Share

Bab 5

Author: Peri Manta
last update Last Updated: 2021-09-21 10:18:58

Ajari aku rasa, pun geliat dalam dada

Bisik berdersik biarpun angin tak menggelitik

Kuncup merekah di tiap langkah

Ajari aku mengolah gelisah buang gelebah

Rindu teramu walau dunia jemu

Mekar di tangan kekar tanpa kelakar

Pria. Apa hari ini adalah hari pria? Ataukah hari ini adalah hari pengagungan wanita? Aku menanyakan ini karena ada hal tak biasa sedang terjadi.

Aku duduk manis di kursi kayu sesuai perintah Surya. Namun, dia tidak mengikat tanganku ke belakang dengan sobekan kain rokku—seperti biasanya, kalau mendapati aku tak ada di rumah ketika dia pulang. Dia juga tidak melepas sabuk hitam dari kolong sabuk celananya. Tak ada gamparan, tak ada cacian. Luka yang hampir mengering berkat salep Dokter Pandri juga tidak mengucurkan darah lagi.

Surya mondar-mandir. Mulai dari membereskan kamar, mencuci piring, menyiapkan makan malam, juga menyapu rumah, dilakukan dengan tangannya sendiri. Setiap aku hendak bangkit dari duduk, dia acungkan telunjuk, memintaku duduk dan melihat saja. Bahkan aku tak boleh bergerak walau sekadar ingin mengganti baju. Bagaimana aku tak dibuat heran?

Saat bulan penuh muncul dan membiaskan cahaya yang kemudian menyusup lewat rerantingan pohon mangga, Surya yang mendadak sejinak merpati itu menyilakanku duduk di meja makan. Makanan ala kadarnya tampak istimewa karena yang memasaknya adalah pria itu. Dia yang sudah mandi dan menguarkan bau wangi, terlihat lebih tampan dari biasanya.

“Ayo kita makan, Fatma!”

Aku tercenung, dalam hati buntut-buntut curiga mengekor panjang. Nyatakah? Apa benar dia suamiku? Sampai berapa lama dia menjadi pria menyenangkan seperti ini? Apa dia menyimpan rencana jahat di balik semuanya? Apa aku hanya dijebak untuk sebuah permainan tersembunyi?

“Fatma, kamu tak mau makan masakan suamimu?” Surya mengencangkan suaranya.

Aku terperanjat. Sadar—diamku bisa saja memicu kemarahannya, aku mengangguk pelan dan menarik piring yang disajikan Surya agar lebih dekat dengan dadaku. Aku tak mau dia tahu betapa gemetarnya tangan ini. Mengunyah satu suapan terasa lama dan tak nikmat. Entahlah, otak kananku wawas kalau-kalau ada racun yang sudah menyatu dalam makanan. Mungkin ini berlebihan, tetapi Surya memang pantas dicurigai.

“Hari ini aku menjadi kuli panggul di pasar. Lumayan hasilnya karena pasar sedang ramai.” Surya bercerita dengan tenang sambil melahap nasinya, sama sekali bukan seperti biasanya. Perasaanku jadi semakin gelisah.

“I–iya.” Aku menjawab sekenanya walau gugup sekali.

“Fatma, kamu pergi ke mana tadi?” tanyanya santai.

“A–aku, oh ... aku ....”

“Hemm, kamu sepertinya pergi berobat. Pelipismu diplester. Benar, ‘kan?”

Aku mengangguk pelan. Kali ini nafsu makanku hilang seketika. Aku sangat cemas. Bagaimana kalau Surya tahu ke mana pergiku tadi?

Surya berhenti mengunyah, lalu cepat-cepat meneguk air putih. Raut mukanya tiba-tiba memerah. Dia menautkan alis, terdiam sejenak. Setelahnya, dia kembali bicara. “Kamu tidak lapor ke polisi atau bilang ke orang-orang, ‘kan, Fatma?”

Aku menjawab cepat, “Tidak.”

“Bagus! Habiskan makananmu!”

Aku menarik napas lega. Sepertinya tidak akan ada penyiksaan malam ini. Kami makan dengan tenang tanpa suara lagi. Selesai makan pun, Surya tidak membiarkan aku membereskan piring-piring kotor. Dengan sigap dia mengambil alih tugasku. Aku disuruhnya mandi dan bersiap di kamar.

Meski perubahan Surya cukup mencengangkan, tetapi aku tak mau ambil risiko dengan menaruh banyak kecurigaan. Aku patuh dan melaksanakan semua kata-katanya. Hanya saja, sebelum melayani pria itu, aku tetap harus bersiap.

Kelar mengganti baju, aku berjongkok di di depan lemari. Tanganku masuk ke kolong lemari dan berusaha menggapai-gapai sesuatu. Satu-dua menit terasa mendebarkan. Tidak, tidak mungkin! Apa yang kucari tidak ada di tempatnya!

“Cari apa, Fatma?”

Jantungku hampir saja berhenti berdetak. Sekonyong-konyong aku berdiri dan berbalik badan begitu mendengar suara Surya. Darahku berdesir cepat.

“Ti–tidak ada. Tidak,” ucapku terbata-bata.

“Kemarilah, Fatma!” Surya menarik tanganku lembut.

Dia mencium dengan hati-hati, seakan-akan tidak mau membuat luka di tubuhku tersentuh bibirnya. Tangannya bergerilya dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia menikmati permainannya, sedangkan aku masih gelisah memikirkan di mana benda itu berada. Mana bisa aku bercinta malam ini?

Surya semakin beringas. Sulit bagiku untuk lepas, bahkan meski sekadar berencana. Dadaku semakin bergemuruh, dan lebih hebat rasa cemasnya tatkala Surya mengucapkan satu kalimat sambil mengecup tengkukku. “Aku ingin punya anak darimu, Sayang.”

❤❤❤

Apa ini hari pria? Kenapa hari ini kaum Adam itu memperlakukanku dengan baik, sebaik bapakku dahulu? Kenapa, kenapa tidak setiap hari saja begini?

Semakin malam aku semakin gelisah, takut andai benih Surya telah sampai di dalam rahim. Aku juga takut kalau manisnya Surya hanya untuk malam ini saja. Pil kontrasepsi tidak ada di tempatnya, siapa lagi yang mengambil kalau bukan dia? Setelah aku hamil, bisa saja pria itu membalas dendam lebih kejam kepadaku. Kalau sudah begitu, aku harus bagaimana?

Tanpa sadar jemari meremas perut. Aku menangis dalam sunyi sembari melirik pria yang sudah mendengkur itu. Sungguh, aku tak akan sampai berkhayal mendapatkan pria yang lebih baik darinya, jika saja dia benar-benar berubah.

Akan indah dijalani, andai saja Surya adalah pria sebaik Dokter Pandri. Pria yang bukan lagi tampan, tetapi baik kepribadiannya. Tak perlu sekaya dia, asalkan pandai menghargai wanita. Pria yang tahu cara dan waktu memuliakan pasangannya, itu jauh lebih penting daripada harta yang melimpah, bukan?

Ah, berpikir tentang suami Mbak Ajeng itu membuatku tersenyum sendiri. Aku jadi ingat kejadian menjelang magrib—saat dia mengantarku pulang. Tadi, di dalam mobil dia berusaha melucu agar aku tertawa.

“Tahu tidak? Apa bedanya kamu dan Ajeng?” katanya sambil tersenyum.

Mataku membulat, ada sensasi perih di luka saat pelipis berkerut. “Tentu saja sangat berbeda, Dok. Saya hanya kotoran di ujung kuku Mbak Ajeng.” Aku bicara seperti itu sambil menunduk.

“Salah, Fatma. Oh, ya! Jangan terlalu kaku bicaranya. Santai saja!” Dokter Pandri tertawa lebar.

Senyumku muncul satu simpul. “Jadi apa jawabannya?” tanyaku balik.

“Berada di dekatku, Ajeng tidak akan sediam kamu. Dia akan mengoceh dari kutub utara sampai kutub selatan sambil mencubit-cubit tanganku.”

Spontan, aku tergelak. “Hah, tentu saja, Dok. Mbak Ajeng, kan, istri Dokter. Dan aku ... bukan istri Dokter.”

“Apa dengan suamimu, kamu akan selalu tertawa?”

Aku melongo. Lalu, kembali menunduk. Apa pertanyaan Dokter Pandri belum cukup terjawab oleh luka yang telah diobatinya?

“Fatma, istriku sangat mengkhawatirkanmu. Kamu tahu itu?”

Ya, aku tahu itu. Meski aku dibuat bertanya-tanya—kenapa Mbak Ajeng sangat mencemaskanku, aku paham betapa wanita sempurna itu tidak mau aku disakiti Surya lagi. Aku pun sadar, menunjukkan luka kedua kalinya di depan Mbak Ajeng, sama artinya dengan mengecewakannya. Namun, kenapa Dokter Pandri jadi ikut membahas hal ini?

“Ehm, Dokter ... tahukah, apa bedanya Dokter dengan Mbak Ajeng?” Aku mengalihkan pembicaraan.

Dokter Pandri mengulum bibirnya. Sambil tetap menyetir, dia teleng kanan dan menatapku. Dia menjawab, “Aku pria, dan Ajeng wanita. Jelas sekali itu!”

“Salah!” selorohku.

“Lalu, apa?”

“Mbak Ajeng mengkhawatirkanku dengan air mata, tapi Dokter dengan gurauan. Itu ... lucu sekali.”

Dokter Pandri mungkin terjebak dengan jawabanku. Ah, rasanya menyenangkan melihatnya terbengong-bengong sambil menggaruk-garuk kepala. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya dia tertawa juga.

“Baguslah, Fatma! Aku bisa lapor pada Ajeng, bahwa perempuan yang dicemaskannya bisa tertawa berkat aku!”

Ya, baguslah! Setidaknya, Mbak Ajeng tidak akan khawatir lagi terhadapku.

Related chapters

  • Poor Fatma   Bab 6

    “Seekor harimau menjadi kucing jinak?” Mbak Ajeng mengangkat satu alisnya, lalu kembali berkata, “Itu bukan keajaiban, Fatma, tapi rencana terselubung!”“Awalnya aku juga ragu, Mbak. Namun, hingga detik ini Surya memperlakukanku dengan sangat baik. Dia benar-benar berubah.”Mbak Ajeng terdiam sejenak. Dia melirik sekilas jam berbentuk persegi panjang kecil di tangan kirinya—yang tampak mewah karena berwarna keemasan, lantas berdecak pelan.“Mbak terburu-buru, ya? Aku belum buatkan teh, lagi pula cuaca tidak sedang hujan. Mbak Ajeng juga bawa mobil. Kenapa tidak menunggu sebentar lagi, sampai Surya pulang?”“Ehm, tidak bisa, Fatma. Lain kali saja. Hari ini jadwalku mengantar Lio ke tempat terapi. Beberapa hari ke depan aku juga sibuk ke luar kota. Aku pasti akan banyak mencemaskanmu.” Mbak Ajeng menarik lebar sudut bibirnya. Namun, entah kenapa matanya malah berkaca-kaca.Kupikir, den

    Last Updated : 2021-10-07
  • Poor Fatma   Bab 7

    Kalau aku memiliki anak, maka akan kuperlakukan dia jauh lebih baik dari Bapak memperlakukan aku. Ini bukan berarti dia kurang baik sebagai ayah, hanya saja aku ingin lebih hebat sebagai seorang ibu. Seumpama Bapak memeluk penuh kasih sayang saat aku lahir ke dunia ini, maka cinta kepada anakku sudah berkembang sejak benih Surya berbentuk segumpal darah dalam rahimku. Andai kata orangtua tunggalku itu menjaga bayi Fatma karena terpaksa—sebab istrinya telah tiada, maka aku menjaga janin ini dengan ikhlas hati—sebab untuk dialah aku masih bertahan hidup di dunia ini.Aku mendongak ke tembok atas ruangan bercat putih. Ada layar semacam televisi tetapi didominasi warna gelap, hanya sedikit warna putih membentuk segitiga dan bulatan kecil di tengahnya. Ada tulisan kecil-kecil di sisi kiri bawah yang menumpuk, tetapi mataku tak bisa membacanya dari jarak jauh. Meski bisa terbaca pun, belum tentu aku mengerti maksudnya. Saat seorang perawat menempelkan alat-alat medis di

    Last Updated : 2021-10-08
  • Poor Fatma   Bab 8

    Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia ....“Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l

    Last Updated : 2021-10-09
  • Poor Fatma   Bab 9

    Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud

    Last Updated : 2021-10-10
  • Poor Fatma   Bab 10

    Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

    Last Updated : 2021-10-11
  • Poor Fatma   Bab 11

    Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun

    Last Updated : 2021-10-12
  • Poor Fatma   Bab 12

    Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.

    Last Updated : 2021-10-13
  • Poor Fatma   Bab 13

    Semalaman aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Mbak Ajeng. Terlepas dari semua kebaikan wanita itu, yang yang paling membuat rasa bersalah adalah keadaannya saat ini. Masih teringat olehku binar wajahnya manakala dia menghidu aroma teh saring, lalu menyeruput pelan dengan gaya yang amat anggun; tutur lembut bibirnya yang serasi dengan elegan penampilan; juga tawa-tawa kecilnya saat mengajariku banyak hal.Mbak Ajeng pernah bilang kepadaku bahwa hendaknya minum air lemon setiap pagi agar lemak di perut luruh. Sayangnya, uang di kantung bajuku jauh dari kata cukup untuk membeli buah kuning itu. Dia juga menasihati agar tidak makan sayur bening bayam jika lewat enam jam, dijelaskankannya segala reaksi kimia tentang sayur hijau itu, tetapi otakku terlalu kecil untuk menjangkau kalimatnya.Pernah juga dia membawakan sebotol kapsul dengan tulisan Vitamin E, katanya agar kulitku bisa kencang dan awet muda. Namun, di hari ketiga dan seterusnya, aku lupa untuk menela

    Last Updated : 2021-10-23

Latest chapter

  • Poor Fatma   Bab 16

    “Fatma, aku sengaja membeli ini karena gaya berbusanamu tidak jauh dari ini. Bagaimana?”Mbak Ajeng membongkar satu per satu kardus, kemudian menunjukkan banyak baju baru kepadaku. Kaus-kaus berlengan panjang, rok denim semata kaki, kemeja lengan pendek, juga celana bahan berwarna monokrom. Sekaligus pula, dia gunting label-label merek dan harga, lantas memasukkan asal ke dalam keranjang baju. Dia juga bilang, baju-baju itu harus dicuci terlebih dahulu sebelum bisa kukenakan.“Besok Bi Par akan mengurus cucian ini. Tapi, karena besok Mbok Sami libur, maka kamu harus membantuku memasak, ya!” Dia tersenyum lebar.Aku mengangguk sekilas, sedangkan Mbak Ajeng tidak berhenti mengobrak-abrik kardus. Kali ini dia tertawa kecil sambil menunjukkan sekotak alat rias. Satu kuas disapu-sapukan ke pipinya yang bersinar, seakan-akan memberi contoh bagaimana cara menggunakan alat itu. Kemudian beralih pewarna bibir, bedak, juga pewarna-pewarna lainnya.

  • Poor Fatma   Bab 15

    Pantatku jatuh ke sebuah permukaan yang lembut dan tebal, tetapi empuk sekali. Rasanya seperti tertarik masuk ke dalam pusaran lumpur dan susah untuk bangkit keluar. Ada hawa dingin yang keluar dari sebuah alat persegi panjang yang terpasang di sudut teratas bagian kiri kamar, membuat tubuhku kedinginan begitu pertama kali masuk ke sini. Sementara itu, selimut berwarna putih yang hampir setebal kasur di rumahku, agaknya memang dingin karena terbuat dari bahan khusus, jauh berbeda dari sarung kumal peninggalan Bapak yang setiap malam kupakai sebagai gelung badan.Meski selama ini kamar ini kosong, tetapi Mbak Ajeng tidak luput mengisikan perabot di setiap sisi, sama seperti di kamarnya. Bedanya, ukuran kamar ini tidak terlalu besar. Jika warna-warna di seluruh dinding di rumah ini didominasi warna krem, di kamar ini justru warnanya putih polos. Mungkin, karena memang ini diperuntukkan bagi tamu yang hendak menginap.Begitu sampai di rumah ini, Mbak Ajeng membawa Lio ke

  • Poor Fatma   Bab 14

    Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa punya arti. Sesuatu yang tampaknya sepele, nyatanya bisa menciptakan sepercik asa bagi orang lain. Tak peduli apakah aku melakukannya dengan sengaja atau tidak.Kami duduk berdekatan di depan kamar rawat, sama-sama menatap kerlip bintang yang muncul malu-malu. Memasuki musim kemarau, langit malam lebih cerah ketimbang saat hujan deras. Meski begitu, suasana yang ada sama seperti ketika pertama kali aku dan Mbak Ajeng saling mengenal.“Aku juga pernah menjadi bintang, Fatma. Sejak kecil, predikat seperti itu sudah melekat di diriku. Dari juara kelas, ratu fashion, sampai bintang kampus. Ya, seperti yang kamu lihat, apa yang ada di diriku tampak selalu sempurna.” Mbak Ajeng menjeda sunyi dengan kalimat-kalimat yang terdengar miris, sebab dia ucapkan dengan wajah pucat pasi.“Aku akan senang kalau Mbak bisa selalu menjadi bintang. Mbak Ajeng harus bangkit.”“Aku bukan seorang donat

  • Poor Fatma   Bab 13

    Semalaman aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Mbak Ajeng. Terlepas dari semua kebaikan wanita itu, yang yang paling membuat rasa bersalah adalah keadaannya saat ini. Masih teringat olehku binar wajahnya manakala dia menghidu aroma teh saring, lalu menyeruput pelan dengan gaya yang amat anggun; tutur lembut bibirnya yang serasi dengan elegan penampilan; juga tawa-tawa kecilnya saat mengajariku banyak hal.Mbak Ajeng pernah bilang kepadaku bahwa hendaknya minum air lemon setiap pagi agar lemak di perut luruh. Sayangnya, uang di kantung bajuku jauh dari kata cukup untuk membeli buah kuning itu. Dia juga menasihati agar tidak makan sayur bening bayam jika lewat enam jam, dijelaskankannya segala reaksi kimia tentang sayur hijau itu, tetapi otakku terlalu kecil untuk menjangkau kalimatnya.Pernah juga dia membawakan sebotol kapsul dengan tulisan Vitamin E, katanya agar kulitku bisa kencang dan awet muda. Namun, di hari ketiga dan seterusnya, aku lupa untuk menela

  • Poor Fatma   Bab 12

    Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.

  • Poor Fatma   Bab 11

    Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun

  • Poor Fatma   Bab 10

    Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

  • Poor Fatma   Bab 9

    Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud

  • Poor Fatma   Bab 8

    Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia ....“Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status