Shofia datang di pagi buta. Membuat Jane hampir melempar vas di meja ke wajah wanita itu. Mereka baru sampai kemarin malam dari pesisir dan kini, Jane harus dihadapkan kembali dengan wanita yang membuatnya uring-uringan sejak beberapa hari yang lalu. “Aku hanya menemui Vincent karena kami memiliki proyek penelitian bersama. Tapi sayangnya ia sudah membatalkannya. Kau tak perlu cemburu,” katanya dengan senyuman tipis. Jane menarik satu alis, nampak tak terlalu penasaran dengan apa yang dikatakan wanita itu. Tak lama suara grasak grusuk nampak nyaring, membuat Jane menoleh dan mendapati Vincent yang nampak semrawut dengan pakaian yang masih acak-acakan juga dengan tampilan yang nampak seperti biasa ia lihat ketika pria itu baru bangun. “Maaf, Anda sepertinya datang disaat yang kurang tepat, Nona.” Jane hanya memperhatikan saja kekasihnya yang menyerahkan map merah kedepan sang tamu, sementara Shofia namak tersenyum kecil meskipun terlihat sangat menjengkelkan di mata Jane. Wanita
Jane terbangun di suatu pagi yang masih gelap. Wanita itu di bangunkan oleh usapan lembut dari tangan pria yang tidur di belakangnya. Kehangatan yang memang terasa nyata di balik punggung telanjang. Usapan itu, alih-alih mengganggu malam membuat Jane semakin melesak masuk dalam rengkuhan. Ia menggeliat ketika pria di belakangnya mengusap teratur perut ratanya, namun kemudian semakin naik ke dua daging kenyal miliknya. Jari-jari Vincent memainkan seolah itu adalah sesuatu yang pantas dimainkan. Jane berdesis, ketika gigi Vincent menancap di pundak. Ia yakin pria itu akan meninggalkan tanda yang mungkin akan membuat staf riasya kesal. Namun siapa yang peduli. Jane menyukainya. Jemarinya bahkan ikut menekan tangan Vincent yang tengah bermain. Pria itu tak memerlukan izin untuk menyentuh apapun yang ada di tubuhnya, begitu pula dirinya. Ketika tangan yang tadi bergabung dengan jemari Vincent kini merambat ke belakang. Menekan sang pria untuk lebih dekat dengannya. Jane membuat Vince
Jasmine terlihat berbeda hari ini. Wanita itu nampak terlalu bahagia namun juga terlihat lesu secara bersamaan. Ketika kakinya menginjak ruangan Jane, tatapan mata yang bisanya berbinar itu masih bisa ditemukan meskipun bibirnya yang sering kali melempar omong kosong terkunci. "Jadi ada apa lagi kali ini?" Seharian ini Jane hanya di ruangannya, profesi yang semula sebagai model, kini berganti sebagai talent manager meskipun tidak secara full time. Jane tidak merasa rugi sama sekali, ia bisa sedikit menghemat energi agar tak terlalu bersinggungan dengan orang lain. Juga tidak perlu lagi pusing dengan sorotan media. Sang kawan melempar tubuhnya di sofa, ujung matanya melirik Jane yang memilih kembali sibuk dengan kertas-kertas calon model agensi. Sesuatu yang kini menjadi pekerjaan Jane dan anehnya Jane menikmatinya, meskipun kadang kala merasa kesal bertemu dengan beberapa calon model yang cukup menguras tenaga dan emosi. Sebuah keberuntungan adalah mereka kini tidak berhadap
"Aku tidak suka dengan Sophia,” ucap Jane to the point. Ungkapan wanita itu membuat Vincent yang tadinya memeriksa laporan bulanan kafe mendongak, menatap wajah cantik sang kekasih yang kini terlihat kesal. Vincent menyadari betul jika Jane kini sangat pandai mengekspresikan apa yang dirasakan tanpa sungkan dan itu membuat sang pria terhibur. “Kenapa? dia hanya dosen yang mengajar kelasku,” saut Vincent dengan santai. Tak ingin terlalu ambil pusing perkara wanita lain lantaran dirinya sangat tahu jika Jane adalah tipe kekasih yang posesif. Wanita itu berdecak. Kedua tangannya bersedekap. “Aku tau dia suka padamu dan itu sangat terlihat. Apa kau tak sadar?” tanya Jane lagi. Menutup dokumen yang tadi dibuka dan beranjak.Vincent memegang kedua lengan Jane, mereka berdiri berhadapan dengan Vincent yang sedikit membungkukkan tubuhnya agar setara tingginya dengan Jane. “Tidak, hanya perasaanmu saja, sayang. Dia memang selalu begitu pada mahasiswanya.” Jane menghembuskan nafasnya
Bukan pertama kalinya Jane mampir ke kafe milik Vincent, hanya saja ini adalah kali pertama ia duduk dengan benar-benar sebagai pelanggan. Lantaran biasanya ia hanya akan duduk diam di ruang khusus milik sang kekasih. Menghabiskan waktu dengan buku atau ponsel ketika kekasihnya tengah mengontrol kafe. Semua staf yang bekerja di sana kenal dengan Jane, oleh karena itu menu yang dipesan sudah pasti disiapkan khusus ketika tahu kekasih dari bos mereka akan datang. Puding coklat dan milk shake kesukaannya sudah ada di depan mata ketika ia duduk di meja, wanita itu juga memesan beberapa menu tambahan, seperti kue coklat tanpa kismis atau almond. Pandangannya mengedar dan menemukan satu sosok yang jarang dilihat di kafe sang kekasih. Seorang gadis yang terlihat lebih muda darinya, Jane ingat namanya Mila Cris. Vincent pernah menceritakan tentang gadis itu. Seorang mahasiswa semester akhir yang kini tengah magang di sebuah perusahaan. Seorang perempuan mandiri dan bekerja keras, Jane bisa
Vincent telah berada di lokasi tempatnya akan melakukan penelitian sejak dua hari yang lalu, ia tak menyangka ternyata membutuhkan waktu yang akan melakukan pengerjaan itu dan juga belajar tentang cara kerja resort tersebut. Ia memulai dari bagian management resort, melihat beberapa berkas dan melakukan sesi wawancara yang dibutuhkan dengan beberapa orang yang memang ia butuhkan datanya. Jujur saja, hal ini jauh lebih menguras tenaga lantaran dikerjakan sendirian. Tidak seperti projek kemarin, dirinya dibantu oleh mahasiswa sarjana satu. Meskipun demikian sebenarnya Vincent juga berterima kasih atas kehadiran Shofia, wanita itu sejujurnya memang banyak membantunya. Shofia juga yang mencarikan dirinya penginapan yang cocok untuk ia tempati. “Sudah malam, kau tak istirahat?” tanya Shofia yang baru saja datang dari arah lift lantai itu. Wanita itu berada di lantai atas dan juga memiliki kamar penginapan sendiri. Vincent mendongak dan agak tersentak melihat penampilan Shofia yang
"Jadi kau belum menyelesaikan semuanya?” tanya Shofia. Kali ini wanita itu sudah dengan pakaian yang lebih tertutup. Nampak mempesona dengan pakaiannya yang simple namun elegan. Beberapa orang yang berada di kafe tersebut juga beberapa kali melirik Shofia dengan pandangan berminatnya. “Informasi tentang bagaimana mereka merekrut karyawan dari bagian bawah hingga atas. Aku belum mengecek semuanya,” ucapanya dengan pandangan mata yang sayu, Vincent benar-benar kelelahan. Setelah pamit malam tadi, ia langsung meneruskan pekerjaan. “Baiklah, aku bisa membantumu. Asal kau mau memenuhi satu persyaratan ku,” ucap wanita itu dengan senyuman kecil. Vincent mengerutkan dahinya, ia tidak tahu apa yang sebenarnya wanita itu inginkan dan merasa agak aneh dengan apa yang dikatakan oleh Shofia. “Kau harus menemaniku menghabiskan sore nanti. Kau tahu—di sini ada tempat yang indah untuk melihat matahari terbenam, bagaimana?” tanya Shofia dengan pandangan mata sayunya yang alami. Vincent ter
Vincent sebenarnya tidak bodoh ketika melihat gelagat Shofia yang senang sekali merecoki hidupnya. Ketika istirahat di kampus, wanita itu akan mendatanginya dan menanyakan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan proyek mereka, padahal sudah jelas jika projek itu sebenarnya sudah selesai dan mereka tinggal menunggu hasilnya. Sekitar satu bulan yang ia rasakan ketika wanita itu terus menempelinya di kampus tentu membuatnya jengah. Untung dirinya adalah mahasiswa sarjana tiga, sangat mudah untuk mencari alasan agar diperbolehkan absen. Sayangnya sepertinya Shofia terlalu berlarut mencampuri urusannya di kampus. Meskipun ia tak bisa memungkiri jika kadang hal itu sangat membantunya. Perasaan risih ia tepis dengan dalih profesionalitas, sampai kemudian dirinya tahu jika Shofia tak mencintai tunangannya dan dirinya hanya ingin mencari teman untuk mengalihkan penat. Itu adalah apa yang ia pikirkan beberapa saat lalu. Tak muluk, wanita itu hanya mengajaknya keluar sekedar refreshing dan