Surga ada di telapak kaki ibu ... kalau ibunya benar.
"Pesanan Anda sudah datang, Pak," ujar Dion.Rangga beranjak dari kursi kerjanya, diikuti Rachel dan Vina. Beberapa orang sibuk mengangkat perabotan kebutuhan kamar tidur ke dalam salah satu ruangan yang berada di samping ruang kerja Rangga."Untuk apa itu, Mas?" tanya Vina."Istirahat. Kamu dan Rachel akan menemaniku selama satu minggu di sini. Aku tidak mau ke atas."Hanya butuh waktu kurang dari dua jam, ruangan kosong itu telah terisi lengkap dan layak disebut kamar tidur. Rangga juga meminta tukang untuk memasang pintu lain yang terhubung dengan ruangan kerjanya."Kak Nevan kenapa tidak datang, Om?" tanya Rachel kepada Dion."Kak Nevan sedang tidak enak badan.""Yaah ... kenapa cemua olang jadi cakit? Apa gala-gala ketulalan Tante itu? Aku ingin menjenguk Kak Nevan.""Kak Nevan hanya kelelahan. Besok pasti datang ke sini untuk menemani Rachel kalau sudah baikan," ujar Dion menenangkan.Rangga meninggalkan Rachel dan Vina dan melanjutkan pekerjaan. Sesekali mengawasi pintu samping
Nana telah membulatkan tekad sebelum mendatangi Rangga. Namun, ketika Nana menyelinap di kamar itu, rasa ragu memberontak dalam kepala.Belum pernah Nana melakukan hal seperti itu dengan pria mana pun. Nana sebenarnya juga tak ingin menyerahkan kesuciannya untuk orang yang tidak memiliki perasaan padanya, apalagi pria itu bukan suaminya dan telah memiliki istri.'Bagaimana kalau aku hamil? Bagaimana kalau Kak Rangga tidak mau bertanggung jawab? Apa yang terjadi kalau aku sampai melahirkan sendirian seperti Vina? Tidak, aku tidak mau!' pikir Nana saat menunggu kedatangan Rangga.Nana hendak mengurungkan niatnya, tetapi Rangga lebih dulu melihat keberadaan dirinya. Sudah telanjur basah dan juga takut akan dibenci maminya, Nana pun mendekati Rangga."Apa yang kamu lakukan di sini?!" bentak Rangga. Air muka datar Rangga berubah mengeras seketika.Nana melepaskan mantel tebal. Di dalam mantel itu, Nana hanya mengenakan gaun mini yang menunjukkan sebagian belahan dada dan paha.Rangga langsu
"Aku akan memberi informasi penting tentang tiga-"Sambungan telepon terputus sebelum wanita itu menyelesaikan ucapannya. Rangga dan Vina saling berpandangan untuk sesaat.Rangga menonaktifkan ponsel, lalu meletakkan di nakas. "Orang iseng. Tidur saja ....""Kenapa dimatikan? Siapa tahu, nanti telepon lagi ... dia bilang kata 'tiga,' bisa jadi mau memberi informasi tiga tahun lalu, Mas!"Vina mencoba mengingat suara wanita yang menjebak Rangga tiga tahun lalu, tapi tak berhasil. Vina hanya ingat postur tubuh wanita itu dan lupa bentuk wajahnya."Kalaupun benar, aku tidak akan memberinya lima ratus juta. Biarkan saja ... sekarang sudah tidak penting lagi." Rangga mendekap erat Vina dan memejamkan mata. "Tidurlah ... atau ... mau lanjut ronde ketiga?"Vina yang tadinya masih berpikir keras, buru-buru menutup mata dan membalas pelukan Rangga. "Sudah malam. Besok pagi-pagi kita harus menjemput Rachel."Keesokan harinya, Vina merasakan tubuhnya sangat kelelahan biarpun hanya melayani Rangg
"Kenapa?" Perasaan Rangga mulai tak enak melihat raut muka bersalah istrinya. "Lagi libur?"Vina menggeleng. Rangga pun kembali melanjutkan aksinya."Sebentar, Mas ... aku lapar ... badanku lemas," rengek Vina sambil mendorong badan Rangga.Nada manja Vina justru menaikkan gairah Rangga. Akan tetapi, melihat wajah memelas Vina, Rangga menjadi tak tega.Rangga duduk sambil mengacak-acak rambut dengan kesal. "Kita barusan makan. Lapar lagi?"Vina mengangguk. "Aku mau makan roti bakar keju, Mas. Yang masih panas, tapi tidak terlalu coklat warna rotinya.""Banyak maunya." Rangga mencubit hidung mancung Vina, lalu mengotak-atik ponsel untuk memesan roti bakar."Mas sedang apa? Aku mau dibelikan Mas Rangga," pinta Vina."Pesan online. Sambil menunggu, kita ...." Rangga menyergap Vina sebagai lanjutan kata-katanya."Mas!" Vina mencubit lengan Rangga. "Aku lapar ....""Makananmu sedang dibuatkan. Aku juga sedang kelaparan, Sayang."Vina pun terhanyut oleh sentuhan-sentuhan lembut Rangga. Menem
"Kenapa tidak diangkat-angkat?" gerutu Vina.Sudah puluhan kali menelepon Rangga, akhirnya Vina menyerah dan memilih pergi keluar bersama Rachel. Menghamburkan sedikit tabungan untuk menyenangkan diri dan putri kecilnya."Pulang, yuk, Bunda. Belanjaannya banyak cekali. Nanti Bunda lelah." Rachel pun tampak kelelahan setelah tiga jam mereka jalan-jalan di mal."Bunda ingin membeli baju satu lagi.""Tapi, aku cudah capek, Bunda," rengek Rachel."Baiklah. Ayo, pulang ...."Mereka pun pulang ke rumah dengan membawa lusinan kantong belanjaan. Rupanya, Rangga benar-benar sudah sampai saat jam makan siang, menanti anak dan istrinya dengan gelisah karena Vina sengaja tak mengangkat telepon."Dari mana? Apa-apaan itu? Kamu belanja untuk orang sekampung?" Rangga mengangkat alis keheranan melihat Vina menenteng banyak tas belanjaan di kanan dan kiri tangan.Rachel yang kelelahan langsung ambruk di ranjang dan tertidur pulas. Sedangkan Vina kembali ke parkiran untuk mengambil barang-barang lain ya
"Mami," bisik Nana, "jangan bikin malu ....""Diam kamu," hardik Ira.Melihat interaksi Ira dan Nana, Vina mulai tersadar jika hubungan mereka tidak terlalu baik. Vina mengira-ngira, apakah Nana hanya disuruh Ira untuk menghancurkan hubungannya dengan Rangga?Rasa sedih di hati Vina membuatnya tak berselera makan. Vina meletakkan piring berisi kue di meja sebelahnya.Vina juga kembali teringat oleh pertemuan Rangga dan Nana kemarin. Tiba-tiba saja, suasana hati Vina kembali buruk dan diselimuti oleh rasa cemburu."Di mana anak harammu? Aku tidak melihatnya. Lucu sekali ... Anak haram melahirkan anak haram." Ira tertawa sambil menutup sebagian wajah dengan kipas berbulu merah, senada warna dengan gaun mewahnya.Semua orang pun mulai menggunjingkan Vina. Perasaan Vina semakin kacau oleh caci maki orang-orang yang menghina dirinya dan Rangga."Jangan suka membuat gosip murahan!" bentak Rangga.Hening ... semua orang terdiam. Tak ada yang tidak tahu perangai seorang Cakrawala."Gosip? Aku
"Vina!" Julian dan Dion memanggil-manggil Vina.Vina tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu sebelum lampu kembali menyala. Berlari tanpa arah hingga Julian dan Dion kehilangan jejaknya.Ketika Vina telah menghilang, suara gaduh dari ruangan pesta terdengar. Semua orang tersadar dari keterkejutan.Lampu juga sudah dihidupkan. Siska dengan cepat mematikan siaran tak senonoh itu dan meminta maaf karena pesta terpaksa harus dihentikan."Bu Ira, Pak Barra, Anda sudah merusak acara saya. Saya tidak peduli dengan masalah pribadi Anda dan Pak Rangga, tapi tidak seharusnya Anda merusak pesta orang lain! Anda perlu ingat, saya bisa meminta para investor besar untuk memutus kerja sama dengan perusahaan Anda!" tegas Siska."Maafkan saya, Bu. Saya sungguh tidak tahu," kata Barra.Siska berlalu pergi mengurus sisa orang yang masih tinggal. Mahendra Cakrawala masih terlihat begitu terkejut. Siska tak berani untuk mendekat.Setelah melihat video itu, Mahendra hampir ambruk. Untungnya, Doni sigap memapa
'Jangan dibuka, Mas!" seru Vina dari tempat tidur.Rangga menutup lagi tirai jendela di kamar. Vina kembali menaikkan selimut sampai kepala. Menutupi diri agar tak mendengar orang-orang mencemoohnya.Masih teringat jelas kejadian semalam. Saat pemutaran video berlangsung, orang-orang yang tahu posisi Vina, sibuk menggunjingkan dirinya.'Jadi, dia korban pemerkosaan. Kasihan sekali, padahal cantik begitu.''Pantas saja Rangga bersama wanita itu. Ternyata, hanya sekedar tanggung jawab.''Mungkin dia menjebak dirinya sendiri agar mendapat perhatian Rangga.''Dari rekaman video juga sudah kelihatan, Rangga Cakrawala tidak dalam keadaan sadar saat melakukannya. Berani taruhan, wanita itu pasti yang menjebak Rangga.''Dia bukan berasal dari kalangan kita. Sudah jelas apa yang diincarnya.''Kasihan Pak Rangga. Gara-gara perempuan itu, Pak Rangga kehilangan posisinya sebagai presiden direktur.'Tak banyak orang yang berempati atas apa yang Vina lalui. Orang-orang justru semakin meremehkan diri
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto