"Kalian bisa nggak sih untuk tidak menyeret nama gue pada masalah rumah tangga kalian!" Vito membentak kami berdua. Kemudian, ia melangkah ke arah dinding.Vito menghela napasnya panjang, kemudian ia memukul dinding dengan kepalan tangannya. Buk!Aku dan Mas Lian saling beradu pandangan. Kami berdua menyorot Vito yang tidak menjawab pertanyaan kami tapi malah menyakiti dirinya sendiri. Jarinya berdarah karena pukulan keras yang ia layangkan sendiri. Aku dan Mas Lian tidak berani berkata apa-apa, hanya menyaksikan apa yang ingin dilakukan Vito. Kemudian, ia masuk dan menarik pengelangan tangan kami berdua. Ia menyuruh kami duduk di taman, belakang rumahnya. Aku meneliti sekitar, kenapa Vito membawa kami berdua ke sini? Bukankah di ruang tamu lebih enak bicara?"Kita ngobrol di sini, di ruang tamu ada penyadap." Keterangan dari Vito barusan membuatku paham, jadi inilah maksudnya aku dan Mas Lian diseret ke belakang. "Siapa yang pasang penyadap suara?" tanya Mas Lian satu pemikiran d
Namun, ponselku tiba-tiba dirampas oleh Vito."Nggak usah fotoin," ucap Vito membuatku menelan ludah. "Ikut gue ke sebelah, toko kue!" ajaknya. Ia mengajakku dan Mas Lian untuk ke toko kue miliknya yang kebetulan masih berada di sebelah rumah.Aku beranjak sambil menaruh kembali ponsel genggam yang ada di tangan. Lalu mengikuti Vito ke toko kue miliknya. Padahal tadi ia sudah mengusirku dan MasLian.Kemudian, Vito duduk dan mempersilakan kami juga, ia sudah tidak marah lagi pada kami berdua."Kalian jangan salahkan Arum sepenuhnya, dia itu menjadi wanita yang harus merebut suamimu juga karena terpaksa," ungkap Vito. Kemudian ia bangkit, lalu Vito berjalan ke arah lemari pendingin. Tangannya meraih tiga botol minuman, kemudian memberikannya pada kami dua botol.Ia membuka minuman tersebut lalu meneguknya. Sementara matanya melirik ke arah kami berdua, "Minum lah!" suruhnya. Kami berdua kebetulan haus, sedari datang ke rumah tadi belum disuguhkan minuman. "Kalau kalian mau tahu cerit
"Ya udah, kita ke kantor polisi aja," jawab Mas Lian. Mas Lian terdiam sejenak, kemudian ia memacu mobilnya dengan cepat. Namun, tiba-tiba ia berhenti mendadak karena ada mobil yang menghentikan lajunya. "Maaf," kata Mas Lian, lalu menginjak gas kembali. Ponselku terjatuh ke kolong dashboard mobil. Namun ketika meraihnya terlihat benda kecil yang menempel di dinding dashboard. Aku yang tengah menunduk pun menoleh ke arah Mas Lian, "Mas, apa ini? Penyadap suara kah?" Aku melepaskan benda tersebut dari tempatnya lalu menyerahkan padanya. Mas Lian yang sudah melajukan mobilnya kembali pun mengurangi kecepatannya. "Sepertinya Arumi yang pakai," ucap Mas Lian. Kemudian kaca jendela ia turunkan dan membuang benda kecil tadi ke jalan. Mas Lian menghela napasnya, lalu mengendalikan mobil kembali. Tiba-tiba ponselku berdering, terlihat dari layar ponsel nama kontak yang menghubungi adalah Arumi. Aku menghela napas panjang, berani wanita itu menghubungiku yang telah disakiti olehnya, seb
Aku pikir Arumi akan kembali dan mencegah atau menggagalkan rencanaku. Namun, ternyata ia tidak melakukan hal tersebut. Kini aku dan Mas Lian tengah membuat laporan di hadapan pihak yang berwajib, setidaknya cara ini supaya Arumi kapok dan menyadari bahwa yang dilakukan olehnya itu salah. Sekitar lima belas menit kami berada di hadapan polisi, setelah selesai, kami memutuskan untuk pulang. Ada napas lega terhembus dari mulut Mas Lian. Kemudian ia membuka pintu mobil dan mempersilakan aku duduk. Seat belt pun Mas Lian yang kenakan. Aku menghela napas sambil tersenyum menatapnya. Kemudian, ia kembali memacu mobilnya dengan menginjak gas perlahan. "Terima kasih, Ay, kamu udah mendampingiku, entahlah besok di kantor ramai nggak nih kasus ini," ucap Mas Lian sambil sesekali melirik ke arahku. "Apa kita bikin klarifikasi aja, Mas? Lewat akun sosial media?" Aku meminta pendapat Mas Lian. Mas Lian menggelengkan kepala, kemudian memegang pelipisnya. Aku tahu sebenarnya efek dari kekejama
Mas Lian pun membalas pukulan dari Vito, ia tidak terima bibirnya keluar darah karena dihantam oleh seorang pria yang jelas-jelas pasti membela Arumi.Aku sengaja menghadang perkelahian mereka berdua. Kini aku berada di tengah-tengah mereka. Tangan Mas Lian yang tadinya ingin melayangkan pukulan pun ia banting sendiri. "Tidak semua masalah diselesaikan dengan kekerasan, kalian jangan seperti anak kecil!" Aku melerai bukan berati membela salah satu dari mereka. Ini kompleks, bisa-bisa seluruh tetangga keluar jika ada keributan. Di sini sudah terbiasa sepi, jadi jika ada kerusuhan, semua pasti keluar. "Kalian sudah gue ingatkan untuk tidak macam-macam, tapi dilanggar, benar-benar melaporkan Arumi ke pihak yang berwajib," terang Vito. Aku terkejut mendengarnya, tahu dari mana Vito tentang hal ini? Apa polisi sudah meringkus Arumi?"Heran ya gue tahu dari mana?" Aku dan Mas Lian hanya saling beradu pandangan. "Ingat, ketika kalian berdua sudah melanggar perjanjian, maka musuh kalian bu
Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Di saat ponsel Mas Lian tertinggal di meja, ada pesan masuk yang membuat darahku mendidih. Bagaimana tidak? Hanya berselang satu pekan masalah yang kuhadapi kini datang kembali.Beberapa orang pernah kudengar nasihatnya, termasuk orang tuaku sendiri, katanya pernikahan kita bisa diuji melalui keuangan yang terguncang, orang ketiga, bahkan kesehatan. Mungkinkah benar Mas Lian bermain dengan wanita lain sedangkan dengan Arumi saja ia tidak mau melakukannya. Apalagi ini kejadian sebelum ada masalah dengan Arumi. Sebab, pesan yang masuk bilang sudah hamil, bahkan punya anak, itu artinya ada yang dengan sengaja menguji amarahku ini.Suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Aku yakin itu pasti Mas Lian yang sadar bahwa ponselnya tertinggal."Ay, handphone aku ketinggalan!" teriaknya menyeruak ke dalam.Aku pun segera menghampiri dan menyerahkan ponsel ke tangannya."Mas, maaf kalau aku sudah baca pesan yang masuk," ucapku sambil menyerahkan bend
"Apa yang kamu pikirkan? Apa lagi mikir bahwa aku ini berbohong?"Wanita itu membuyarkan lamunanku. 'Tidak Aya, kamu jangan mudah percaya dengan orang asing,' batinku.Aku menelan ludah sambil mendongakkan dagu. Dudukku juga dengan posisi tegak supaya tidak terlihat lemah dan cengeng. Walaupun aku ini seorang wanita yang memiliki kekurangan yaitu belum mampu memberikan buah hati untuk Mas Lian, tapi bukan berati wanita lain semena-mena mengaku memiliki anak dari suamiku."Kamu pikir bawa anak dengan mudah masuk ke rumah ini gitu? Ditambah lagi tadi komentarmu mengundang orang lain berprasangka buruk. Jangan harap kamu berhasil menyusup," cekalku dengan nada sinis. Jari telunjuk ini juga aku layangkan ke arah pintu. "Lebih baik kamu bawa putrimu ini pergi, jangan ke sini lagi!"Aku mengusirnya meskipun tidak tega, melihat sosok mungil yang tengah dipangku olehnya memang membuat rasa tidak tega itu menyelimuti, tapi aku harus berubah, jangan lembek lagi dalam menghadapi permasalahan. Di
Aku menelan ludah, mengatur napas yang sesak di dada supaya lancar kembali."Kamu nggak dengar apa yang tadi aku ucapkan? Pergi dari sini, atau kamu aku teriakin maling!" Mataku memerah saat mengatakan itu padanya. Wanita itu menggendong anaknya, kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tasnya."Ini foto saya dan suamimu, Aya! Permisi!" Wanita yang mengaku bernama Mita itu melempar sebuah amplop coklat ke wajah ini. Kemudian, ia bergegas pergi meninggalkan rumahku.Aku duduk kembali di atas sofa, napas ini masih tak beraturan desahannya. Aku benar-benar shock dengan cerita wanita tadi, dan kini di tanganku ada amplop coklat yang katanya berisi foto mereka.Aku menenangkan diri dulu, setelah itu, barulah menghela nafas dalam-dalam."Aku buka atau buang aja?" Aku meragukan tindakan yang nyaris membuka amplop.Kemudian, tangan ini meletakkan kembali di atas meja, "Ah, nggak dibuka penasaran, dibuka takut sakit hati," ucapku sekali lagi.Bertahun-tahun aku berumah tangga, baru
"Ya sudah, bagaimana jika kita buktikan ke dokter saja," ajak Mas Lian. "Oke, kalau pemeriksaan terbukti bahwa kamu mendapatkan obat perangsang, aku takkan mau melanjutkan pernikahan kita Mas." Sebuah tantangan yang mengejutkan, mata Mas Lian terbuka lebar."Aku tidak tahu apa yang aku rasakan semalam, Aya. Kenapa kamu tidak memahami itu? Seharusnya kamu mengerti dengan kondisi ini." Aku tahu ini bukan kehendaknya. Rasanya jijik jika harus berhubungan lagi dengan pria yang sudah menyetubuhi perempuan lain. Meskipun dalam kondisi tidak sadar.Akhirnya kami bergegas ke rumah sakit. Keaslian sudah mendapatkan izin dari atasannya. Ini semua demi menjelaskan dan membuktikan padaku."Sebenarnya tidak habis pikir, hanya nila setitik kamu harus mengorbankan rumah tangga yang telah lama kita bina." Mas Lian bicara sambil mengendalikan mobil.Sementara aku, yang duduk di sebelahnya hanya menoleh, menatap Mas Lian yang tengah mengendalikan mobilnya."Aku nggak tahu, Mas. Rasanya nggak kuat teru
"Aku nggak tahu, Ay. Tiba-tiba saja saat aku menunggumu di sini ada yang menyekap aku. Mendadak dan cepat sekali kejadiannya," terang Mas Lian.Aku sedikit kecewa. Mata ini berair ketika ia bicara seperti itu."Tiba-tiba kamu tengah tidur berdua dengan Mita, Mas? Bagaimana bisa aku percaya kalau itu bohong atau rekayasa?" Ada ditekan aku bicara kepadanya.Mas Lian memang tidak pernah berbohong, kenyataan juga telah membuktikan bahwa ia sering ditipu oleh orang. Lantas jika ia mengakui bahwa foto itu tengah melakukan hubungan suami istri aku mau bilang apa?"Aku juga nggak tahu soal itu, Ay, tolong jangan cecar aku. Bolehkah kita berpikir dulu, jujur aja aku shock," timpal Mas Lian."Tadi cukup lama Mas, tapi antara hilangnya kamu dengan foto tersebut itu hanya berbeda kisaran hitungan menit, kalau boleh tahu kamu itu berada di mana?" tanyaku padanya.Mas Lian terdiam ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan."Aku nggak tahu, aku pusing!" Suamiku mengeluh dan memegang kepalanya
Foto itu ternyata Mas Lian dengan Mita, mereka datang tidur berdua setengah telanjang. Aku terkesiap melihatnya, berkali-kali mata ini aku tapi tidak berubah fotonya. Ini foto asli bukan settingan. Sebab di bawahnya ada foto Mili tengah selfie diantara keduanya. Mily adalah anak yang diberitakan buah cinta dari Mas Lian dan Mita.Aku menghela napas kasar. Berusaha tenang tapi aku rasa tidak perlu. Ini kedua kalinya gosip itu merebak. Tentu bukan bohong namanya jika terjadi dua kali. Aku rasa ini pun bukan settingan, sebab anak itu tengah berfoto di antara keduanya yang berpuasa tiduran telentang dan atasnya tanpa busana.Kenapa mereka tega melakukan itu di depan Mili? Setidaknya jaga sikap di hadapan anak kecil. Anak sekarang sudah begitu pintar, meskipun usianya tergolong balita, tapi menggunakan ponsel tentu sudah sangat lihai."Di mana rumah orang itu? Wanita yang tengah tidur bersama suamiku?" Aku bicara sendirian dan bertanya pada diri sendiri.Aku beranjak dari duduk, Kemudian A
Aku jadi menyesal karena sudah merajuk darinya. Seharusnya tadi aku bicarakan ini baik-baik jangan seperti anak kecil. Sekarang aku sendiri tidak mengetahui keberadaan Mas Lian.Aku duduk sambil bersandar dan berpikir jernih. Mencari kontak yang bisa dihubungi, siapa tahu Mas Lian pergi ke rumahnya tanpa pamit.Aku tidak memiliki kontak Indri, salah satu teman kantor yang tadi sempat ada di foto. "Bagaimana caranya aku menghubungi Indri?" Aku bicara sendirian sambil mengetukkan jari ke samping sofa. Bibir ini aku gigit seraya cemas memikirkannya. Namun tiba-tiba ada suara orang memberi salam, aku segera membukakan pintu.Setelah membuka pintu lebar-lebar, ternyata Arumi yang datang. Aku mengenyitkan dahi ketika melihat wanita yang pernah mencoba memporak-porandakan rumah tanggaku datang. 'Nyalinya besar juga sampai nekat ke sini di saat aku dan Mas Lian lagi genting,' batinku menggerutu."Aya, kamu baik-baik aja, kan?" Wanita itu perhatian sekali padaku. Sampai rela datang ke rumah da
"Ulah siapa, Mas?" tanyaku mendesak. Iya terlihat santai dan membasahi bibirnya."Siapa lagi kalau bukan Arumi," jawab Mas Lian. Matanya pun menyorot ke arahku, dengan pandangan menyipit.Aku terkejut mendengarnya, bukan karena nama Arumi yang menjadi tersangka, justru aku kesal dibuatnya karena ternyata sejauh itu hubungan Mas Lian dan Arumi.Sejauh ini aku pikir kami berteman wajar-wajar saja, Mas Lian juga dengan Arumi pikirku saling komunikasi biasa dan mereka tidak terlalu intens. Namun ternyata Arumi tahu cuti suamiku segala, apakah itu tidak mengerikan?"Tadi Arumi justru meyakinkan aku katanya kamu itu nggak mungkin foto dengan wanita lain," sambungku lagi."Bisa aja Arumi pura-pura baik depan kamu, kan sering begitu," sanggah Mas Lian justru berburuk sangka. Jadi apakah kami salah paham? Atau sebenarnya Mas Lian menutupi sesuatu?Aku terdiam lagi masih memikir dua kali apa yang dikatakan Mas Lian. Teringat pengalaman temanku juga, suaminya berselingkuh, selalu saja cari alasa
Aku menelan ludah, mengatur napas yang sesak di dada supaya lancar kembali."Kamu nggak dengar apa yang tadi aku ucapkan? Pergi dari sini, atau kamu aku teriakin maling!" Mataku memerah saat mengatakan itu padanya. Wanita itu menggendong anaknya, kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tasnya."Ini foto saya dan suamimu, Aya! Permisi!" Wanita yang mengaku bernama Mita itu melempar sebuah amplop coklat ke wajah ini. Kemudian, ia bergegas pergi meninggalkan rumahku.Aku duduk kembali di atas sofa, napas ini masih tak beraturan desahannya. Aku benar-benar shock dengan cerita wanita tadi, dan kini di tanganku ada amplop coklat yang katanya berisi foto mereka.Aku menenangkan diri dulu, setelah itu, barulah menghela nafas dalam-dalam."Aku buka atau buang aja?" Aku meragukan tindakan yang nyaris membuka amplop.Kemudian, tangan ini meletakkan kembali di atas meja, "Ah, nggak dibuka penasaran, dibuka takut sakit hati," ucapku sekali lagi.Bertahun-tahun aku berumah tangga, baru
"Apa yang kamu pikirkan? Apa lagi mikir bahwa aku ini berbohong?"Wanita itu membuyarkan lamunanku. 'Tidak Aya, kamu jangan mudah percaya dengan orang asing,' batinku.Aku menelan ludah sambil mendongakkan dagu. Dudukku juga dengan posisi tegak supaya tidak terlihat lemah dan cengeng. Walaupun aku ini seorang wanita yang memiliki kekurangan yaitu belum mampu memberikan buah hati untuk Mas Lian, tapi bukan berati wanita lain semena-mena mengaku memiliki anak dari suamiku."Kamu pikir bawa anak dengan mudah masuk ke rumah ini gitu? Ditambah lagi tadi komentarmu mengundang orang lain berprasangka buruk. Jangan harap kamu berhasil menyusup," cekalku dengan nada sinis. Jari telunjuk ini juga aku layangkan ke arah pintu. "Lebih baik kamu bawa putrimu ini pergi, jangan ke sini lagi!"Aku mengusirnya meskipun tidak tega, melihat sosok mungil yang tengah dipangku olehnya memang membuat rasa tidak tega itu menyelimuti, tapi aku harus berubah, jangan lembek lagi dalam menghadapi permasalahan. Di
Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Di saat ponsel Mas Lian tertinggal di meja, ada pesan masuk yang membuat darahku mendidih. Bagaimana tidak? Hanya berselang satu pekan masalah yang kuhadapi kini datang kembali.Beberapa orang pernah kudengar nasihatnya, termasuk orang tuaku sendiri, katanya pernikahan kita bisa diuji melalui keuangan yang terguncang, orang ketiga, bahkan kesehatan. Mungkinkah benar Mas Lian bermain dengan wanita lain sedangkan dengan Arumi saja ia tidak mau melakukannya. Apalagi ini kejadian sebelum ada masalah dengan Arumi. Sebab, pesan yang masuk bilang sudah hamil, bahkan punya anak, itu artinya ada yang dengan sengaja menguji amarahku ini.Suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Aku yakin itu pasti Mas Lian yang sadar bahwa ponselnya tertinggal."Ay, handphone aku ketinggalan!" teriaknya menyeruak ke dalam.Aku pun segera menghampiri dan menyerahkan ponsel ke tangannya."Mas, maaf kalau aku sudah baca pesan yang masuk," ucapku sambil menyerahkan bend
Mas Lian pun membalas pukulan dari Vito, ia tidak terima bibirnya keluar darah karena dihantam oleh seorang pria yang jelas-jelas pasti membela Arumi.Aku sengaja menghadang perkelahian mereka berdua. Kini aku berada di tengah-tengah mereka. Tangan Mas Lian yang tadinya ingin melayangkan pukulan pun ia banting sendiri. "Tidak semua masalah diselesaikan dengan kekerasan, kalian jangan seperti anak kecil!" Aku melerai bukan berati membela salah satu dari mereka. Ini kompleks, bisa-bisa seluruh tetangga keluar jika ada keributan. Di sini sudah terbiasa sepi, jadi jika ada kerusuhan, semua pasti keluar. "Kalian sudah gue ingatkan untuk tidak macam-macam, tapi dilanggar, benar-benar melaporkan Arumi ke pihak yang berwajib," terang Vito. Aku terkejut mendengarnya, tahu dari mana Vito tentang hal ini? Apa polisi sudah meringkus Arumi?"Heran ya gue tahu dari mana?" Aku dan Mas Lian hanya saling beradu pandangan. "Ingat, ketika kalian berdua sudah melanggar perjanjian, maka musuh kalian bu