Makanya, Jul, jangan kurang ajar sama orang tua ... kualat deh!
"Kamu juga pasti sudah mendengar dari suamimu kalau Tristan kembali ke negara ini," ucap Julian seraya menunjukkan ponselnya pada Vina. Terdapat beberapa foto dari pesan Tristan di dalamnya.Sepertinya, Tristan sedang membalas Julian dengan memperlihatkan kebersamaan dirinya dan Belinda saat berada di luar kota kemarin.Vina langsung mengontrol mimik wajahnya agar Julian tak curiga. 'Apa Julian sudah tahu kalau Tristan jadi atasan Belinda?'"Aku tidak tahu, mereka hanya kebetulan bertemu atau memang sudah janjian sebelumnya. Yang pasti ... aku ...." Suara Julian tersekat dalam tenggorokan.Apakah dia tak ingin kalah dengan Tristan sampai harus minta tolong kepada Vina? Atau karena dia cemburu Belinda dekat dengan pria lain?Julian tak mengerti ... yang jelas, dia tak suka melihat foto-foto itu. Rasa sakit di punggungnya menjalar sampai dada karenanya.Vina tersenyum melihat gelagat tak asing pada wajah Julian. Mirip sekali dengan Rangga saat mendekati dirinya dulu."Tentu saja aku akan
"Ian ... kasihan sekali sayangku ...," gumam Dona.Dona dan suaminya tengah mengintip kamar perawatan Julian dari kaca kecil di pintu. Julian tengah menangis pilu dengan membungkam mulutnya menggunakan bantal.Setelah mendapatkan telepon dari Axel, Julian ingin kembali secepatnya. Memeluk Axel dan minta maaf padanya karena pernah berusaha membunuhnya, bahkan sebelum bocah itu terlahir ke dunia."Aku harus menghibur Ian," kata Dona dari balik pintu.Abbas mencegah istrinya masuk ke dalam. "Biarkan dia sendiri dulu. Ian pasti malu kalau kita mendapati dirinya sedang menangis."Dona mencebik kesal. "Ian sudah aku anggap seperti anakku sendiri, Papi. Kamu, sih ... tidak bisa membuatkan anak lelaki untukku! Cari-cari gaya lain supaya jadi anak lelaki dulu sana! Aku mau menemani Ian!""Kenapa jadi aku yang salah? Jangan masuk sekarang!"Mendengar keributan di luar, Julian segera meraih tisu dan menyeka air mata. Wajahnya masih merah padam dan matanya sedikit membengkak.Di saat Dona memaksa
"Tristan ... kamu harus sembunyi-"KLAK!Pintu pun terbuka ... Belinda membeliakkan mata tatkala seorang wanita masuk ke dalam. Bagaimana bisa orang lain mengetahui sandi apartemennya?"Kamu ...." Belinda sangat terkejut sampai tak sanggup berkata-kata."Astaga!" pekik Tiara sangat panik. "Tadi ... saya menekan bel berulang-ulang, tetapi tidak ada yang membuka pintu. Saya ...." Tiara terkesiap melihat ada pria lain di apartemen itu."Kamu ... yang kemarin ... bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Apa Julian yang memberi tahu sandi pintu apartemenku?" Belinda sontak menjadi sangat marah.Marah kepada Tiara, juga pada Julian yang seenaknya membiarkan wanita lain dapat memasuki ruang pribadi mereka. Hanya menolong Tiara katanya? Belinda berdecih dalam hati.Kepercayaan Belinda pada sang suami pun luntur seketika. Apalagi, mengingat panggilan Tiara pada Julian yang terdengar sangat akrab, Belinda tak mungkin tidak mencurigai hubungan Julian dan Tiara!"Siapa dia?" bisik Tristan."Mau apa kam
Julian spontan menarik tangannya dan duduk tenang di dalam kursi penumpang taksi. Dia langsung menghadap ke depan seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi."Berangkat sekarang, Pak?" tanya sopir taksi yang lelah menunggu."Tiara, cepat masuk," perintah Julian. Tiara masih terpaku di tempatnya. Dia bingung bagaimana caranya masuk ke taksi di saat banyak orang yang mengelilingi mobil itu.Di sisi depannya, ada Rangga yang berusaha mengeluarkan Julian dari taksi. Vina sibuk mencegah Rangga agar tak berbuat kasar pada Julian karena takut suaminya akan mematahkan tulang-tulang Julian.Sementara di sisi sebaliknya, beberapa pengawal yang baru saja datang, segera menjaga di depan pintu penumpang. Tak ada celah untuk mendekati mobil taksi itu. Bahkan, sopir taksi juga kebingungan saat pengawal lain berdiri di depan taksinya.Julian terkepung! Dia tak bisa melarikan diri dan menyembunyikan rahasianya lagi.Julian memutar otak dengan cepat mencari alasan masuk akal. Namun, dia tak dapat berpik
"Sakit, Linda!" Julian menggenggam tangan Belinda yang menampar lengannya."Kenapa tidak bilang kalau sakit begini? Kamu malah memberi tahu tetangga seksi itu!" pekik Belinda.Wajah Belinda merah padam menahan isak tangisnya. Keadaan Julian sungguh memprihatinkan. Kenapa dia tak menyadari kondisi suaminya sendiri?Marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu. Firasat Axel benar. Seharusnya, dia lebih peka dibanding Axel yang masih kecil. Belinda merasa jadi istri yang buruk. Baru beberapa jam yang lalu, dia malah bersenang-senang dengan Tristan. Sementara Julian sampai memaksakan dirinya yang sakit hanya ingin bertemu dengan Axel ....'Benar ... hanya Axel ... dia bukan mau bertemu denganku,' batin Belinda yang merasa sesak entah kenapa."Aku tidak ingin membuat Axel khawatir," dalih Julian. Pernyataan Julian tersebut memperkuat kesedihan Belinda yang merasa tak dianggap."Kamu ... tidak menganggapku?" tanya Belinda dengan suara serak. Butiran air mata menggantung di kelopak mata
'Julian cemburu?' batin Belinda senang karena usahanya menggoda Julian berbuah manis. Dan ... ada kebahagiaan lain yang membuat dadanya berdebar-debar. Namun, Belinda tak ingin mengakuinya terang-terangan."Ugh ...," rintih Julian seraya memundurkan badan dan kembali berbaring. "Sial ... menyedihkan sekali. Menyebalkan ...."Selagi julian memaki diri sendiri karena tak berdaya, Belinda masih mematung tak percaya. Semudah itukah membuat Julian takluk padanya?Yang baru saja mengungkap perasaannya adalah Julian! Pria yang selama ini tak punya hati dan tak sungkan melakukan tindakan kejam hanya demi mewujudkan ambisi. Pria yang selalu menggunakan topeng untuk menyembunyikan sifatnya yang asli.Julian pun dapat membaca jika Belinda saat ini tengah meragukan ucapannya. Wajar ... Julian juga masih ingat dengan semua perbuatannya kepada semua orang, termasuk kepada Belinda, dan juga Axel sebelum dilahirkan.Sentuhan tangan Julian mengenyahkan lamunan Belinda. "Tidak perlu dipikirkan terlalu
Sejak bangun, Julian merasa gelisah di tempat tidurnya. Kedua tangannya terasa kaku. Salah satu digunakan untuk menjadi bantal kepala Belinda. Satunya lagi terjepit di pagar pengaman tempat tidur."Diminum dulu obatnya." Belinda menyodorkan gelas berisi air mineral dan obat yang baru saja diantar perawat."Tanganku masih kaku." Julian membuka sedikit mulut, menanti Belinda memasukkan obat ke dalamnya."Tadi 'kan sudah diperiksa dan disuruh minum obat ini! Salah siapa nekat keluar rumah sakit sebelum waktunya?" omel Belinda.Belinda lantas menyuapkan obat dan memasukkan sedotan ke dalam mulut Julian untuk minum. Julian kembali gelisah karena tiba-tiba merasakan sesuatu yang mendesak."Bantu aku bangun," pinta Julian. "Aku ingin ke kamar mandi.""Pakai pispot saja. Aku ambilkan dulu," balas Belinda.Julian gegas menolak. "Tidak mau ... jijik! Cepat bantu berdiri!" paksa Julian."Merepotkan sekali," keluh Belinda seraya memegangi lengan Julian, lalu menurunkan kaki suaminya perlahan dari
"Julian kecelakaan? Kata siapa?" Mahendra terdengar begitu terkejut tatkala Doni memberi tahu keadaan Julian."Tadi pagi, saya berpapasan dengan Pak Rangga. Mereka akan mengantar Axel ke rumah sakit, ke tempat papanya."Doni juga menyampaikan kondisi Julian saat ini. Mahendra langsung tertawa setelah mendengarnya. "Aku harus segera menjenguk cucu yang tega membuatku lumpuh dan membuangku ke jalan."Mahendra tak akan pernah bisa melupakan kejadian itu. Satu kenangan paling buruk yang pernah dialami Mahendra. Apalagi, cucunya sendiri yang tega berbuat jahat padanya."Sekarang, Pak? Saya sudah mendapatkan lokasi Pak Julian."Setelah Rangga memberi tahu rumah sakit dan kamar Julian, Mahendra dan Doni segera melesat ke sana. Sampai di depan kamar itu, Mahendra melihat Julian sedang dibantu Rangga berjalan ke ranjang. "Aku dengar, pelaku yang meracuniku sampai lumpuh terkena batunya. Ternyata, kamu masih bisa berjalan." Mahendra mendesah kecewa.Rangga berhenti bergerak tatkala melihat Mah
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto