Gajah di pelupuk mata tak tampak ... ya iyalah ... kebesaran 🥹
Sejak bangun, Julian merasa gelisah di tempat tidurnya. Kedua tangannya terasa kaku. Salah satu digunakan untuk menjadi bantal kepala Belinda. Satunya lagi terjepit di pagar pengaman tempat tidur."Diminum dulu obatnya." Belinda menyodorkan gelas berisi air mineral dan obat yang baru saja diantar perawat."Tanganku masih kaku." Julian membuka sedikit mulut, menanti Belinda memasukkan obat ke dalamnya."Tadi 'kan sudah diperiksa dan disuruh minum obat ini! Salah siapa nekat keluar rumah sakit sebelum waktunya?" omel Belinda.Belinda lantas menyuapkan obat dan memasukkan sedotan ke dalam mulut Julian untuk minum. Julian kembali gelisah karena tiba-tiba merasakan sesuatu yang mendesak."Bantu aku bangun," pinta Julian. "Aku ingin ke kamar mandi.""Pakai pispot saja. Aku ambilkan dulu," balas Belinda.Julian gegas menolak. "Tidak mau ... jijik! Cepat bantu berdiri!" paksa Julian."Merepotkan sekali," keluh Belinda seraya memegangi lengan Julian, lalu menurunkan kaki suaminya perlahan dari
"Julian kecelakaan? Kata siapa?" Mahendra terdengar begitu terkejut tatkala Doni memberi tahu keadaan Julian."Tadi pagi, saya berpapasan dengan Pak Rangga. Mereka akan mengantar Axel ke rumah sakit, ke tempat papanya."Doni juga menyampaikan kondisi Julian saat ini. Mahendra langsung tertawa setelah mendengarnya. "Aku harus segera menjenguk cucu yang tega membuatku lumpuh dan membuangku ke jalan."Mahendra tak akan pernah bisa melupakan kejadian itu. Satu kenangan paling buruk yang pernah dialami Mahendra. Apalagi, cucunya sendiri yang tega berbuat jahat padanya."Sekarang, Pak? Saya sudah mendapatkan lokasi Pak Julian."Setelah Rangga memberi tahu rumah sakit dan kamar Julian, Mahendra dan Doni segera melesat ke sana. Sampai di depan kamar itu, Mahendra melihat Julian sedang dibantu Rangga berjalan ke ranjang. "Aku dengar, pelaku yang meracuniku sampai lumpuh terkena batunya. Ternyata, kamu masih bisa berjalan." Mahendra mendesah kecewa.Rangga berhenti bergerak tatkala melihat Mah
"D-dapat uang dari mana kamu?" Belinda ternganga tak percaya. "Jangan bilang, kamu diam-diam bertemu dengan Vina karena meminjam uang padanya?""Sembarangan! Cepat dorong kursi rodaku sampai ke dalam!" Julian pun menggandeng Axel yang juga tampak terkejut. "Ayo, masuk ...."Meskipun cukup tua, bangunan itu sangat besar dan kokoh. Bahkan, hampir sebesar rumah Rangga dan rumah lama Mahendra.Nenek Julian memang memberikan rumah itu untuk orang tua Julian. Namun, mereka tak pernah mengurusnya hingga bangunan tersebut terbengkalai selama bertahun-tahun lamanya. Di tempat itu pula, Vina disekap oleh Julian lima tahun yang lalu.Saat bertemu dengan Vina beberapa hari lalu, Julian memasrahkan hampir semua gajinya kepada Vina. Dia minta tolong kepada Vina agar menggunakan uang itu untuk merenovasi kastel neneknya.Tentunya, belum semua tempat diperbaiki. Julian tak memiliki cukup uang untuk merenovasi rumah sebesar itu. Hanya ruangan-ruangan bagian depan, serta kamar utama, dan kamar untuk Ax
Julian diam-diam tersenyum tatkala Belinda menuntunnya ke kamar mandi. Kalau tahu semudah ini membujuk Belinda agar menempel padanya, dia pasti sudah melakukannya sejak awal."Kamu tidak perlu malu kalau takut. Wajar sekali ... saat masih ada nenekku dulu, banyak pelayan yang mengundurkan diri karena sering digoda sesuatu yang tidak kasat mata." Julian mulai mengarang cerita agar Belinda semakin takut.Dan benar dugaannya ... pegangan Belinda semakin menguat di lengannya."Jangan bicara yang tidak-tidak, Julian ...."Julian sebenarnya merasa kasihan melihat wajah Belinda pucat pasi sampai berkeringat. Namun, dia tak bisa berhenti menggoda Belinda.Sampai di depan bak mandi pun, Belinda masih tak mau jauh-jauh dari Julian. Dua tangan Belinda sibuk menyiapkan air hangat dan mencengkeram kaos Julian."Aku tidak bohong. Pikir saja ... kenapa orang tuaku tidak mengurus tempat ini? Hanya ada satu alasannya ... mereka ketakutan karena-""S-sudah! Aku akan mandi lebih dulu. Kamu saja yang bere
"Saya dengar, Anda baru saja mengalami kecelakaan. Saya-" Suara Tristan tersekat dalam tenggorokan.Sepanjang hari setelah mendengar kondisi Julian yang memburuk setelah kecelakaan, tak bisa dipungkiri, Tristan tak bisa berhenti memikirkan keadaan Julian.Peduli? Tentu saja Tristan masih peduli kepada Julian. Sampai kapan pun, Julian akan selalu ada di hati Tristan sebagai seorang keluarga.Hanya Julian satu-satunya orang yang menganggap dirinya keluarga. Begitu pula dengan sebaliknya, Julian merupakan satu-satunya keluarga yang Tristan miliki.Hingga kepercayaan Julian padanya hilang karena Tristan memilih jalan yang menurutnya benar. Dan Tristan masih memercayai jika Julian tak akan pernah berubah setelah hukuman yang didapatkannya.Akan tetapi, setelah menyaksikan wajah hangat yang sudah lama tidak Julian perlihatkan kepada semua orang ketika memeluk Belinda, keyakinan Tristan memudar. Mungkin, Julian sudah benar-benar berubah ... karena itu, Tristan memberanikan diri menemui Julian
"Pak ... apa yang Anda lakukan?!" Desi mendorong pelan Julian tanpa membuatnya terjatuh. "Sadar, Pak!"Gadis itu awalnya takut karena dia mendengar banyak berita buruk tentang Julian. Apalagi, Julian sedang mabuk dan entah apa yang dilakukannya tadi saat di ruang bawah tanah sampai berteriak-teriak.Akan tetapi, Desi berubah pikiran setelah menyaksikan sendiri keadaan Julian sekarang. Ketakutannya tiba-tiba menguap entah ke mana.Benarkah pria di hadapannya seorang kriminal kejam?Julian lebih terlihat menyedihkan daripada seperti kata orang-orang yang menyebutnya sebagai pria tak berperasaan. Desi menjadi iba dengan majikan barunya itu. Dia lantas mendudukkan Julian yang menangis tanpa suara dengan membentuk mulutnya seperti sedang tertawa. Dia pun menepuk-nepuk punggung Julian seperti menenangkan anak kecil yang sedang bersedih."Saya akan mengambilkan kotak obat dulu."Tak berselang lama, Desi kembali sambil berlari membawa kotak obat. Wajahnya mengernyit tatkala membersihkan serpi
"Aku mengerti." Tristan melepaskan Belinda dan kembali duduk di kursi kebesarannya. Dia tak mampu melihat Belinda lagi setelah mendapat penolakan yang menyakitkan.Belinda masih menatap Tristan penuh penyesalan. Meskipun telah banyak menolak pria di masa lalu, tetapi Tristan berbeda. Tristan adalah orang yang penting untuknya dan Julian.Apakah Tristan akan baik-baik saja setelah ini? Belinda tak ingin menyakitinya lebih dalam. Kemudian dia memutuskan sesuatu ....Belinda berjalan mendekati meja kerja Tristan. Pria itu terlihat sudah kembali fokus pada pekerjaan. Walaupun sebenarnya hanya untuk menunjukkan kepada Belinda bahwa dirinya baik-baik saja.Belinda duduk dan mengambil berkas dari hadapan Tristan. "Izinkan aku mengundurkan diri dari tempat ini kalau kamu merasa tidak nyaman melihatku setiap hari."Tristan menatap Belinda dalam. "Tidak perlu. Bekerjalah seperti biasa. Kamu butuh uang untuk menghidupi anak dan ... suamimu." Dia menarik lagi lembaran kertas dari tangan Belinda."
Jahat?"Benar ... aku adalah orang jahat, kamu baru tahu itu?" gumam Julian. "Aku tidak akan dihukum jika aku bukan orang jahat. Semua juga tahu itu ... apa kamu sudah melupakannya?"Suara langkah kaki Belinda mulai menjauh. Kemudian tak lagi terdengar ... mungkin karena lamunan yang menenggelamkan pikiran Julian.Sebuah kenangan yang sama mulai merasuk dalam benaknya. Langkah-langkah kaki menjauh dari tempat yang dulunya penuh tawa dan kehangatan di ruangan itu.Setelah Rumi, nenek yang Julian yakini menjadi satu-satunya orang yang peduli padanya tutup usia, Mahendra pernah berkata, 'Mau sampai kapan kamu di sini menangisi nenekmu? Kakek akan pindah dari sini. Tempat ini terlalu memuakkan untuk ditinggali.'Mahendra pergi meninggalkan dirinya di tempat itu.Rangga kecil juga mengucap kata-kata yang hampir sama dengan kakeknya, 'Aku akan pergi dengan Kakek, Kak. Selamat tinggal ....'Hari itu, untuk terakhir kalinya Rangga Cakrawala memanggilnya kakak. Rangga berubah setelah kehilangan
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto