Beberapa terakhir ini Jane merasa aneh dengan sang asisten. Lucas menghindarinya, entah hanya perasaannya atau mungkin memang benar terjadi. Ia berpikir begitu karena bukan hanya dirinya yang merasa keanehan Lucas, tapi Jasmine juga. “Jadi kau memiliki masalah atau tidak dengannya?” tanya Jasmine dengan wajah penasaran. Mereka tengah berada di sebuah kafe yang telah di reservasi sebelumnya. Jane menghentikan suapan, menatap sang kawan yang senang sekali melempar pertanyaan. Ia tidak tahu bagaimana bisa wanita itu begitu mudah mengungkapkan pertanyaan dalam pikiran. “Tidak, jelas sekali aku tidak pernah berseteru dengan Lucas. Kau tahu bagaimana sikapnya, Kan? Aku tidak memiliki masalah dengannya.” “Lalu apa yang terjadi kenapa dia tiba-tiba—” Ucapan Jasmine terhenti entah karena apa. Jane mengernyitkan dahi ketika melihat gelagat aneh temanya yang kini malah beralih pada potongan kue dan kudapan yang baru disajikan oleh pelayan kafe. Namun Jane hanya mengedikkan bahu, tak ing
Jane merasa dirinya seperti orang bodoh ketika ia bangun dalam keadaan kepala hampir pecah. Semua hal di sekitarnya terasa seperti kekacauan yang mungkin tiada akhir hingga membuatnya hampir muntah. Dahinya mengernyit, pandangannya menatap sekitar sebelum kemudian rasa takut menyelimuti dirinya ketika ia sadar akan satu hal. Dirinya terbangun di kamar miliknya dengan seorang pria tertidur pulas di sampingnya. Sayangnya orang itu jelas sekali bukan Vincent. Jane berani bersumpah, bahkan jika ia bisa mati saat ini–maka mati adalah hal yang mungkin akan membuatnya terhindar dari masalah hidupnya yang tiada akhir dan ini akan menjadi awal dari masalah baru untuknya. Pria itu—berambut abu kegelapan yang tadi malam sempat ia puji. Jelas Jane tahu siapa pria itu. Lucas, sang asisten. “A—apa yang terjadi,” gumamnya sambil beranjak. Matanya kembali terbelalak ketika menyadari dirinya hanya mengenakan pakaian dalam, sementara Lucas terlihat tak memakai atasan. Ketika ia s***k sedikit, u
Apa yang membuatmu bahagia? Pertanyaan itu sudah tentu membuat Jane cukup kesulitan menjawabnya. Selama ini ia mengalami banyak kesulitan, ia dihadapkan dengan sesuatu yang mengguncang dirinya, kemudian niatan buruk tentang mengakhiri hidup yang kerap kali hadir di depan mata. Jane mungkin sudah gila ketika memilih untuk bertahan dan menanggung semuanya. Kemudian ketika semua baik-baik saja, angin masa lalu kembali berhembus kencang. Membuatnya kembali terluka dan takluk pada apa yang terjadi Kini, ketika segalanya ia anggap sempurna, keraguan tentang cinta membuatnya koyak dan parahnya kini ia melibatkan orang lain dalam masalah yang tak kalah gila ini. “Maaf,” ucap Lucas ketika Jane tersadar dari lamunan. Pandangannya yang tadi ia buang ke luar jendela kini beralih pada punggung tangan kirinya yang sudah terpasang infus. Ia pingsan, ini konyol. Sudah sangat jelas dirinya sendiri yang telah menyakiti perasaan kekasihnya, namun menjadi kini, juga ia yang merasakan sakit itu.
Apartemen yang biasanya sepi itu kini nampak rusuh dengan pria yang tengah repot dengan barang-barang yang nampak berserakan di depannya. Tangannya yang satu memegang ponsel yang menempel di telinga dengan mulut yang terus mengatakan kalimat yang bisa membuat sang ibu berhenti khawatir. Sementara tangan satunya tengah repot memilih dokumen pendaftaran yang kemarin belum sempat ia susun. “Iya, Bu. Aku akan pulang. Bukankah kemarin ibu yang menyuruhku melanjutkan pendidikan dan menerima tawaran ini. Lagi pula sudah ada Jeremy yang akan menghandle kafe disini.” Ujung matanya melirik Jeremy yang tadinya asik main game juga tentang menatapnya sebentar sebelum kembali sibuk, sembari mengangkat jempolnya. Pria itu kemudian berdiri dengan kedua tangan berada di pinggang, menatap sekitar yang berantakan dan menghela nafas. Tangannya bergantian memijat pelipis. Sementara ponsel diapit pundak dan telinga. Suara ibunya masih mengalun di seberang sana. “Iya, Bu. Iya aku tahu.” “Aku akan meng
Brigham University terlihat cukup ricuh. Bangunan utama yang memiliki tiga lantai itu dipenuhi oleh mahasiswa yang tengah berkerumun hanya untuk melihat satu sosok wanita cantik yang biasanya hanya bisa mereka lihat lewat layar kaca atau sampul majalah. Ya, Jane tengah berada di kampus tersebut. Tidak ingin tebar pesona sebenarnya. Ia hanya ingin menemani Vincent yang masih terhitung mahasiswa baru untuk mahasiswa doktoral. Tak menyangka juga akan ada banyak mahasiswa di kampus bergengsi itu yang mengenal dirinya. Ia beberapa kali mendengar pujian, namun juga tak bisa menghindarkan beberapa kata umpatan dari mereka. Sesuatu yang biasa terjadi dan dirinya sudah kelewat biasa. Jane jelas tahu akan ada pembencinya di manapun. Vincent yang menyadari jika sekelilingnya sudah tidak kondusif menarik cepat Jane di sampingnya. Membuat beberapa mahasiswa yang nekat mendekat dan meminta Jane untuk berfoto agak mundur setelah mendapatkan tatapan dingin Vincent. “Bubar!! Bubar!” Untungny
Buntut dari permasalahan yang Jasmine hadapi dengan Jeremy menuai titik terang. Pria itu datang ke toko rotinya selama seminggu penuh dan tentu saja tak lupa membawa berbagai macam barang yang sebenarnya; jika boleh jujur, Jasmine mampu membelinya, bahkan dengan harga yang lebih mahal dari itu. Namun, Jasmine tetaplah Jasmine, perempuan baik yang mungkin memiliki ketidak beruntungan tentang keluarga dan kali ini mendapatkan cobaan lewat kekasihnya. “Apalagi kali ini?” tanya Jasmine dengan raut wajah yang nampak sekali tak senang. Ia membenci hari yang dimulai dengan ingatan menyesakkan tempo hari. Sudah melihat sang kekasih selingkuh, ditambah dirinya yang hampir mati tertabrak mobil, bukankah Jasmine sangat pantas untuk memaki pria yang telah membuatnya seperti itu. “Aku akan terus datang sampai kamu mau mendengarkan penjelasanku tentang kesalahpahaman tempo hari.” Jasmine menghela nafas. Memilih kembali menyibukkan diri di dapur dan meninggalkan Jeremy yang masih setia di tem
Beberapa daun kering berjatuhan ketika angin bertiup. Serakan daun di tanah membuat orang-orang yang berlalu lalang memilih untuk menyingkir dari area yang sekiranya tertutupi banyak daun kering. Daun kering yang terlihat begitu rapuh itu nyatanya sudah berapa kali membuat pengendara sepeda maupun pejalan kaki terpeleset dan jatuh karena permukaan yang licin. Hal yang mungkin tidak pernah manusia kira, hanya daun kering biasa yang dikira tak berguna, namun mampu membuat kerugian. Hingga kemudian sebuah papan peringatan terpasang area yang sekiranya merugikan. “Jadi kau ingin terus di sini atau pulang?” Jane yang tadinya menatap dedaunan yang entah sudah berapa kali menimbulkan keresahan orang sekitar mengalihkan perhatian. Aroma kopi pekat langsung menembus ke rongga hidung, pangkal hidungnya berkedut namun tak bisa menolak cairan berkafein yang kini nampak menggugah selera di depan wanita cantik itu. Kaos lengan pendek yang ia kenapa membuat angin mudah sekali membuatnya mera
Waktu berlalu begitu cepat, membuat Jane lupa ia semakin hari merasa semakin sibuk dengan bisnis yang kini dikelola sendiri. Bukan bisnis besar, hanya bisnis pakaian dengan beberapa rancangan yang dibuat olehnya sendiri. Sebuah hobi yang bisa membuatnya sedikit mengobati penat ketika di agensi. Ini mungkin terlihat aneh ketika beberapa orang yang mampir ke butiknya akan melihat dirinya tersenyum ramah ketika melayani pelanggan, sesuatu yang sungguh jarang ditunjukkan di depan kamera. Ya, semakin ke sini. Jane semakin terlihat mudah didekati oleh orang yang ada di sekitarnya. Dulu yang berani menegur hanya mereka yang memiliki kedudukan tinggi di agensi, juga hanya karyawan yang memang sering bersamanya. Jika orang lain, kebanyakan akan menggunjing ini itu tentangnya karena iri. Kabar lain yang juga mengguncang dan hangat dibicarakan adalah tentang kekasihnya yang ternyata seorang mahasiswa doktoral yang kini tengah menempuh pendidikan sekaligus pemilik kafe di sebuah persimpanga