Hubungan tanpa rasa saling percaya dan komunikasi yang benar itu ... mirip seperti naik perahu bambu di tengah lautan luas ....
"Mas ...."Vina meraba-raba kasur di sebelahnya, namun tak ada apa-apa di sisinya. Barulah mata Vina terbuka lebar dan menemukan tempat kosong yang seharusnya diisi Rangga."Mas?" panggil Vina.Vina membuka kamar mandi, Rangga juga tak ada di dalam. Di kamar Rachel pun tak ada.Waktu masih menunjukkan jam enam pagi, ke mana Rangga pergi?Vina menghela napas panjang. Masih pagi, suasana hati Vina sudah memburuk saja. Sudah dua hari Rangga sibuk dengan pekerjaan hingga jarang berkomunikasi dengannya. Semalam pun, Vina tak tahu kapan Rangga selesai bekerja. Tak tahu pula apa yang dibicarakan Rangga dan Nana di telepon.Vina memeriksa ponsel dan melihat daftar riwayat panggilan. Nomor Nana sudah tak ada di sana."Kenapa Mas Rangga menghapus nomor Nana? Sampai berapa jam mereka teleponan sampai aku tidak boleh tahu?"Daripada terus memikirkan perubahan Rangga, Vina lantas membangunkan Rachel dan beraktivitas seperti biasa. Memandikan Rachel dan memasak sarapan untuknya."Bunda mau ke toko.
"Kamu dan ibumu harus datang ke sana. Ada yang perlu aku bicarakan kepada kalian." Barra membuang muka ke arah luar."Kami tidak punya waktu untuk bicara dengan Anda," tolak Vina tanpa pikir panjang."Aku akan menunggu." Barra pun pergi begitu saja.Vina menggeleng pelan, tak mau lagi memikirkan tentang Barra. Diremasnya kertas itu. Sebelum Vina membuang ke tempat sampah, tangannya memasukkan kertas itu ke saku celana.Tatapan Vina kosong untuk sesaat. Membayangkan sesuatu yang seharusnya tak boleh Vina bayangkan. Entah mengapa, sekelebat gambaran orang tuanya dapat hidup bersama, tiba-tiba muncul dalam benak Vina.'Lebih baik Ibu tidak tahu kalau Pak Barra ke sini.'"Bapak-bapak itu siapa, Vin?" tanya Ida yang sedari tadi ada di sana, tapi merasa tak dianggap."Kenalan. Aku belanja untuk pesanan besok dulu, ya," pamit Vina."Pesanan yang buat nanti sore diambil ke sini. Pakai saja mobilnya."Vina mengangguk, lalu menyambar kunci mobil. Dia mampir ke rumah lebih dulu untuk mengajak Ra
"Nona Belinda mempermalukan istri Pak Rangga di depan umum, Pak." Doni menyerahkan rekaman video yang diunggah salah satu pengunjung ke media sosial."Hapus semua rekaman itu. Cari tahu di mana mereka sekarang," titah Mahendra.Setelah tahu lokasi cicitnya, Mahendra gegas meluncur ke sana. Namun, yang Mahendra lihat bukan Belinda, melainkan rombongan orang yang sedang mencegat Rachel."Ira?" Tak perlu diberi tahu pun, Mahendra paham dengan tujuan Ira menemui Vina.Mahendra tak peduli jika Ira melukai Vina. Akan tetapi, pemikiran Mahendra segera berubah ketika Rachel menangis sampai menyayat hati di saat melihat Vina ditampar Ira."Kurang ajar!" Dengan langkah lebar, Mahendra berjalan ke tempat mereka.Awalnya, Mahendra hanya ingin memperingatkan Ira. Melihat Rachel menangis tersedu-sedu dan ketakutan, tangan Mahendra bergerak dengan sendirinya menampar Ira."P-Pak Mahendra." Vina sangat terkejut melihat Mahendra tiba-tiba muncul di depannya.Ira yang baru saja kena tamparan Mahendra sa
"Aku tertarik bukan karena memiliki perasaan padanya," lanjut Rangga setelah melihat mata bening istrinya mulai berkaca-kaca.Menggoda Vina begitu menyenangkan bagi Rangga. Wajah cemburu Vina membuat Rangga semakin tergila-gila. Tetapi, Rangga tak mau kalau keisengannya justru membuat Vina sampai menangis.Rangga mengecup kelopak mata Vina kanan dan kiri bergantian. "Mau tanya apa lagi?" tanyanya halus."Lalu ... kenapa Mas menelepon Nana malam itu?""Papa bilang kalau perempuan itu menyukaiku. Aku sudah curiga sejak awal bertemu dengannya. Kamu tanggung jawabku, Vina. Semua orang yang ingin dekat denganmu harus aku selidiki.""Tapi ... kenapa mesti keluar saat bicara dengannya waktu pakai ponselku?"Rangga menghela napas, lalu membenamkan wajah di tengah dada istrinya. "Aku memblokir nomornya, istriku ... kenapa tidak tanya saat itu juga? Aku keluar tidak membawa ponselmu. Bahkan, sebelum dia bicara, aku memutuskan sambungan telepon.""Tapi, kenap- umph ...."Rangga kembali membekap m
"Masih takut?" bisik Rangga seraya mendekap tubuh Vina yang memunggungi dirinya.Vina tak segera menjawab. Kenangan malam itu masih jelas dalam ingatan. Namun, apa yang baru saja Rangga lakukan padanya juga memenuhi kepala dan hati Vina."Mas ....""Hem?""Malam itu ... sebenarnya ... siapa yang sudah menjebakmu? Apa kamu sudah mencari tahu?" Vina memutar badan untuk memandangi suaminya."Aku sudah mencari tahu. Wanita yang datang sebelum kamu, dia menghilang bagai ditelan bumi. Begitu juga dengan bartender yang memberikan minuman itu," terang Rangga.Rangga sudah hampir melupakan masalah itu. Sudah tiga tahun lebih berlalu, orang yang menjebak Rangga tak menunjukkan diri.Jika orang itu ingin menghancurkan hidup atau karir Rangga, tentunya dia akan segera mengungkap kepada dunia atas apa yang telah Rangga perbuat."Mas tidak mencurigai siapa pun?""Yang pasti, orang itu pernah jadi lawan bisnisku dulu, sebelum aku bergabung di perusahaan pusat. Waktu itu, semua orang mengatakan jika a
"Vina," geram Rangga, "aku tidak setuju!"Vina mengangguk pada Rangga. Seolah-olah mengatakan jika semua akan baik-baik saja."Sungguh?" seru Nana senang."Iya. Cepatlah sembuh .... Aku akan menunggumu di rumah," kata Vina sambil menatap Nana dan Barra bergantian.Entah apa yang sedang Barra pikiran sampai matanya memerah menahan air mata agar tak keluar. Vina tak mau repot-repot mencari tahu."Kita perlu bicara, Vina." Rangga menarik Vina menjauh."Sabar, Mas." Vina menepuk-nepuk lengan Rangga. "Kami pulang dulu, ya."Vina, Rangga, dan Dewa diantar Barra sampai depan rumah sakit. "Terima kasih banyak ... Vina," ucap Barra sebelum mereka pulang.Tak bisa dipungkiri, Barra teramat bahagia ketika Vina masih menerima dirinya walaupun dia sempat berbuat kasar. Barra terpaksa melakukan itu karena Ira selalu memantau gerak-geriknya berpuluh-puluh tahun."Untungnya, Nana tak menuruni sifat licik ibunya," gumam Barra.Dengan permintaan Nana, Barra bisa sekaligus mendekati Martha dan Vina tanpa
"Pi ... sebaiknya kita pulang saja. Gara-gara kita, Kak Vina jadi berpisah dengan suami dan ibunya," ujar Nana sedih.Nana tak bisa menyembunyikan raut wajah kecewa ketika mengetahui Rangga tak ada di sana. 'Buat apa aku tinggal di rumah kumuh ini tanpa Rangga Cakrawala! Sialan! Licik sekali kamu, Vina!'"Tenang saja, Nana. Tidak perlu mengkhawatirkan hubunganku dan Mas Rangga. Kami baik-baik saja. Lagi pula, Mas Rangga sedang disibukkan dengan proyeknya, juga ingin menghabiskan waktu bersama Papa Dewa.""Tapi-""Benar, Nana. Papi tidak mau kalau kamu sampai sakit lagi," sela Barra.Nana melihat reaksi Vina yang terlihat tak senang oleh kedekatan dirinya dengan ayah mereka. Dalam hati, Nana tersenyum senang. Bukan hanya Rangga yang dapat digunakan Nana untuk membuat Vina sakit hati. Untuk saat ini, Nana masih bisa menggunakan Barra.Padahal, Vina sama sekali tak mengacuhkan interaksi antara Barra dan Nana. Vina sibuk meresahkan janjinya pada Rangga untuk melunasi hutang semalam."Baik
"Aku tidak tahu harus bagaimana, Kakek ... Kak Rangga pasti sangat membenciku karena kesalahpahaman ini." Nana tahu jika Mahendra tak suka melihat wanita lemah yang kerap menangis. Karena itu, Nana hanya menunduk, seolah-olah menguatkan diri agar tak mengeluarkan air mata."Di mana mereka sekarang?" tanya Mahendra tanpa ekspresi.Nana meraba-raba apa yang tengah Mahendra pikirkan, tetapi tak berhasil. Mahendra tak menunjukkan tanda-tanda setuju atau menolak ucapan Nana.Nana menjadi salah tingkah karena Mahendra hanya menatapnya. 'Aku harus lebih meyakinkan lagi!'"Kak Vina tadi berpamitan akan mengantarkan katering. Kelihatannya, Kak Vina bahagia sekali saat memanggil namanya pelanggannya tadi ..." Vina memijat lembut pelipis menggunakan satu jari sambil memejamkan mata. "Julian! Benar ... namanya Julian, Kakek."Nana sudah menyelidiki semua orang yang pernah dekat dengan Vina. Siapa yang harus dia waspadai dan dekati. Andaikan Belinda tak menyebalkan, Nana pasti menghubungi Belinda
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto