Entah sudah berapa kali suamiku bolak balik pulang ke rumah, makan siang, atau sekedar rebahan sebentar saja, aku masih diam saja di dalam kamar tak beranjak, menatap layar televisi, sesekali aku memainkan ponselku, hari ini rasa malas sedang mendominasi tubuh juga perasaanku.
Sekitar pukul 3.30 pm suamiku pulang dari bekerja, ia mengganti pakaiannya, meletakkan ponselnya di meja riasku, sudah menjadi kebiasaannya seperti itu.
"Sayang sudah mandi?" Tanyanya padaku sembari memakai baju kaos oblong warna hitamnya.
"Belum, sebentar lagi yah, masih seru nih." Jawabku yang masih fokus dengan ponsel, membalas pesan-pesan dari teman-temanku juga keluargaku di kampung halamanku, Bali.
"Seru apa ayo, chat sama siapa itu? Hmm? Mandi dulu gih, nanti ayah ajak jalan-jalan sore keliling-keliling, liat-liat atau bunda mau belanja-belanja." Ajaknya.
"Oke, sekarang yah." Jawabku antusias, aku beranjak dan mengambil baju ganti di lemari, mengambil handuk, bergegas masuk ke kamar mandi lalu membersihkan diriku, tak lupa ritualku itu di iringi dengan lagu yang ku nyanyikan sendiri, sudah jadi kebiasaanku, menyanyi di dalam kamar mandi, bagi diriku sendiri suaraku cukup indah di dengar, itu bagiku ya, belum tentu bagi orang lain, karena aku tak pernah sekalipun memamerkannya di khalayak publik.
Aku paling suka menyanyikan lagu-lagu cinta yang sedih-sedih, seperti lagunya Momo Geisha atau lagunya Coklat, Peterpan, Ada Band dan banyak lagi yang menjadi list favoriteku.
"Ayah, bunda sudah selesai, ayah mandi sudah." Teriakku seraya meliriknya dari arah depan kamar mandi melihat ke belakang di kandang ayam kesayangannya. Suamiku pencinta ayam, ia hobby sekali memelihara binatang yang suka ku makan dagingnya itu, terkadang ia beli dengan harga yang lumayan, lalu ia jual lagi setelah sekian lama. Bisa di bilang ia gunakan sebagai bisnis sampingan.
"Sebentar bun, sedikit lagi selesai." Jawabnya singkat, ayam yang udah anteng-anteng di dalam kandang itu terkadang ia keluarkan, ia masukkan lagi, ayam yang sudah bisa makan sendiri bahkan dari bayipun terkadang ia suapi, padahal aku yang istrinya inipun tak pernah di suapinya.
Aku duduk di depan meja riasku, ku poles wajahku dengan cream merk yang sering terlihat di televisi, kemudian alas bedak yang 1 merk juga, setelahnya ku poleskan bedak tipis, pensil alis, dan terakhir ku pakai lipstik pink pada bibir tipisku.
Rambutku yang panjang sebahu ku gerai begitu saja, suami selalu melarangku mengikat rambut, katanya lebih cantik jika rambutku di gerai saja, hal termanis yang kerap kali di lakukan suamiku adalah menarik ikat rambutku tiba-tiba saat ia mengetahui aku mengikat rambutku. So sweet bukan? Aku sangat suka jika ia melakukan itu.
"Yah, sudah jam berapa sih ini? Belum selesai-selesai juga." Gerutuku sedikit berteriak agar suaraku di dengarnya, entah sudah berapa lama aku menunggunya.
"Iya bun, sekarang." Jawabnya, beranjak dari kandang ayam. Bukannya langsung ke kamar mandi dia malah mengambil ponselnya yang belum sempat ku sentuh di meja riasku.
Ku lirik sekilas ekpresinya memegang ponsel, tangannya seperti sedang mengetik, dan segurat senyuman terukir jelas di bibirnya, astaga, suamiku tersenyum membalas pesan, itu dia lagi chat sama siapa sih? Hatiku sudah tidak sabar ingin mengintip ponselnya lagi.
"Mandi sana sayang, malah main hp lagi. Uda sore nih, katanya may ngajak jalan-jalan." Ucapku.
"Iya ibunda ratu, sekarang ayah mandi." Jawabnya, tanganya menoel daguku lembut, bibirnya tersenyum manis.
"Makanya tu jangan pegang ayam terus, sampe lupa mandi." Aku menggerutu lagi.
"Astaga bunda, hhahhahaa, masak bunda cemburu sama ayam?" Suamiku terkekeh melihatku yang memasang wajah jengkel.
"Bukannya bunda cemburu sama ayam ayah, jengkel aja, kalau sudah main ayam ayah suka lupa waktu gitu." Aku kembali memasang wajah cemberut.
"Bun, masih mending ayah main ayam, daripada ayah main perempuan, hayo, bunda pilih yang mana?" Goda suamiku lagi.
"Ayah aahhh... Jangan gitu ahh..."
"Hahahahha, makanya jangan aneh-aneh mikir bun, ya sudah, ayah mandi dulu." Suamiku langsung masuk ke kamar mandi, handuknya di kalungkan di lehernya.
"Ayah sih, sama ayam perhatiannya luar biasa, tp sama bunda pelit banget sama perhatian." Teriakku lagi, agar ia mendengar suaraku dari dalam kamar mandi.
"Jangan cemburu sama ayam bun. Hahahaha..." Suamiku kembali terkekeh dari dalam kamar mandi menertawakanku.
Beberapa menit setelah ku pastikan ia benar-benar mandi, ku ambil lagi ponselnya, memeriksa pesan W******p juga messengernya, aman, ternyata cuma chat membahas soal ayam dengan teman-teman sehobbynya dan beberapa pesan group kantornya.
Ku periksa juga phone book nya yang ternyata cuma berisi 25 nomor telp saja, dari namanya hanya laki-laki saja, beberapa perempuan dan itu adalah nomor kakak-kakaknya juga nomor ibuku dan ibunya.
Ku letakkan kembali ponselnya seperti sedia kala, beberapa menit kemudian terdengar nada bip di ponsel suamiku, ada pesan W******p masuk ke ponselnya, ku lirik sekilas ternyata dari kakak iparku, ku beranikan diri membukanya karena penasaran.
"An, jangan macam-macam ya, sayangin Ana, jaga dia, penuhi semua kemauannya." Pesan dari kakak iparku membuatku senyum-senyum, padahal sebelum menikah aku cuma ketemu sekali saja sama mertuaku juga kakak-kakak ipar, mana sangka mereka begitu menyayangiku dan sangat baik terhadapku.
Baru saja ku letakkan ponsel suamiku, ponselnya berbunyi lagi, ku lirik sekilas, tercantum nama bapak mertuaku, rasa kepoku muncul lagi, bergegas ku buka pesan tersebut.
"An, jaga baik-baik ana, jangan sering ribut, jaga rumah tangga dengan baik." Lagi-lagi aku tersenyum kegirangan.
Ku letakkan ponsel suamiku di tempat semula, berselang beberapa menit kemudian suamiku sudah keluar dari kamar mandi, ia sudah berpakaian lengkap, tangannya masih memegang handuk yang di gosokkan pada rambut basahnya, mungkin ia habis keramas.
"Bunda kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanyanya curiga seraya melangkah ke arahku.
"Engga apa-apa kok yah, itu yah, ada pesan dari Bapak sama Kak Juni, bunda sudah buka." Ucapku seraya melemparkan senyuman pada suamiku.
Suamiku seketika meraih ponselnya, dan mungkin ia sudah membuka kembali pesan-pesan W******p yang sudah ku baca sebelumnya.
"Kompak sekali mereka belain bunda yah?" Suamiku meletakkan ponselnya lagi, ia mengusap-usap atas kepalaku kemudian meninggalkanku, menaruh handuknya dan menyisir rambutnya yang pendek.
Aku tersenyum riang, setelah selesai siap-siap, aku di ajak jalan-jalan keliling kampung, mengenal daerah-daerah disini juga lingkungannya.
Ini hari ke sekian aku berada disini, Papua, suami memboyongku kemari tepat setelah masa cutinya berakhir setelah kami menikah, mana sangka, tempatnya benar-benar jauh berbeda dari Bali. Bahkan aku sempat menangis saat tahu daerah yang menjadi tempat tinggal kami benar pedalaman dan harus melewati hutan belantara tanpa penerangan, benar-benar membuatku merasa menjadi wanita yang sial.
Bersambung...
Pagi ini aku ada acara perkenalan diri untuk pertama kalinya sebagai istri polisi, di perkumpulan istri-istri polisi yang di sebut Bhayangkari, khusus bagi Bhayangkari di Polsek tempat suami bertugas."Bun, apa ayah anter?" tanya suamiku, berhubung pertemuan dilaksanakan di taman satu-satunya yang ada di wilayah ini, suami menawarkan diri untuk mengantarku."Tidak sayang, kayaknya berangkat sama-sama ini." jawabku, sesuai info di group Bhayangkari yang aku ikuti."Baiklah, pakai topi ya bun, cuaca nanti akan panas." tegurnya."Oke sayang," jawabku seraya memberi kode dengan menyatukan jari telunjuk dan jempolku menyerupai hurup O.Sementara suami bekerja, akupun berangkat ke taman bersama rombongan yang jumlahnya tidaklah banyak. Kurang lebih sekitar 10 orang, setelah aku tahu, tidak semua anggota hadir di karenakan jarak yang jauh juga kesibukan beberapa orang anggotanya."Halo Bu Andra," sapa seseorang padaku, ketika kami sem
Bab 5Terik matahari sudah tinggi, aku dan yang lainnya pulang kembali ke rumah masing-masing setelah mobil yang mengantar kami menurunkan semua ibu-ibu di halaman Polsek."Ibu-ibu saya pamit duluan." Ucapku seraya meninggalkan yang lain dan berjalan mendekati rumahku yang tinggal beberapa langkah lagi dari tempat kami bubar.Aku masuk ke dalam rumah yang hanya di tutup tanpa di kunci, itu artinya suamiku masih di kantor. Aku celingukan menoleh ke arah kantor suami, mataku berselancar mencari tahu keberadaan suamiku yang tidak ku temukan, mungkin dia ada di dalam ruangan.Aku bergegas masuk ke dalam rumah, ku ganti pakaianku dengan daster, ngomong-ngomong soal daster, suamiku paling tidak suka jika aku menggunakan daster, ia sering ngomel saat melihatku memakai pakaian santai itu, katanya itu mengundang bahaya, entah maksudnya apa. Aku masuk kamar, kemudian mengambil hp merk anuku dan membuka aplikasi hijau. Ku cari nomor atas nama 'sayang' yang tak lain
Sore, seperti biasa suamiku menyempatkan diri untuk pulang, hari ini dia piket 24 jam sampai besok pagi. "Ayah piket?" tanyaku menyambut kesayanganku pulang "Iya sayang, bunda mandi dulu, ayah mau cuci piring dulu, sebentar ayah ajak keluar sebentar buat beli makan malam," ucapnya, ia bergegas mengganti pakaian kerjanya beralih menggunakan kaos oblong dan celana pendek selutut. "Oke," jawabku, namun aku tak kunjung beranjak. Aku masih mengintipnya sampai benar-benar pergi ke belakang untuk mencuci piring. Ponselnya sudah di letakkan di meja riasku seraya ia sambungkan dengan chargenya untuk mengisi daya. Mau intip hp ayah dulu ah, liatin statusnya di privacy khusus diliat aku aja apa semua orang bisa liat nih, awas aja dia aneh-aneh. Setelah merasa aman dari pandangan suami, aku segera mengambil ponselnya, ku buka aplikasi W******p dan melihat storynya.
Bab 7Lepas piketnya suami adalah kebahagiaan bagiku. Aku bisa bangun agak siang, walau dia lelah sehabis jaga malam, ia tetap akan bangun lebih pagi di banding aku (kalau kondisi kantor aman, atau tidak ada laporan, biasanya yang piket bisa pulang dan istirahat lebih awal, tengah malam atau pagi buta).Ku kerjap-kerjapkan mataku sedemikian rupa, aku tak tahu suamiku pulang jam berapa. Entah tengah malam atau tadi pagi, ku pandangi jam dinding, sudah menunjuk angka 7. Aku bergegas bangun dan ku tinggalkan tempat tidur yang masih berantakan.Setelah buang air kecil dan mencuci muka, aku berjalan perlahan ke arah dapur. Suamiku sudah berada disana, sedang mengiris bawang merah, dan menyiapkan bumbu-bumbu lainnya, dia memang sangat jago memasak, aku kalah dibandingkannya."Pagi tuan putri, sudah bangun sayang?" sapanya, dilemparkannya senyum manis terbaiknya untukku, itu sungguh menjadi mood booster buatku setiap hari."Ayah masak apa?" tanyaku.
"Bun, ayah main sebentar ya? Ke belakang masjid." Suamiku memang sering banget ke tempat temannya yang berada di belakang masjid, biasanya tidak lama, hanya sekedar ngobrol sebentar, lalu akan pulang Lagi."Oke sayang." Jawabku.Aku teringat saat awal menikah, dan baru sampai di tanah Papua, ia pamit pergi ke belakang masjid, "Bun, sebentar ya? Nanti ayah pulang," pamitnya kala itu."Oke sayang, jangan lama ya, bunda takut sendiri," jawabku.Iapun pergi dengan mengendarai sepeda motor maticnya, sementara aku kembali masuk ke dalam kamar, menonton televisi dan bermain ponsel. 1 jam, 2 jam, dia tak kembali pulang, 3 jam, 4 jam, belum juga ada tanda-tanda suamiku akan pulang.[Ayah, kok lama sekali? Jam berapa pulang? Cepat pulang, ini sudah malam.] ku kirim pesan padanya, namun, pesan itu tak di jawabnya, di bacapun tidak.Ku coba lakukan panggila
Ueekkkkk ... Ueeekkkkk ... Pagi-pagi aku sudah nek, mual muntah ga jelas, padahal makan teratur, apa bisa yah maag kambuh, padahal makan sudah teratur gini?"Bunda kenapa sih?" tanya suamiku yang masih berbalutkan selimut."Masuk angin apa yah?" jawabku yang masih menahan mual-mual, wajahku sudah pucat pasi, dadaku terasa sesak karena lelah muntah-muntah."Jam berapa ini? Ayah siap-siap dulu, hari ini ayah ngantor sebentar, nanti ayah ijin antar bunda ke klinik, kita periksa ya," ajak suamiku."Baiklah sayang, ini sudah jam 7," jawabku, aku duduk di pinggir ranjang sambil berusaha menormalkan nafasku yang agak ngos-ngosan."Oke, ayah mandi dulu, bunda tidak usah masak ya, nanti kita beli aja sarapan."Suamiku berlalu, menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya, kebetulan aku sudah cantik, ehh, enggak, maksdnya sudah bersih dan wangi
Tidurku nyenyak, sejak tahu hamil aku paling doyan tidur sambil megangin tangan suami, langsung lelep dan mimpi indah. Bahkan mual muntah pun tidak kurasakan lagi, yang paling berubah adalah selera makanku yang makin bertambah, juga makanan kesukaanku."Tuan putri sudah bangun?" tanya suamiku yang sudah selesai memasak, aku malah asik malas-malasan di tempat tidur sambil sesekali menggeliat."Ayah, maaf ya, bunda telat bangun, bunda ga masak lagi, malah ayah yang sibuk masak." Ada rasa bersalah di hatiku, kenapa aku jadi makin manja gini ya. Padahal sebelum nikah aku cewek pekerja keras."Tidak apa-apa sayang, sarapan dulu sana," ucap suamiku."Iya, bunda mau bersih-bersih rumah dulu yah, ga bisa lihat rumah berantakan." Aku beranjak dan mulai mengambil sapu."Jangan capek-capek ya, pi mandi dulu," ucap suamiku yang langsung meninggalkanku ngeloyor masuk ke dalam ka
"Bunda, hari ini mau masak apa?" tanya suami padaku."Bunda maunya makan ayam goreng aja, buatan ayah" jawabku, entah kenapa, aku lebih ingin makan ke yang berbau daging, aku malas kalau harus makan sayur mayur."Sayur? Ga mau?" tanya suami yang udah siap-siap hendak pergi ke pasar."Ga pengen sayang, malas makan sayur," jawabku seraya menggelengkan kepalaku."Ya udah, ayah ke pasar dulu," ucapnya, memakai jaketnya lalu berangkat.Sementara suami pergi, aku bergegas mengambil ponselnya, menelisik siapa saja yang diajak komunikasi. Semua akun aku buka, apakah ada yang mencurigakan. Pengaruh ucapan ibu-ibu itu sangat besar bagiku, aku benar-benar takut suamiku di rebut pelakor, aduh jangan sampai deh.Ku buka satu persatu, semua aman, tak ada yang mencurigakan. Aku meletakkan kembali ponselnya, dan kemudian aku mulai bebersih rumah seraya menunggu suami datang dari pasar.Setelah beres ku periksa cucian piring, terny
Desember 2021Desember ke 3 di tanah Papua. Harapan tinggal harapan. Entah sampai kapan lagi kami harus menunggu untuk hasil pindah sang suami. Aku merasa kosong, sepertinya harapan itu sia-sia. Biarlah, kita sudah berusaha, untuk hasilnya aku kembalikan kepada Tuhan."Bunda ... Bunda ...." teriak suamiku dari depan, kebetulan hari ini piket."Ada apa sih, Yah? Kok teriak-teriak jangan ribut, Ara lagi tidur, nanti dia terganggu." Aku menghampiri suamiku."Bunda, baca ini, Bun, baca, Bun!!" Ia menyodorkan ponsel yang telah terbuka 1 buah pesan Whatsapp di sana.Aku mengambil alih ponselnya, kemudian membaca baik-baik. Apa isinya, entahlah tanganku tiba-tiba gemetar, dadaku bergemuruh, aku terdiam sejenak. Aku terpaku. Aku tak tahu harus berbicara apa lagi kali ini. Air mata sudah mulai menetes membasahi kedua pipiku."Ayah, ini bener kan? Ini tidak b
2 Tahun kemudianHappy Birth Day Ara, 2 Tahun.Tak terasa, kini usia putriku sudah menginjak angka 2 tahun. Ah, tak pernah terbayang sama sekali kalau perayaan ulang tahunnya masih berada di tanah Papua.Sama seperti 1 tahunnya, tak ada yang spesial. Hanya perayaan kecil yang kami rayakan bertiga saja. Kue tar bertemakan doraemon yang ia sukai. Di tambah buket snack yang di hiasi balon. Itu saja Ara kecilku sudah sangat bahagia."Selamat ulang tahun, Ara," ucapku dan suami menatap gadis kecilku yang begitu bahagia.Ahh, kesederhanaan ini yang memang kami tanamkan sejak kecil padanya. Aku tidak ingin kelak ia menjadi gadis yang penuh dengan keegoisan juga menang sendiri."Bunda, Ala suka balon. Kue Ala ada dolaemon, ada obita, ada suka, ada suneo, ada jayen." Ia sebutkan satu persatu tokoh doraemon yang terpasang di kue kecilnya itu.
Tepat pukul 08.00 malam, terdengar suara mobil di depan mes. Aku tak bergegas membuka pintu. Aku memilih mengintip terlebih dahulu dari celah jendela depan. Masih teringat jelas pesan dari tetangga juga pesan dari suamiku. Jangan buru-buru membuka pintu saat orang datang. Lihat dulu dari jendela, takutnya orang mabuk.Yah, begitulah, suami tugas di sini sangat rawan. Orang mabuknya di sini sangat beda jauh dengan d Bali. Kalau di sini mabuk bisa bertindak kekerasan, bahkan sampai memb***h. Kalau di Bali, mabuknya macam orang-orang Korea, mengeluarkan isi hati, muntah lalu tidur.Oke, aku intip dari jendela, ternyata memang suami yang datang. Ia turun dari sebelah kursi kemudi. Ku bukakan pintu rumah seraya menggendong si kecil."Lihat sayang, siapa yang pulang? Ayah!" ucapku pada si kecil.Suami menenteng beberapa tas plastik, besar dan kecil. Ahh, memang suami idaman. Masih berpaka
Hari ini aku duduk santai di depan mes, tepatnya di pospol yang kebetulan memang menjadi 1 dengan mes. Menemani si kecilku yang sudah pandai merangkak dan bermain. Andai saja ada jaringan, aku sudah pasti menghubungi keluarga di Bali. Aku sungguh rindu dengan mereka. Terutama dengan orang tuaku juga mertuaku.Andai saja ada keajaiban suami mutasi semudah membalikkan telapak tangan, sudah pasti suami tak menunggu lama lagi.Aku sering kali berselancar dengan pikiranku sendiri, mengkhayal kalau nanti sudah pindah ke Bali, aku akan jalan-jalan. Yang paling kuharapkan adalah melihat orang tua juga mertuaku menemani cucunya bermain.Betapa bahagianya jika waktu itu tiba. Aku rindu dengan makanan di Bali. Begitu jauh berbeda di bandingkan di sini. Jika di Bali berbagai macam dagang makanan tersedia, jika di sini, bahkan mencari sayur mayurpun susah.Bali, oh Bali. Kapan aku bisa kemBali. Ku seruput kopi panas yang menemani siangku sekalian nemenin
Beberapa hari aku berada di sini, aku mulai akrab dengan beberapa tetangga. Aku bersyukur tinggal di sini. Para tetangga sangat ramah dan bersahabat. Kami sering bertukar makanan.Walau jaringan telepon begitu sulit bagiku itu bukanlah hal yang terlalu penting. Ada suami di sampingku adalah yang paling membuatku bahagia dan nyaman."Bunda, kita pergi ke market yuk?" Seorang ibu yang biasa ku panggil mama fitrah, memanggilku dari depan pintu.Aku panggil mama Fitrah, karena anaknya bernama fitrah. Ini pengalaman baru bagiku. Di Bali rasanya tidak ada yang seperti ini. Ah, jadi ingat Bali lagi. Entah kapan suami akan pindah tugas ke Bali agar kami bisa berkumpul dengan keluarga."Boleh Mama Fitrah, tunggu, saya ambil uang dulu." Aku bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Mengambil 1 lembar uang berwarna merah kemudian menggendong putriku, Ara."Mama Fitrah, mau beli apa?" tanyaku sembari barjalan menuju arah market."Lihat-lihat
Matahari mulai menelisik dari jendela kamarku. Aku terbangun setelah semalaman suntuk tidak bisa memejamkan mataku. Mungkin hanya beberala jam aku terlelap, itupun tidak nyenyak.Ku raih ponselku yang tak jauh dari posisiku. Sama sekali tidak ada pesan ataupun telepon dari suamiku. Aku menghela napas sesaat. Bisa-bisanya suamiku seperti ini.Hari ini aku memilih untuk memesan makanan jadi, posisi Ara suka tidur tak tenang yang tiba-tiba terbangun membuatku enggan meninggalkannya yang masih tertidur.Menghilangkan penat setelah aku sarapan, mandi dan mendanani Ara, aku memilih untuk menghibur diri. Ngobrol dengan beberapa tetangga sebelah rumah."Om Andra sudah nugas lagi ya bu?" tanya Bu Lucas."Sudah bu," jawabku singkat."Kok ibu ga ikut sih ke sana? Kalau saya jadi ibu, sudah minta ikut ke sana. Ga takut nanti suaminya kepincut ladis?" ujarnya."Saya percaya suami saya, bu." jawabku setenang mungkin. Walau pada
4 Bulan kemudianTing, sebuah pesan whatsapp masuk ke ponsel suamiku yang memang sedang aku pegang. Ada pesan group dari kantornya. Aku bergegas membuka pesan itu. Sebuah surat perintah yang isinya adalah perihal penugasan. Jelas ku baca nama suami tertera disana. Ia di pindahkan lagi ke tempat sebelumnya."Ayah, gimana ini? Maksudnya apa? Kok ayah bisa dipindahkan lagi?" pekikku, aku mendelik menatap suamiku, aku percaya pasti dia sengaja minta pindah lagi."Eh, apa, Bun? Maksud Bunda apa? Siapa yang pindah?""Ini, baca, apa maksudnya?" Aku menyodorkan ponselnya. Memintanya membaca pesan group yang baru saja aku baca."Kok bisa ayah dipindahkan lagi? Padahal udah enak di sini, ya kan, Bun?" tanyanya beralasan.Ya! Aku yakin itu hanya alibi, pasti suamiku yang minta pindah sendiri. Ia memang maunya tugas di sana. Ga paham apa yang membuatnya betah di sana. Bikin jengkel.Itu yang bikin aku ga yakin dia
Suami mulai bertugas lagi di Polsek. Aku bersyukur, karena kita dekat. Dan aku nyaman ada yang membantuku mengurus Ara. Tap sepertinya perasaan yang berbeda dirasakan oleh suamiku. Ia seakan-akan tidak suka di pindahkan lagi ke Polsek. Aku sebagai istri jelas bisa membaca sedikit raut ekspresi di wajahnya.Pagi inix sebelum bayiku terbangun, aku bergegas masuk ke dapur. Membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan untuk aku masak.Aku dan suami sama-sama terdiam. Aku masih dengan emosiku sendiri, begitupun dengan suamiku.Tak butuh waku lama, setelah hidangan tersaji aku bergegas menuju kamar mandi. Aku membersihksn diriku, kemudian gegas berganti pakaian. Takut si kecil keburu bangun.Rambut masih acak-acakkan, tak sempat sisir rambut. Aku memberikan asi pada si kecil yang sudah mulai menggeliat dan menangis."Ayah ke kantor dulu," celetuk suami sesaat membuka pi
Suamiku langsung ngelayap ke rumah tetangga setelah kami sampai di rumah, padahal belum juga masuk rumah, bahkan pintu rumah juga belom di buka. Ihh, ngeselin banget ga sih? Ke mana sih? Coba bukain pintu dulu deh, ga paham banget kalau istri capek."Ayah ke mana sih? Baru sampai bukannya buka pintu malah ke tetangga," gerutuku."Ya Tuhan, ayah ambil kunci, Sayang. Ini kunci kan di titip ke pak Robi, kemarin," jawabnya seraya membuka kunci gembok yang gedenya segenggaman tangannya."Hehehheh kirain ke mana," ucapku terkekeh malu.Ya Tuhan, aku masih ga percaya, di tanganku ada boneka hidup yang lahir dari rahimku. Ya ampun, yang lebih bikin aku ga percaya lagi. Aku yang melahirkan dia, tapi wajahnya 90 persen mirip ayahnya. Astaga, gadis kecilku yang lucu.Suami membuka pintu, baru saja hendak masuk, para tetangga sudah berhambur menghampiriku dan bayiku."Aduh, Bu Andra, sini saya gendong dulu si kecil, ayo ajak ke rumah dulu, biar Pak Andra bersih-bersih rumah dulu," ucap tetangga ya