sial!" Matteo mulai kesal. "Kalo lagi butuh gini, orang-orang menghilang semuanya!"Matteo teringat akan sosok Viaーsang mantan sekretaris. Dia tanpa ragu menekan kontak Via. Namun tidak lama kemudian, terdengar suara operator seluler."Astaga! Apa Via udah blokir nomorku? Atau dia g
Brak!Matteo menutup pintu taksi. Dia telah sampai di rumah keluarga Opulent. Melihat tidak ada pergerakan dari para penjaga, Matteo berteriak, "Heh, buka gerbang sekarang!"Gerbang besar di kediaman keluarga Opulent tidak mungkin tidak tahu kalau Matteo telah pulang, kan?Gerbang kecil terbuka. Seorang penjaga pos depan berlari ke arah Matteo. "Tuan Matteo, Anda ngapain di sini?" tanya penjaga, santai."Dimana sopan santun kamu?" tegur Matteo, merasa tidak senang. "Kalian nggak denger taksi bunyikan klakson berulang kali, hah?! Cepat buka gerbangnya! Taksi mau masuk nganterin saya sampai ke dalam."Ketika Matteo hendak berbalik, penjaga tadi berteriak, "Tunggu, Tuan!"Matteo tidak berminat sama sekali untuk berlama-lama di luar gerbang. Matteo mengabaikan panggilan penjaga. Dia terus berjalan menuju taksi yang menunggunya. Dengan terpaksa, penjaga berteriak lagi, "Tuan Matteo, Anda nggak diizinkan masuk ke mansion ini!"Apa?! Tidak diizinkan masuk ke mansion keluarga Opulent?! Ko
"Apa-apaan ini?!" Rindy mengikuti langkah Matteo menuju ruang tengah. "Ngapain kamu bawa-bawa koper?! Jangan bilang kalo kamuー"Langkah Matteo melambat. Dia memberikan kopernya kepada Nanik. Matteo mengangguk saat pelayan itu menatapnya. "Bawa ke kamar!" perintah Matteo. Nanik tidak bergerak. Dia justru menatap Rindy.Matteo berdecak kesal. "Kenapa diem aja?" tegurnya. Usai Rindy mengangguk, Nanik pun pergi. "Dia, pelayanku. Wajar aja kalau dia nunggu instruksi dariku," kata Rindy, ketus.Bukannya mendengarkan penjelasan Rindy, Matteo melangkahkan kakinya ke sofa di ruang tengah dengan acuh tak acuh. Dia duduk di sana seolah tuan rumah.Rindy semakin tidak mengerti. Dia bergegas mendekati Matteo."Matteo, aku butuh penjelasan." Rindy duduk di sofa single yang berhadapan dengan Matteo. Dia menyilangkan kakinya. "Huhh," Matteo mendesah. "Iya, aku diusir."Rindy duduk tegak, menatap suaminya. Dia melotot."Apa?! Diusir?!" Rindy histeris. "Kok bisa?!"Jika Matteo telah diusir dari r
Pagi hari berikutnya di Dellas Village, Moco. Matteo dan Rindy sudah berada di ruang makan bersama Nanik."Di mana Finn?" tanya Matteo. 'Aku harus pastiin Finn ikutin semua kemauanku. Karena gimana pun juga, dia bisa masuk ke Sagari Tower karena aku. Dia harus balas budi.'Semua itu adalah kata hati Matteo. Dia menyeringai sebelum kembali mengunyah. Rindy menoleh kepada Nanik. "Finn semalem pulang, nggak?"Nanik mengisi penuh air mineral di gelas Rindy. Kemudian, Nanik berdiri di sisi kiri Rindy. "Tuan Finn pulang udah lewat tengah malem, Nyonya. Mau saya panggilkan?"Rindy menghela napas. "Anak itu pasti pergi buang-buang uang lagi," keluhnya, putus asa. "Dia masihー" Rindy mendengar suara langkah kaki dari arah pembatas ruangan. Dia dan semua orang menoleh dan melihat Finn berjalan dengan santai."Aku nggak buang-buang uang, Ma." Dia mencium pipi Rindy. Kemudian, duduk di sebelah ibu kandungnya. "Aku cuma mencari kesenangan aja."Raut cemas terukir di wajah Rindy. Dia menggeser
Matteo mencondongkan badan ke depan. Dia menatap Finn sambil tersenyum lebar. "Kamu yakin, sanggup beli rumah di kota Moco?"Sebagai ibukota negara Nephila, biaya hidup di kota Moco terlampau tinggi. Dengan upah minimum regional mencapai Rp 8 juta, terlalu mustahil bisa memiliki rumah mewah impian di pusat kota. Wajah Rindy dan Finn seketika memucat. Mereka berdua sama-sama tahu bahwa perkataan Matteo benar adanya."Ta-tapi, Matteoー" Rindy tergagap. "Aku nggak bermaksud ngerendahin Finn. Yaa, penghasilan Finn sebagai Presdir Sagari memang lebih dari cukup. Tapi, kamu tau harga tanah dan rumah di Dellas Village, kan?"Rata-rata penghuni Dellas Village adalah keluarga konglomerat dan pebisnis. Mereka hidup sederhana. T-shirt polos tanpa gambar, celana pendek dan sepatu kets menjadi pilihan gaya para pria kaya. Sedangkan para wanita kerap tampil sederhana. Mereka disebut-sebut sebagai old money kota Moco, termasuk keluarga Opulent. "Biasanya, old money nggak menghamburkan uang. Merek
Sementara itu di Bukit Aston Village.Jay berdiri di sisi kiri Leroy. Dia menunduk dan berbisik, "Tuan Muda, Anda udah terhubung dengan Gensler."Pagi ini, Leroy sudah duduk di ruang kerja rumahnya bersama Jay dan Assad. Meeting online bersama Gensler akan dimulai sebentar lagi. Gensler adalah firma arsitektur internasional yang mendesain Sagari Tower melalui tangan kreatif dan otak cemerlang seorang arsitektur Armand Delacroix.Leroy mengangguk saat menatap wajah-wajah tegang di layar laptop. Dia tidak mengenali ketiga wajah itu.Seorang pria kurus di layar laptop mulai menyapa Leroy. "Selamat pagi, Tuan Muda. Suatu kebanggaan tersendiri dan kehormatan besar bagi Gensler bisa bertatap muka dengan Anda pada meeting online ini."Pria itu gugup, tetapi masih bisa tersenyum. Dia luar biasa hebat mengontrol dirinya agar tidak mengecewakan Leroy."Saya, Louis PastelleーPresdir Gensler," ujar si pria memperkenalkan diri. Seorang Presdir ikut turun tangan melayani Leroy. Apakah tidak terden