Bangun tidur, suamiku sudah tidak ada di sebelahku, sudah menjadi kebiasaan antara kami, suamiku selalu bangun lebih awal di banding aku, diam-diam ku intip dia dari pintu kamar, mencari keberadaanya, sepi, tak ada tanda-tanda ia ada di rumah.
Aku kembali masuk ke dalam kamar, ku ambil ponsel suamiku, Andra, yang masih tergeletak begitu saja di tempat tidur kami. Cepat-cepat ku buka aplikasi pesan, kemudian w******p, f******k juga panggilan, tak lupa pula aku periksa kontak ponselnya, membayangkan kelakuanku yang seperti ini seakan-akan aku sudah menjadi maling di dalam rumahku sendiri.
Sebatas ini, yang akun perhatikan aman, tak ada yang mencurigakan, setelah semua selesai, aku letakkan lagi ponselnya pada posisi semula. Sebenarnya, Andra tidak pernah keberatan jika aku memeriksa ponselnya, hanya saja aku harus jaga image, jangan sampai dia ke GR'an dan mikir aku terlalu takut dan curiga juga cemburu yang berlebihan, karena sampai saat ini, tak nampak di mataku jika suamiku itu cemburuan, itu juga yang membuatku bertanya-tanya tentang perasaannya, apakah benar atau tidak ia menyayangiku.
Dari dalam kamar ku dengar suara deru sepeda motor milik suamiku, ohh, rupannya tadi dia pergi ke pasar, Andra memang selalu rajin pergi ke pasar, ia kerap kali beebelanja sendiri, membeli bahan masakan dan lain-lainya, aku memang wanita beruntung yang bisa mendapatkan pria seperti Andra, ia tak pernah berprilaku bak raja di rumah, ia pun tidak pernah mengatakan jika pekerjaan rumah adalah tugasku saja, ia malah dengan semangat membantuku menyelesaikan tugas rumah jika dia tidak lelah.
Trap... Trap... Trap... Beberapa menit terdengar langkah kaki suamiku berjalan menuju ke arah dapur, aku keluar dari kamar berlagak seperti orang yang baru saja bangun tidur. Mengusap-usap wajahku pelan.
"Ayah dari mana? beli apa?" Tanyaku padanya berlagak tidak tahu apa-apa dan tidak terjadi apa-apa.
"Dari pasar sayang. Ayah sudah beli masakan matang ini, bunda tidak usah masak ya. Mau mandi atau mau sarapan dulu?" Ucapnya, ku raih apa yang dia bawa, kemudian ku buka lalu ku tempatkan pada wadah, ku lirik magicom, ternyata, suami juga sudah masak nasi, piring-piring kotor juga sudah ia cuci, aku lanjutkan dengan bersih-bersih rumah.
"Ayah hari ini kerja?" Tanyaku padanya, suamiku bekerja sebagai abdi negara, polisi, kami merantau jauh dari mertua dan keluarga yang lain karena tugasnya di luar pulau asal kami. Papua.
"Kerja dong bun, mana ada polisi libur." Ucapnya, tangannya sudah kembali memegang ponsel barunya, kadang aku berfikir, siapa sih sebenarnya yang ia hubungi setiap saat, padahal kalau aku cek malah kosong, ga ada yang di ajak chat ataupun telponan, apa iya cuma tengok-tengok laman f******k?
"Pegang hp terus." Sindirku, suamiku langsung meletakkan ponselnya lagi, ia masuk ke dalam kamar mandi, melakukan ritual paginya sebelum berangkat bekerja.
Ku pastikan ia sudah mengunci pintu kamar mandi rapat, ku lirik sekilas ke arah kamar mandi, tanganku sudah gatal merogoh ponselnya, segera ku buka semua aplikasi yang selalu ku curigai.
Apa? Tidak ada pesan w******p? Perasaan tadi tanganya lancar sekali ngetik sesuatu, dia berbalas pesan sama siap? Kok tidak ada pesannya? Emosiku mulai lagi membludak di dada, beragam pertanyaan mulai mengusik fikiranku, beragamam tebakan-tebakan serta selidik akan suamiku mulai berkeliaran di otakku, dalam deru nafas yang tak karoan, ku lanjutkan pekerjaanku beberes rumah. Dari ujung belakang sampai ujung depan, ku sapu, lalu ku pel sampai semua mengkilat.
Aku tinggal di asrama polisi, rumah panggung sederhana yang letaknya 1 halaman dengan polsek tempat suamiku bertugas. Setelah selesai melakukan bersih-bersih nampak suamiku sudah rapi dengan pakaian dinasnya.
Ku abaikan dia yang sudah menuju dapur hendak sarapan, aku masuk kamar mandi hendak melakukan ritualku membersihkan diri, ku tengok mesin cuci dalam sana, kosong, bersih, ternyata suamiku sudah mencuci semua pakaian kotor dan menjemurnya.
15 menit aku selesai mandi, segera keluar dan berdandan, tak lupa ku ambil ponselku, aku ingin sekali bertanya kenapa dia menghapus pesan-pesanya. Suamiku sudah berangkat bekerja, begitulah kadang ia pamit, kadang tidak, kantor dekat, dan dia sering bolak balik pulang.
[Ayah, dimana?] Aku mengirim pesanku pada suamiku, mulutku sedang sibuk mengunyah sarapan yang ku ambil sebelum mengambil ponsel tadi.
[Di kantor sayang, kenapa?] Balasnya cepat.
[Bunda mau tanya, tapi ayah jangan marah ya.] Kirimku lagi.
[Apa to?]
[Ayah ada chat sama siapa? Bunda liat ayah sibuk pencet hp dari semalam sampai pagi tadi, tapi bunda periksa semua sudah kosong, ayah hapus-hapus ya?] Tanyaku.
[Ayah tidak suka simpan-simpan pesan bun, ayah tidak macam-macam kok.] Jawabnya.
[Awas!] Ancamku.
Fikiranku kembali teringat dengan mantanya yang cantik, aku kepo sama profil facebooknya, aku buka semua, ternyata dia benar-benar marah terhadap suamiku yang memutuskan hubungan, banyak sekali status-status hujatan ia lemparkan kepada suamiku.
Ada satu yang membuatku jengkel, perempuan itu tidak menghapus foto-fotonya dengan suamiku. Rasanya aku ingin sekali mengirim pesan padanya dan memintanya untuk menghapus semua foto mereka, mungkin tuh perempuan tidak bisa move on dari suamiku, sampai-sampai tidak rela menghapus foto-foto mereka.
Ku baringkan tubuhku di dalam kamar tidur, chat terakhirku tidak di balas suamiku.
[Ayah...] Aku kembali mengirimkannya pesan, namun ia hanya membacanya saja tanpa membalas, emosiku kembali membludak.
[Oeeee, balas, kenapa di baca saja?] Tak lupa ku sematkan emoticon emosi pada akhir kalimat.
[Apa sih bun? Ayah lo kerja depan rumah saja, sudah kayak ayah kerja jauh, minta chat terus.] Balasnya kemudian.
[Pelit sekali balas chat istri, padahal hari-hari sibuk chat sama orang, malas!] Umpatku.
[Apa sayang? Iya, maaf.] Pesan terakhirnya tidak ku balas lagi, aku memilih untuk tidur, cuaca yang dingin membuatku merasa sangat nyaman berada dalam balutan selimut.
Ada perasaan kesal menyelimutiku, dulu aja sebelum nikah, chat trus, telponin terus, giliran sudah nikah, cuek seperti bebek, wanita mana yang tidak akan jengkel?
Masih teringat jelas di benakku, betapa sulitnya dulu aku menemukannya, laki-laki yang pernah hilang, kini sudah sah menjadi suamiku. Terkadang aku masih tidak percaya aku benar-benar sudah menjadi miliknya, dan dia adalah milikku.
Padahal sudah jelas, tapi ketakutanku kehilangannya sangat besar, aku takut ada perempuan lain di hatinya, atau ada perempuan yang sedang berusaha memperjuangkan cintanya lagi, sang mantan.
Itu yang membuatku menjadi wanita egois, pengekang, pencemburu dan posesif. Bersyukur dia adalah pria yang sabar, seberapa keraspun aku marah dan cemburu, ia selalu sebisa mungkin dengan sabar menenangkan dan memberi penjelasan tentang apa yang sudah kujadikan bahan keributan.
Bersambung...
Entah sudah berapa kali suamiku bolak balik pulang ke rumah, makan siang, atau sekedar rebahan sebentar saja, aku masih diam saja di dalam kamar tak beranjak, menatap layar televisi, sesekali aku memainkan ponselku, hari ini rasa malas sedang mendominasi tubuh juga perasaanku.Sekitar pukul 3.30 pm suamiku pulang dari bekerja, ia mengganti pakaiannya, meletakkan ponselnya di meja riasku, sudah menjadi kebiasaannya seperti itu."Sayang sudah mandi?" Tanyanya padaku sembari memakai baju kaos oblong warna hitamnya."Belum, sebentar lagi yah, masih seru nih." Jawabku yang masih fokus dengan ponsel, membalas pesan-pesan dari teman-temanku juga keluargaku di kampung halamanku, Bali."Seru apa ayo, chat sama siapa itu? Hmm? Mandi dulu gih, nanti ayah ajak jalan-jalan sore keliling-keliling, liat-liat atau bunda mau belanja-belanja." Ajaknya."Oke, sekarang yah." Jawabku antusias, aku be
Pagi ini aku ada acara perkenalan diri untuk pertama kalinya sebagai istri polisi, di perkumpulan istri-istri polisi yang di sebut Bhayangkari, khusus bagi Bhayangkari di Polsek tempat suami bertugas."Bun, apa ayah anter?" tanya suamiku, berhubung pertemuan dilaksanakan di taman satu-satunya yang ada di wilayah ini, suami menawarkan diri untuk mengantarku."Tidak sayang, kayaknya berangkat sama-sama ini." jawabku, sesuai info di group Bhayangkari yang aku ikuti."Baiklah, pakai topi ya bun, cuaca nanti akan panas." tegurnya."Oke sayang," jawabku seraya memberi kode dengan menyatukan jari telunjuk dan jempolku menyerupai hurup O.Sementara suami bekerja, akupun berangkat ke taman bersama rombongan yang jumlahnya tidaklah banyak. Kurang lebih sekitar 10 orang, setelah aku tahu, tidak semua anggota hadir di karenakan jarak yang jauh juga kesibukan beberapa orang anggotanya."Halo Bu Andra," sapa seseorang padaku, ketika kami sem
Bab 5Terik matahari sudah tinggi, aku dan yang lainnya pulang kembali ke rumah masing-masing setelah mobil yang mengantar kami menurunkan semua ibu-ibu di halaman Polsek."Ibu-ibu saya pamit duluan." Ucapku seraya meninggalkan yang lain dan berjalan mendekati rumahku yang tinggal beberapa langkah lagi dari tempat kami bubar.Aku masuk ke dalam rumah yang hanya di tutup tanpa di kunci, itu artinya suamiku masih di kantor. Aku celingukan menoleh ke arah kantor suami, mataku berselancar mencari tahu keberadaan suamiku yang tidak ku temukan, mungkin dia ada di dalam ruangan.Aku bergegas masuk ke dalam rumah, ku ganti pakaianku dengan daster, ngomong-ngomong soal daster, suamiku paling tidak suka jika aku menggunakan daster, ia sering ngomel saat melihatku memakai pakaian santai itu, katanya itu mengundang bahaya, entah maksudnya apa. Aku masuk kamar, kemudian mengambil hp merk anuku dan membuka aplikasi hijau. Ku cari nomor atas nama 'sayang' yang tak lain
Sore, seperti biasa suamiku menyempatkan diri untuk pulang, hari ini dia piket 24 jam sampai besok pagi. "Ayah piket?" tanyaku menyambut kesayanganku pulang "Iya sayang, bunda mandi dulu, ayah mau cuci piring dulu, sebentar ayah ajak keluar sebentar buat beli makan malam," ucapnya, ia bergegas mengganti pakaian kerjanya beralih menggunakan kaos oblong dan celana pendek selutut. "Oke," jawabku, namun aku tak kunjung beranjak. Aku masih mengintipnya sampai benar-benar pergi ke belakang untuk mencuci piring. Ponselnya sudah di letakkan di meja riasku seraya ia sambungkan dengan chargenya untuk mengisi daya. Mau intip hp ayah dulu ah, liatin statusnya di privacy khusus diliat aku aja apa semua orang bisa liat nih, awas aja dia aneh-aneh. Setelah merasa aman dari pandangan suami, aku segera mengambil ponselnya, ku buka aplikasi W******p dan melihat storynya.
Bab 7Lepas piketnya suami adalah kebahagiaan bagiku. Aku bisa bangun agak siang, walau dia lelah sehabis jaga malam, ia tetap akan bangun lebih pagi di banding aku (kalau kondisi kantor aman, atau tidak ada laporan, biasanya yang piket bisa pulang dan istirahat lebih awal, tengah malam atau pagi buta).Ku kerjap-kerjapkan mataku sedemikian rupa, aku tak tahu suamiku pulang jam berapa. Entah tengah malam atau tadi pagi, ku pandangi jam dinding, sudah menunjuk angka 7. Aku bergegas bangun dan ku tinggalkan tempat tidur yang masih berantakan.Setelah buang air kecil dan mencuci muka, aku berjalan perlahan ke arah dapur. Suamiku sudah berada disana, sedang mengiris bawang merah, dan menyiapkan bumbu-bumbu lainnya, dia memang sangat jago memasak, aku kalah dibandingkannya."Pagi tuan putri, sudah bangun sayang?" sapanya, dilemparkannya senyum manis terbaiknya untukku, itu sungguh menjadi mood booster buatku setiap hari."Ayah masak apa?" tanyaku.
"Bun, ayah main sebentar ya? Ke belakang masjid." Suamiku memang sering banget ke tempat temannya yang berada di belakang masjid, biasanya tidak lama, hanya sekedar ngobrol sebentar, lalu akan pulang Lagi."Oke sayang." Jawabku.Aku teringat saat awal menikah, dan baru sampai di tanah Papua, ia pamit pergi ke belakang masjid, "Bun, sebentar ya? Nanti ayah pulang," pamitnya kala itu."Oke sayang, jangan lama ya, bunda takut sendiri," jawabku.Iapun pergi dengan mengendarai sepeda motor maticnya, sementara aku kembali masuk ke dalam kamar, menonton televisi dan bermain ponsel. 1 jam, 2 jam, dia tak kembali pulang, 3 jam, 4 jam, belum juga ada tanda-tanda suamiku akan pulang.[Ayah, kok lama sekali? Jam berapa pulang? Cepat pulang, ini sudah malam.] ku kirim pesan padanya, namun, pesan itu tak di jawabnya, di bacapun tidak.Ku coba lakukan panggila
Ueekkkkk ... Ueeekkkkk ... Pagi-pagi aku sudah nek, mual muntah ga jelas, padahal makan teratur, apa bisa yah maag kambuh, padahal makan sudah teratur gini?"Bunda kenapa sih?" tanya suamiku yang masih berbalutkan selimut."Masuk angin apa yah?" jawabku yang masih menahan mual-mual, wajahku sudah pucat pasi, dadaku terasa sesak karena lelah muntah-muntah."Jam berapa ini? Ayah siap-siap dulu, hari ini ayah ngantor sebentar, nanti ayah ijin antar bunda ke klinik, kita periksa ya," ajak suamiku."Baiklah sayang, ini sudah jam 7," jawabku, aku duduk di pinggir ranjang sambil berusaha menormalkan nafasku yang agak ngos-ngosan."Oke, ayah mandi dulu, bunda tidak usah masak ya, nanti kita beli aja sarapan."Suamiku berlalu, menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya, kebetulan aku sudah cantik, ehh, enggak, maksdnya sudah bersih dan wangi
Tidurku nyenyak, sejak tahu hamil aku paling doyan tidur sambil megangin tangan suami, langsung lelep dan mimpi indah. Bahkan mual muntah pun tidak kurasakan lagi, yang paling berubah adalah selera makanku yang makin bertambah, juga makanan kesukaanku."Tuan putri sudah bangun?" tanya suamiku yang sudah selesai memasak, aku malah asik malas-malasan di tempat tidur sambil sesekali menggeliat."Ayah, maaf ya, bunda telat bangun, bunda ga masak lagi, malah ayah yang sibuk masak." Ada rasa bersalah di hatiku, kenapa aku jadi makin manja gini ya. Padahal sebelum nikah aku cewek pekerja keras."Tidak apa-apa sayang, sarapan dulu sana," ucap suamiku."Iya, bunda mau bersih-bersih rumah dulu yah, ga bisa lihat rumah berantakan." Aku beranjak dan mulai mengambil sapu."Jangan capek-capek ya, pi mandi dulu," ucap suamiku yang langsung meninggalkanku ngeloyor masuk ke dalam ka
Desember 2021Desember ke 3 di tanah Papua. Harapan tinggal harapan. Entah sampai kapan lagi kami harus menunggu untuk hasil pindah sang suami. Aku merasa kosong, sepertinya harapan itu sia-sia. Biarlah, kita sudah berusaha, untuk hasilnya aku kembalikan kepada Tuhan."Bunda ... Bunda ...." teriak suamiku dari depan, kebetulan hari ini piket."Ada apa sih, Yah? Kok teriak-teriak jangan ribut, Ara lagi tidur, nanti dia terganggu." Aku menghampiri suamiku."Bunda, baca ini, Bun, baca, Bun!!" Ia menyodorkan ponsel yang telah terbuka 1 buah pesan Whatsapp di sana.Aku mengambil alih ponselnya, kemudian membaca baik-baik. Apa isinya, entahlah tanganku tiba-tiba gemetar, dadaku bergemuruh, aku terdiam sejenak. Aku terpaku. Aku tak tahu harus berbicara apa lagi kali ini. Air mata sudah mulai menetes membasahi kedua pipiku."Ayah, ini bener kan? Ini tidak b
2 Tahun kemudianHappy Birth Day Ara, 2 Tahun.Tak terasa, kini usia putriku sudah menginjak angka 2 tahun. Ah, tak pernah terbayang sama sekali kalau perayaan ulang tahunnya masih berada di tanah Papua.Sama seperti 1 tahunnya, tak ada yang spesial. Hanya perayaan kecil yang kami rayakan bertiga saja. Kue tar bertemakan doraemon yang ia sukai. Di tambah buket snack yang di hiasi balon. Itu saja Ara kecilku sudah sangat bahagia."Selamat ulang tahun, Ara," ucapku dan suami menatap gadis kecilku yang begitu bahagia.Ahh, kesederhanaan ini yang memang kami tanamkan sejak kecil padanya. Aku tidak ingin kelak ia menjadi gadis yang penuh dengan keegoisan juga menang sendiri."Bunda, Ala suka balon. Kue Ala ada dolaemon, ada obita, ada suka, ada suneo, ada jayen." Ia sebutkan satu persatu tokoh doraemon yang terpasang di kue kecilnya itu.
Tepat pukul 08.00 malam, terdengar suara mobil di depan mes. Aku tak bergegas membuka pintu. Aku memilih mengintip terlebih dahulu dari celah jendela depan. Masih teringat jelas pesan dari tetangga juga pesan dari suamiku. Jangan buru-buru membuka pintu saat orang datang. Lihat dulu dari jendela, takutnya orang mabuk.Yah, begitulah, suami tugas di sini sangat rawan. Orang mabuknya di sini sangat beda jauh dengan d Bali. Kalau di sini mabuk bisa bertindak kekerasan, bahkan sampai memb***h. Kalau di Bali, mabuknya macam orang-orang Korea, mengeluarkan isi hati, muntah lalu tidur.Oke, aku intip dari jendela, ternyata memang suami yang datang. Ia turun dari sebelah kursi kemudi. Ku bukakan pintu rumah seraya menggendong si kecil."Lihat sayang, siapa yang pulang? Ayah!" ucapku pada si kecil.Suami menenteng beberapa tas plastik, besar dan kecil. Ahh, memang suami idaman. Masih berpaka
Hari ini aku duduk santai di depan mes, tepatnya di pospol yang kebetulan memang menjadi 1 dengan mes. Menemani si kecilku yang sudah pandai merangkak dan bermain. Andai saja ada jaringan, aku sudah pasti menghubungi keluarga di Bali. Aku sungguh rindu dengan mereka. Terutama dengan orang tuaku juga mertuaku.Andai saja ada keajaiban suami mutasi semudah membalikkan telapak tangan, sudah pasti suami tak menunggu lama lagi.Aku sering kali berselancar dengan pikiranku sendiri, mengkhayal kalau nanti sudah pindah ke Bali, aku akan jalan-jalan. Yang paling kuharapkan adalah melihat orang tua juga mertuaku menemani cucunya bermain.Betapa bahagianya jika waktu itu tiba. Aku rindu dengan makanan di Bali. Begitu jauh berbeda di bandingkan di sini. Jika di Bali berbagai macam dagang makanan tersedia, jika di sini, bahkan mencari sayur mayurpun susah.Bali, oh Bali. Kapan aku bisa kemBali. Ku seruput kopi panas yang menemani siangku sekalian nemenin
Beberapa hari aku berada di sini, aku mulai akrab dengan beberapa tetangga. Aku bersyukur tinggal di sini. Para tetangga sangat ramah dan bersahabat. Kami sering bertukar makanan.Walau jaringan telepon begitu sulit bagiku itu bukanlah hal yang terlalu penting. Ada suami di sampingku adalah yang paling membuatku bahagia dan nyaman."Bunda, kita pergi ke market yuk?" Seorang ibu yang biasa ku panggil mama fitrah, memanggilku dari depan pintu.Aku panggil mama Fitrah, karena anaknya bernama fitrah. Ini pengalaman baru bagiku. Di Bali rasanya tidak ada yang seperti ini. Ah, jadi ingat Bali lagi. Entah kapan suami akan pindah tugas ke Bali agar kami bisa berkumpul dengan keluarga."Boleh Mama Fitrah, tunggu, saya ambil uang dulu." Aku bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Mengambil 1 lembar uang berwarna merah kemudian menggendong putriku, Ara."Mama Fitrah, mau beli apa?" tanyaku sembari barjalan menuju arah market."Lihat-lihat
Matahari mulai menelisik dari jendela kamarku. Aku terbangun setelah semalaman suntuk tidak bisa memejamkan mataku. Mungkin hanya beberala jam aku terlelap, itupun tidak nyenyak.Ku raih ponselku yang tak jauh dari posisiku. Sama sekali tidak ada pesan ataupun telepon dari suamiku. Aku menghela napas sesaat. Bisa-bisanya suamiku seperti ini.Hari ini aku memilih untuk memesan makanan jadi, posisi Ara suka tidur tak tenang yang tiba-tiba terbangun membuatku enggan meninggalkannya yang masih tertidur.Menghilangkan penat setelah aku sarapan, mandi dan mendanani Ara, aku memilih untuk menghibur diri. Ngobrol dengan beberapa tetangga sebelah rumah."Om Andra sudah nugas lagi ya bu?" tanya Bu Lucas."Sudah bu," jawabku singkat."Kok ibu ga ikut sih ke sana? Kalau saya jadi ibu, sudah minta ikut ke sana. Ga takut nanti suaminya kepincut ladis?" ujarnya."Saya percaya suami saya, bu." jawabku setenang mungkin. Walau pada
4 Bulan kemudianTing, sebuah pesan whatsapp masuk ke ponsel suamiku yang memang sedang aku pegang. Ada pesan group dari kantornya. Aku bergegas membuka pesan itu. Sebuah surat perintah yang isinya adalah perihal penugasan. Jelas ku baca nama suami tertera disana. Ia di pindahkan lagi ke tempat sebelumnya."Ayah, gimana ini? Maksudnya apa? Kok ayah bisa dipindahkan lagi?" pekikku, aku mendelik menatap suamiku, aku percaya pasti dia sengaja minta pindah lagi."Eh, apa, Bun? Maksud Bunda apa? Siapa yang pindah?""Ini, baca, apa maksudnya?" Aku menyodorkan ponselnya. Memintanya membaca pesan group yang baru saja aku baca."Kok bisa ayah dipindahkan lagi? Padahal udah enak di sini, ya kan, Bun?" tanyanya beralasan.Ya! Aku yakin itu hanya alibi, pasti suamiku yang minta pindah sendiri. Ia memang maunya tugas di sana. Ga paham apa yang membuatnya betah di sana. Bikin jengkel.Itu yang bikin aku ga yakin dia
Suami mulai bertugas lagi di Polsek. Aku bersyukur, karena kita dekat. Dan aku nyaman ada yang membantuku mengurus Ara. Tap sepertinya perasaan yang berbeda dirasakan oleh suamiku. Ia seakan-akan tidak suka di pindahkan lagi ke Polsek. Aku sebagai istri jelas bisa membaca sedikit raut ekspresi di wajahnya.Pagi inix sebelum bayiku terbangun, aku bergegas masuk ke dapur. Membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan untuk aku masak.Aku dan suami sama-sama terdiam. Aku masih dengan emosiku sendiri, begitupun dengan suamiku.Tak butuh waku lama, setelah hidangan tersaji aku bergegas menuju kamar mandi. Aku membersihksn diriku, kemudian gegas berganti pakaian. Takut si kecil keburu bangun.Rambut masih acak-acakkan, tak sempat sisir rambut. Aku memberikan asi pada si kecil yang sudah mulai menggeliat dan menangis."Ayah ke kantor dulu," celetuk suami sesaat membuka pi
Suamiku langsung ngelayap ke rumah tetangga setelah kami sampai di rumah, padahal belum juga masuk rumah, bahkan pintu rumah juga belom di buka. Ihh, ngeselin banget ga sih? Ke mana sih? Coba bukain pintu dulu deh, ga paham banget kalau istri capek."Ayah ke mana sih? Baru sampai bukannya buka pintu malah ke tetangga," gerutuku."Ya Tuhan, ayah ambil kunci, Sayang. Ini kunci kan di titip ke pak Robi, kemarin," jawabnya seraya membuka kunci gembok yang gedenya segenggaman tangannya."Hehehheh kirain ke mana," ucapku terkekeh malu.Ya Tuhan, aku masih ga percaya, di tanganku ada boneka hidup yang lahir dari rahimku. Ya ampun, yang lebih bikin aku ga percaya lagi. Aku yang melahirkan dia, tapi wajahnya 90 persen mirip ayahnya. Astaga, gadis kecilku yang lucu.Suami membuka pintu, baru saja hendak masuk, para tetangga sudah berhambur menghampiriku dan bayiku."Aduh, Bu Andra, sini saya gendong dulu si kecil, ayo ajak ke rumah dulu, biar Pak Andra bersih-bersih rumah dulu," ucap tetangga ya