Angin segar bertiup dengan sendirinya dan langsung mengenai kulit lantaran tak memiliki penghalang sama sekali. Tanpa sungkan angin itu juga menampar pelan wajah cantik Jane yang tak mengaplikasikan riasan apapun hari itu. Bau garam semerbak membuat hidung mancungnya berkerut kecil ketika tak sengaja menciumnya. Jari-jarinya yang lentik kini tak terlihat memakai cat kuku warna warni yang biasanya ia pakai. Jane memang sengaja, ia ingin menjadi orang biasa saja seperti apa yang pernah ia lakukan ketika pertama kalinya menginjak pesisir. Jika biasanya ia akan diseret kesana kemarin oleh Jasmine, kali ini Jane bisa menghabiskan waktunya sendiri. Tanpa siapapun yang akan mengganggu waktu tenangnya—atau mungkin tidak. “Jane, kau mau membantu bibi bercocok tanam?” Maya, wanita itu terkesan ramah untuk kali kedua Jane mengenalnya dengan cara berbeda dan sudut pandang berbeda. Sebagai wanita yang tak pernah tumbuh dengan kasih sayang ibu, Jane merasa canggung dan kikuk ketika Maya yang
"Maaf, Prof. Saya tidak bisa melanjutkan pertemuan lusa. Saya akan memberikan semua hasil laporan pada mahasiswa lain.” Vincent hanya bisa menghela nafas ketika ucapan balasan dari sang profesor yang terdengar kecewa. Jelas saja lantaran dirinya ini malah berkendara sendiri kembali ke tanah kelahiran hanya untuk bertemu dengan Jane. Ini mungkin terdengar konyol, tapi mendengar apa yang dikatakan Lilibet, ia seperti langsung bisa tahu jika kekasihnya pergi ke pesisir. “Maaf telah mengecewakan Anda, Prof. Saya akan menghubungi Anda nanti.” Tutt Vincent meletakkan ponselnya di kursi samping, namun ketika fokusnya hendak kembali ke jalanan, benda persegi empat itu kembali menyala dan kali ini sebuah nama yang tak asing tertera, Shopia. Nama wanita yang sudah membuat kekasihnya yang dingin cemburu hingga pergi tanpa kabar. Vincent melihat sekeliling ketika ia sudah sampai jalan terjal tempat tinggalnya. Aroma garam langsung tercium ketika ia memasuki perbatasan. Sudah berapa lama Vince
Bau garam menyengat di hidung. Beberapa burung nampak indah sekali berterangan ke sana kemari mencari ikan. Para nelayan pun tak mau ketinggalan, di tengah cuaca yang itu terbilang agak terik—jam menunjukkan pukul dua siang. Mereka sudah berada di titik di mana ikan biasa berkumpul. Angin berhembus pelan, membuat Jane mendesah kecil ketika merasakan bagaimana angin itu seperti mengajaknya bermain. Kedua matanya tertutup dan membiarkan rambut panjangnya yang tergerai tersapu angin. Suara deburan ombak laut jauh lebih bagus ketimbang musik karaoke yang biasa Jasmine putar di mobilnya. Tidak ada Jasmine dan ia benar-benar bisa merasakan indahnya hari tanpa harus mendengar rengekan wakannya itu. Jane membuka mata dan beralih memandang Vincent yang belum juga mengeluarkan suaranya. Pria hanya diam dan dengan setia menggenggam tangannya, seakan jika nanti dilepas, wanita itu juga akan pergi meninggalkannya. Konyol sekali. Mereka berdua tengah berada di gazebo dekat dengan pantai. Meni
Shofia datang di pagi buta. Membuat Jane hampir melempar vas di meja ke wajah wanita itu. Mereka baru sampai kemarin malam dari pesisir dan kini, Jane harus dihadapkan kembali dengan wanita yang membuatnya uring-uringan sejak beberapa hari yang lalu. “Aku hanya menemui Vincent karena kami memiliki proyek penelitian bersama. Tapi sayangnya ia sudah membatalkannya. Kau tak perlu cemburu,” katanya dengan senyuman tipis. Jane menarik satu alis, nampak tak terlalu penasaran dengan apa yang dikatakan wanita itu. Tak lama suara grasak grusuk nampak nyaring, membuat Jane menoleh dan mendapati Vincent yang nampak semrawut dengan pakaian yang masih acak-acakan juga dengan tampilan yang nampak seperti biasa ia lihat ketika pria itu baru bangun. “Maaf, Anda sepertinya datang disaat yang kurang tepat, Nona.” Jane hanya memperhatikan saja kekasihnya yang menyerahkan map merah kedepan sang tamu, sementara Shofia namak tersenyum kecil meskipun terlihat sangat menjengkelkan di mata Jane. Wanita
Jane terbangun di suatu pagi yang masih gelap. Wanita itu di bangunkan oleh usapan lembut dari tangan pria yang tidur di belakangnya. Kehangatan yang memang terasa nyata di balik punggung telanjang. Usapan itu, alih-alih mengganggu malam membuat Jane semakin melesak masuk dalam rengkuhan. Ia menggeliat ketika pria di belakangnya mengusap teratur perut ratanya, namun kemudian semakin naik ke dua daging kenyal miliknya. Jari-jari Vincent memainkan seolah itu adalah sesuatu yang pantas dimainkan. Jane berdesis, ketika gigi Vincent menancap di pundak. Ia yakin pria itu akan meninggalkan tanda yang mungkin akan membuat staf riasya kesal. Namun siapa yang peduli. Jane menyukainya. Jemarinya bahkan ikut menekan tangan Vincent yang tengah bermain. Pria itu tak memerlukan izin untuk menyentuh apapun yang ada di tubuhnya, begitu pula dirinya. Ketika tangan yang tadi bergabung dengan jemari Vincent kini merambat ke belakang. Menekan sang pria untuk lebih dekat dengannya. Jane membuat Vince
Jasmine terlihat berbeda hari ini. Wanita itu nampak terlalu bahagia namun juga terlihat lesu secara bersamaan. Ketika kakinya menginjak ruangan Jane, tatapan mata yang bisanya berbinar itu masih bisa ditemukan meskipun bibirnya yang sering kali melempar omong kosong terkunci. "Jadi ada apa lagi kali ini?" Seharian ini Jane hanya di ruangannya, profesi yang semula sebagai model, kini berganti sebagai talent manager meskipun tidak secara full time. Jane tidak merasa rugi sama sekali, ia bisa sedikit menghemat energi agar tak terlalu bersinggungan dengan orang lain. Juga tidak perlu lagi pusing dengan sorotan media. Sang kawan melempar tubuhnya di sofa, ujung matanya melirik Jane yang memilih kembali sibuk dengan kertas-kertas calon model agensi. Sesuatu yang kini menjadi pekerjaan Jane dan anehnya Jane menikmatinya, meskipun kadang kala merasa kesal bertemu dengan beberapa calon model yang cukup menguras tenaga dan emosi. Sebuah keberuntungan adalah mereka kini tidak berhadap
"Aku tidak suka dengan Sophia,” ucap Jane to the point. Ungkapan wanita itu membuat Vincent yang tadinya memeriksa laporan bulanan kafe mendongak, menatap wajah cantik sang kekasih yang kini terlihat kesal. Vincent menyadari betul jika Jane kini sangat pandai mengekspresikan apa yang dirasakan tanpa sungkan dan itu membuat sang pria terhibur. “Kenapa? dia hanya dosen yang mengajar kelasku,” saut Vincent dengan santai. Tak ingin terlalu ambil pusing perkara wanita lain lantaran dirinya sangat tahu jika Jane adalah tipe kekasih yang posesif. Wanita itu berdecak. Kedua tangannya bersedekap. “Aku tau dia suka padamu dan itu sangat terlihat. Apa kau tak sadar?” tanya Jane lagi. Menutup dokumen yang tadi dibuka dan beranjak.Vincent memegang kedua lengan Jane, mereka berdiri berhadapan dengan Vincent yang sedikit membungkukkan tubuhnya agar setara tingginya dengan Jane. “Tidak, hanya perasaanmu saja, sayang. Dia memang selalu begitu pada mahasiswanya.” Jane menghembuskan nafasnya
Bukan pertama kalinya Jane mampir ke kafe milik Vincent, hanya saja ini adalah kali pertama ia duduk dengan benar-benar sebagai pelanggan. Lantaran biasanya ia hanya akan duduk diam di ruang khusus milik sang kekasih. Menghabiskan waktu dengan buku atau ponsel ketika kekasihnya tengah mengontrol kafe. Semua staf yang bekerja di sana kenal dengan Jane, oleh karena itu menu yang dipesan sudah pasti disiapkan khusus ketika tahu kekasih dari bos mereka akan datang. Puding coklat dan milk shake kesukaannya sudah ada di depan mata ketika ia duduk di meja, wanita itu juga memesan beberapa menu tambahan, seperti kue coklat tanpa kismis atau almond. Pandangannya mengedar dan menemukan satu sosok yang jarang dilihat di kafe sang kekasih. Seorang gadis yang terlihat lebih muda darinya, Jane ingat namanya Mila Cris. Vincent pernah menceritakan tentang gadis itu. Seorang mahasiswa semester akhir yang kini tengah magang di sebuah perusahaan. Seorang perempuan mandiri dan bekerja keras, Jane bisa
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam
‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’
“Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t
“Kami mengenalnya dan kebetulan kafe ini miliknya,” ucap seorang wnaita berseragam yang nampak memandang secarik kertas di tangan. Suasa kafe tak terlalu ramai hari ini lantaran gerimis di pagi buta. Suasana masih cukup dingin untuk berkatifitas di luar. Meskipun demikian kafe wajib buka sesuai dengan jamnya, tak ada alasan untuk menunda meskipun sang bos tidak ada di tempat. Pandangan wanita yang tadi datang merambah sekitar. Beberapa orang nampak berlalu lalang di dalam kafe yang terlihat sangat menarik di mata. Di antara bangunan yang berjejer di tepian pantai yang tenang itu, bangunan kafe yang menurutnya memang sangat menarik. Ia tersenyum kecil ketika menyadari siapa yang mungkin mendekorasinya. Sementara itu, si pegawai kafe nampak melirik kecil pada wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia kemudian kembali memandang pada sebuah foto yang tentu saja baginya sangat tidak asing. Itu foto Vincent, pria yang tak lain adalah bosnya dan juga pemilik salah stau pengin
Pukul dua siang, mereka sampai di penginapan. Jane melihat sekitar, menghela nafas ketika suasana di ruangan itu tidak banyak berubah. Meskipun di beberapa bagian terdapat debu yang menempel. Lampu gantung di ruang makan, salah satu hal yang menarik perhatiannya lantaran benda itu pernah ia beli untuk hadiah ibu Vincent. Jane juga tidak melewatkan sebuah bunga hidup yang terlihat nampak terawatdi tralis jendela. Bunga-bunga yang kini sayangnya belum berbunga itu adalah tumbuhan kesayangan Maya. Jane masih ingat betul bagaimana perempuan baya itu sangat semangat menjelaskan jenis bunga dan cara menanamnya dengan media air. Pandangan Jane kini tertuju ke luar jendela dapur, di tangan kanannya segelas air putih yang telah berhasil menghalau dahaga sudah di tegak setengah. Grep Jane tersentak namun tak memberikan respon yang berarti. Hanya menyentuh kulit sang pria yang terasa kasar. “Kenapa diam saja, hmm? Ada masalah?” Jane memalingkan wajahnya, menadapati tatapan penasaran dari Vi
Tumpukan barang-barang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jane. Beberapa barang lain yang kemungkinan tidak akan dibawa juga sudah terbungkus lapisan plastik. Tak ada yang tersisa, dipastikan semuanya tetap rapi dan tidak berdebu karena Jane membencinya. Sejujurnya ia tengah memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah liburan panjang, kembali bekerja di perusahaan agensi Thomas atau memilih untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin sesuai dengan passionnya. Sebagai seseorang yang telah memiliki nama, wanita itu tak terlalu ambil pusing tentang pekerjaan. Menghela nafas pelan setelah selesai dengan acara berkemas, Jane merebahkan tubuhnya di pinggir karpet. Memiringkan tubuh dan menatap dua koper besar yang akan ia bawa yang kini teronggok di ujung ruangan. Tak Pandangan yang tadinya hanya tertuju pada benda mati kini teralihkan pada sosok pria yang selalu menemaninya. Selalu ada untuknya dan kini bahkan rela meminta izin untuk menyelesaikan tugas akhir dari jarak jauh. Se