Apa Julian pantas menerima hukuman setelah jasanya selama ini?
"Mas-""Ayah!!!" Rachel melompat ketika Rangga berjongkok menyambut dirinya. "Lama cekali pulangnya!""Maaf, Ayah sibuk bekerja." Rangga melirik ngeri ke arah Vina yang menatap tajam dirinya.Dahi Vina berkerut dengan tangan terlipat di depan dada. Vina yang lebih dulu membuka pintu supaya bisa mendapat pelukan suaminya. Namun, Rangga malah melewati dirinya dan memeluk Rachel."R-Rachel sudah mandi sore?" Rangga ingin menurunkan Rachel untuk memeluk Vina, namun Rachel justru mengalungkan tangan di lehernya sangat erat."Cudah, Ayah. Ayo, kita main," ajak Rachel."Sebentar ... Ayah sapa adik Rachel dulu, boleh?" Rangga hendak memeluk Vina menggunakan satu tangan, tetapi Rachel menarik tangan Rangga."Adik 'kan belum ada. Bunda 'kan cudah becal!" protes Rachel yang merasa cemburu karena menyangka Rangga ingin berdua-duaan dengan Vina tanpa dirinya."Kak Nevan mau pulang itu. Ayo, pamitan."Nevan memicingkan mata curiga. Baru kali ini Rangga menyebut namanya. Biasanya Rangga hanya memangg
"Masuk dulu," ujar Barra seraya membuka pintu lebih lebar.Vina dan Rangga mau tak mau jadi bertamu karena merasa tak enak hati menolak. Mereka bertiga duduk di ruang tamu hanya saling bertatap canggung.Nana datang membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat di atas meja dengan tangan bergetar karena terlalu berat. Vina tak menyangka, Nana yang biasanya dilayani orang, mau melakukan tugas rumahan seperti itu."Kak Vina sengaja datang ke sini untuk mengunjungi kami?" tanya Nana dengan nada ceria.Vina merasakan perbedaan dari cara Nana menatap dirinya. Lebih tulus dan tanpa beban.Tak seperti sebelumnya, biarpun Vina selalu mencoba berpikir positif tentang Nana, hatinya terus merasa resah. Tetapi, tidak untuk sekarang.'Apa yang terjadi dengan mereka? Apa mereka bangkrut? Lalu di mana Bu Ira?' Vina penasaran ingin bertanya, tetapi tak sanggup mengatakan."Aku baru saja menghubungi pemilik rumah untuk membeli rumah ini," jawab Rangga."Oh, kamu pasti telepon ke nomor Bu Siti, pemilik
"Pak Dion pernah menjanjikan saya untuk bisa kembali di perusahaan ini kapan pun saya mau. Lagi pula, saya punya banyak pengalaman bekerja bersama Anda," jawabnya."Bisakah Anda mempertimbangkannya, Pak? Dia lebih baik dari sekretaris mana pun selama Anda bekerja di sini," bujuk Manajer HRD. Para pewawancara lain pun ikut membujuk Rangga. Mereka yang telah lama bekerja di perusahaan, tahu jika Rangga sering berganti sekretaris setelah kepergian Vina."Kamu pernah bilang begitu padanya?" Rangga menatap tajam Dion."B-benar," jawab Dion gugup karena ingat pernah mengatakan itu. "Ikut ke ruangan saya." Rangga beranjak dari tempat duduk. "Lanjutkan proses wawancaranya."Sampai di ruang kerja, Rangga segera menutup pintu rapat-rapat. Berdua dengan wanita itu, tanpa Dion."Buat apa kamu ke sini?" Rangga tampak begitu marah."Mau bekerja. Untuk apa lagi?" jawab Vina santai."Kamu meninggalkan Rachel sendirian di rumah?" geram Rangga."Tidak, Mas. Rachel aku titipkan di rumah Dion."Rangga m
"Kak Dion! Berhenti, Kak! Dia bisa mati!" jerit Nana.Nana menutup wajah dengan kedua tangan ketika melihat Dion menindih Seno dan memukuli tanpa ampun. Badan Nana gemetaran hingga ambruk ke lantai.Dion menghentikan aksinya saat mendengar suara Nana terjatuh di depan pintu kamar. Setelah menyeka tangan yang terkena darah dari wajah Seno, Dion segera membopong Nana masuk ke kamar dan membaringkan perlahan.Dengan kalap, Dion menelepon ambulance. Lalu mencoba membuat Nana tersadar."Nona Nana! Anda bisa mendengar saya?!" Dion menepuk-nepuk pipi Nana dan mengguncang badannya.Suara sirene polisi dan ambulance datang tak lama kemudian. Dion langsung menggendong Nana ala pengantin menuju para tim medis yang hendak menurunkan brankar."Saya akan menyusul sebentar lagi. Tolong hubungi saya jika ada apa-apa," ujar Dion kepada tim medis sambil menyerahkan kartu nama.Dion tak begitu mengkhawatirkan Nana setelah dibawa ambulance. Dia harus memastikan Seno benar-benar dibawa ke kantor polisi sek
"Saya baru saja mengambil mobil dan sedang jalan ke tempat kerja Nona Nana untuk mengantarkan surat izin, Pak. Pak Barra juga sudah datang ke rumah sakit," ujar Dion.'Tidak usah kembali ke kantor,' balas Rangga dari seberang telepon."Baik. Saya juga akan mengambil informasi tentang orang itu."Dion akhirnya sampai di minimarket yang disebutkan Nana. Dia langsung mencari atasan Nana dan menyerahkan surat izin yang dia dapatkan dari rumah sakit."Kamu pacar Nana?" tanya atasan Nana yang bernama Andre, setelah membaca surat keterangan dokter.Atasan Nana tersebut masih cukup muda, tampan, dan terlihat tak senang berjumpa dengan Dion. Tatapan Andre penuh selidik ketika bertanya."Saya sepupu No- Nana," jawab Dion."Baiklah. Berikan alamat rumah sakit dan nomor kamarnya."Dion berpikir sejenak, lalu menuliskan permintaan Andre tanpa curiga. Biar bagaimanapun, Andre merupakan atasan Nana. Sudah sewajarnya menjenguk bawahannya yang sedang sakit."Saya pamit dulu," kata Dion undur diri.Sete
"Aku turun di sini saja, Dion."Kekesalan Rangga luruh begitu mendengar Vina mau berjalan dari tikungan jalan menuju gedung perusahaan. Menurut Rangga, jaraknya lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Vina sedang hamil dan Rangga tak ingin bayi dalam kandungan Vina ikut merasakan kelelahan. "Sampai di parkiran sekalian." Rangga mencegah Vina membuka pintu mobil."Mas, katanya kita harus profesional. Kalau sampai ada yang melihat aku naik mobilmu, nanti mereka menganggapku aji mumpung." Vina menjelaskan dengan lembut."Kamu tidak ingat dengan bayi di perutmu? Kamu tidak boleh kelelahan!" tegas Rangga."Aku ini hamil, Mas! Bukan sakit-sakitan ... Lagi pula, jarak sampai gedung perusahaan cuma dua meteran begitu!" Ya, jarak yang dipikir Rangga terlalu jauh itu tak lebih dari dua meter! Begitu khawatirnya Rangga terhadap sang buah hati."Ini bagaimana jadinya?" tanya Dion kebingungan."Berhenti!""Jalan!"Vina dan Rangga menjawab bersamaan. Rangga membuang napas kasar. "Turun, Dion
'Profesional.'Satu kata itu terus Rangga sematkan dalam hati dan pikiran. Mata Rangga pun terbuka dengan keadaan di sekitar.Rangga mengurai kepalan tangannya. "Dion! Kenapa lama sekali mengambil makanan?!" bentak Rangga.Karena tak bisa memarahi Anggara maupun Rafael yang mendekati Vina, Rangga melampiaskan amarahnya kepada Dion.'Maaf, Pak. Antre ...." Dion meletakkan makanan untuk Rangga dengan sopan, lalu duduk di depan Rangga dan segera menikmati makanannya sendiri."Jangan membuang-buang waktu berhargaku, Dion!" sentak Rangga."Iya, Pak."'Apes sekali .... Cemburu sama siapa, yang dimarahi siapa?' keluh Dion dalam hati.Semua orang bertanya-tanya mengapa Rangga tiba-tiba menggebrak meja. Dan ketika mendengar Rangga minta makanan dengan cepat, mereka berpikir jika Rangga sedang sangat lapar."Pak Rangga mungkin belum sarapan," bisik salah satu karyawan."Kasihan Pak Rangga, besok aku mau membuatkan bekal makan siang untuk Pak Rangga," bisik karyawati."Pak Dion keterlaluan sekali
"Pak," bisik Dion seraya menggeser Rangga ke samping agar tak mendekat pada Anggara.Rangga membuang napas kasar untuk melegakan hatinya. Akan tetapi, rasa marah itu masih menyesakkan dada.Ingin hati berteriak di depan wajah Anggara dan mengatakan bahwa Vina itu miliknya, istri sahnya. Namun, Rangga tak mau membuat Vina kecewa karena tak bisa bekerja dengan tenang. Yang akhirnya malah membuat Vina jadi stres dan membahayakan buah hati mereka."Maaf, Pak Anggara, saya sudah menikah." Vina memamerkan cincin di jari manis kanannya.Anggara tampak begitu terkejut karena cincin Vina tak pernah terlihat oleh pandangannya. "S-serius? Kapan? Sama siapa? Kenapa tidak ada yang tahu?""Iya, Pak, kami belum lama menikah ... dan dengan siapa, saya tidak bisa mengatakan sekarang," jawab Vina dengan mengubah cara bicara sopan dan seprofesional mungkin.Melihat wajah kecewa dan tercengang Anggara, Rangga menjadi berpuas hati. Jutaan kupu-kupu menggelitik perut Rangga hingga terasa hampir meledak oleh
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto