"Tunggu, apa harus seperti ini?" tegur Marren walau dengan nada setengah mungkin agar tidak dicurigai oleh Sang Pengawal. Dengan berdebar-debar Marren mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran tersebut yang memperlihatkan suasana restoran yang tidak terlalu ramai, hanya ada dua kelompok keluarga dengan anak-anak kecil serta beberapa remaja di dalamnya. "Maaf Nyonya, saya hanya memastikan tempat ini aman untuk Nyonya, karena jika kami ikut mendampingi Nyonya makan di sini pasti membuat Nyonya tidak nyaman. Walau pun aman, tapi kami akan tetap berjaga di luar, Nyonya. Jadi Nyonya tidak perlu khawatir," papar Sang Kepala Pengawal. 'Justru Saya khawatir kalian melihat saya bertemu Arland!" pekik Marren dalam hatinya yang berdegup sangat kencang. "Baiklah, tapi kalau kalian ingin makan siang sekalian juga tidak apa-apa. Karena saya rasa kami akan agak lama di sini," ucap Marren mengingatkan, agar tidak memperlihatkan bahwa ia tidak sedang berusaha mengusir' mereka jauh jauh. "Saya
Marren meremas jari-jemarinya untuk menahan diri, Wira yang melihat bahasa tubuh Marren yang sedang cemas, segera meraih tangan sahabatnya dan menggenggamnya untuk menguatkan dirinya. Kini mereka saling bergenggap tangan. "Memangnya apa yang Bapak tahu sampai Bapak merasa seperti itu?" tanya Arland sedikit mendesak. "Menurut orang saya, Bapak sendiri yang menemui saya karena mendengar saya sedang mencari orang yang bisa membantu saya menguak kecelakaan pesawat terbang waktu itu," imbuh Arland dengan tatapan mata menyelidik. "Iya benar, Tuan. Saya memang ingin bertemu karena sebenarnya saya sudah sangat takut, saya benar-benar tidak menyangka kalau apa yang saya lakukan saat itu bisa berakibat fatal" sahut orang itu seraya mengusap peluhnya yang mulai bermunculan di dalam ruangan berpendingin itu. "Maksudnya?" desak Arland dengan singkat. Pria itu terlihat tampak gelisah dan ketakutan, namun ia juga berusaha menguasai dirinya dan bertekad cukup kuat terlihat dari sorot matanya ya
"Baiklah. Mulai sekarang Bapak akan bekerja dengan orang-orang saya dan Bapak harus membantu semua penelusuran saya. Saya yang akan menjamin hidup Bapak. Tapi ingat satu hal, rahasiakan pertemuan ini. Dan untuk masalah anak dan istri Bapak, akan menjadi tanggung jawab saya," ucap Arland mengambil keputusan."Apa itu benar, Tuan? Kalau begitu apa yang bisa saya bantu? Saya akan membantu Tuan sekuat tenaga saya. Bagi saya cukup anak dan istri saya tahu bahwa saya tidak bersalah itu sudah cukup. Karena sejak saya di vonis anak dan istri saya terusir dari rumah kami. Apalagi sejak diberitakan pesawat itu telah disabotase dan saya dianggap sebagai kaki tangan pembunuhan berencana. Mereka sangat terpukul, dan harus terusir dari Jakarta," papar Rojer lagi-lagi tanpa bisa menahan air mata dendamnya. Arland saling berpandangan dengan Marren dan Wira. Mereka sengaja membiarkan pria itu meluapkan emosinya yang tertahan dan mendengar semua keluh kesah Rojer yang meluncur begitu saja bak bendunga
"Halo kak? Ini Marren, Saya memakai ponsel Wira," ucap Marren membuka pembicaraan setelah Arland menjawab lebih dulu. "Ada apa Marren? Apa ada masalah?" tanya Arland terdengar terkejut. "Tidak, bukan itu. Ada sedikit yang mengganjal perasaan Saya. Tadi Saya lupa menanyakan siapa pria itu, yang ada dalam foto Kakak? Dan kenapa Kakak punya fotonya?" papar Marren yang membuat Arland terdengar menghembuskan napasnya dengan berat. "Kamu yakin mau tahu siapa dia?" jawab Arland balik bertanya terdengar seperti berteka-teki. "Kalau Kak Arland seperti ini Saya jadi semakin yakın ingin tahu," sela Marren cepat dan membuat Arland terkekeh. "Baiklah, saya tidak akan bohong padamu, dan lagi pula kamu memang harus tahu siapa orang itu," sahut Marren seraya menyisakan tawanya."Pria itu adalah Willson, Marvin Wilson. Dia adalah penasihat Arsan...." imbuh Arland dengan ucapan menggantung."Apa?" sela Marren dengan terkejut. "Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa datang ke kantomya. Biasanya dia
Karena perbuatan Marren sebagai akibatnya, pertemuan Arsan pun mundur hingga tiga jam ke belakang dari jadwal.Waktu menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit sore hari. Dan kini Marren benar-benar telah duduk bersebelahan dengan Arsan berhadapan dengan Marvin Wilson yang sesaat lalu di perkenalkan oleh Arsan padanya. Seperti yang ia rencanakan. "Sayang, entah kenapa Saya seperti tidak asing melihat wajah beliau ini?" bisik Marren pada Arsan yang menikmati kopinya, sementara Wilson sedang berbicara dengan pramusaji untuk memesan makanan dan minuman. "Tentu saja, waktu itu Tuan Wilson datang ke pesta pernikahan kita, kamu pasti lupa ya?" sahut Arsan merangkul pinggang Marren yang menatapnya dengan terkejut , la benar-benar terkejut."Benarkah? Saya tidak ingat? Ya... hanya samar-samar saja. Mungkin karena terlalu banyak orang asing dalam sehari dan, entah bagaimana mengatakannya...." ucapan Marren menggantung karena ia tidak begitu yakin akan sesuatu."Bisa jadi karena saat itu
"Ah, dia sudah datang," ucap Arsan seraya bangkit dari duduknya dan menyambut Marren lalu menggandengnya mendekat dan berdiri di sampingnya. Terdengar ucapan pujian dari tamu asing Arsan dengan aksen Spanyol yang sangat kental. Pria berambut coklat gelap dan lebih muda menerjemahkannya dengan wajah yang tidak kalah berbinar-binar. "Istri Anda adalah wanita yang sangat sempurna Tuan Muda Ryzadrd," sahut pria yang akhirnya menjabat tangan Marren dan memperkenalkan namanya sebagai Antonio Fargas dan Juan Morales. Maren menampilkan senyumnya yang sangat cerah pada kedua pria asing tersebut, menandakan ia menyukai pertemuan itu sekaligus lega dengan apa yang terjadi. Tidak lupa ia mengucapkan Terima kasih untuk kedua pria tersebut. "Tetaplah di sini bersama Saya, sebentar lagi kita akan selesai," ucap Arsan menggandeng tangan Marren dan memaksanya duduk dengan halus. Kini Marren duduk kembali di sebelah Arsan dengan posisi yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan kami, Nyonya, jika k
"Wira? Kamu di sini juga?" pekik Marren selangkah mendahului Arsan agar mimik wajahnya yang menatap keduanya dengan ngeri sekaligus terkejut tidak terlihat oleh Arsan yang beberapa langkah di belakangnya. Dermikian halnya Wira membelalakkan matanya dengan terkejut menatap kedatangan Marren dan Arsan. "Marren?" pekik Wira dengan wajah terkejut bukan kepalang. Gadis itu benar-benar terkejut. Dan kedua sama-sama terkejut bukan kepalang."Wah sungguh kebetulan yang luar biasa. Bagaimana bisa pas sekali, di antara sekian banyaknya tempat perbelanjaan di seluruh Jakarta. tetapi kita bisa bertemu di tempat yang sama? Wow! Benar-benar mengejutkan," sahut Arsan dengan senyum manis menyelipkan nada sindiran kepada Arland yang tersenyum dengan senangnya. "Ya mungkin karena kita memang punya ikatan batin yang sangat kuat, Arsan. Karena kau adalah adikku satu-satunya," balas Arland dengan senyum mengembang seperti tidak mau kalah mengimbangi sindiran Arsan. Marren segera menarik tangan Wira a
Dengan kesal, Arland memukul wajah tampan Arsan, "Sialan kau, Arsan! Jaga sikapmu!" hardik Arland membalas pukulan Arsan.Karena tidak terima, spontan Arsan membalas pukulan Arland dan mendarat dengan telak. "Oh, tidak! Apa yang kalian lakukan! Kenapa malah begini? Arsan? Kak?" ujar Marren dengan panik mencoba melerai.Marren dan Wira berusaha memisahkan keduanya dengan sekuat tenaga karena perkelahian mereka menjadi tontonan orang-orang yang ada di gedung bioskop dan pengunjung sekitarnya. Marren segera memeluk tubuh Arsan dan mendorongnya menjauh. Sementara Wira menarik lengan Arland menjauh.Akhirnya adu jotos itu pun benar-benar harus terhenti karena di datangi oleh petugas keamanan setempat yang menginginkan mereka berdamai dan mempersilakan mereka keluar dari dalam gedung, karena telah mengganggu kenyamanan para pengunjung. Dengan anggukan kepala Marren menyuruh Wira menyeret Arland pergi. Walau masih memandang dendam pada Arsan, Arland mengalah dan patuh saat Wira menarik p
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau