Jasmine mendengus ketika ibunya datang ke tempat usaha miliknya. Toko roti, yang dulu ia bangun hanya sebatas iseng semata dan coba-coba kini sudah lebih ramai, ditambah dirinya yang semakin meluangkan waktu untuk ikut andil melayani pelanggan selain membuat kue. Jasmine tak ingin terlalu tertekan dengan dunia entertainment yang memang sejak lama membuatnya jengah. Keputusan yang sudah tentu hanya didukung oleh sang sahabat, nyatanya tak membuat Jasmine meyesalinya, ia malah bangga bisa membangun usaha sendiri. Bangunan toko rotinya yang berada di pojok jalan taman kota, cukup strategis dan Jasmine memang memiliki insting kuat ketika membeli bangunan yang semula rumah sewa tak terawat. Dengan dekorasi vintage dan arsitektur semi modern, membuat tokonya terlihat menarik dari luar dan dalam. Wanita itu juga tak pernah lupa berterima kasih pada sang kekasih, berkat kepiawaian memotret Jeremy, situs tokonya ramai dibahas di forum online dan berdampak pada omset penjualan rotinya.
Gambaran malam terlihat jelas dari balik jendela ruang tamu apartemen mewah itu. Bintang tidak terlihat lantaran polusi perkotaan. Namun ketimbang biasanya, malam itu cuaca serta udara tidak menyesakkan ketika siang. Bulan di ujung nampak melambai, menunjukkan dirinya ada meskipun sendirian. “Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Vincent ketika Jane duduk di sampingnya dengan segelas coklat panas dan kopi hitam untuknya. Meletakkannya di meja, sebelum melempar diri dalam pelukan hangat sang kekasih. Ya, pria yang sebenarnya memiliki tempat tinggal sendiri itu memilih untuk bermalam di apartemen Jane beberapa hari terakhir. Tangan kanannya yang tadi tengah mengetik, kini beralih meraih pinggang Jane untuk lebih mendekat padanya. Aroma bunga mawar segar langsung tercium dari area leher Jane, membuat Vincent mendekat dan mencium pundak Jane yang memang terekspose. Membuat Jane mendorong sang pria pelan. Jika tidak dihentikan, mereka akan menghabiskan semalam penuh untuk bercinta tanpa r
Jasmine hampir terantuk pintu ketika wanita itu datang dengan keadaan yang kacau. Kemeja maroon yang dikenakan nampak kusut dan rambutnya yang biasanya tergerai rapi, kini malah mirip orang yang tak pernah menggunakan sisir selama hidup. Acak-acakkan dan juga ada daun kering yang menempel. Jane yang ada di ruangan agak penasaran, hal buruk apa yang menimpa kawannya itu. Bagaimana bisa Jasmine yang perhatian dengan segala produk kecantikan dan fashionable itu terlihat buruk di siang bolong ini. Berbicara tentang siang, Jane sempat mendapatkan kabar jika sang kekasih nanti akan menjemputnya untuk makan siang bersama. Brak!! “Bajingan, harusnya aku memang tak mengizinkannya ikut proyek itu!!” teriaknya dan duduk di sofa yang memang ada di tengah ruangan Jane. Kepala Jasmine menunduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Setelahnya pundak wanita itu nampak naik turun disertai sesengguk kecil namun bisa didengar jelas. Jasmine menangis. Jane tadinya tengah sibuk dengan beberapa maja
Jane tidak pernah keluar untuk berkencan. Mungkin terdengar seperti bualan. Terlebih mereka yang kemakan oleh gosip omong kosong yang sering diedarkan oleh berita abal-abal. Penulis berita akhir-akhir ini memang amat menyukai penulisan kontroversi ketimbang prestasi dan Jane jelas tidak heran dengan itu karena masyarakat pun juga lebih menyukai mengkonsumsi berita heboh dan viral ketimbang sebuah prestasi. Jane memang sempat dekat dengan Jack, ketika mereka kuliah. Namun sebenarnya tidak benar-benar mengenal kecuali hanya sebatas tahu pria terkenal dan gadis kutu buku, Jane memang sempat tertarik namun bukan sampai benar-benar suka lantaran keberuntungan memihaknya, memberi tahu jika Jack bukanlah pria baik. Jane kini terlihat malas, dirinya juga tidak tahu apa yang harus disiapkan dan lagi—ia tidak tahu kemana Vincent akan membawanya, membuatnya bingung memakai pakaian apa yang akan cocok dengan tempat kencan mereka. “Jadi Vincent tidak mengatakan ia akan membawamu ke mana? sang
Lilibet dengan wajah tenangnya terus mendengarkan apa yang Jane ceritakan. Wanita itu memang menganjurkan Jane untuk tetap aktif berkonsultasi agar tahu progres tentang kesehatan mentalnya. Jane mengakui tentang perasaannya akhir-akhir ini. Tentang sesuatu yang membuatnya tidak nyaman dan mengganggu pikiran. Apa yang terjadi di masa lalu tentu bukan sesuatu yang bisa dikatakan mudah disembuhkan atau bahkan mustahil. Sebuah keberuntungan ia memiliki Lilibet dan Jasmine yang selalu ada di sampingnya. “Akhir-akhir ini aku hanya merasa—hampa.” Jane mungkin sudah gila ketika ia mengatakan ada perasaan hampa yang menyelimuti dirinya saat ini. Kehampaan yang terasa begitu mengganggu dan membingungkan. Khususnya tentang kehampaan yang ia rasakan dalam hubungan yang dimilikinya bersama Vincent. Sejauh ini hubungannya dengan Vincent mulus-mulus saja. Pria itu masih sangat perhatian bahkan ketika ia tengah dipadatkan dengan pekerjaan pria itu di kafe yang bahkan baru buka, juga beberapa pe
Beberapa terakhir ini Jane merasa aneh dengan sang asisten. Lucas menghindarinya, entah hanya perasaannya atau mungkin memang benar terjadi. Ia berpikir begitu karena bukan hanya dirinya yang merasa keanehan Lucas, tapi Jasmine juga. “Jadi kau memiliki masalah atau tidak dengannya?” tanya Jasmine dengan wajah penasaran. Mereka tengah berada di sebuah kafe yang telah di reservasi sebelumnya. Jane menghentikan suapan, menatap sang kawan yang senang sekali melempar pertanyaan. Ia tidak tahu bagaimana bisa wanita itu begitu mudah mengungkapkan pertanyaan dalam pikiran. “Tidak, jelas sekali aku tidak pernah berseteru dengan Lucas. Kau tahu bagaimana sikapnya, Kan? Aku tidak memiliki masalah dengannya.” “Lalu apa yang terjadi kenapa dia tiba-tiba—” Ucapan Jasmine terhenti entah karena apa. Jane mengernyitkan dahi ketika melihat gelagat aneh temanya yang kini malah beralih pada potongan kue dan kudapan yang baru disajikan oleh pelayan kafe. Namun Jane hanya mengedikkan bahu, tak ing
Jane merasa dirinya seperti orang bodoh ketika ia bangun dalam keadaan kepala hampir pecah. Semua hal di sekitarnya terasa seperti kekacauan yang mungkin tiada akhir hingga membuatnya hampir muntah. Dahinya mengernyit, pandangannya menatap sekitar sebelum kemudian rasa takut menyelimuti dirinya ketika ia sadar akan satu hal. Dirinya terbangun di kamar miliknya dengan seorang pria tertidur pulas di sampingnya. Sayangnya orang itu jelas sekali bukan Vincent. Jane berani bersumpah, bahkan jika ia bisa mati saat ini–maka mati adalah hal yang mungkin akan membuatnya terhindar dari masalah hidupnya yang tiada akhir dan ini akan menjadi awal dari masalah baru untuknya. Pria itu—berambut abu kegelapan yang tadi malam sempat ia puji. Jelas Jane tahu siapa pria itu. Lucas, sang asisten. “A—apa yang terjadi,” gumamnya sambil beranjak. Matanya kembali terbelalak ketika menyadari dirinya hanya mengenakan pakaian dalam, sementara Lucas terlihat tak memakai atasan. Ketika ia s***k sedikit, u
Apa yang membuatmu bahagia? Pertanyaan itu sudah tentu membuat Jane cukup kesulitan menjawabnya. Selama ini ia mengalami banyak kesulitan, ia dihadapkan dengan sesuatu yang mengguncang dirinya, kemudian niatan buruk tentang mengakhiri hidup yang kerap kali hadir di depan mata. Jane mungkin sudah gila ketika memilih untuk bertahan dan menanggung semuanya. Kemudian ketika semua baik-baik saja, angin masa lalu kembali berhembus kencang. Membuatnya kembali terluka dan takluk pada apa yang terjadi Kini, ketika segalanya ia anggap sempurna, keraguan tentang cinta membuatnya koyak dan parahnya kini ia melibatkan orang lain dalam masalah yang tak kalah gila ini. “Maaf,” ucap Lucas ketika Jane tersadar dari lamunan. Pandangannya yang tadi ia buang ke luar jendela kini beralih pada punggung tangan kirinya yang sudah terpasang infus. Ia pingsan, ini konyol. Sudah sangat jelas dirinya sendiri yang telah menyakiti perasaan kekasihnya, namun menjadi kini, juga ia yang merasakan sakit itu.