Cie ... ada yang diajakin kencan ....
"Pak," bisik Dion seraya menggeser Rangga ke samping agar tak mendekat pada Anggara.Rangga membuang napas kasar untuk melegakan hatinya. Akan tetapi, rasa marah itu masih menyesakkan dada.Ingin hati berteriak di depan wajah Anggara dan mengatakan bahwa Vina itu miliknya, istri sahnya. Namun, Rangga tak mau membuat Vina kecewa karena tak bisa bekerja dengan tenang. Yang akhirnya malah membuat Vina jadi stres dan membahayakan buah hati mereka."Maaf, Pak Anggara, saya sudah menikah." Vina memamerkan cincin di jari manis kanannya.Anggara tampak begitu terkejut karena cincin Vina tak pernah terlihat oleh pandangannya. "S-serius? Kapan? Sama siapa? Kenapa tidak ada yang tahu?""Iya, Pak, kami belum lama menikah ... dan dengan siapa, saya tidak bisa mengatakan sekarang," jawab Vina dengan mengubah cara bicara sopan dan seprofesional mungkin.Melihat wajah kecewa dan tercengang Anggara, Rangga menjadi berpuas hati. Jutaan kupu-kupu menggelitik perut Rangga hingga terasa hampir meledak oleh
Orang yang tengah dicari Rangga, kini sedang berada di depan pintu kamar Nana. Dion sengaja menunggu di bangku luar kamar karena tak mau mengganggu kebersamaan Nana dan bosnya."Kalau mau sesuatu, bilang saya. Jangan sungkan," kata Andre menawari."Terima kasih, tetapi semua sudah ada di sini. Anda pulang saja, Pak. Anda sudah lama di sini, takutnya malah mengganggu kesibukan Anda," ucap Nana sungkan."Kamu tidak menggangguku. Saya justru senang bisa menemani kamu di sini."Mendadak Dion merasa mual mendengar suara lembut Andre yang terang-terangan merayu Nana. Sudah disuguhi pasangan suami istri yang sering bermesraan tak tahu tempat, sekarang Dion masih harus mendengar orang pacaran.Dion merogoh saku jas untuk mengambil ponsel. Dia terkejut karena ponselnya ternyata mati sejak tadi. Mau tak mau, Dion mengetuk pintu kamar perawatan Nana untuk mengisi daya ponselnya."Kak Dion!" sapa Nana dengan wajah berseri-seri.Dion lelah ditatap penuh permusuhan oleh Andre. Dia hanya mengangguk s
"Masuk ke dalam, telepon polisi, dan Pak Rangga," perintah Dion cepat sambil menghalangi orang yang hendak menuju pintu.Vina cepat-cepat masuk ke mobil. Dia menekan nomor Rangga, tapi urung melakukannya karena suaminya itu sedang rapat. Dia pun hanya mengirim pesan kepada Rangga.Ditekannya nomor kantor polisi terdekat untuk melaporkan mereka. Juga menghubungi layanan pelanggan mal, yang malah membuat Vina kesal karena tak mempercayai ucapannya.Kamera pengawas pun tak terlihat di tempat Dion sedang berkelahi karena tertutup truk besar yang sengaja diparkirkan anak buah Ira agar tak ada barang bukti. Setelah selesai menelepon, Vina mengintip ke luar dari kaca."Aaaahh!!" Vina menjerit ketika tubuh seseorang membentur pintu mobil tepat di mana dia sedang mengintip.Di luar sana, tiga orang jatuh tersungkur oleh amukan Dion. Vina tercengang melihat Dion yang biasanya polos dan suka bercanda itu menjadi seperti orang lain. Sorot mata Dion begitu tajam ketika menghajar orang-orang suruha
'Nana ... mencintaiku? Aku tidak salah dengar kan?' Dion tak bisa mengendalikan raut gelisah dan tak tenang. Wajah penuh harap Nana tunjukkan kepada Dion. Di saat itu pula, Dion yakin bahwa Nana bersungguh-sungguh.'Aku cuma bercanda ... jadi rumit begini! Ini semua gara-gara Pak Rangga!' maki Dion dalam hati.Dion menatap nanar Rangga yang begitu tenang dan hanya memperhatikan Vina. Lalu beralih menatap Vina yang sibuk menenangkan kebahagiaan Nana.Tatapan Dion berakhir kepada ... Nana ... yang masih melihat dirinya dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi Dion. Sekarang, dia tak bisa membongkar kebohongannya.Untung saja, seorang polisi datang dan memecah keresahan yang tengah Dion rasakan. "Dengan saudara Dion, benar?""Y-ya, Pak.""Jangan takut, Kak." Nana menepuk-nepuk lengan Dion sehingga pria itu bergidik."Anda sudah bisa memberikan kesaksian?"Kedatangan polisi bukannya membuat suasana menjadi tenang, Dion semakin gundah. Tak mungkin dia
"Aku dengar dari karyawan yang ada di bus sebelah, Pak Rangga memanggil Rafael dengan sebutan sayang!" Para karyawan tengah sibuk mendirikan tenda sambil bergosip ria."Pantas saja ... Bu Vina ketiduran sampai nempel-nempel begitu, tapi Pak Rangga tetap biasa-biasa saja.""Apa kalian pernah lihat Pak Rangga jalan dengan wanita? Tidak 'kan?!""Belinda juga sampai selingkuh begitu. Walaupun menyebalkan dan ternyata jahat, Belinda itu sangat cantik dan seksi. Jangan-jangan, Belinda selingkuh karena tahu Pak Rangga memang tidak bernafsu dengan wanita!""Hus! Jangan sembarangan bicara! Kalau memang Pak Rangga begitu, aku tetap mau dengannya. Siapa tahu, dia bisa aku sembuhkan."Rumor baru pun bermunculan akibat kejadian di bus tadi. Ditambah lagi, Rafael terlihat rupawan yang terkesan cantik dengan kulit putih, mata sipit, dan wajah halus tanpa noda.Rafael sendiri juga tak tahu kenapa Rangga tiba-tiba memanggilnya sayang. Sepanjang waktu membangun tenda, Vina tak bisa berhenti tertawa keti
"Di mana? Siapa? Yang mana suamimu?" Orang-orang mulai bertanya-tanya sambil menoleh ke kanan kiri, menduga-duga siapa yang dimaksud Vina.Rangga membenarkan kerah kemeja, bersiap menyambut pengakuan Vina. Kedua tangan Rangga terlipat di depan dada tanpa menutupi cincin pernikahannya. Rangga justru lebih menonjolkan cincin itu agar semua orang dapat melihat. Sesekali menggoyangkan jari manisnya dengan sengaja.Vina menepuk pelan dada kirinya. "Di hatiku ...."Orang-orang berseru menanggapi. Wanita yang dulunya pendiam, kini bisa bicara manis seperti itu.Malam kian larut. Orang-orang telah kembali ke tenda masing-masing. Beberapa masih bercengkrama di dekat api unggun.Dion masuk ke tenda yang sudah disiapkan Rafael. "Pak Rangga tidak tidur di sini?" tanya Rafael.Dion merebahkan punggung yang lelah seharian karena mengurus dua anak kecil. Matanya fokus menatap pesan singkat untuk Nana yang tak kunjung mendapat balasan."Sama Vina lah ... masa tidur sama kita," ujar Dion tak sadar sam
Beberapa penggemar Rangga yang semalam saling berunding agar dapat mendekatinya, menangis tersedu. Ada pula yang marah dan memaki Vina. Mereka adalah para karyawan yang bergabung di perusahaan setelah Vina mengundurkan diri."Pak Rangga tidak mungkin sudah menikah," bisik salah satu wanita itu."Pak Rangga pasti dijebak! Masa mau sama wanita jelek itu," protes temannya.Anggara yang berada di sebelah mereka menjadi penasaran. Dia memecah barisan agar dapat melihat apa yang terjadi di depan.Anak yang ditemuinya tadi tengah mendorong-dorong Vina dalam gendongan Rangga. Kata ayah dan bunda selalu diucapkan Rachel kepada mereka berdua."Jadi ... selama ini, aku menyukai istri atasanku sendiri?" gumam Anggara tak percaya."Rachel, kenapa ada di sini?!" Vina sedikit meninggikan suara."Jangan bicara keras begitu sama Rachel," tegur Rangga dengan suara pelan.Rangga menangkup bibir Vina dengan jari-jarinya saat Vina hendak memprotes. Pemandangan itu semakin membuat para karyawan ternganga.P
Awan hitam dan gerimis tipis menyapa pagi. Vina menggeliat merenggangkan otot-ototnya. Kedua mata Vina terbuka. Rangga melipat satu tangan untuk menyangga kepala dan terus menatap dirinya."Selamat pagi, Sayang," sapa Rangga dengan wajah berseri-seri.Vina mencebik kesal sambil memutar badan memunggungi Rangga. Lalu menarik selimut sampai kepala."Masih marah?" Rangga ikut masuk ke dalam selimut, mendekap Vina dari belakang untuk menyalurkan kehangatan di pagi yang dingin. "Rachel semakin pintar, Sayang. Susah menyembunyikan sesuatu darinya," ujar Rangga halus.Dalam hati, Rangga meminta maaf pada putri kecilnya. Anggap saja Rangga terpaksa memanfaatkan kepolosan Rachel demi keutuhan rumah tangganya. Lagi pula, Rachel pun senang melakukannya."Mas pasti yang menyuruh Rachel," gerutu Vina dengan suara parau.Rangga terkesiap. Vina sekarang jadi lebih sensitif dan suka curiga berlebihan. Meskipun kecurigaan Vina kali ini memang benar."Tidak, Sayang. Kamu tidak ingat waktu Rachel memin
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto