"Bu, emang bener yah si Bagas hilang ingatan. Tapi kok aneh kenapa dia bisa ngenalin ibu. " Aktivitas mengiris bawang Saidah terhenti, ketika sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Malika yang baru tiba di dapur. Malika mengambil tempat duduk di samping ibunya. Wajah itu terlihat memucat hingga deheman singkat ia lakukan sebelum menjawabnya santai. "Jelas lah kan ibu salah satu pemilik kontrakan di gang ini. Kamu juga ngapain waktu itu pake ninggalin nak Bagas kasian dia karena ulah kamu dia ngalamin kecelakaan dan lupa dengan keluarganya. Dia cuman ingat dia pernah tinggal di kampung ini. ""Masa sih sampek separah itu. " Saidah melirik Malika sewot. "Kalau kamu nggak percaya kamu bisa tanyakan langsung ke mertua kamu." Ucapnya memberi saran, Malika mengangguk. "Ntar deh, Malika coba hubungi Mama Pinkan habis masak""Nggak usah di undur terus, sekarang aja. Biar semua kerjaan nanti ibu yang handle. "Malika mengeryit bingung. Sikap Saidah terlihat aneh. Biasanya ia selalu men
Malika menetralkan degup jantungnya ketika sampai di depan Mushalla. Kedua tangannya bertumpu di atas lutut seraya membungkuk kan badannya. Malika tidak percaya akan bernasib apes di kejar makhluk tak kasat mata di siang bolong begini. Masih jelas terngiang bagaimana sentuhan kecil yang ia dapat, mengingatnya membuat Malika merinding."Lika.."Panggil seseorang bersamaan dengan sebuah telapak tangan besar menyentuh pundaknya lagi dan lagi. . Malika berjengit kaget dan refleks menoleh. Hampir saja ia berteriak lantang kalau saja ia tidak melihat wajah teduh Ustad Yusuf. Pria itu terlihat bingung melihat gelagat aneh yang Malika tunjukan. "Pak Ustad ternyata, saya kirain tadi han-- siapa. "Hampir saja Malika keceplosan, bisa malu kalau Ustad Yusuf tau kalau ia baru saja di kejar hantu penghuni pohon di ujung jalan dekat jembatan. Masa guru ngaji takut sama begituan. Kan nggak banget. Ustad Yusuf menggeleng, tatapannya tak pernah lepas dari Malika "Kamu kenapa Lika. Keringetan begitu,
Malika menetralkan degup jantungnya ketika sampai di depan Mushalla. Kedua tangannya bertumpu di atas lutut seraya membungkuk kan badannya. Malika tidak percaya akan bernasib apes di kejar makhluk tak kasat mata di siang bolong begini. Masih jelas terngiang bagaimana sentuhan kecil yang ia dapat, mengingatnya membuat Malika merinding."Lika.."Panggil seseorang bersamaan dengan sebuah telapak tangan besar menyentuh pundaknya lagi dan lagi. . Malika berjengit kaget dan refleks menoleh. Hampir saja ia berteriak lantang kalau saja ia tidak melihat wajah teduh Ustad Yusuf. Pria itu terlihat bingung melihat gelagat aneh yang Malika tunjukan. "Pak Ustad ternyata, saya kirain tadi han-- siapa. "Hampir saja Malika keceplosan, bisa malu kalau Ustad Yusuf tau kalau ia baru saja di kejar hantu penghuni pohon di ujung jalan dekat jembatan. Masa guru ngaji takut sama begituan. Kan nggak banget. Ustad Yusuf menggeleng, tatapannya tak pernah lepas dari Malika "Kamu kenapa Lika. Keringetan begitu,
Adalah CD milik Bagas. Malika langsung membalikkan tubuhnya ke arah lain. Malika malu jika harus mengamati barang privasi suaminya itu lebih lama. Malika tak habis pikir Bagas berjalan berkilo-kilo hanya untuk mengambil barang begituan. Malika merutuki dirinya seraya memukuli kepalanya."Saya juga bilang apa, kamu sih bandel di bilangin. Jangan tarik sembarangan, sekarang kamu lihat sendiri apa yang kurir tadi kasih ke aku. Kamu harus tanggung jawab untuk bawain semuanya." Tukas Bagas membuat Malika berbalik melotot. Malika juga heran ada ya kurir nganter paket pake kresek dan jalan kaki. Ini tidak masuk akal menurutnya. "Enak aja. Emang kamu pikir saya pembantu kamu. Masih punya dua tangan dan kaki yang lengkap kan ya udah bawa aja sendiri."Terdengar helaan nafas berat dari Bagas, ia tidak perduli, jika Bagas akan memarahinya. Lagian semua salah Bagas, dia sendiri yang memberitahukan ke Malika soal "Kamu lihat sekarang, wadahnya sudah koyak. Saya nggak mungkin nenteng beginia
"Udah saya bilangin biar saya aja yang nyetirin. Bandel sih " Bagas mengambil alih motor matic tersebut, memaksa Malika duduk di belakang dengan menggeser posisi duduk wanita itu. Malika pasrah sejak tadi ia hanya meringis memegangi kakinya tanpa berbuat apapun. "Kamu fikir kalo saya dapet luka kayak gini, saya wanita lemah. Nggak Bagas, kamu salah. " Malika mencebik, sengaja ia tak menaruh pegangan di pinggang pria di depannya saat motor sudah melejit keluar parkiran pasar. "Iya... si paling kuat. Jangan lupa pegangan, Ntar jatuh. Saya yang susah cari istri kayak kamu lagi." Bagas sedikit berbicara keras agar Malika mendengarnya." Enak aja, nggak mau. Jangan ambil kesempatan di situasi begini. " Malika menjauhkan tangannya agar Bagas tak bisa menggapai. Sengaja Malika menyembunyikan di balik punggungnya. "Ya terserah kamu aja. Saya di sini cuman ngasih saran. Soal nya kalau kamu jatuh saya yang susah. "Malika mengernyit heran tak mengerti maksud Bagas. "Susah dapetin is
Malika mengguncang tubuh Bagas sedikit keras. Kepanikan yang ia ciptakan sendiri membuatnya hampir putus asa dan menangis. Malika tidak mengerti kenapa ia bisa terlihat sesedih ini. Yang pasti ia tidak rela Bagas akan pergi secepat ini. "Bagas jangan meninggoy dulu.. aku belum siap jadi janda rasa perawan. Nanti kalau kamu nggak ada gimana asset perusahaan Papa kamu. Siapa yang akan mengelola itu semua. Kamu tau sendiri, aku cuman lulusan SMA. Mana ngerti soal bisnis begituan. Bagas tolong jangan pergi. Demi Mama dan Papa, tolong bangunlah segera. " Ucap wanita dua puluh tahun itu di sela Isak tangisnya. Entah sebuah mukjizat atau apalah namanya, yang jelas kelopak mata Bagas perlahan terbuka. Dari ekspresi yang Bagas tunjukan , ia tidak begitu senang melihat senyum tulus yang Malika perlihatkan ketika netra itu saling bersitatap."Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga. Aku pikir tadi kamu--" Malika menggantung ucapannya, takut alih-alih Bagas tersinggung."Aku kira kamu akan keh
"Ibu tolongin Lika... Lika mau di eksekusi sama Bagas " teriaknya bergetar ketakutan mencoba melarikan diri. Malika tidak bisa bergerak bebas karena Bagas mencekal pergelangan tangan nya erat. Malika lari di tempat sembari membalikkan tubuhnya. Sikap Malika yang seperti ini mengundang gelak tawa dari Bagas perdana terlihat. Refleks saja ia melepaskan tautan jemari nya pada Malika. Tidak pernah Bagas selepas itu, sampai-sampai ia memegangi perutnya. Bahkan Malika pergi pun tawa itu masih menggema di dalam sana "Ya Allah mata aku ternodai. Maafkan hambamu ini ya Rabb. "Malika menggeleng seraya mengetuk pelan kepalanya. Sangkin malunya kepergok Bagas, ia bersembunyi di balik pohon besar depan rumahnya. Ia cuman berharap Bagas tak bisa menemukannya kali ini."Permisi mbak" seruan seseorang menyentak Malika menoleh. Tak di sangka wanita yang pernah Malika temui di Jakarta waktu itu tengah berada di depannya. Wanita mengenakan rok mini itu tersenyum tipis ke arahnya. Sayangnya Malika h
"Maafin Lika yah Sar. Dia orangnya memang suka iseng. Kamu nggak apa-apa kan?? "Ucapan lembut Bagas membuat Malika mencebik melipat kedua tangannya. Hanya karena insiden di sawah tadi Malika harus bertanggung jawab menyumbangkan baju kesayangan untuk Sari kenakan saat ini.Yah seluruh baju Sari kotor karena terjerembab ke dalam saluran irigasi.Alhasil dia pulang dengan basah kuyup dan Lagi-lagi Bagas mengomeli Malika dan malah perhatian pada wanita di sampingnya. Bagaimana Malika tidak kesal setengah mati. "Nggak apa kok, Gas. Tapi--- " kalimat Sari menggantung dan pandangan nya tertuju pada pakaian yang ia kenakan. "Kayaknya aku gerah banget make baju tidur kayak gini. Nggak ada baju yang lebih bagus apa selain ini." Sari menarik gamis kuning telur yang ia pakai melihat sikap nya yang seenaknya Malika angkat bicara. "Eh, mbak. Yang mana-mana ini bukan baju tidur namanya tapi gamis. Bahkan harganya lebih mahal dari pada baju setengah tiang yang kamu pakai tadi " Malika mencebik
[Kamu balik jam berapa, Aku udah siapin makan malam ]Sebuah pesan singkat yang ia terima membuat Bagas di kursi kebesaran nya tak berhenti mengulas senyum. Bagaimana tidak, sejarah dalam rumah tangganya baru kali ini Malika bersikap manis. Biasanya Bagas yang selalu berinisiatif untuk sekedar mengirim nya pesan atau pun menelpon. Tapi siang ini.. akh, dia ingin sekali menyudahi kepenatan ini dan langsung bergegas pulang. Bagas berniat menghubungi wanitanya, namun tak di sangka ponsel istrinya itu sudah tidak aktif lagi. Mungkin setelah mengirimnya pesan. Ponsel Malika lowbat, pikir nya saat ini. "Pak setengah jam lagi kita ada rapat dengan PT. Windira. " ucap sekretaris Bagas menahan langkah pria itu"Batalkan saja. Saya ada urusan yang lebih penting di luar. " Sahut Bagas tanpa menoleh ke arahnya. "Tapi Pak..""Yang bos di sini siapa sih, saya atau kamu. Kamu turuti aja perintah saya atau kamu memang mau saya pecat" Tukas Bagas menajam, jika begini wanita itu tak bisa membantah.
Pinkan nyaris tak bisa berkata-kata, wajah nya pias ketika beradu pandang dengan manik hitam legam di depan nya. "Kenapa Mama kaget gitu. Mama nggak senang ngeliat anak Mama sehat dan bisa berjalan normal begini. " Sebuah suara menyentak Pinkan dari lamunan, Jelas membuktikan jika saat ini ia benar tidak sedang bermimpi."K-kkamu...Uda sehat nak. Lalu tadi??" Pinkan masih ingat bagaimana Bagas kejang dan banyak mengeluarkan darah ketika ia menjenguknya tapi sekarang justru sebaliknya pria itu terlihat baik-baik saja tanpa kekurangan apapun. Atau jangan-jangan.."Mama pikir aku akan mati setelah memakan sup yang Mama berikan waktu itu. Mama salah telah menargetkan orang yang salah. Nyatanya saya masih bisa bernafas dan berdiri tegap di sini untuk membongkar semua kebusukan Mama. " Sarkas Bagas hilang kendali. Buku jarinya mengetat ketika mengingat bagaimana perlakuan Pinkan padanya. Pinkan gelagapan. "Kamu salah paham, Tam. Kamu tau kan kalau Mama itu sayang banget sama kamu. Mama n
"Mama apakan suami saya??"Satu pertanyaan mengejutkan membuat Pinkan berbalik. "Kamu??" Seolah tak terima dengan tuduhan yang Malika lontarkan, Pinkan mencecar wanita itu tatapan penuh kebencian. Ruangan yang tadinya hening kini mendadak tak terkendali. "Ini pasti ulah kamu buat menjebak saya. Seharusnya saya yang tanya apa yang udah kamu lakukan pada putra saya sampai dia jadi begini." Tuding Pinkan yang dengan berani menarik lengan Malika dan menghempaskan nya di lantai. Malika meringis, memegangi pergelangan tangannya yang tampak memerah. "Tolong, suster. Dokter.. Tolong saya."Beberapa perawat jaga yang mendengar teriakan Malika pun berbondong-bondong datang. Dari ekspresi yang mereka tunjukan mereka juga sangat terkejut melihat kondisi Bagas yang sudah berlumuran darah. "apa yang terjadi pada Pak Bagas, kenapa dia bisa mendapat luka begini. " Tanya salah seorang suster itu sambil cekatan menghentikan pendarahan."Saya juga nggak tau suster. Tadi saya menemukan Mama mertua s
Pintu ruangan terbuka, Bagas yang berbaring di ranjang pun menoleh saat langkah Pinkan mendekatinya. Senyum tipis ia perlihatkan, seolah tak benar tau apa yang terjadi. "Mama sengaja bawain makanan kesukaan kamu. Sup iga buat putra Mama tersayang. Kamu pasti rindu kan masakan Mama." Aroma bau harum sup yang Pinkan buka menggugah selera. Dalam sekejap wanita paruh baya itu sudah menyendok kan nasi beserta lauk yang ia bawa" tangannya tersodor dengan mulut yang mengintruksi terbuka"Boleh nggak Ma, kalau suapan pertama saya kasih buat Mama. " Bagas mengambil alih mangkok itu, Ia meminta hal sederhana tapi mengapa wajah Pinkan terlihat pucat sekali. "Ma.. Mama kok bengong. Buka dong mulutnya. " Bagas mengintruksi. Namun Pinkan masih saja bergeming tanpa melakukan tindakan apapun."T-tapi, ini kan masakan buat kamu. Kenapa Mama yang makan lebih dulu. Mama udah kenyang , Tam. Buat kamu aja. " "Tidak Ma... Saya akan makan setelah Mama makan. Ayo dong Ma. Tidak ada racun di makanan itu
Bersamaan itu pintu ruangan terbuka memperlihatkan Pinkan yang sudah berdiri bingung menatap ketiganya. "Ada apa?? Kenapa kalian liatin Mama seperti itu??"Pinkan menelisik tajam, ternyata Malika sudah lebih dulu sampai di rumah sakit ketimbang dirinya. Ia berpikir wanita berbahaya itu sudah memberitahukan semua kebenaran ini pada Bagas. "Bukan apa-apa Ma. Tadi Malika cuman bilang kalau dia, Akhh.."Bagas tak jadi melanjutkan ucapannya. Malika sengaja mencubit lengan pria itu keras untuk tutup mulut. "Malika bilang apa ke kamu? " Desak Pinkan penasaran. Bagas hanya menggeleng cepat, dan memilih tetap menyembunyikan kebenaran itu dari Pinkan sesuai intruksi yang Malika inginkan. Pinkan dibuat geram dan melayangkan tatapan tak suka pada Malika. Wanita itu pasti sudah mencuci otak putranya. ***Setelah Pinkan pergi. Malika mengeluarkan jarum suntik dari laci meja di samping ranjang Bagas. Tentu nya ia menggunakan sapu tangan untuk menghindari banyak sidik jari pada benda tersebut.
Malika merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk. Raganya memang berada di kamar itu tapi tidak pikirannya yang selalu saja memikirkan kondisi Bagas yang belum juga sadar. Malika bangkit dari tempat nya, ia tidak bisa meninggalkan suaminya itu tanpa pengawasan. Meski disana ada Malik yang menjaganya tapi ia tidak bisa tenang jika belum memastikannya sendiri. Setelah bersih-bersih, Malika bersiap pergi. Ketika ia baru membuka pintu, ia cukup terkejut melihat keberadaan Pinkan yang berdiri menatapnya tak suka. "Kamu itu tu li atau bagaimana? Dipanggilin dari tadi nggak nongol-nongol. Atau kamu sengaja mengabaikan saya biar saya kesel, gitu?? " "Maaf Ma. Mungkin tadi saya lagi di kamar mandi. Makanya nggak dengar Mama manggil. " Jawab Malika jujur. Meski hubungan keduanya belakangan itu tak begitu baik, Malika tetap menghargai Pinkan sebagai ibu nya. Malika tau, jika apa yang dilakukan Pinkan sekarang adalah bentuk rasa cintanya pada putra nya. Pinkan mencebik melipat kedua tanga
Mobil yang Malika tumpangi kini tampak memasuki gerbang utama sebuah bangunan mewah. Bangunan yang menurutnya tidak asing lagi ia lihat. Dimana ia pernah menginap di sana meski dalam waktu yang teramat singkat. "Lika.. ayo masuk. Kenapa bengong begitu." Sebuah sapuan lembut di bahunya menyentak Malika dari lamunan nya. Ia menoleh pada sosok pria paruh baya di sampingnya dan tersenyum kaku. "I-iya Pa. ""Kamu tidak usah sungkan, bagaimana pun rumah ini sekarang sudah menjadi rumah kamu juga. Bukan hanya menantu keluarga ini, kamu sudah saya anggap sebagai anak Papa sendiri" Ucap pria itu terlihat tulus. Malika beruntung bisa mendapat mertua sebaik Rudi. Pria itu mengingatkannya pada sosok ayahanda yang sudah berpulang lebih dulu. "Makasih Papa sudah begitu baik dan menerima saya di rumah ini. " Malika tak kuasa untuk tidak menitikan air mata nya. Melihat itu Rudi iba dan menghapus jejak basah itu dengan jari besarnya. Tanpa mereka sadar, ada seseorang yang mengamati interaksi
Sebelum Malika kembali bersuara, pintu ruangan kembali terbuka. Hingga mendapati seorang pria paruh baya tengah berdiri di ambang pintu menatap keduanya."Suster Ana, sedang apa anda di sini."Tanya nya membuat Malika menoleh pada Pinkan. Wanita itu mudah sekali mengelabui orang sekitarnya yang mana saat ini masker yang tadi terlepas sudah ia kenakan kembali. Mungkin karena Pinkan mengenakan identitas suster Ana makanya Dokter Reno kira itu adalah suster Ana, tapi nyatanya bukan. "Saya tadi hanya mengambil ponsel saya yang tertinggal dok. " Jawabnya berbohong menunjukkan ponsel yang ada dalam genggamannya. Benda runcing yang berisi cairan racun itu entah ia taruh dimana. Setelah mengatakan itu Pinkan pamit undur diri. "Awas aja kalau kamu berani buka mulut di depan yang lain. Saya tidak akan segan menghancurkan kamu dan keluarga kamu di kampung " Bisiknya di telinga Malika saat melintas. Malika mematung, masih belum percaya dengan apa yang terjadi pada suaminya."Bu Malika, boleh
Tanpa pikir panjang, Malika bergegas menyambangi rumah sakit tempat dimana Bagas kini tengah di rawat. Memerlukan waktu sejam untuk sampai di sana. Malika tidak berhenti khawatir ketika langkahnya menjejak masuk loby rumah sakit, meski pria muda di sampingnya terus mengatakan semua akan baik-baik saja."Biar saya saja. " Ucapnya menahan Malika untuk tetap diam di tempat nya. Mengingat kondisi Malika saat ini sedang terpuruk, ia mungkin tidak akan bisa berinteraksi dengan orang di sekeliling nya. " Pasien kecelakaan atas nama Pratama Bagas Adiwijaya dirawat di ruangan mana yah, sus. Kalau boleh tau. " Malik bersuara"Maaf Bapak dan ibu ini siapanya Pak Bagas yah. ""Kami berdua keluarganya, sus. " Terang pria itu membuat wanita dengan nurse di kepalanya itu mengangguk paham "Oh begitu. Sebentar yah Pak saya check dulu."Sembari menunggu suster itu mencari data di layar monitor, Malik menyempatkan untuk menghubungi Rudi di sebarang sana."Pak Bagas masih di tangani di ruang ICU. Te