[Sekali lagi kamu pajang foto mesra berdua pasanganmu, lihat aja statusmu akan berganti jadi janda!]
Status menohok ditulis oleh Arumi dengan disertai emoticon wajah memerah. Aku yang membacanya pun turut komentar. Sebab, barusan aku upload foto bersama suamiku, Lian.
[Arumi, serem amat ancamannya. Siapa sih? Jangan ngerebut suami orang lah!]
Ratusan teman pun turut mengomentari statusnya. Ancaman di sosial media itu dihujani like bahkan yang bagikan cukup banyak.
Berbagai argumen muncul, ada yang anggap becanda, ada pula yang menganggapnya serius. Semua komentator nyaris tak ada yang dijawab oleh Arumi, termasuk aku.
Mungkin Arumi hanya becanda, mana mungkin ia mencintai suami orang? Sepertinya itu takkan terjadi, sebab aku jauh mengenal Arumi sebelum menikah dengan Mas Lian.
"Kenapa? Kok bengong sambil lihat handphone?" tanya Mas Lian penasaran. Tangannya berada di atas pundakku sebelah kanan.
"Nggak, Mas, itu Arumi nyetatus, aku sebagai sahabat kan wajib nasihatin kalau Arumi salah," sahutku sambil meletakkan ponsel genggam di atas meja. Lalu meraih tumpukan baju yang belum dilipat.
"Biarin aja, kan jari juga jari dia ini, ngapain kamu yang pusing?"
Mas Lian bangkit, lalu mengayunkan kakinya ke arah kamar.
Aku dan Arumi berteman lama, sejak menginjak bangku sekolah menengah pertama. Ke mana-mana kami selalu berdua, tiap lebaran pun baju diusahakan kembar, orang tua kami kadang sengaja membelikan apa-apa yang sama, seperti tas, sepatu, nyaris kami tidak ada bedanya. Padahal, kedua orang tua kami berbeda.
Hingga aku menikah, semua itu masih dilakukan. Tiap kali belanja baju, aku kepikiran untuk membelikan Arumi juga.
Selepas melipat baju, aku membawanya ke kamar untuk meletakkan di lemari. Terlihat Mas Lian tengah menggulir layar ponsel dengan jari telunjuknya. Terlihat senyum indah terpancar dari wajahnya.
"Kenapa senyam-senyum?" tanyaku padanya.
"Lucu aja sama statusnya Arumi, bisa gitu ya sahabat kamu itu, emang dia lagi naksir laki-laki beristri, Ay?" tanya Mas Lian.
Tadi aku disuruh biarkan saja status Arumi, tapi Mas Lian sendiri penasaran dengan statusnya.
"Aku nggak tahu, Mas. Arumi belum cerita, tapi tadi ngepasin banget dengan aku yang abis upload foto," jawabku membuat Mas Lian duduk tegak.
"Masa iya Arumi naksir aku?" Mas Lian membelah rambutnya seakan merasa dirinya paling tampan. "Tapi dari dulu kan selera kalian sama, kemungkinan juga selera suami pun sama," tambah Mas Lian membuat aku semakin geram, ia becanda tapi itu sengaja untuk menaikkan emosiku. Akhirnya aku tutup obrolan tentang Arumi dengan becanda di atas ranjang besi.
***
Weekend ini biasanya kami pergi rekreasi, menghilangkan penat dalam kerjaan keseharian. Namun, kali ini Arumi bilang ia akan main ke rumahku. Jadi, kami mengurungkan niat untuk keluar rumah.
"Arumi ke sini sama siapa?" tanya Mas Lian.
"Biasanya sama mamanya, kan?" tanyaku balik.
"Iya, kalau sama mamanya aku bisa ngobrol, kan biasanya kalian berdua sibuk membicarakan baju kembar, aku dikacangin, ngobrol sama mamanya Arumi jalan satu-satunya," ungkap Mas Lian.
Apa aku salah mengizinkan Arumi ke sini? Lalu kami berdua sibuk ngobrol, mamanya malah jadi teman bicara Mas Lian.
"Kamu bosen, Mas? Kalau nggak nanti kita ngobrol bareng ya, termasuk mamanya," usulku.
Mas Lian hanya mengusap rambutku menjadi berantakan tak beraturan.
Tiba-tiba benda pipih yang kuletakkan di atas meja berdering. Panggilan masuk dari mamaku terlihat jelas dari kejauhan. Aku segera mengangkatnya sebelum terputus.
"Halo, Mah," ucapku duluan. "Mama udah balik ke Bekasi lagi?" tanyaku, sebab kedua orang tuaku seminggu lalu pamit pulang kampung ke Wonosobo.
"Aya, iya nih Mama baru balik, tapi kok tadi denger tetangga ngomong nggak enak ya?" tanya mama membuat jantungku bergetar. Tetangga?
"Ngomong apa tetangga Mama di sana? Ngomongin Aya ya, Mah?" tanyaku penasaran. Paling mereka membicarakan aku yang belum punya anak, kebiasaan buruk orang kan menanyakan momongan setelah melihat pengantin menikah sudah hitungan tahun tapi belum punya anak.
"Bukan, Aya, katanya Arumi disuruh cari suami seperti Lian."
"Oh kirain apaan? Itu mah wajar, Mah, kan Mas Lian memang perfect, udah ganteng, baik, kantong tebel pula," candaku sambil mengangkat kedua alis ke arah Mas Lian.
"Mama khawatir, Aya. Kamu nggak takut Lian diambil Arumi?" tanya mama.
Aku terdiam sambil memandang suamiku. "Nggak, Mah. Mas Lian tidak akan berpaling dariku. Arumi bukan selera Mas Lian," jawabku.
"Intinya kamu harus hati-hati, baju boleh sama, asal jangan suami juga sama," pesan mamaku.
"Iya, Mah."
"Satu lagi. Udah kalau Arumi main nggak usah diterima ya, Ay, nggak baik nerima tamu perempuan sedangkan kamu sudah punya suami," pesan mama.
"Mah, Arumi kan ke sini sama mamanya, dan nggak pernah nginap pula," jawabku lagi.
Dikarenakan mama sudah tidak bisa menasihatiku lagi. Akhirnya ia menutup panggilan masuk dengan diakhiri salam.
***
Selang beberapa jam kemudian, Arumi dan mamanya tiba. Mereka berdua datang dengan membawakan kami oleh-oleh. Sepotong kue bolu kesukaanku.
"Kok cuma sepotong?" tanyaku padanya. Arumi menoleh ke arah mamanya sesekali, lalu fokus ke arahku lagi.
"Iya, untuk kamu aja, Mas Lian kan nggak suka bolu, ya kan?" Mata Arumi kini ke arah Mas Lian. "Tenang aja, ini puding coklat barulah buat Mas Lian," tambah Arumi.
Kue bolu hanya sepotong, puding pun sama.
Mas Lian pun melahap pudingnya. Begitu juga denganku yang sudah menghabiskan sepotong bolu.
Mereka tersenyum lebar, aku minum seteguk air putih yang ada di meja. Namun, tiba-tiba saja mata terlihat kunang-kunang. Bayangan Arumi dan mamanya seperti terpecah jadi banyak.
"Are you oke, Aya?" Aku masih mendengar suara Arumi bertanya. Namun mata ini sudah tak kuat menatap wajahnya.
***
"Aku ketiduran? Kenapa sekarang ada di kamar? Arumi dan mamanya ke mana? Mas Lian juga nggak ada di kamar." Aku turun dari ranjang. Lalu melangkah keluar sambil mencari keberadaan mereka.
Kaki ini berhenti melangkah, karena melihat mamanya Arumi tengah berdiri di depan pintu kamar tamu. Aku coba menghampirinya karena heran melihat Mama Asri tengah menempelkan telinganya di depan pintu sambil senyum sendirian.
'Ngapain Mama Asri di depan pintu dengan menempelkan telinga? Lalu, Arumi dan Mas Lian ke mana?' Pertanyaan muncul seketika di batin ini.
Bersambung
Aku coba sapa tamu yang tengah berdiri itu. Mama Asri terkesiap melihat kedatanganku. "Kenapa kaget begitu, Mah?" Aku sudah menganggap dirinya sebagai mama sendiri, sama hal nya Arumi, ia pun sudah anggap mamaku seperti ibunya sendiri."Kamu udah bangun, Ay? Kayaknya tadi kamu kelelahan, jadi ketiduran.""Kok bisa ada di kamar ya, Mah? Apa Mas Lian yang pindahin?" Matanya berkeliling ke semua sudut ruangan. "Tadi Lian yang pindahin," jawab Mama Asri. Aku pun menganggukkan kepala sambil melirik ke arah pintu. Mama terlihat memegang handle seraya tengah berjaga-jaga. Raya Emilia, nama lengkapku, memiliki panggilan kesayangan yaitu Aya. Aku berdecak kesal sambil menautkan kedua alis. Kemudian, mencoba masuk ke dalam kamar yang dihalangi oleh Mama Asri. "Jangan masuk, Ay!" Aku keheranan dengan menunjukkan mimik wajah yang bingung. "Kenapa, Mah?""Arumi lagi ...." Potongan kata-kata Mama Asri membuat aku tak sabaran. Akhirnya aku langsung menepis bahunya dengan kasar, perasaanku ki
Arumi menunjukkan sebuah celana dalam yang kelihatan berdarah. Aku menggeleng, begitu juga dengan Mas Lian, ia menarik pengelangan tanganku lagi."Ini bisa diakalin, Arumi, kamu sungguh keterlaluan!" Mas Lian yang menjawab dengan tegas. "Ay, tolong jangan percaya orang lain, aku ini suamimu, tentu kamu sendiri lebih tahu sifatku, tiga tahun bukan waktu sebentar, Ay," lirih Mas Lian.Aku belum percaya pada Arumi, benar kata Mas Lian, tapi Arumi mengatakan hal itu disertai bukti. Akhirnya aku coba memeriksa sprei yang ditutup oleh selimut. Dadaku sakit, sesak seketika membuktikan bahwa ada cairan sperm4 di atas sprei. Aku memeriksanya sendiri. Di hadapanku, sprei yang dikhususkan untuk tamu itu baru saja aku ganti kemarin, jadi tahu betul tidak ada apa-apa di atasnya, cairan itu pun terlihat baru."Ini pasti milik orang lain, Ay." Mas Lian masih saja menyanggahnya.Aku tidak mau berdebat atau mendengar pembelaan dari Mas Lian lagi. Kaki ini sudah sangat lemas menghadapi kenyataan ini.
"Vito yang telepon, dia bilang sesuatu waktu kamu meninggalkanku di kamar tadi, sewaktu istriku ingin pergi dari rumah ini."Mas Lian menjelaskan siapa orang yang ditunggu dan ternyata teman dekat Arumi, laki-laki yang memiliki toko kue itu katanya mengatakan sesuatu. "Sesuatu apa?" tanyaku penasaran. Gelagat Arumi pun semakin mencurigakan, tapi aku masih tidak bisa menebaknya."Vito bilang kue bolu yang dibawa Arumi itu diberi obat tidur, lalu puding yang aku makan dicampur obat perangs4ng." Kata-kata Mas Lian justru membuatku meradang, itu artinya ucapan Arumi benar adanya, bukan rekayasa, sebab obat perangsang yang disebut oleh Vito sudah cukup jelas. "Tapi ada tapinya, Ay, Vito juga bilang bahwa Arumi tidak tidur denganku," sambungnya lagi membuatku semakin bingung, pernyataannya berubah-ubah dan terdengar sangat aneh, di luar nalar."Nggak usah bawa orang lain, ya Mas Lian, tolong tanggung jawab, Vito tidak tahu apa-apa, dia pasti mengarang cerita," sambar Arumi membuat Mas Lia
Arumi memegang pelipisnya, lalu tiba-tiba ia jatuh lunglai ke lantai. "Arumi!" Begitu keras teriakan Vito, ia melayangkan kakinya dengan cepat ke arah Arumi yang jatuh tersungkur di lantai. Pria itu, memang sangat perhatian pada Arumi, jangankan Arumi pingsan, digigit serangga saja Vito segera menolongnya. Seharusnya Arumi bersyukur dicintai oleh pria yang sangat menyayangi dirinya. Bukan malah menggoda suamiku, tujuannya apa merebut suami sahabat sendiri? Apa ia merasa puas jika memiliki apa yang aku punya?Dengan gagahnya Vito membopongnya ke depan, ia yang menggunakan motor ke sini sontak melempar kunci motornya ke arah Mas Lian. "Yan, gue pinjem mobil, ini kunci motor gue, tolong anterin ke toko kue ya, tukar di sana nanti," pesannya dengan napas terengah-engah akibat tengah menggendong Arumi yang bobotnya kisaran 55kg itu. Permintaan Vito membuat Mas Lian tidak bisa menolak, ia langsung menyerahkan kunci mobil pada Vito.Sementara itu, mamanya mengekor di belakangnya, namun ia
Bukan teriris pisau, tapi tiba-tiba berdarah. Bagaimana tidak, baru saja kami memutuskan untuk menghadapi masalah ini bersama-sama, tapi sudah ada masalah yang kami hadapi.Aku dan Mas Lian masuk ke akun sosial medianya. Matanya melirik ke arahku terus menerus dengan tatapan sendu. "Ay, semua orang kini tahu masalah kita," ucap Mas Lian agak pelan, nadanya teramat lemas membicarakan ini."Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, cari bukti yang menguatkan, kita akan bawa masalah ini ke jalur hukum supaya Arumi sadar dan tidak melakukan hal bodoh lagi," jawabku kini mulai bersikap dewasa. Sebab, di bayangan ini masih penasaran dengan kata-kata Vito yang sempat terputus.Aku membuka mata lebar-lebar dan membaca caption yang disematkan pada foto yang disebarkan oleh Arumi. [Kalau sudah begini, siapa yang salah? Aku atau dia? Apa justru istrinya yang salah?]Hatiku mencelos ketika membaca status yang disematkan oleh Arumi di wall pribadinya. Entah apa mau dari wanita itu, aku pun tidak paham
"Kalian bisa nggak sih untuk tidak menyeret nama gue pada masalah rumah tangga kalian!" Vito membentak kami berdua. Kemudian, ia melangkah ke arah dinding.Vito menghela napasnya panjang, kemudian ia memukul dinding dengan kepalan tangannya. Buk!Aku dan Mas Lian saling beradu pandangan. Kami berdua menyorot Vito yang tidak menjawab pertanyaan kami tapi malah menyakiti dirinya sendiri. Jarinya berdarah karena pukulan keras yang ia layangkan sendiri. Aku dan Mas Lian tidak berani berkata apa-apa, hanya menyaksikan apa yang ingin dilakukan Vito. Kemudian, ia masuk dan menarik pengelangan tangan kami berdua. Ia menyuruh kami duduk di taman, belakang rumahnya. Aku meneliti sekitar, kenapa Vito membawa kami berdua ke sini? Bukankah di ruang tamu lebih enak bicara?"Kita ngobrol di sini, di ruang tamu ada penyadap." Keterangan dari Vito barusan membuatku paham, jadi inilah maksudnya aku dan Mas Lian diseret ke belakang. "Siapa yang pasang penyadap suara?" tanya Mas Lian satu pemikiran d
Namun, ponselku tiba-tiba dirampas oleh Vito."Nggak usah fotoin," ucap Vito membuatku menelan ludah. "Ikut gue ke sebelah, toko kue!" ajaknya. Ia mengajakku dan Mas Lian untuk ke toko kue miliknya yang kebetulan masih berada di sebelah rumah.Aku beranjak sambil menaruh kembali ponsel genggam yang ada di tangan. Lalu mengikuti Vito ke toko kue miliknya. Padahal tadi ia sudah mengusirku dan MasLian.Kemudian, Vito duduk dan mempersilakan kami juga, ia sudah tidak marah lagi pada kami berdua."Kalian jangan salahkan Arum sepenuhnya, dia itu menjadi wanita yang harus merebut suamimu juga karena terpaksa," ungkap Vito. Kemudian ia bangkit, lalu Vito berjalan ke arah lemari pendingin. Tangannya meraih tiga botol minuman, kemudian memberikannya pada kami dua botol.Ia membuka minuman tersebut lalu meneguknya. Sementara matanya melirik ke arah kami berdua, "Minum lah!" suruhnya. Kami berdua kebetulan haus, sedari datang ke rumah tadi belum disuguhkan minuman. "Kalau kalian mau tahu cerit
"Ya udah, kita ke kantor polisi aja," jawab Mas Lian. Mas Lian terdiam sejenak, kemudian ia memacu mobilnya dengan cepat. Namun, tiba-tiba ia berhenti mendadak karena ada mobil yang menghentikan lajunya. "Maaf," kata Mas Lian, lalu menginjak gas kembali. Ponselku terjatuh ke kolong dashboard mobil. Namun ketika meraihnya terlihat benda kecil yang menempel di dinding dashboard. Aku yang tengah menunduk pun menoleh ke arah Mas Lian, "Mas, apa ini? Penyadap suara kah?" Aku melepaskan benda tersebut dari tempatnya lalu menyerahkan padanya. Mas Lian yang sudah melajukan mobilnya kembali pun mengurangi kecepatannya. "Sepertinya Arumi yang pakai," ucap Mas Lian. Kemudian kaca jendela ia turunkan dan membuang benda kecil tadi ke jalan. Mas Lian menghela napasnya, lalu mengendalikan mobil kembali. Tiba-tiba ponselku berdering, terlihat dari layar ponsel nama kontak yang menghubungi adalah Arumi. Aku menghela napas panjang, berani wanita itu menghubungiku yang telah disakiti olehnya, seb
"Ya sudah, bagaimana jika kita buktikan ke dokter saja," ajak Mas Lian. "Oke, kalau pemeriksaan terbukti bahwa kamu mendapatkan obat perangsang, aku takkan mau melanjutkan pernikahan kita Mas." Sebuah tantangan yang mengejutkan, mata Mas Lian terbuka lebar."Aku tidak tahu apa yang aku rasakan semalam, Aya. Kenapa kamu tidak memahami itu? Seharusnya kamu mengerti dengan kondisi ini." Aku tahu ini bukan kehendaknya. Rasanya jijik jika harus berhubungan lagi dengan pria yang sudah menyetubuhi perempuan lain. Meskipun dalam kondisi tidak sadar.Akhirnya kami bergegas ke rumah sakit. Keaslian sudah mendapatkan izin dari atasannya. Ini semua demi menjelaskan dan membuktikan padaku."Sebenarnya tidak habis pikir, hanya nila setitik kamu harus mengorbankan rumah tangga yang telah lama kita bina." Mas Lian bicara sambil mengendalikan mobil.Sementara aku, yang duduk di sebelahnya hanya menoleh, menatap Mas Lian yang tengah mengendalikan mobilnya."Aku nggak tahu, Mas. Rasanya nggak kuat teru
"Aku nggak tahu, Ay. Tiba-tiba saja saat aku menunggumu di sini ada yang menyekap aku. Mendadak dan cepat sekali kejadiannya," terang Mas Lian.Aku sedikit kecewa. Mata ini berair ketika ia bicara seperti itu."Tiba-tiba kamu tengah tidur berdua dengan Mita, Mas? Bagaimana bisa aku percaya kalau itu bohong atau rekayasa?" Ada ditekan aku bicara kepadanya.Mas Lian memang tidak pernah berbohong, kenyataan juga telah membuktikan bahwa ia sering ditipu oleh orang. Lantas jika ia mengakui bahwa foto itu tengah melakukan hubungan suami istri aku mau bilang apa?"Aku juga nggak tahu soal itu, Ay, tolong jangan cecar aku. Bolehkah kita berpikir dulu, jujur aja aku shock," timpal Mas Lian."Tadi cukup lama Mas, tapi antara hilangnya kamu dengan foto tersebut itu hanya berbeda kisaran hitungan menit, kalau boleh tahu kamu itu berada di mana?" tanyaku padanya.Mas Lian terdiam ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan."Aku nggak tahu, aku pusing!" Suamiku mengeluh dan memegang kepalanya
Foto itu ternyata Mas Lian dengan Mita, mereka datang tidur berdua setengah telanjang. Aku terkesiap melihatnya, berkali-kali mata ini aku tapi tidak berubah fotonya. Ini foto asli bukan settingan. Sebab di bawahnya ada foto Mili tengah selfie diantara keduanya. Mily adalah anak yang diberitakan buah cinta dari Mas Lian dan Mita.Aku menghela napas kasar. Berusaha tenang tapi aku rasa tidak perlu. Ini kedua kalinya gosip itu merebak. Tentu bukan bohong namanya jika terjadi dua kali. Aku rasa ini pun bukan settingan, sebab anak itu tengah berfoto di antara keduanya yang berpuasa tiduran telentang dan atasnya tanpa busana.Kenapa mereka tega melakukan itu di depan Mili? Setidaknya jaga sikap di hadapan anak kecil. Anak sekarang sudah begitu pintar, meskipun usianya tergolong balita, tapi menggunakan ponsel tentu sudah sangat lihai."Di mana rumah orang itu? Wanita yang tengah tidur bersama suamiku?" Aku bicara sendirian dan bertanya pada diri sendiri.Aku beranjak dari duduk, Kemudian A
Aku jadi menyesal karena sudah merajuk darinya. Seharusnya tadi aku bicarakan ini baik-baik jangan seperti anak kecil. Sekarang aku sendiri tidak mengetahui keberadaan Mas Lian.Aku duduk sambil bersandar dan berpikir jernih. Mencari kontak yang bisa dihubungi, siapa tahu Mas Lian pergi ke rumahnya tanpa pamit.Aku tidak memiliki kontak Indri, salah satu teman kantor yang tadi sempat ada di foto. "Bagaimana caranya aku menghubungi Indri?" Aku bicara sendirian sambil mengetukkan jari ke samping sofa. Bibir ini aku gigit seraya cemas memikirkannya. Namun tiba-tiba ada suara orang memberi salam, aku segera membukakan pintu.Setelah membuka pintu lebar-lebar, ternyata Arumi yang datang. Aku mengenyitkan dahi ketika melihat wanita yang pernah mencoba memporak-porandakan rumah tanggaku datang. 'Nyalinya besar juga sampai nekat ke sini di saat aku dan Mas Lian lagi genting,' batinku menggerutu."Aya, kamu baik-baik aja, kan?" Wanita itu perhatian sekali padaku. Sampai rela datang ke rumah da
"Ulah siapa, Mas?" tanyaku mendesak. Iya terlihat santai dan membasahi bibirnya."Siapa lagi kalau bukan Arumi," jawab Mas Lian. Matanya pun menyorot ke arahku, dengan pandangan menyipit.Aku terkejut mendengarnya, bukan karena nama Arumi yang menjadi tersangka, justru aku kesal dibuatnya karena ternyata sejauh itu hubungan Mas Lian dan Arumi.Sejauh ini aku pikir kami berteman wajar-wajar saja, Mas Lian juga dengan Arumi pikirku saling komunikasi biasa dan mereka tidak terlalu intens. Namun ternyata Arumi tahu cuti suamiku segala, apakah itu tidak mengerikan?"Tadi Arumi justru meyakinkan aku katanya kamu itu nggak mungkin foto dengan wanita lain," sambungku lagi."Bisa aja Arumi pura-pura baik depan kamu, kan sering begitu," sanggah Mas Lian justru berburuk sangka. Jadi apakah kami salah paham? Atau sebenarnya Mas Lian menutupi sesuatu?Aku terdiam lagi masih memikir dua kali apa yang dikatakan Mas Lian. Teringat pengalaman temanku juga, suaminya berselingkuh, selalu saja cari alasa
Aku menelan ludah, mengatur napas yang sesak di dada supaya lancar kembali."Kamu nggak dengar apa yang tadi aku ucapkan? Pergi dari sini, atau kamu aku teriakin maling!" Mataku memerah saat mengatakan itu padanya. Wanita itu menggendong anaknya, kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tasnya."Ini foto saya dan suamimu, Aya! Permisi!" Wanita yang mengaku bernama Mita itu melempar sebuah amplop coklat ke wajah ini. Kemudian, ia bergegas pergi meninggalkan rumahku.Aku duduk kembali di atas sofa, napas ini masih tak beraturan desahannya. Aku benar-benar shock dengan cerita wanita tadi, dan kini di tanganku ada amplop coklat yang katanya berisi foto mereka.Aku menenangkan diri dulu, setelah itu, barulah menghela nafas dalam-dalam."Aku buka atau buang aja?" Aku meragukan tindakan yang nyaris membuka amplop.Kemudian, tangan ini meletakkan kembali di atas meja, "Ah, nggak dibuka penasaran, dibuka takut sakit hati," ucapku sekali lagi.Bertahun-tahun aku berumah tangga, baru
"Apa yang kamu pikirkan? Apa lagi mikir bahwa aku ini berbohong?"Wanita itu membuyarkan lamunanku. 'Tidak Aya, kamu jangan mudah percaya dengan orang asing,' batinku.Aku menelan ludah sambil mendongakkan dagu. Dudukku juga dengan posisi tegak supaya tidak terlihat lemah dan cengeng. Walaupun aku ini seorang wanita yang memiliki kekurangan yaitu belum mampu memberikan buah hati untuk Mas Lian, tapi bukan berati wanita lain semena-mena mengaku memiliki anak dari suamiku."Kamu pikir bawa anak dengan mudah masuk ke rumah ini gitu? Ditambah lagi tadi komentarmu mengundang orang lain berprasangka buruk. Jangan harap kamu berhasil menyusup," cekalku dengan nada sinis. Jari telunjuk ini juga aku layangkan ke arah pintu. "Lebih baik kamu bawa putrimu ini pergi, jangan ke sini lagi!"Aku mengusirnya meskipun tidak tega, melihat sosok mungil yang tengah dipangku olehnya memang membuat rasa tidak tega itu menyelimuti, tapi aku harus berubah, jangan lembek lagi dalam menghadapi permasalahan. Di
Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Di saat ponsel Mas Lian tertinggal di meja, ada pesan masuk yang membuat darahku mendidih. Bagaimana tidak? Hanya berselang satu pekan masalah yang kuhadapi kini datang kembali.Beberapa orang pernah kudengar nasihatnya, termasuk orang tuaku sendiri, katanya pernikahan kita bisa diuji melalui keuangan yang terguncang, orang ketiga, bahkan kesehatan. Mungkinkah benar Mas Lian bermain dengan wanita lain sedangkan dengan Arumi saja ia tidak mau melakukannya. Apalagi ini kejadian sebelum ada masalah dengan Arumi. Sebab, pesan yang masuk bilang sudah hamil, bahkan punya anak, itu artinya ada yang dengan sengaja menguji amarahku ini.Suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Aku yakin itu pasti Mas Lian yang sadar bahwa ponselnya tertinggal."Ay, handphone aku ketinggalan!" teriaknya menyeruak ke dalam.Aku pun segera menghampiri dan menyerahkan ponsel ke tangannya."Mas, maaf kalau aku sudah baca pesan yang masuk," ucapku sambil menyerahkan bend
Mas Lian pun membalas pukulan dari Vito, ia tidak terima bibirnya keluar darah karena dihantam oleh seorang pria yang jelas-jelas pasti membela Arumi.Aku sengaja menghadang perkelahian mereka berdua. Kini aku berada di tengah-tengah mereka. Tangan Mas Lian yang tadinya ingin melayangkan pukulan pun ia banting sendiri. "Tidak semua masalah diselesaikan dengan kekerasan, kalian jangan seperti anak kecil!" Aku melerai bukan berati membela salah satu dari mereka. Ini kompleks, bisa-bisa seluruh tetangga keluar jika ada keributan. Di sini sudah terbiasa sepi, jadi jika ada kerusuhan, semua pasti keluar. "Kalian sudah gue ingatkan untuk tidak macam-macam, tapi dilanggar, benar-benar melaporkan Arumi ke pihak yang berwajib," terang Vito. Aku terkejut mendengarnya, tahu dari mana Vito tentang hal ini? Apa polisi sudah meringkus Arumi?"Heran ya gue tahu dari mana?" Aku dan Mas Lian hanya saling beradu pandangan. "Ingat, ketika kalian berdua sudah melanggar perjanjian, maka musuh kalian bu