Kalau Belinda benar-benar hamil, siapakah ayah dari anak tsb? A. Julian B. Rico, mantan asisten Belinda C. Asisten Belinda yang baru D. Mahendra (?)
"Sialan! Siapa yang membuntuti aku?!" Belinda membanting ponselnya di atas ranjang.Belinda sudah diam-diam datang ke rumah sakit, menyamar, dan naik mobil baru agar tak ada yang curiga. Tetapi, masih ada orang yang mengenali dirinya."Mungkin orang itu membuntuti sejak aku meninggalkan apartemen! Aarggh!"Baru tiga hari lalu, Belinda melihat garis dua saat dia merasa ada perubahan besar di tubuhnya. Belinda sering mual muntah setiap pagi, juga telat datang bulan.Belinda hanya menebak-nebak dan mencoba menggunakan test pack. Betapa hancurnya Belinda ketika tahu dirinya sedang mengandung.Membayangkan tubuhnya membengkak saja sudah membuat Belinda stres bukan main. Berbagai cara telah Belinda lakukan untuk menggugurkan kandungan, tetapi garis dua masih muncul pada test pack.Belinda berencana menggugurkan kandungan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh pihak rumah sakit. Bukan hanya satu dua rumah sakit yang Belinda datangi, semuanya menolak permintaannya.Belinda sendiri tidak tahu siapa
"Semuanya berjalan lancar! Siapa yang mengunggah fotoku dan Rangga?" Belinda membaca sumber berita tersebut, lalu mengangkat kedua alis. "Julian?" Belinda segera berdandan dengan riasan pucat. Dia juga mengenakan pakaian serba hitam agar semua orang dapat melihat kesedihannya.Di saat Belinda memasuki gedung perusahaan Cakrawala Group, semua pandangan tertuju padanya. Sungguh ... orang yang tak tahu kebusukan Belinda, mereka hanya dapat mengasihani Belinda dari kejauhan, serta mencaci-maki perbuatan Rangga.Tentu saja, omongan para karyawan itu berhasil membuat Belinda merasa sedikit menang. Dengan langkah ringan, Belinda melenggang menuju kantor Julian.Tak ada satu pun yang menghalangi. Resepsionis yang telah mengenal baik Belinda pun segera menyilakan dirinya.Wajah sedih Belinda menghilang begitu sampai di depan ruangan Presiden Direktur Cakrawala Group. Belinda langsung memutar gagang pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Kebiasaan Belinda yang selalu merasa dirinya orang penting dan
'Keluar sebentar, Vina. Aku ingin bicara penting.' Vina membaca pesan singkat dari Belinda.Vina tak mau menanggapi Belinda karena tak ingin membuat dirinya stres dan dapat membahayakan kandungannya. Namun, Belinda terus mengirim pesan tanpa henti sehingga Vina mulai kesal."Mas Rangga ke mana, Bu?" tanya Vina."Tadi keluar dengan Dion. Di kantor mungkin.""Aku ke toko sebelah sebentar," pamit Vina tak mau membuat ibunya khawatir.'Belinda harus diberi pelajaran agar tidak menggangguku terus!' batin Vina menggebu.Tak ingin mengganggu pekerjaan Rangga, Vina memutuskan untuk menemui Belinda sendiri. Belinda telah menanti di samping gedung.Wajah Belinda tertutup masker, juga mengenakan kacamata hitam. Belinda terlihat menengok kanan kiri untuk menghindari wartawan yang mungkin menguntitnya, pikir Vina."Ada perlu apa?" tanya Vina ketus."Masuk ke mobilku sebentar." Belinda berusaha menarik tangan Vina, tetapi Vina menghindar lebih dulu.Vina melipat tangan di depan dada. "Bicara di sini
"Apa yang sedang dilakukan bocah itu?" Mahendra menyeringai di depan televisi 85 inci.Terjadi kegaduhan setelah pernyataan Rangga tersebut. Para penonton di luar hotel pun semakin tak terkendali memaki-maki. Semua terekam jelas di layar televisi.Sementara pria yang baru saja membuat pernyataan, hanya diam dengan wajah datar tanpa dosa. Mengakibatkan para pecinta Belinda, serta aktivis perempuan semakin mengecam Rangga.Belum cukup dengan kegemparan pernyataan Rangga, DS Hotel dihebohkan oleh kehadiran mobil Belinda di depan lobi."Nona Belinda! Semangat! Kami pasti akan mendukung Anda!" seru orang-orang di luar yang setia mendampingi kasus Belinda.Belinda mengangguk dengan wajah sendu. "Terima kasih, semuanya."Belinda melangkah menuju tempat konferensi pers berlangsung. Dia sangat senang karena Rangga tadi menghubungi dirinya, tetapi Belinda tetap mempertahankan ekspresi sedih dan teraniaya.'Mari kita perjelas hubungan kita nanti malam. Aku akan bertanggung jawab atas semua yang t
"Sayang," gumam Rangga sambil mencari kehangatan tubuh istrinya.Rangga akhirnya dapat tidur dengan nyenyak setelah diberi tahu kuasa hukumnya jika kasus Belinda langsung diproses malam itu juga. Bukan hanya masalah itu saja, Rangga juga memberikan bukti atas apa yang telah Belinda lakukan selama ini.Orang tua teman Rachel yang mendorongnya di playgroup pun ikut terseret kasus Belinda. Sherly kini dalam pengawasan lembaga perlindungan anak karena mengalami trauma sejak kejadian itu.Akibat keserakahan orang tuanya, Sherly jadi sering ketakutan saat berdekatan dengan anak-anak lain. Bayangan Rachel yang dikiranya telah mati karena tak kembali ke playgroup, terus menghantui bocah malang yang hanya menuruti perintah orang tuanya.Akan tetapi, masih ada perbuatan Belinda yang lolos jeratan hukum, yaitu ketika Belinda menculik Rachel, serta kebakaran di rumah kontrakan Vina.Anak buah Seno masih bungkam di penjara. Seno sendiri tak mudah dilacak keberadaannya meskipun telah ditetapkan seba
"Mas-""Ayah!!!" Rachel melompat ketika Rangga berjongkok menyambut dirinya. "Lama cekali pulangnya!""Maaf, Ayah sibuk bekerja." Rangga melirik ngeri ke arah Vina yang menatap tajam dirinya.Dahi Vina berkerut dengan tangan terlipat di depan dada. Vina yang lebih dulu membuka pintu supaya bisa mendapat pelukan suaminya. Namun, Rangga malah melewati dirinya dan memeluk Rachel."R-Rachel sudah mandi sore?" Rangga ingin menurunkan Rachel untuk memeluk Vina, namun Rachel justru mengalungkan tangan di lehernya sangat erat."Cudah, Ayah. Ayo, kita main," ajak Rachel."Sebentar ... Ayah sapa adik Rachel dulu, boleh?" Rangga hendak memeluk Vina menggunakan satu tangan, tetapi Rachel menarik tangan Rangga."Adik 'kan belum ada. Bunda 'kan cudah becal!" protes Rachel yang merasa cemburu karena menyangka Rangga ingin berdua-duaan dengan Vina tanpa dirinya."Kak Nevan mau pulang itu. Ayo, pamitan."Nevan memicingkan mata curiga. Baru kali ini Rangga menyebut namanya. Biasanya Rangga hanya memangg
"Masuk dulu," ujar Barra seraya membuka pintu lebih lebar.Vina dan Rangga mau tak mau jadi bertamu karena merasa tak enak hati menolak. Mereka bertiga duduk di ruang tamu hanya saling bertatap canggung.Nana datang membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat di atas meja dengan tangan bergetar karena terlalu berat. Vina tak menyangka, Nana yang biasanya dilayani orang, mau melakukan tugas rumahan seperti itu."Kak Vina sengaja datang ke sini untuk mengunjungi kami?" tanya Nana dengan nada ceria.Vina merasakan perbedaan dari cara Nana menatap dirinya. Lebih tulus dan tanpa beban.Tak seperti sebelumnya, biarpun Vina selalu mencoba berpikir positif tentang Nana, hatinya terus merasa resah. Tetapi, tidak untuk sekarang.'Apa yang terjadi dengan mereka? Apa mereka bangkrut? Lalu di mana Bu Ira?' Vina penasaran ingin bertanya, tetapi tak sanggup mengatakan."Aku baru saja menghubungi pemilik rumah untuk membeli rumah ini," jawab Rangga."Oh, kamu pasti telepon ke nomor Bu Siti, pemilik
"Pak Dion pernah menjanjikan saya untuk bisa kembali di perusahaan ini kapan pun saya mau. Lagi pula, saya punya banyak pengalaman bekerja bersama Anda," jawabnya."Bisakah Anda mempertimbangkannya, Pak? Dia lebih baik dari sekretaris mana pun selama Anda bekerja di sini," bujuk Manajer HRD. Para pewawancara lain pun ikut membujuk Rangga. Mereka yang telah lama bekerja di perusahaan, tahu jika Rangga sering berganti sekretaris setelah kepergian Vina."Kamu pernah bilang begitu padanya?" Rangga menatap tajam Dion."B-benar," jawab Dion gugup karena ingat pernah mengatakan itu. "Ikut ke ruangan saya." Rangga beranjak dari tempat duduk. "Lanjutkan proses wawancaranya."Sampai di ruang kerja, Rangga segera menutup pintu rapat-rapat. Berdua dengan wanita itu, tanpa Dion."Buat apa kamu ke sini?" Rangga tampak begitu marah."Mau bekerja. Untuk apa lagi?" jawab Vina santai."Kamu meninggalkan Rachel sendirian di rumah?" geram Rangga."Tidak, Mas. Rachel aku titipkan di rumah Dion."Rangga m
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto