"Sekarang Sandra sudah menjadi istri Simon, aku ingin tahu bagaimana pria itu bertindak jika istrinya di p3rkos4 dan memastikan mereka bercerai. Lalu aku akan melihat Simon keluar dari rumah keluarga Sandra tanpa membawa apa pun!” Gerald tersenyum menyeringai
"Gerald, apa kamu gila? Jangan buat kekacauan lagi, mereka sudah berjasa pada keluarga kita dan juga memberikan suntikan dana sebesar 100 miliar untuk perusahaan ayah. Ingat, kita masih punya beberapa supermarket yang akan menjadi sumber penghasilan untuk biaya hidup kita selanjutnya, kuharap kamu tak melupakan jasa mereka yang telah memberi bantuan pada kita.""Diam kamu!" Tegas Gerald pada saudara sulungnya, lalu ia kembali berkata, "Semua yang kamu bilang itu benar, mereka memberi kita 100 miliar, tapi bukannya selama itu kita kita yang bekerja hingga bisa menghasilkan 2 triliun lebih dalam beberapa tahun ini, sementara mereka hanya duduk tanpa melakukan apa pun, bisa di bilang kekayaan keluarga Sandra adalah hasil usaha kita sendiri, kenapa mesti masih memikirkan tentang balas jasa?"Saudara sulungnya yang bernama Leon ingin membantah, tetapi adiknya menyela, "Leon, berhenti bicara, pokoknya aku akan melakukan apapun agar mereka bercerai." Gerald tetap bersikeras dengan pendapatnya.Leon hanya bisa menggertakkan gigi dan menarik nafas berat. Saudaranya itu benar-benar keras kepala! Selama 3 tahun lebih ini Gerald selalu boros dan suka menghamburkan uang tanpa memikirkan nasib kedepannya.“Terserahlah, aku tak mau tau apa yang terjadi setelahnya." Setelah mengatakan itu, Leon memilih pergi ke kamarnya.Gerald melepas pakaiannya dan memperlihatkan sebuah tato kepala naga di punggungnya, kemudian dia memasuki kamar mandi untuk menghilangkan rasa gerah di tubuhnya.Tanpa di ketahui, dia telah berpartisipasi dalam kelompok geng mafia yang menghebohkan dunia, dan bahkan diam-diam Gerald memiliki rahasia besar.Leon berusaha menyibak rahasia adiknya itu selama bertahun-tahun, namun Gerald benar-benar hebat, sampai sekarang Leon tak pernah tahu rahasia yang dimiliki adiknya.Tak lama, pintu kamar mandi terbuka, Gerald keluar dengan pakaian yang telah di ganti. Perutnya berbunyi, membuatnya langsung menuju ke ruang makan. Namun, saat membuka lemari makan dan tudung saji, disana hanya ada semangkuk bubur ayam."Sial! Mungkin lebih baik pesan makanan di luar." Namun sayangnya ponselnya kini dalam keadaan mati total. "Kenapa aku bisa lupa mengisi dayanya?"Gerald agak kesal, ia merogoh saku dan hanya ada uang recehan! "Sudahlah, abaikan dulu selera dan makan saja yang ada di depan." Ia memaksa menyuapnya kemulut, “Ini benar-benar tidak enak, rasanya hambar, apa nggak ada makanan lain? Ini sangat tak layak untuk di makan…” Gerald kembali meletakkan sendoknya setelah mengunyah.“Hush! Belajarlah menghargai makanan, ini lebih baik daripada nggak makan apa-apa."Gerald terdiam saat mendengar suara tegas saudaranya yang muncul di belakangnya tiba-tiba. Padahal dia ingin sekali memuaskan nafsu makannya dengan menu steak berkualitas seperti menu yang biasanya dia nikmati di restoran bintang lima, namun untuk membelinya sekarang, ada hal yang menghalangi rencananya.Ketika tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba suara pintu terbuka dan sepasang suami istri muncul disana. “Pah, kenapa nggak ada makanan lain? Sejak pagi aku lapar dan..."Pertanyaan Gerald dibalas dengan tatapan kosong oleh orang tuanya, wajah mereka terlihat lesu dan tak bersemangat, keduanya langsung menuju kamar tanpa berkata sepatah katapun.Hal itu menjadi pertanyaan bagi Gerald dan juga Leon. "Ada apa dengan Mama sama papa?" Saudara sulungnya hanya mengangkat bahu."Kamu tak bisa diam terus begitu, Leon lakukanlah sesuatu...""Kurasa mereka baru saja bertengkar." ujar Leon memotong kata-katanya.Mereka lalu diam, keheningan di ruangan itu dipecahkan oleh suara dering telepon Gerald, ia melihat sekeliling dan mengambil ponselnya yang terletak di ujung meja. Dia mengernyit ketika mendapati nama yang tak asing muncul di layar ponsel. "Kenapa Shania menelpon lagi?"Gerald ragu-ragu namun ia mencoba menjawab. "Ya, ada apa Shania?""Bertemu denganmu? Hmm, baik. Tapi hanya untuk kali ini saja."Gerald mematikan ponselnya, lalu melihat Leon yang menatapnya dengan dingin. "Wanita seperti dia sudah banyak aku temui, hanya memikirkan uang dan mengandalkan fisik serta berbicara tentang diri sendiri dengan mulut manisnya.” kata Gerald dengan wajah yang rumit.***“Kenapa Gerald masih belum datang? Kuharap dia menepati janjinya.” Shania menunggu di depan pintu cafe dengan gelisah.Pikirannya begitu kacau, di tambah lagi keadaannya yang belum terlalu stabil karena baru keluar dari rumah sakit. Menit berikutnya dia melihat seseorang keluar dari mobil dan berjalan pelan menuju pintu kafe.Sigap Shania berlari menghampirinya. "Gerald, akhirnya kamu datang juga, maaf telah memanggilmu, tapi kenapa lama sekali?"Sebelum berjalan pria itu menyalakan rokok sambil mengerutkan keningnya, kemudian duduk di tempat yang di pesan khusus oleh Shania. Tatapannya begitu dingin, Shania semakin gelisah melihat reaksinya, namun dia mencoba membuat rautnya sedatar mungkin.“Cepat katakan, kamu hanya punya waktu beberapa menit.” matanya mengamati jam di tangannya, tanpa melihat lawan bicaranya."Aku hamil!"Gerald tak bereaksi dan malah terus menghisap rokok di tangannya, Shania menarik nafas dalam-dalam menanti kata-kata Gerald selanjutnya."Jadi apa yang kamu inginkan?" Gerald menjawab dengan asal karena merasa jenuh berurusan dengannya."Aku hanya ingin kamu menikahiku sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatanmu..."Gerald terdiam, ia menunduk sesaat memikirkan sesuatu, pada detik berikutnya ia mendongak dan bersuara."Maaf Shania, aku tak bisa mengakuinya, bukannya sebelumnya udah kuberitahu?”Deg!Shania merasa jantungnya berhenti berdetak mendengar jawaban Gerald. Kalau hanya uang Shania memang tak kekurangan lagi sekarang, tapi Gerald telah membuatnya hamil! Calon bayi yang ada di perutnya kini membutuhkan kehadiran seorang ayah di sisinya.Shania menatap Gerald dengan sorot mata tajam, tetapi Gerald pura-pura tak melihat dan mengacuhkan hal itu tanpa merasa cemas.Ia melihat ada gelagat aneh dari Gerald, pria itu menarik napas dan menghembusnya dengan kasar, tampak seperti ada beban berat yang dirasakannya. “Tidak, tidak, bagaimanapun aku tetap tak peduli dengan hal yang bukan urusanku hari ini aku mengajaknya bertemu hanya untuk meminta pertanggung jawaban darinya.” desis Shania.Gerald maupun Shania diam membeku ditempatnya, pikiran Shania bercabang, sebagai wanita, ia telah kehilangan kehormatannya, sedangkan Gerald tak mengakui janin yang sedang dikandungnya itu anaknya, kehidupan Shania mungkin akan lebih hancur jika tak ada yang mengurusinya.Akankah aku kabur saja? Shania bergumam. Tidak, aku tak akan melakukan itu, mungkin aku sedikit egois, tapi haruskah aku meminta bantuan Simon?Saat ini, Gerald terlihat arogan, sikapnya pada Shania jauh berubah daripada sebelumnya. Shania menarik nafas seolah ingin melarikan diri dari ingatan yang meresahkan dan mencoba menguatkan diri, kemudian ia kembali bicara. "Baiklah, tapi aku punya satu permintaan..."Gerald tak menyangka wanita itu akan membuat keputusan dengan cepat, dia mencari posisi duduk yang nyaman agar dirinya terlihat santai demi menutupi rasa penasaran di hatinya. "Masih tersisa waktu 2 menit!" Dia masih berpegang teguh pada perkataan sebelumnya.Shania cukup pintar untuk mengahadapi situasi ini, jadi dia mengatakan keputusannya. "Aku hanya berharap kita tetap berhubungan baik.”Sudut mulut Gerald berkedut, seakan ada emosi yang tidak bisa diartikan dari sorot matanya. "Kamu sedang demam?” tanyanya tanpa ekspresi.Shania mengangguk.Gerald berpikir bahwa wanita itu mungkin bertindak secara tiba-tiba tanpa memikirkannya, dia merasa ini tidak sesuai dengan karakter Shania. Makanya, ia tak akan memaksa wanita itu lebih jauh lagi."Baiklah, aku setuju dengan keputusanmu, waktunya sudah habis. Aku akan pergi."“Selamat datang, anggap saja rumah sendiri.” Nyonya Felicia tersenyum ramah saat membuka pintu pada sebuah rumah bercat ungu muda, wanita yang berstatus nenek Sandra itu mengajak Simon dan Sandra masuk melihat-lihat keadaan tempat itu. “Nah, ini adalah hadiah pernikahan kalian.”Pasangan suami istri itu lantas mendongakkan kepalanya dan berdecak kagum melihat rumah besar berlantai tiga dengan halaman luas di hadapannya. “Ini lebih luas daripada villa mewah tadi.” desis Simon.Simon dan Sandra sama-sama mengedar pandangan mereka ke setiap sudut yang mewah dan artistik, kemudian mereka beralih menatap Nyonya Felicia lalu tersenyum. “Terima kasih nenek!” Sandra memeluknya dengan erat. “Pergilah beristirahat, kalian pasti lelah.” Sandra mengangguk patuh, sebelum pergi nyonya Felicia kembali berpesan.“Sandra, kini kamu adalah istri dari Simon, jadilah istri yang baik untuknya.” Kata-kata neneknya membuatnya sadar kalau ia sekarang bukan wanita single lagi, kemudian ia melihat pada Simon
“Hei, apa-apaan kamu ini?” Satpam tetap bertindak atas suruhan Sandra di tengah kasak-kusuk mereka, Shania merasa senang telah berhasil mengalihkan fokus semua orang yang ada di sana seakan bersimpati padanya.“Fitnah! Ini fitnah parah! Kamu jangan memutar balikkan fakta Shania, aku tak pernah menyentuhmu sekalipun!” Shania merespon seolah dirinya dalam keadaan terluka. Dia mencoba berbicara sekali lagi membenarkannya. “Aku hanya ingin jujur dengan apa yang terjadi pada malam itu. Aku hanya berharap kamu berterus terang, dan bertanggung jawab padaku.”“Cukup!” teriak Sandra, ia agak terpancing emosi dengan kata-kata memelas yang dia rasa hanya di buat-buat oleh wanita yang sebelumnya juga merebut pacarnya. Wanita itu tampaknya tak peduli, dia terus membual di depan para penjabat eksekutif itu seolah tanpa dosa. “Hentikan, kamu harus mempertanggungjawabkan ucapanmu barusan!” Simon yang tadinya diam, akhirnya berbicara, membuat semua orang yang menyoroti mereka tadi terdiam. "Simon..
"Alessa..." Sandra memekik kegirangan, ia berdiri dan langsung memeluk sahabatnya saat mereka kuliah. "Apa kabar?" Perlahan keduanya melepas pelukan, dan Alessa melihat pada Simon. "Dia..."Sandra beralih menatap pria yang duduk di bangku sebelahnya, lalu dia tersenyum. "Kenalkan dia suamiku, Simon.""Serius? Kalian kapan nikah? Aku jadi kecewa karena aku nggak dikasih undangannya."Alessa memanyunkan bibirnya dibuat seolah sedang kesal, lalu melihat pada Simon.Pria yang berstatus suami Sandra itu mengangguk dan senyum seadanya tanpa berpikir hal lain, dirinya terlihat sibuk dengan dengan makan untuk istrinya, bukan apa-apa tapi kelihatannya Simon tak ingin istrinya makan sembarangan.Akan tetapi sejak tadi Alessa diam-diam mengamatinya, sorot matanya terlihat penuh arti, namun hal itu sama sekali tak disadari oleh Sandra, lagipula dia juga tak memperhatikannya karena fokus dengan kegembiraan yang dia hadapi saat ini.Di meja lingkaran yang mereka tempati, Sandra melihat satu kursi ko
Dua tahun setelahnya...Suara helikopter membuat telinga bising, semua orang melihat ke langit dengan rasa penasaran. Misi pendaratan berlangsung, sampai akhirnya bunyi baling-balingnya berhenti. Seorang lelaki yang tak asing terlihat turun dari helikopter, Tuan muda Simon! Jika dulu dia di katakan pria kampungan, namun sekarang telah berubah 180 derajat. Dia kini benar-benar jauh berbeda, kekayaannya berjumlah miliyaran.Meski sudah memiliki istri, namun dia menjadi pria di kagumi oleh banyak wanita. Simon baru saja kembali ke tanah kelahirannya, matanya melihat ke sekeliling, teringat akan kehidupannya di masa lalu yang penuh dengan kesederhanaan dalam keluarganya.Langkahnya tiba di sebuah rumah mewah, tempat itu dulunya adalah sebuah pondok lapuk yang terbuat dari kayu. Simon masih ingat, dia pernah tinggal di pondok lapuk itu dengan kehidupan yang sederhana. Tapi sepertinya itu takkan terjadi lagi sekarang, suasananya sudah berbeda. Sim
Di tengah perjalanan dering panggilan masuk terdengar, Sofia menjawab panggilan yang ternyata dari Simon kakaknya.“Halo kak, disini macet sebentar lagi kami sampai” Sofia menjawab dengan agak tergesa.Di High Way, Sofia adalah gadis cantik yang cukup terkenal dan terpilih sebagai King and Queen di kotanya. Saat ini, dia begitu sibuk dengan aktivitas barunya dan bergabung dalam sebuah komunitas terkenal hingga orang-orang disekitarnya menjadi iri."Sofia, cepatlah ke rumah sakit, penyakit ibumu kambuh lagi..." Serombongan gadis yang seumuran dengannya, membuka kaca mobil mereka, kemudian berseru dengan nada mengejek pada Sofia yang sedang terburu-buru.Tak peduli bagaimana pun mereka menertawainya, Sofia menyuruh Aslan untuk bergegas menuju rumah sakit. "Nona, aku curiga pada mereka, anda ingat tidak, setelah kita mengelar acara syukuran beberapa waktu lalu?""Nanti saja ceritakan saat di rumah sakit, fokuslah menyetir.""Baik...
"Kasusnya terpecahkan!"Simon baru saja mendapat panggilan dari adiknya langsung terkejut saat mendapati kabar mengejutkan itu. Buru-buru dia bangkit dari tempat tidurnya dan memandangi Sandra sekilas sebelum beranjak menuju kamar mandi. "Aku harus tahu penyebab mimpi buruk yang membuat ibu depresi." Tekad sudah bulat, langkahnya terayun menuju kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dan mulai merasa penasaran yang belum terjawab. Setelahnya, Simon kembali menghampiri istrinya dan membangunkannya dengan kec*pan lembut di dahi. "Sayang, aku harus pergi ke suatu tempat, maaf aku membiarkanmu pergi ke kantor sendirian." Wanita itu menggeliat, entah dia sadar atau tidak, namun tangannya meraih kerah kemeja Simon yang kancingnya yang belum sempat terpasang, saat itu wajah mereka bertemu lantas Sandra langsung membuka matanya. "Kamu mau kemana?" Sebelah alisnya terangkat dan penuh kecurigaan, membuat Simon kembali mengec*up bib*r
"Ah, Sandra..." Sandra tersenyum miring saat dirinya dipanggil, bayang-bayang pertemuan terakhir mereka masih terngiang jelas olehnya, namun dia mencoba bersikap netral mengabaikannya sejenak, demi para staff yang selalu meninggikan posisi dan menghormatinya. Dia menuruni tangga dan tetap bersikap seperti biasanya meski sebenarnya ada rasa jengah. Sandra sedikit memiringkan kepalanya sambil melipat tangan di depan dada, lalu menatap temannya itu dan pura-pura terkejut. “Alessa?"Seperti biasa Alessa berseru dan langsung memeluk Sandra. Namun Sandra terlihat dingin meski dia tetap tersenyum. "Apa yang kamu lakukan sepagi ini disini?" Ekpresi Alessa berubah ketika mendengar jawaban itu dari Sandra. "Ayolah, kenapa kata-katamu dingin sekali? Aku jadi takut menyapamu."Sandra cukup malas melihat sikapnya yang selalu saja bercanda, membuat Sandra sedikit meninggikan suaranya. "Alessa, lima belas menit lagi kami ada pertemuan, apa kamu rela
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Simon yang baru saja pulang, langsung kaget saat melihat cairan merah, hadapannya berdiri wanita dengan bibir mengulas senyum misterius. "Shania, apa yang kamu lakukan disini? Kenapa kamu... ini semua apa artinya? Dimana Sandra?"Matanya membelalak ketika melihat seseorang yang telah bersimbah dar*h di bawah kaki wanita itu. "Aslan? Apa yang kamu lakukan dengannya?" Sepasang mata hitam Simon menatapnya sengit.“Mmph...” Tiba-tiba suara yang familiar terdengar, Simon menoleh cepat, melihat Sandra dalam keadaan tangan dan kaki yang terikat, ia menghampiri untuk menyelamatkannya dan melihat sepasang mata istrinya memancarkan kekhawatiran sekaligus ketakutan saat mereka saling memandang. "Sandra, kamu tak apa-apa?" Simon segera memeluk istrinya dengan erat. "Syukurlah kamu baik-baik saja, sebenarnya apa yang terjadi?" Sandra fokus memerhatikan, sesuatu yang mencolok di tangan Simon dan benda itu benar-benar membuatnya merasa asi
"Semuanya, Sean, tiba-tiba menghilang!" Saat semua orang masih berada dalam suasana duku, tiba-tiba Alessa muncul di sana dengan membawa kabar buruk. Ini bukan hanya membuat Simon kaget, tapi juga sangat cemas dan panik."Apa? Bagaimana bisa ini terjadi?""Bagaimana kamu menjaganya, Alessa?" "Kita harus segera mencarinya!" seruan mereka yang dilanda panik silih berganti membuatnya kalang kabut.Mereka bergegas keluar ruangan, bergerak cepat mencari keberadaan Sean.Simon di tinggal sendirian dalam keadaan tak berdaya, dirinya bukan hanya kehilangan Sandra, tapi apa ia juga harus menghadapi kehilangan Sean?"Apapun yang terjadi, aku harus menemukan Sean!" ujarnya dengan penuh tekad. Sejujurnya, Simon sangat mencemaskan keselamatan anak itu. Di saat sulit ini, harusnya mereka memperhatikan anak seusia Sean, tapi mereka terlalu lengah dan hampir melupakan anak itu.Di tempat lain, seorang satpam menemukan seorang anak sedang meringkuk sendirian di loteng rumah sakit. Begitu dia mengh
Saat itu, pintu ruangan nomor 134 terbuka dengan keras. Seorang perawat masuk dengan wajah penuh kepanikan. "Ada kecelakaan tak terduga di ruang operasi! Nyonya Sandra..." suaranya terputus saat melihat semua orang menatap dan menanti perkataan selanjutnya.Simon, Alessa dan lainnya merasa detak jantungnya berhenti sejenak. "Apa yang terjadi? dia baik-baik saja kan?"Dari wajah perawat itu, terlihat garis-garis kegundahan. "Sekali lagi mohon maaf, tapi darah yang di sumbangkan sebelumnya, belum bisa membuat keadaan nyonya Sandra stabil. Butuh waktu dan perawatan yang lebih intensif untuk memulihkan keadaannya, kami semua sedang berjuang menyelamatkannya."Mendengar itu, Simon merasa dunianya runtuh. Bahkan Sean yang masih berada dalam pelukan Alessa, mengeratkan pegangannya pada wanita itu. "Tante... bagaimana dengan mommy..."Melihat hal ini, Elsa merasa bersalah, terlebih melihat Sean yang seumuran putranya kini terlihat ketakutan. Apa dia memilih keputusan yang salah? Apa mereka aka
( Elsa, segera ke rumah sakit Williecons, aku akan kirimkan alamat lengkapnya) Elsa menerima pesan teks dari nomor tak di kenal. ‘Siapa ini?’ ia berusaha mengingat-ingat pemilik nomor dengan ujung angka 77, “Yah, aku ingat! Ini kakak, aku sudah lama tak tahu kabarnya, tapi darimana dia dapat nomor baruku…?” Dia menggeleng, ‘Ini tak penting sekarang, lebih baik aku segera menghubunginya…’ Saat itu panggilan langsung tersambung.“Halo, apa ini kamu kak Max?”“Elsa! Syukurlah, ternyata orang itu tak berbohong, akhirnya kita bisa mengobrol juga hari ini.” "Oh ya kak, kamu dimana? Tadi kamu bilang rumah sakit, memangnya siapa yang sakit?" Elsa mengigit bibirnya bawahnya cemas, ‘Semoga saja bukan ibu.’ “Sandra sedang dalam keadaan kritis, pagi ini ada dapat kabar Simon juga masuk rumah sakit karena kecelakaan…”“Ke-kecelakaan?” Sungguh, Elsa kaget saat menerima kabar itu. Untungnya saat itu dia anak kembarnya sudah di antar Antonio pergi ke sekolah, jadi mau teriak sekeras apapun, pali
Tiba-tiba, semua lampu jalan padam, bahkan seluruh bangunan terlihat gelap. Hampir semua detak jantung mereka terdengar berpacu dengan kencang. Simon meraba-raba mencari ponselnya untuk penerangan.Saat ini, ada suara langkah kaki mendekat, membuat ketegangan, sebelum langkah itu sempat mendekat, sebuah cahaya muncul menyilaukan mata. “Sandra … segera kita bawa dia kerumah sakit.” Untungnya Alessa segera menghidupkan senter Flashlight dari ponselnya.Sementara Sean terlihat histeris melihat sang mommy yang berada dalam keadaan kritis. “Mommy… ayah, siapa yang berbuat jahat pada mommy, kenapa kamu hanya diam ketika orang melukainya.” Bocah itu menangis tersedu-sedu.Simon menelan salivanya, dia mencoba menenangkan Sean dengan sabar. Namun, anak seperti putranya ini cukup bermulut pedas, jadi semua perkataan orang dewasa dia lontarkan, tanpa peduli bahwa itu akan menyinggung orang lain, termasuk dirinya sendiri sebagai ayah.“Sean, kita tak tahu siapa orang yang melakukan itu pada mommy-
“Alessa…” Sandra dan Simon buru-buru keluar dari mobil, mereka melihat kerumunan orang di sekitar rumahnya, bahkan ada banyak petugas keamanan dan wartawan yang berkumpul di sekitar area.“Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Di antara kerumunan itu, mereka melihat seorang pria terlihat berjalan menunduk diiringi oleh beberapa petugas keamanan. Wartawan mengambil foto, lalu melakukan wawancara.Simon mengernyitkan dahinya. “Gerald?” Sandra ikut terkejut.“Dia muncul lagi?” Keduanya bergegas mendekati kerumunan karena ingin memastikan keadaan putranya.“Sean…” Sandra berlari menghampiri seorang guru les privat anaknya. Sayangnya, sosok yang di panggil namanya tidak ada di sana. “Dimana Sean? Dia baik-baik saja kan?” Suaranya bergetar.“Nyonya tenang saja, Sean sedang tidur di dalam, tampaknya dia kelelahan. Yang jadi masalah sekarang adalah Ibu Alessa…”Simon menimpali. "Kamu sudah beritahu ini pada polisi?”Belum sempat menjawab, fiba-tiba seorang petugas keamanan mendatangi mereka, "K
"Aku akan berikan salah satu toko butik milik perusahaan Elegant Endless Group' pada Alessa, semoga itu akan cukup." Entah darimana kepercayaan diri ini munculnya, Sandra mengerahkan semua isi hatinya pada Simon yang masih membeku di tempatnya. Meski hatinya penuh keraguan, namun Simon mencoba mencerna semua ucapan istrinya. "Kamu yakin?" ujarnya memastikan. Sandra mengangguk, "Aku percaya, Alessa orang yang jujur, makanya aku memilihnya, kamu jangan cemas dan takut dia akan menipu, yang penting kamu setuju saja itu sudah cukup." Sorot mata Sandra jelas tampak ketulusan, jadi Simon mengikuti saja. "Jika benar begitu, itu tergantung padamu. Aku tidak bisa memaksa ataupun melarang.""Deal!" Elsa mengambil satu keputusan. "Terima kasih dukunganmu, sayang..." Satu kecupan mendarat di pipi Simon, memancing gair4hnya, hingga sebuah adegan Simon mengendong istrinya ke tempat tidur dan menjeratnya dengan gila, menatapnya dengan penuh hasr4t."Aku suka cium4nmu, Simon." Sandra berkata denga
"Kamu tak apa kan?" Alessa senang karena di perhatikan oleh atasan, sekaligus atasannya. "Jangan memaksakan diri, jaga kondisi tubuhmu dengan baik oke?" Obrolan mereka selesai setelah Sandra menyudahi panggilannya.Malamnya, Alessa pulang ke rumah dengan langkah ringan. Rasanya lelah seharian bekerja, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap kuat menjalaninya.Namun, ketika di depan pintu dia terkejut melihat pria yang tidak dikenal berdiri di tengah dengan sebo dan jas hitam. Dia tampak sangat misterius membuat Alessa agak takut."Siapa kamu? Kenapa mengikutiku kemari?" Suara Alessa terdengar bergetar saat ketakutan. Namun, pria itu hanya tersenyum dan mengangkat tangannya, menunjukkan sebuah pistol."Maaf, Alessa. Saya disini hanya di suruh mengambil sesuatu." ucap pria itu dengan tenang. Alessa tak peduli lagi dengan hal itu, ia kebingungan harus meminta bantuan siapa, sedangkan ponselnya kini masti total.'Jika aku berteriak sekarang, Sean pasti akan ketakutan.' Gumamnya pelan. De
Aku terkejut dengan pertanyaan Hani tadi, "Kenapa kamu menanyakan itu?" jawabku sambil balik bertanya. Hani melebarkan bibirnya dengan sedikit senyuman, "Ah, tidak. Aku hanya bertanya saja. Ku kira selama ini kamu masih sering menghubunginya." Benar, aku masih belum sempat menghubungi Juan. Kemarin ponselku tertinggal saat aku sedang pergi bersama Pak Jonas. Ya ampun, kenapa aku begitu bodoh? Aku menepuk kepalaku sendiri.Bisa-bisanya aku melupakan itu... kulihat jam di tanganku. Ini sudah hampir terlambat, aku bahkan belum sarapan sama sekali. Oh, tidak...!Hani geleng-geleng kepala melihat raut wajahku yang seketika berubah muram. Aku bingung, mana yang akan kulakukan lebih dulu. "Aku pergi sekarang, Hani." Aku langsung pergi begitu saja tanpa mendengar jawaban Hani. Kedengarannya, dia tengah memberikan sebuah nasehat untukku, namun kubiarkan saja dia berbicara sendiri di depan pintu."Pak, stop!!" Aku menyetop sebuah taksi yang kebetulan tengah melintas di jalan yang kulewati. Aku m
"Akhirnya sampai juga." Alessa melihat bocah cilik itu tampak tertidur, setelah turun dari mobil, dia melepas sepatu Sean, berencana segera menidurkannya di kamar.Namun, Sean terbangun karena merasa ada tangan yang lembut menyentuhnya. Bocah itu mengusap matanya berulang, sebelum berbicara. "Tante Alessa, apakah kita sudah di rumah?" tanyanya dengan nada polos, Alessa menggangguk, "Benar sayang kita baru sampai..."Sean membuka lebar matanya, lalu berdiri bersiap keluar mobil. " Tante, sejak tadi kamu sudah bekerja keras, apa Moms akan senang dengan hasil kerjamu tadi?"Mendengar suara imut anak itu, Alessa tersenyum, "Aku berharap begitu, Sean. Yang penting aku telah berusaha mengelolanya sesuai dengan selera mommy-mu.""Aku yakin mommy pasti senang, kulihat Tante bahkan juga ulet bekerja, kuharap Tante juga bisa menjadi seperti Mommy, bahkan lebih baik daripadanya."Alessa tersenyum bangga mendengar pujian dari anak itu. "Oh ya Tante, kamu sudah punya pacar?" Saat mereka berdua b