Hari ini cuacanya agak panas, ya 🌞
"Sadar, Pak!" Vina menampar keras wajah Rangga. "Belinda pasti sudah melakukan ini kepada Anda!"Mendapat tamparan tak lantas membuat Rangga marah. Hasratnya justru semakin terpacu.Rangga membopong Vina dengan gerakan cepat. Kedua kaki Vina mengepak-ngepak kuat, tangannya pun menjambak rambut Rangga."Urrghh!" Rangga mengerang kesakitan. "Berhenti! Kamu membuatku semakin ingin melakukan sesuatu, Vina!"Vina langsung terdiam. Rangga pun membaringkan Vina ke ranjang dengan perlahan.Vina gegas berguling ke samping untuk melarikan diri, tetapi Rangga dengan cepat mengungkung tubuhnya. Mengunci Vina agar tak bisa bergerak ke mana-mana."Saya tidak mau melakukan ini!" teriak Vina.Rangga mengambil segenggam rambut Vina yang beraroma memabukkan, lalu mengecupnya. "Kenapa?""Kita belum menikah! Saya tidak mau! Menyingkir dari atas saya!" Vina memukul-mukul dada Rangga sekuat tenaga.Pukulan ringan itu membuat darah Rangga berdesir. Gelombang gairah semakin meledak-ledak ingin segera disalurk
"Apa, sih!"Vina mendorong Rangga. Tubuh yang biasanya kokoh itu ambruk hanya karena gerakan pelan Vina."Haa ...." Rangga mendesah pelan sambil memegangi kepala. "Jangan kasar, Vina."Vina buru-buru mencari ponselnya karena kembali panik melihat Rangga lemah tak berdaya. Dia menelepon Dion untuk mencari kunci cadangan kamarnya. Lalu, menghubungi dokter Teddy agar cepat datang memeriksa Rangga."Kemarikan ponselmu!" Rangga mengulurkan tangan sembari memejamkan mata."Untuk apa?" Karena tak kunjung diberikan, Rangga merebut ponsel itu dari tangan Vina. "Kembalikan! Itu privasi saya!" Vina berusaha mengambil ponselnya kembali. Rangga sigap menarik tangan Vina sampai terjatuh ke dalam pelukannya.Sekujur tubuh Rangga masih terasa dingin. Vina bergidik dibuatnya. Dia menarik selimut untuk menghangatkan Rangga.Di saat yang sama, Rangga menghapus kontak dokter Teddy. Vina yang sempat melihatnya, langsung mengamuk dan merebut ponselnya."Kenapa dihapus?!" seru Vina tak terima."Tidak ingat
"Rangga melakukan itu?" Mahendra bertanya seolah tak percaya.Biar bagaimanapun, Mahendra tahu betul karakter cucunya. Apalagi, Rangga selalu menolak untuk dijodohkan dengan Belinda. 'Rangga bisa saja melakukannya jika Belinda yang menggoda lebih dulu," pikir Mahendra.Akan tetapi, melihat penampilan dan gerak-gerik Belinda, Mahendra jadi meragukan pikirannya sendiri. Rangga tetaplah pria normal yang memiliki kebutuhan biologis yang sama dengan pria lainnya."Kakek bisa menyuruh orang untuk melihat apartemenku jika Kakek tidak percaya. Hu hu hu ... Rangga melakukan itu dengan kasar dan juga memaksa aku, Kakek .... Aku sudah menolak, tetapi aku tidak cukup kuat melawan Rangga.""Kakek akan melihat sendiri ke sana." Mahendra memutuskan.Berangkatlah mereka ke apartemen Belinda. Mahendra tercengang melihat isi apartemen Belinda yang seperti habis diterjang badai.Asisten pribadi Belinda juga ada di sana untuk memberi kesaksian jika hanya Rangga yang masuk ke apartemen Belinda semalam. T
"Mau menggantikan celanaku juga?"Iris mata Vina bergulir ke bawah. Sisi samping celana Rangga basah karena ulahnya.Vina terkejut bukan main. Dia sampai tersentak ke belakang saat menarik tangannya. Salah satu kaki Vina tersandung oleh kakinya yang lain. Vina terhuyung-huyung hampir jatuh ke belakang.Dengan cepat, Rangga bangun dan menangkap pinggang Vina. Menarik badan Vina pelan sampai duduk di tepi ranjang."M-maaf ...." Vina menunduk malu, namun dalam sekejap dia menyorot tajam Rangga. "Tadi katanya masih lemas!"Mata Rangga bergetar. Dia langsung ambruk di tempat semula. Rachel menggeliat karena gerakan Rangga barusan."Kamu pikir aku akan diam saja melihat kamu jatuh?" Rangga menanggapi dengan santai."Anda sudah tidak sakit 'kan?" Vina melempar handuk basah ke dada Rangga. "Dilap sendiri!""Bunda ...." Rachel mengusap-usap mata."Suaramu terlalu keras, Rachel jadi bangun!" hardik Rangga.Dion mengetuk pintu dari luar, lalu masuk ke dalam tanpa disuruh. Dia terlihat sangat kha
Suasana mencekam memenuhi ruang keluarga di kediaman Cakrawala. Belinda, kedua orang tua Belinda, dan Mahendra duduk mengelilingi meja bulat mini.Rangga yang baru saja datang ikut duduk dengan tenang. Semua mata menyorot dirinya dengan tatapan menghakimi.Sony pun mengetatkan rahang sampai urat di lehernya terlihat. Dia mengepalkan tangan ingin meninju pria yang seperti tanpa dosa malah memainkan ponselnya begitu datang.Rangga tengah mengabari Dion jika dirinya telah sampai di rumah Mahendra. Dia meminta Dion untuk menjaga putri dan calon istrinya saat dia tak ada di sana.Geraman marah tertangkap oleh indra pendengaran Rangga tatkala dirinya tersenyum melihat foto Rachel yang sedang tertidur pulas. Rangga melirik sekilas ke arah suara yang datang dari kakeknya.Rangga pun menyelipkan ponselnya masuk kembali ke saku celana. Menunggu salah satu dari mereka bicara.Rangga pikir, Belinda sudah mengatakan janjinya kemarin. Sehingga semua orang mungkin mengira Rangga yang mendesak Belinda
'Bagaimana, Vin? Rangga mau memberimu rekaman itu?' Vina bimbang untuk memutuskannya. Julian sedari tadi mengirim pesan singkat dengan pertanyaan yang sama."Apa yang harus aku lakukan?" Vina mendesah pelan."Bunda ... aakkk ...."Vina sampai tak sadar dia tengah menyuapi sarapan Rachel sekarang. Ya, Rachel harus menjadi prioritas Vina sekarang.Jika Vina membantu Julian, Rachel bisa kehilangan sosok ayahnya karena Mahendra tak akan pernah mau menggagalkan rencana pernikahan Rangga tanpa bukti.'Tetapi ... bagaimana dengan nasib Julian?'"Ayah macih cakit, Bunda?""Masih. Jangan bicara sambil makan, Sayang," tegur Vina.Rachel membuka lebar mulutnya untuk menunjukkan tak ada makanan yang tersisa. "Ayo, menjenguk Ayah, Bunda," ajak Rachel."Rachel 'kan masih sakit.""Aku cudah cembuh, Bunda. Mau belcama Ayah ...."Vina tak sanggup mengecewakan Rachel. Baru tak bertemu semalam saja, Rachel sudah merindukan Rangga. Bagaimana jadinya kalau Rangga menikah nanti?Entahlah ... Vina pusing me
"A-aku akan menjelaskannya, Kek," ujar Julian dengan suara bergetar.Tangan Mahendra mendarat di bahu Julian, menepuk-nepuk bangga. "Kerja bagus, Julian. Kakek senang, kamu sekarang bisa menjadi pendukung sepupumu."Julian mendongakkan kepala. Jarang sekali Julian bisa melihat kakeknya tersenyum dan memuji dirinya. Namun, entah mengapa Julian tak terlalu suka mendengar pujian Mahendra. 'Hanya pendukung," pikirnya getir.Mahendra berjalan ke arah pintu. Tanpa berbalik, Mahendra memberi peringatan kepada kedua cucunya, "ingat kata-kata Kakek ini, Kakek paling tidak suka dengan orang yang melakukan perbuatan hina sebelum menikah. Jangan sampai kalian melakukannya!"Baik Rangga maupun Julian dibuat bungkam oleh ucapan Mahendra. Keduanya telah melakukan hal terlarang itu. Meskipun mereka melakukannya karena ketidaksengajaan.Terlebih lagi, Rangga sampai memiliki anak di luar nikah. Rangga diam-diam mengepalkan tangan di dalam saku celana. Usaha untuk mengungkap jati diri Rachel tak akan s
"Kamu buta, ya? Ini warnanya hijau! Aku sudah bilang, yang hijau ditumpuk di sini!" bentak Nevan kesal.Mata Rachel berkaca-kaca, tetapi dia menahan diri agar tak meneteskan air mata."Maaf, Kak ....""Sudah! Aku lelah bermain dengan anak bodoh sepertimu!"Rachel tak sanggup lagi membendung kesedihan. Sejak Sekar selesai mengajar, Dion dan Vina sibuk berdiskusi di luar ruangan bermain.Vina dan dan Dion tak mendengar Nevan yang terus membentak-bentak Rachel dan mengucap kata-kata kasar padanya."Hu hu hufp-"Nevan buru-buru membekap mulut Rachel yang hampir menangis kencang. Dia celingukan mencari sosok Dion dan Vina, lalu mengembuskan nafas lega karena mereka berdua tak melihat ke arahnya sekarang."Jangan menangis! Kalau kamu menangis, Kakak tidak akan mau jadi temanmu lagi!" ancam Nevan.Rachel buru-buru menghapus air matanya. "Tapi, jangan kelas-kelas cualanya, Kak. Jangan cepelti Ayah dan Bunda yang cuka bentak-bentakan!"Nevan terdiam mencerna kata-kata Rachel. Orang tua Nevan se
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto