Karena karma itu nyata adanya. Entah akan terjadi dalam waktu dekat atau lama..
Saat ini, Belinda tinggal bersama dengan Bima di sebuah kontrakan. Bima jarang sekali bertemu Bisma jika Rangga dan Dion tak begitu membutuhkan bantuannya.Belum lama ini, Bima sedang merintis usaha kecil-kecilan sendiri, tanpa sepengetahuan saudara kembarnya. Sejak pernikahan Belinda dan Julian, Bima jadi sering uring-uringan.Bima tak tahu apa yang dia rasakan. Yang pasti, Bima jadi memiliki pemikiran bahwa setiap wanita pasti akan luluh dengan pria kaya yang memiliki kedudukan dan kekayaan.Buktinya, Belinda ternyata mau menikah dengan Julian, setelah Belinda tahu jika Julian mendapatkan hartanya kembali. Padahal sebelumnya, Belinda bersikeras agar tak dipertemukan dengan Julian. Begitu yang dipikirkan Bima.Karena itu, Bima mencari-cari cara agar dapat menjadi pria yang dapat diandalkan. Tentunya, memiliki harta menjadi tujuan yang utama. Sehingga wanitanya kelak tak akan meninggalkan dirinya bersama pria yang jauh lebih kaya darinya.Setelah berkutat dengan pekerjaannya, Bima mela
'Tristan sudah menyerahkan diri ke kantor polisi. Julian belum tahu. Mungkin, mereka akan menangkap Julian besok pagi.'Vina ikut membaca pesan dari Lia di ponsel Rangga. Kedua orang itu terdiam memandangi layar ponsel untuk beberapa lama.Ada rasa lega karena orang yang selalu berusaha mencelakai mereka, akhirnya dapat dijebloskan ke penjara. Akan tetapi, baik Vina maupun Rangga juga merasa tak nyaman. Sebab, Julian masih menjadi bagian dari keluarga mereka."Aku yakin, Mas, Julian akan sadar suatu hari nanti, saat dia sudah menerima dan merasakan sendiri hukumannya," ucap Vina sambil merangkul pundak Rangga.Rangga justru berpikir hal yang sebaliknya. Julian bisa menjadi semakin parah jika berkumpul dengan kriminal lain. Namun, Rangga juga berharap jika apa yang dikatakan istrinya benar-benar akan terjadi."Semoga saja kamu benar, Sayang," balas Rangga.Vina dapat melihat raut muka Rangga terlihat gelisah. Dia pun memeluk Rangga dan menyalurkan ketenangan untuk suaminya itu.Rangga j
"Ada apa itu ramai-ramai di depan rumah?" tanya Vina.Rangga mempercepat laju kendaraan. Di depan rumahnya, para pengawal berkerumun mengelilingi orang-orang asing tak dikenal."Kamu di sini dulu, Sayang. Jangan keluar!" tegas Rangga, lalu keluar dari mobil lebih dulu untuk melihat situasi."Pak Rangga, Anda sudah kembali. Kami menangkap orang-orang ini. Mereka sedari tadi berkeliling di depan dan belakang area rumah dan membawa jeriken bensin," lapor salah satu pengawal.Para pengawal membuka jalan ketika Rangga hendak melihat wajah empat orang yang sekarang diikat tangannya di belakang punggung mereka. Bukan takut, empat orang itu terlihat sangat marah."Anda pemilik rumah ini?!" seru salah seorang pria itu."Ya, benar. Apa yang akan kalian lakukan di rumahku?" Rangga balik bertanya dengan wajah garang nan dingin."Mobil kami kehabisan bensin dan kami membeli bensin di sekitar sini. Pengawal Anda malah menangkap kami!" seru yang lain tak terima."Lepaskan kami!" Yang lain ikut berter
"Mas Rangga!" pekik Vina.Vina dan Mahendra berdiri bersamaan. Sementara Dewa jatuh terduduk di kursi dengan mulut setengah terbuka.Vina berlari kecil dan memeluk suaminya. Dia berjinjit dan mengecup seluruh wajah Rangga, tak peduli ada orang di sekeliling mereka."Urgh ... sakit, Sayang." Rangga mengerang dan menjauhkan tangan dari badan Vina yang menekannya."Kamu tidak apa-apa, Mas?" tanya Vina khawatir.Vina melepaskan pelukan dan mencari anggota tubuh Rangga yang membuatnya kesakitan. Mata Vina membeliak saat melihat pergelangan tangan kanan Rangga dibalut perban."Tidak apa-""Ini kenapa, Mas? Tanganmu patah?" potong Vina seraya meringis, seperti ikut merasakan sakit. "Kata asisten pribadi Papa, penumpang di mobilmu tidak selamat. Aku kira, aku akan menjadi janda. Hu hu hu."Rangga mengusap air mata Vina dengan tangan kirinya. Lalu menarik Vina ke dalam pelukan."Pak Tomi, sopir kita yang meninggal.""Apa yang terjadi, Rangga?!" Mahendra ikut bertanya dan memeriksa cucunya.Vina
"Pak Rangga sudah banyak berubah," ucap Dion.Dion tersenyum simpul setelah mengantar Rangga sampai rumah. Hari ini, para karyawan bekerja setengah hari. Artinya, Dion memiliki banyak waktu luang untuk berkencan dengan kekasihnya.Dari beberapa minggu lalu, saat Dion dan Nana mulai berkencan, dia tak memiliki waktu untuk bertemu dengan Nana. Dion disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk, serta masalah yang terus datang menghampiri atasannya. Kali ini, Dion telah menyiapkan beberapa macam hal untuk berkencan dengan Nana layaknya pasangan normal lain. Dion menyiapkan semua itu dengan sangat hati-hati agar dapat melihat senyuman di wajah Nana dan tak membuat gadisnya kecewa lagi.Mobil Dion melaju ke arah toko bunga sebelum menjemput Nana. Sampai di toko bunga tersebut, Dion dibingungkan memilih bunga karena dia benar-benar tak tahu banyak tentang selera Nana."Hm ... mawar merah saja, Kak. Yang banyak ...." Dion akhirnya memilih bunga yang biasa diberikan para pria kepada wanita.Denga
"Itu gaun yang dibelikan Dion?" tanya Vina yang saat ini sedang dirias."Iya, Kak. Bagus 'kan?!" Nana memutar badan, memamerkan gaun yang sangat pas di lekuk tubuhnya. Hati Nana begitu bahagia karena ternyata Dion membelikan gaun yang sebelumnya tidak jadi Nana beli. Nana tak henti-hentinya memandangi gaun itu setiap hari. Dan akhirnya, Nana dapat memakainya di hari ini."Bagus. Kamu cantik sekali, Nana. Perhatian semua orang bisa teralihkan padamu, bukan aku," ujar Vina sambil tersenyum tipis."Kakak jangan membuatku malu!" Nana mengentakkan kaki seperti Rachel dengan pipi bersemu merah."Aku cudah celecai!" teriak Rachel saat masuk ruangan."Wah, keponakanku cantik sekali!" seru Nana menyambut Rachel yang baru saja berganti gaun merah muda ala putri raja.Rachel membusungkan dada sambil berputar-putar sehingga roknya melambai-lambai. "Oh, aku hampil melupakan cecuatu!" Rachel berlari kecil kembali ke kamarnya."Jangan lari-larian, Rachel!" seru Nana sambil tersenyum kecil.Nana awal
"Mas," bisik Vina seraya mencubit kecil tangan Rangga. Pipi Vina memanas. Dia malu sekaligus sangat senang ketika mendengar pernyataan cinta Rangga di hadapan semua orang. Vina jadi merasa semakin istimewa karenanya.Rangga pun kembali ke dunia nyata, di mana ada banyak orang di sekelilingnya yang masih terdiam. Hingga tepuk tangan terdengar dari dua bocah kecil yang berdiri di dekat Rangga dan Vina. Rachel dan Nevan berseru-seru senang. Para tamu undangan pun ikut bertepuk tangan meriah."Potong kuenya!" seru Rachel.Susunan acara pun berjalan tak sesuai yang dirancang sebelumnya. Rangga hanya mau menuruti keinginan Rachel terlebih dulu. Akan tetapi, pesta masih berjalan dengan semestinya.Di tengah-tengah meriahnya acara, ada satu wanita yang menarik perhatian semua orang. Belinda menggendong Axel dan berjalan dengan anggun menyibak kerumunan orang-orang. Arah langkah kakinya tertuju pada tempat Vina dan Rangga berada."Ih, buat apa dia diundang ke sini?" cibir seseorang, tepat ket
"A-aku tidak mendengar apa-apa! Permisi!" Belinda berjalan cepat meninggalkan ketiga pria itu dengan wajah merah padam.Belinda sama sekali tak pernah menduga, bahkan dia tak pernah berpikir jika Bima menyukai dirinya. Bima biasanya selalu mengolok-oloknya, sejak kapan Bima menyukai dirinya?"Argh!" Bima mengacak-acak rambut, lalu mengejar Belinda. "Jangan ikuti aku, Bisma!"Dion menggeleng-geleng pelan. 'Dasar, anak-anak muda!'"Sudahlah, Bim. Tidak perlu mencampuri masalah pribadi mereka. Aku tahu kalau Belinda dulu suka berbuat jahat, tapi aku lihat, dia cukup berubah setelah memiliki Axel ... walaupun kadang masih bicara menyebalkan," nasihat Dion.Bisma tetap tidak terima jika kembarannya bersama wanita yang telah merusak kehidupan orang yang sangat dia hormati. Namun, Bisma akan melepaskan Bima dan Belinda hari ini. Dia tak ingin merusak pesta dengan membuat keributan."Ayo, kembali ke dalam, Bang," ajak Bisma setelah menghela napas berat."Kamu masuklah lebih dulu." Mata Dion te
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto