Mari kita tunggu Kakek hot beraksi đ€
"A-aku akan menjelaskannya, Kek," ujar Julian dengan suara bergetar.Tangan Mahendra mendarat di bahu Julian, menepuk-nepuk bangga. "Kerja bagus, Julian. Kakek senang, kamu sekarang bisa menjadi pendukung sepupumu."Julian mendongakkan kepala. Jarang sekali Julian bisa melihat kakeknya tersenyum dan memuji dirinya. Namun, entah mengapa Julian tak terlalu suka mendengar pujian Mahendra. 'Hanya pendukung," pikirnya getir.Mahendra berjalan ke arah pintu. Tanpa berbalik, Mahendra memberi peringatan kepada kedua cucunya, "ingat kata-kata Kakek ini, Kakek paling tidak suka dengan orang yang melakukan perbuatan hina sebelum menikah. Jangan sampai kalian melakukannya!"Baik Rangga maupun Julian dibuat bungkam oleh ucapan Mahendra. Keduanya telah melakukan hal terlarang itu. Meskipun mereka melakukannya karena ketidaksengajaan.Terlebih lagi, Rangga sampai memiliki anak di luar nikah. Rangga diam-diam mengepalkan tangan di dalam saku celana. Usaha untuk mengungkap jati diri Rachel tak akan s
"Kamu buta, ya? Ini warnanya hijau! Aku sudah bilang, yang hijau ditumpuk di sini!" bentak Nevan kesal.Mata Rachel berkaca-kaca, tetapi dia menahan diri agar tak meneteskan air mata."Maaf, Kak ....""Sudah! Aku lelah bermain dengan anak bodoh sepertimu!"Rachel tak sanggup lagi membendung kesedihan. Sejak Sekar selesai mengajar, Dion dan Vina sibuk berdiskusi di luar ruangan bermain.Vina dan dan Dion tak mendengar Nevan yang terus membentak-bentak Rachel dan mengucap kata-kata kasar padanya."Hu hu hufp-"Nevan buru-buru membekap mulut Rachel yang hampir menangis kencang. Dia celingukan mencari sosok Dion dan Vina, lalu mengembuskan nafas lega karena mereka berdua tak melihat ke arahnya sekarang."Jangan menangis! Kalau kamu menangis, Kakak tidak akan mau jadi temanmu lagi!" ancam Nevan.Rachel buru-buru menghapus air matanya. "Tapi, jangan kelas-kelas cualanya, Kak. Jangan cepelti Ayah dan Bunda yang cuka bentak-bentakan!"Nevan terdiam mencerna kata-kata Rachel. Orang tua Nevan se
"Tentu saja, Ayah akan memberimu adik. Tapi, tidak sekarang." Rangga menghindari sorot tajam Vina yang membeliakkan mata padanya.Rangga tak merasa bersalah sama sekali. Keinginan Rachel adalah yang paling utama.Memberi adik untuk Rachel juga tak ada salahnya, bukan? Rangga dengan senang hati akan membuatkan adik bayi untuk putrinya."Sungguh? Ayah tidak bohong? Kenapa tidak cekalang?" Rachel lega karena kekhawatiran Nevan tak pernah terjadi. Ayahnya langsung menuruti permintaannya tanpa keraguan."Ayah tidak bohong.""Janji?" Rachel ingin memastikan sekali lagi."Kalau itu, Bunda yang harus berjanji kepada Rachel, bukan Ayah. Karena Bunda yang akan mengandung adik Rachel."Rachel dan Rangga menatap Vina penuh harap. Kelingking Rachel masih mengambang di udara, menanti kelingking Vina menyambut untuk berikrar janji.Vina memejamkan mata pura-pura tidur, berharap Rachel akan lelah dengan sendirinya dan melupakan keinginan yang menurut Vina tak masuk akal. Vina tak habis pikir, bisa-bi
"Uhuk ... uhuk ...." Rachel terbatuk-batuk ketika mencium bau rokok yang memenuhi ruangan.Rachel memandang sekelilingnya yang tampak gelap dan menyeramkan. Hanya ada cahaya-cahaya kecil yang menerobos dari dinding semi permanen."Dia bangun, Bos," ucap salah satu penculik."Diamkan saja," jawab bosnya acuh tak acuh."Bunda ... Ayah ...." Rachel merintih lirih.Para pria yang ada di hadapan Rachel sekarang, bukan om-om pengawal yang Rachel kenal. Rachel sangat ketakutan melihat tampang-tampang seram para pria itu. Belum lagi, tato di sekujur tubuh mereka yang menampilkan gambar-gambar menakutkan. Pun dengan tangan dan kaki Rachel yang terikat menambah kepanikan.Rachel ingin menangis, tetapi bersuara pun dia tak berani. Rachel sampai tak sadar ketika Nevan menggeliat di sampingnya."Urgghh," erang Nevan.Rachel tersentak ketika badan Nevan menyentuh kakinya. Hampir saja Rachel menjerit keras."Rachel, Rachel ... kamu baik-baik saja?" Nevan berusaha berdiri, tetapi tak dapat menggerakk
"Kenapa tidak memanggil polisi lebih dulu?" gumam Vina khawatir."Pengawal kita yang akan membawa para penculik itu ke sana," balas Rangga.Belasan mobil mengepung gudang kosong yang berada di pegunungan. Puluhan pengawal mengitari area itu, tak menyisakan jarak sedikit pun.Dion tergesa-gesa turun dari mobil dengan raut muka yang tak biasa. Baru kali ini Dion benar-benar marah sampai ingin menghabisi seseorang."Kamu diam di sini. Jangan keluar apa pun yang terjadi! Mengerti?" tegas Rangga."Iya," sahut Vina pelan."Aku tidak main-main, Vina. Jangan mengacaukan situasi dengan kepanikanmu sendiri." Rangga kembali menegaskan."Iya. Aku tidak akan keluar dari mobil. Cepat selamatkan Rachel."Rangga pun turun dari mobil dan menyusul Dion. Mereka harus ekstra hati-hati agar tak membahayakan Rachel dan Nevan yang disekap di dalam.Satu pengawal memberi kode dengan empat jari. Yang lain mengangguk tanda mengerti.Rangga, Dion, dan para pengawal lain bersembunyi di samping gudang. Di belakang
"Ganti semua asisten rumah tangga dengan orang baru yang bisa dipercaya," titah Rangga."Baik, Pak. Orang yang memberikan obat bius itu sudah digiring ke kantor polisi bersama Seno dan komplotannya.""Belinda sudah ditangkap?""Mereka tidak mau mengaku saat ditanya polisi. Semua kesalahan dilimpahkan pada Seno yang mengaku butuh uang dan akan memeras para orang tua. Jika kita memberikan rekaman interogasi kemarin, Seno bisa menuduh kita yang memaksa dia untuk mengatakan hal tersebut.""Baiklah. Pergilah ke rumah."Dion diam-diam tersenyum saat menunduk. "Baik, Pak."Pekerjaan Dion kini berkurang karena Rangga menambah asisten lain untuk mengurusi masalah kantor dan sekretaris yang baru pun lumayan cekatan. Dion bisa bersantai sambil bermain bersama anak-anak dengan dalih menjaga keamanan mereka.Ketika Dion hampir meraih gagang pintu, Belinda membukanya lebih dulu. Pintu itu hampir saja menabrak Dion."Lihat-lihat kalau jalan!" bentak Dion sambil menatap nyalang Belinda. Tampang garan
"S-sesak ...."Debaran jantung dan getaran setiap tarikan napas Rangga terdengar jelas di telinga Vina. Dia kemudian teringat saat di tenda dan mendengar suara yang sama dari dalam dada Rangga.'Ternyata, yang waktu itu bukan suara jantungku,' batin Vina."Sebentar lagi," ucap Rangga pelan.Apakah Rangga hanya ingin memiliki Rachel dan Vina sehingga mengatakan cemburu? Atau karena Rangga memiliki perasaan padanya?Vina terlalu malu untuk bertanya dan memastikan. Seumur-umur, hanya Rangga yang pernah sedekat ini dengannya. Vina tak memiliki pengalaman ataupun keberanian untuk berbicara tentang asmara.Rangga mengendurkan pelukan, lalu mengangkat dagu Vina. Mata jernih pria itu terus menatap bibirnya. Vina pun memalingkan wajahnya. "J-jangan begini. Aku tidak mau dicium dan disentuh-sentuh lagi dengan pria yang tidak memiliki status apa pun denganku.""Siapa yang mau menciummu? Sepertinya, kamu yang mengharapkan itu. Bilang saja kalau kamu memintaku untuk menciummu. Aku akan mempertimb
"Apa Pak Mahendra sudah tahu tentang Rachel?" tanya Dion.Vina juga sempat berpikir yang sama karena Mahendra mengancam dengan menggunakan nama anaknya. Tetapi, seharusnya Rangga juga dipanggil ke sana, bukan?"Tidak mungkin. Kakek pasti akan menghajarku lebih dulu sebelum memanggil Vina," ucapan Rangga menguatkan pemikiran Vina."Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Vin? Bilang saja, kamu sedang sibuk atau di luar kota," usul Dion."Itu tidak mungkin. Pak Mahendra akan mencariku dan menemukan aku yang tinggal di rumah cucunya." Vina melirik Rangga."Ibu tidak mau kalau Mahendra sampai menyakiti Vina. Kamu antar Vina ke sana, Nak Rangga. Biar Ibu dan Dion yang mengurus anak-anak."Rangga bersiap bangun dari kursi dan meminta Dion kunci mobilnya."Tidak, aku akan pergi ke sana sendiri. Siapa tahu, Pak Mahendra hanya ingin membicarakan tentang masalah katering. Jangan khawatir, Bu. Aku akan baik-baik saja." Vina menepuk bahu Martha."Aku akan mengantarmu." Rangga memutuskan."Tidak. Pak Mah
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.âSelamat atas pernikahan Anda, Nona,â ujar pelayan itu.âTerima kasih.â Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
âBukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,â balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.âBenar ⊠sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,â ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.âTerserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.ââItu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,â sanggah Dewi.âBukan itu intinya, Ma!âJulian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
âAstaga ⊠kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?âBelinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. âTerima kasih, Om.âDewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.âDi sini kamu rupanya.â Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. âApa yang kamu katakan pada menantumu?âDewi menoleh pada Dewa singkat. âApa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.âDewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.âBelinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
âAku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?â protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. âTidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.ââTristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!â Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.âKalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!â Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.âKalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!â Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.âLinda!â pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.âJulian, kamu sudah bangun.â Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!âBayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?â Julian berusaha berdiri dengan kalap. âAda air menyembur dan âŠ.âManik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.âKenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?â Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.âTenang, Julian!â bentak Vina. âLinda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang ⊠aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh ⊠kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto