Jadi pengen ikutan beli gaun pengantin, tapi ... buat apa??💃
"Acaranya sudah siap, Pak." Dion membuka pintu belakang untuk Rangga.Tak seperti hari-hari lalu, wajah Rangga tampak berseri-seri. Beban di dadanya telah terangkat. Tak ada lagi keraguan atau perasaan mengganjal. Rangga hanya perlu melakukan satu hal lain untuk mendapatkan bukti nyata atas segala keresahan yang dia rasakan selama beberapa hari terakhir. Meskipun dia sudah tak begitu membutuhkan itu lagi."Sebenarnya, acara ini untuk apa, Pak?" tanya Dion sambil melirik pada spion yang memperlihatkan sosok Rangga. Dion sungguh penasaran dengan tingkah atasannya akhir-akhir ini. Belum lama ini juga, Rangga meminta Dion untuk mengadakan acara untuk semua playgroup di kota mereka.Sekarang, Rangga kembali membuatkan acara kesehatan di seluruh playgroup yang ada, tanpa alasan yang jelas. Yang menjadikan Dion semakin heran, Rangga selalu mendatangi tempat di mana putri Vina berada."Bukan apa-apa.""Atau karena Vina tidak mau menerima uang pembayaran kemarin itu?""Apa hubungannya dengan
"A-apa maksud Anda? Anda tidak bisa berbicara sembarangan seperti itu, Pak!"Vina berusaha terus menatap Rangga, meskipun dadanya bergemuruh hebat. Dia tak ingin Rangga merasa dirinya benar.Selain itu, dari mana Rangga tahu? Bagaimana kalau Rangga tak mengantar Rachel kembali dan malah membawanya pergi? Bagaimana jika Rangga ingin melenyapkan Rachel untuk menutup aibnya?!Memikirkan semua itu saja membuat Vina gamang. Semilir angin membuat matanya pedih. Namun, Vina berusaha untuk tak memejamkan mata agar air di matanya tak tumpah."Kenapa kamu menyembunyikannya? Apa tujuanmu, Vina?" tanya Rangga dengan intonasi menekan."Saya tidak menyembunyikan apa pun dari Anda! Karena Rachel bukan anak Anda!" Vina tersenyum sinis. "Kenapa Anda bisa berkhayal sampai sejauh itu?"Rangga meraih tangan Vina dan mencengkeramnya begitu kuat. Vina jadi membayangkan peristiwa nahas itu. Tubuh Vina bergetar oleh ketakutan yang merayap dari mata kaki hingga memenuhi sekujur tubuhnya.Vina tak bisa bergerak
"Jangan ikut campur urusanku." Rangga menegaskan sekali lagi, lalu pergi.Tepat setelah Rangga duduk di depan kemudi, ponsel pintarnya bergetar. Nama Belinda terpampang di layar. Rangga sengaja mengabaikan panggilan Belinda, lalu mulai meninggalkan tempat itu. Belum sampai beberapa meter, Belinda kembali menghubungi.Rangga hanya membiarkan panggilan Belinda mati dengan sendirinya. Tetapi, Belinda tak akan berhenti sampai Rangga mengangkat telepon.Dia menepikan mobil sambil menunggu Belinda kembali menghubungi. Setelah mengatur napas, Rangga akhirnya mengangkat panggilan itu.'Sayang ... kenapa tidak diangkat-angkat? Kamu ada di mana sekarang? Aku mencarimu di kantor, tapi kamu tidak ada. Masih ingat 'kan, dua jam lagi kita ke rumah Kakek?'"Ya," jawab Rangga singkat.'Cepat jemput aku di kantormu. Aku tidak mau diantar Dion,' rengek Belinda.Rangga memutus sambungan telepon tanpa menanggapi. Bertemu Julian sudah membuat Rangga merasa sangat sebal, ditambah lagi Belinda yang terus me
"Om, ayo ke cini ...."Ketegangan di antara kedua Cakrawala itu menghilang. Rachel menarik tangan mereka sampai masuk ke ruangan bermain miliknya.Dua pria dewasa tampan itu tampak canggung duduk bersama di tengah ruangan bernuansa merah muda. Tetapi, apa daya? Bocah itu hampir menangis jika salah satu dari keduanya pergi.Hadiah-hadiah dari Rangga dan Julian tertata rapi bagaikan pajangan piala di lemari setinggi satu meter. Dalam sekejap, semua mainan itu ditarik ke lantai oleh gadis kecil itu."Om Tampan yang jadi mamanya, Om Ganteng jadi papanya." Rachel menyerahkan dua boneka untuk mereka berdua."Pfft ... Om Tampan memang seperti ibu-ibu." Julian terkekeh-kekeh, lalu dalam sekejap wajahnya berubah jijik dan seakan-akan ingin memuntahkan sesuatu dari mulutnya. "Ugh, barusan aku memanggil apa? Menggelikan ...."Wajah Rangga merah padam. Kedua tangannya mengepal kuat sampai otot-otot mencuat."Kenapa kamu mainan ini, Rachel?" tanya Rangga datar sambil meletakkan kembali boneka yang
"Vina ... Apa yang kamu lakukan?!" Rangga menggeram marah.Vina menutup mata ketika melihat tangan Rangga mengepal dan bergerak ke arahnya. Namun, tak terjadi apa pun setelahnya. Dia membuka mata dan melihat Rangga yang hanya membuang napas dengan kasar dan kesal.Rangga yang mendapatkan tamparan di pipi, tetapi tangan Vina yang terasa nyeri. Vina terlalu marah dan tanpa sadar tangannya bergerak sendiri. Beruntung, Rachel tak melihat perbuatannya.Saat Julian berpamitan tadi, Vina sedang membersihkan sampah-sampah di toko. Dia hanya mencuci tangan sebentar, lalu kembali ke rumah untuk membawa Rachel bersamanya.Menurut Julian, Rangga juga ada di sana. Namun, Vina tak dapat menemukan siapa pun di rumahnya.Vina lantas menelepon nomor Dion dan diberi tahu keberadaan Rachel. Dengan tergesa-gesa, Vina menyusul mereka.Vina mengitari area taman bermain yang cukup besar dengan panik. Hingga akhirnya, dia menemukan sosok ayah dan anak itu sedang duduk sambil berpelukan di bawah pohon rindang.
"Katakan saja kepada kakekku kalau kamu berani."Vina semakin geram karena Rangga tak takut oleh ancamannya. Rangga seharusnya tak akan berani pada Mahendra. Tapi, Rangga tampak tenang dan tak menghiraukan ancaman Vina."Saya tidak main-main!" bentak Vina.Rangga merogoh saku jas, mengambil lipatan amplop yang telah dia persiapkan. Dia yakin jika Vina tak akan berisik lagi setelah membacanya. Rangga menyodorkan amplop itu tanpa berkata-kata. Lalu, Vina merebutnya sambil melirik sinis pada Rangga. "Apa ini?""Baca sendiri."Entah mengapa, perasaan Vina menjadi tak nyaman. Ia sebentar ragu untuk membuka isi dalam amplop itu. Rangga pasti telah menyiapkan sesuatu untuknya.Tak ingin menerka-nerka, Vina mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop. Dia membaca tulisan di dalamnya dengan hati-hati.'Probabilitas Rangga Cakrawala sebagai ayah biologis dari Rachel Diantha adalah 99,99 %.'Jantung Vina seolah-olah berhenti berdetak. Tangannya bergetar sambil meremas hasil tes DNA tersebut.
'Ayah ada di sini. Maafkan Ayah karena tidak tahu di mana Rachel berada selama ini. Mulai sekarang, Rachel harus memanggilku Ayah atau Papa saat Bunda tidak ada. Ayah tidak mau Bunda memarahi Rachel.' Rachel teringat bisikan Rangga sebelum Vina menemukan mereka ketika di taman bermain kemarin.Rachel membekap mulutnya sendiri. Menyadari jika dirinya berbuat kesalahan. Iris mata Rachel bergerak ke arah Vina dan Rangga bergantian.'Ayah? Apa aku barusan salah dengar?' batin Vina.Rangga melirik Vina dengan canggung. Ternyata, Vina juga sedang menatap dirinya sangat tajam dan seakan-akan menuntut jawaban."Kamu mengajari Rachel memanggilmu ayah?" tanya Vina.Rangga tak menjawab dan bergegas meninggalkan Vina, lalu menggendong Rachel menuju rumah. Dia tak menyalahkan Rachel, hanya saja, Rangga malas berdebat dengan Vina."Maaf, Ayah," bisik Rachel penuh penyesalan.Rangga mengusap-usap rambut Rachel. "Rachel tidak salah, tidak perlu minta maaf. Sekarang, Rachel mau makan apa?""Telul cama
"Itu ... datang!" seru Rachel antusias.Rachel melompat turun dari kursi dan berlari ke arah pintu. Sebuah mobil berhenti sejenak, lalu kembali melaju. Senyuman di wajahnya memudar, mobil tersebut bukan milik seseorang yang Rachel tunggu.Rachel meremas erat kedua tangannya sambil menunduk ketika kembali ke dalam. Putri kecil Vina itu tampak lesu dan tak bersemangat.Sudah tiga hari Rangga tak berkunjung dan tak memberi kabar. Rachel selalu menanti kehadirannya. Setiap kali ada mobil melintas, bocah kecil itu selalu mengira bahwa ayahnya yang datang.Terkadang, Rachel merengek dan mengajak Vina untuk menemui ayahnya. Vina terus menolak dengan berjuta alasan sehingga Rachel lelah meminta.Sekali lagi, Rachel hanya bisa menelan kekecewaan. Rachel mulai berpikir jika Rangga tak sungguh-sungguh menyayangi dirinya."Bunda ... kenapa Om Tampan tidak datang?" tanya Rachel dengan air muka sedih."Om sedang sibuk bekerja, Sayang. Main sama Bunda saja, ya." Rachel mengerucutkan bibir, sebelum m
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto