Share

Bab 4

Penulis: Peri Manta
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-21 10:18:27

Pernah, pada suatu Minggu pagi yang cerah, Bapak libur mengangkut sampah. Aku yang masih kelas tiga sekolah dasar diajaknya berjalan-jalan tanpa gerobak besi bercat hijau. Itu hal yang menyenangkan sekali, sebab untuk pertama kalinya aku menggandeng tangan Bapak tanpa bau busuk menyertai.

Kami berjalan sampai jalan raya dan menunggu sampai pukul tujuh tepat di halte bus. Kendaraan lalu-lalang di hadapan, sungguh membuatku takjub. Lucunya, aku sempat berangan-angan akan membelikan mobil untuk Bapak—kelak, saat aku dewasa dan menjadi orang kaya.

Sebuah bus berukuran sedang berhenti, beberapa orang berdesakan turun. Sejurus itu, Bapak meraih tubuh kecilku sehingga aku menapak lebih cepat di dalam bus. Detak di dadaku bertalu cepat tetapi menyenangkan iramanya. Saat Bapak sudah mendapatkan tempat duduk, dia memangkuku. Ah, aku bisa melihat dengan jelas kendaraan dan orang-orang berseliweran di trotoar dari kaca jendela bus. Pohon-pohon di tepi jalan—meski berdiri kukuh—tertinggal olehku, beberapa motor menepi begitu bus mengencangkan kecepatan, dan pengemis yang tertidur di tengah jalan terlihat jauh lebih buruk ketimbang aku.

Bapak mengeluarkan duit, lantas seorang bapak bertubuh gemuk menukarnya dengan selembar karcis. Ada susunan nama-nama halte di kertas itu. Seru rasanya membaca setiap nama-nama itu saat bus berhenti dari satu halte ke halte.

“Kamu tahu ke mana kita akan pergi?” tanya Bapak.

Aku menggeleng. Dalam hati berkata—kalau yang aku tahu—ke mana pun aku pergi, asal ada Bapak bersamaku. Namun, kutahan dalam senyuman.

“Nanti, bapak beri tahu, Fatma. Sebentar lagi kita akan sampai, tapi kamu harus berjalan sedikit jauh lagi untuk tiba di tempat itu.”

Aku mengiakan, tetapi nyatanya Bapak sampai menggendongku di punggungnya. Jaraknya memang terlalu jauh. Dipikir-pikir, kenapa Bapak tidak naik bus saja sampai tempat tujuan? Ternyata, katanya, bus hanya melewati rute yang sudah ditentukan, tidak mungkin berhenti tepat di depan area wisata.

“Tempat wisata apa, Pak?” tanyaku penasaran.

“Lihat saja! Haa, akhirnya kita sampai.”

Bapak menitahkanku turun, dan aku melonjak girang setelahnya. Di hadapanku terbentang sebuah danau yang luas. Pemandangan di sekitarnya sangat indah. Pohon-pohon menjulang tinggi, seakan-akan hendak mencium langit biru. Air danau sedingin angin yang bertiup pagi itu. Ada perahu yang disewakan, tetapi sayang hingga detik ini aku tidak pernah menaikinya. Saat itu, Bapak hanya punya uang untuk membelikanku sebungkus nasi untuk mengganjal perut—pada saat kami tak punya bayang-bayang diri, juga untuk ongkos pulang.

“Fatma, dengarkan bapak. Hidup memang keras, Nak. Tapi ingatlah satu hal, bahwa manusia bisa memilih jalan yang baik untuk mengalahkan kehidupan. Tenang dan bersabarlah. Seperti danau yang kamu itu. Lihat!” Bapak menunjuk air kebiruan yang menenangkan hati itu. “Danau itu tenang walau apa pun terjadi di sekitarnya. Dan ketika orang-orang muak dengan dunia, mereka datang kemari untuk mencari ketenangan. Padahal, selama ini dia tak begitu dibutuhkan.”

“Bapak, apa ibuku wanita yang seperti danau?”

“Ya, ibumu setenang danau. Dia juga tidak pernah mengeluh akan kehidupan, walau beratnya hidup memutar-mutar kehidupannya.”

❤❤❤

“Fatma, kamu suka pemandangannya?”

Aku tergemap, menarik diri dari lamunan. Mbak Ajeng membawakanku secangkir minuman berwarna cokelat pekat yang uapnya masih mengebul. Aromanya wangi dan menenangkan. Tak sadar, hidungku menghidu nikmat aroma minuman itu.

Oh, ya. Sekarang aku ada di rumah Mbak Ajeng. Sebuah rumah besar bertingkat dua yang ada di kawasan elit. Untuk masuk ke perumahan saja harus melewati portal dan menunjukkan wajah serta identitas diri kepada satpam—jika kau bukan penghuni sini. Pagar besi tinggi kukuh hampir menutup bentuk rumah ini kalau dilihat dari jarak tiga meter. Halaman luas masih tak berarti dibandingkan halaman belakang rumah yang melebar ke mana-mana. Taman bunga warna-warni secantik Mbak Ajeng menyapa, setelah melewati dua kolam renang di sudut samping.

Inikah istana? Bahkan, untuk sampai ke rumah Mbak Ajeng aku tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki. Mobil Mbak Ajeng tentu akan berhenti sampai depan garasinya.

“Minumlah, Fatma! Ini cokelat panas. Bagus untuk mengembalikan perasaan bahagia.”

Sungkan, kuambil cangkir keramik tebal berwarna putih itu dari tatakannya. Benar saja, tiba-tiba perasaanku mendadak nyaman dengan cepat setelah menyeruput sedikit minuman itu. Meski itu tidak berlangsung lama. Mataku melirik jam dinding besar di dekat meja makan. Entah kenapa, angka dua belas dan empat itu terasa keramat bagiku. Aku membatin, Surya pasti sudah pulang sekarang. Dia akan mengobrak-abrik rumah jika tak menemukan aku di sana.

“Mbak, sepertinya aku harus pulang.” Aku mendadak gelisah. Posisi dudukku jadi tidak nyaman walaupun alasnya adalah sofa empuk di ruang tamu.

“Tidak, Fatma. Haruskah? Kenapa? Tinggallah di sini, jangan kembali ke sana!” Mbak Ajeng mencegah langkahku.

“Suamiku pasti menunggu, Mbak. Dia akan marah kalau aku tidak ada di rumah.”

“Kenapa kamu harus pulang kalau hanya akan mendapat rasa sakit?” pekiknya tertahan.

Aku mematung di ambang pintu. Jujur saja badanku gemetar hebat saat mendengar kata “sakit”, badanku juga menjadi panas dingin tak keruan. Aku tak mau kembali, aku tak mau kembali ....

“Tinggallah di sini! Jangan membuat luka itu menjadi borok karena lemah hatimu.”

Bahuku berguncang. Kelopak mata yang mengatup mengalirkan air hangat. Lagi-lagi gigiku bergemeletuk saat membayangkan wajah Surya. Namun, kala mengingat pesan Bapak, aku tak kenal kata gentar.

“Beri aku satu kesempatan, Mbak Ajeng. Jika nanti Mbak dapati aku begini lagi, bawa aku lari!” Aku memohon. Sedikit perih terasa, air mata menyentuh luka di pipi.

Aku berjalan gontai keluar dari rumah besar itu. Namun, tak disangka Mbak Ajeng menarik tanganku hingga aku berbalik badan. Cepat dia memberi pelukan, sambil ikut terisak sepertiku.

“Nanti Mas Pandri akan mengantarmu pulang. Aku juga berjanji tidak akan memaksamu kabur dari bajingan itu. Setidaknya, jika kamu menganggap aku ada, jangan pergi sebelum bertemu dengan Lio.”

Lio? Apa anak Mbak Ajeng itu tidak akan kaget melihatku? Saat ini, pasti wajahku seperti monster bagi anak kecil. Tak elok jika membuatnya ketakutan—apalagi dia seorang autis. Tak akan mudah bertemu orang asing yang menyeramkan sepertiku.

“Aku bisa pulang sendiri, Mbak. Aku akan pulang sekarang. Maaf,” jelasku.

“Apa bapak kamu mengajarkanmu untuk tidak menyambut niat baik saudara lain—walau aku bukan saudara kandungmu?”

Untuk sesaat aku merenung kembali. Air mataku dan Mbak Ajeng pun menyusut cepat. Mungkin, jam sudah lewat pukul empat. Pulang sekarang atau nanti sama saja, keterlambatan adalah cambuk yang siap dilecutkan ke seluruh tubuh. Biar nanti saja aku bersiap diri.

Pagar besi terbuka dengan sendirinya, lalu sebuah mobil berwarna kontras dengan mobil Mbak Ajeng terparkir sempurna di depan garasi. Dokter Pandri yang keluar dari mobil itu tak lekas menghampiri, melainkan membukakan pintu untuk penumpang lainnya.

Aku memandang malu-malu kepada Dokter Pandri dan ... Lio. Bocah putih gembul berambut ikal itu dituntun sang papa, mendekat ke arah Mbak Ajeng. Namun, dia tak menatap ke depan sekali pun. Pandangannya jatuh ke bawah, menunduk dan terus menunduk, seperti seorang anak yang canggung melihat orang lain.

Dengan serta-merta Mbak Ajeng berjongkok dan menyiapkan sambutan pelukan hangat untuk anak lelakinya. Kulirik sekilas, wanita itu tersenyum lebar dan mengucapkan satu kalimat secara perlahan dan berulang-ulang.

“Lio, anak mama. Hari ini senang?”

Pada pertanyaan ketiga, barulah Lio mengangguk. Mamanya menyorongkan pipi kanan, lalu sebuah kecupan mendarat cepat di sana. Wah! Pasti menyenangkan jika mendapatkan cinta dari anak tersayang.

Setelah bangkit, Mbak Ajeng mengangkat badan Lio agar sejajar denganku. Beberapa kali lagi dia menyebutkan namaku di telinga anaknya, tak lupa menunjuk-nunjuk. Namun, atmosfer antara aku dan Lio tak seindah yang diharapkan. Aku canggung dan tidak percaya diri dengan kondisiku, sedangkan anak itu ... menggeram kuat dengan kepal tangan, bahkan sebelum menatapku. Semakin dipaksa, dia malah berteriak kencang, persis seperti bocah kesurupan atau habis melihat setan.

Bab terkait

  • Poor Fatma   Bab 5

    Ajari aku rasa, pun geliat dalam dadaBisik berdersik biarpun angin tak menggelitikKuncup merekah di tiap langkahAjari aku mengolah gelisah buang gelebahRindu teramu walau dunia jemuMekar di tangan kekar tanpa kelakarPria. Apa hari ini adalah hari pria? Ataukah hari ini adalah hari pengagungan wanita? Aku menanyakan ini karena ada hal tak biasa sedang terjadi.Aku duduk manis di kursi kayu sesuai perintah Surya. Namun, dia tidak mengikat tanganku ke belakang dengan sobekan kain rokku—seperti biasanya, kalau mendapati aku tak ada di rumah ketika dia pulang. Dia juga tidak melepas sabuk hitam dari kolong sabuk celananya. Tak ada gamparan, tak ada cacian. Luka yang hampir mengering berkat salep Dokter Pandri juga tidak mengucurkan darah lagi.Surya mondar-mandir. Mulai dari membereskan kamar, mencuci piring, menyiapkan makan malam, juga menyapu rumah, dilakukan dengan tangannya sendiri. Setia

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-21
  • Poor Fatma   Bab 6

    “Seekor harimau menjadi kucing jinak?” Mbak Ajeng mengangkat satu alisnya, lalu kembali berkata, “Itu bukan keajaiban, Fatma, tapi rencana terselubung!”“Awalnya aku juga ragu, Mbak. Namun, hingga detik ini Surya memperlakukanku dengan sangat baik. Dia benar-benar berubah.”Mbak Ajeng terdiam sejenak. Dia melirik sekilas jam berbentuk persegi panjang kecil di tangan kirinya—yang tampak mewah karena berwarna keemasan, lantas berdecak pelan.“Mbak terburu-buru, ya? Aku belum buatkan teh, lagi pula cuaca tidak sedang hujan. Mbak Ajeng juga bawa mobil. Kenapa tidak menunggu sebentar lagi, sampai Surya pulang?”“Ehm, tidak bisa, Fatma. Lain kali saja. Hari ini jadwalku mengantar Lio ke tempat terapi. Beberapa hari ke depan aku juga sibuk ke luar kota. Aku pasti akan banyak mencemaskanmu.” Mbak Ajeng menarik lebar sudut bibirnya. Namun, entah kenapa matanya malah berkaca-kaca.Kupikir, den

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Poor Fatma   Bab 7

    Kalau aku memiliki anak, maka akan kuperlakukan dia jauh lebih baik dari Bapak memperlakukan aku. Ini bukan berarti dia kurang baik sebagai ayah, hanya saja aku ingin lebih hebat sebagai seorang ibu. Seumpama Bapak memeluk penuh kasih sayang saat aku lahir ke dunia ini, maka cinta kepada anakku sudah berkembang sejak benih Surya berbentuk segumpal darah dalam rahimku. Andai kata orangtua tunggalku itu menjaga bayi Fatma karena terpaksa—sebab istrinya telah tiada, maka aku menjaga janin ini dengan ikhlas hati—sebab untuk dialah aku masih bertahan hidup di dunia ini.Aku mendongak ke tembok atas ruangan bercat putih. Ada layar semacam televisi tetapi didominasi warna gelap, hanya sedikit warna putih membentuk segitiga dan bulatan kecil di tengahnya. Ada tulisan kecil-kecil di sisi kiri bawah yang menumpuk, tetapi mataku tak bisa membacanya dari jarak jauh. Meski bisa terbaca pun, belum tentu aku mengerti maksudnya. Saat seorang perawat menempelkan alat-alat medis di

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Poor Fatma   Bab 8

    Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia ....“Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-09
  • Poor Fatma   Bab 9

    Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-10
  • Poor Fatma   Bab 10

    Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-11
  • Poor Fatma   Bab 11

    Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-12
  • Poor Fatma   Bab 12

    Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-13

Bab terbaru

  • Poor Fatma   Bab 16

    “Fatma, aku sengaja membeli ini karena gaya berbusanamu tidak jauh dari ini. Bagaimana?”Mbak Ajeng membongkar satu per satu kardus, kemudian menunjukkan banyak baju baru kepadaku. Kaus-kaus berlengan panjang, rok denim semata kaki, kemeja lengan pendek, juga celana bahan berwarna monokrom. Sekaligus pula, dia gunting label-label merek dan harga, lantas memasukkan asal ke dalam keranjang baju. Dia juga bilang, baju-baju itu harus dicuci terlebih dahulu sebelum bisa kukenakan.“Besok Bi Par akan mengurus cucian ini. Tapi, karena besok Mbok Sami libur, maka kamu harus membantuku memasak, ya!” Dia tersenyum lebar.Aku mengangguk sekilas, sedangkan Mbak Ajeng tidak berhenti mengobrak-abrik kardus. Kali ini dia tertawa kecil sambil menunjukkan sekotak alat rias. Satu kuas disapu-sapukan ke pipinya yang bersinar, seakan-akan memberi contoh bagaimana cara menggunakan alat itu. Kemudian beralih pewarna bibir, bedak, juga pewarna-pewarna lainnya.

  • Poor Fatma   Bab 15

    Pantatku jatuh ke sebuah permukaan yang lembut dan tebal, tetapi empuk sekali. Rasanya seperti tertarik masuk ke dalam pusaran lumpur dan susah untuk bangkit keluar. Ada hawa dingin yang keluar dari sebuah alat persegi panjang yang terpasang di sudut teratas bagian kiri kamar, membuat tubuhku kedinginan begitu pertama kali masuk ke sini. Sementara itu, selimut berwarna putih yang hampir setebal kasur di rumahku, agaknya memang dingin karena terbuat dari bahan khusus, jauh berbeda dari sarung kumal peninggalan Bapak yang setiap malam kupakai sebagai gelung badan.Meski selama ini kamar ini kosong, tetapi Mbak Ajeng tidak luput mengisikan perabot di setiap sisi, sama seperti di kamarnya. Bedanya, ukuran kamar ini tidak terlalu besar. Jika warna-warna di seluruh dinding di rumah ini didominasi warna krem, di kamar ini justru warnanya putih polos. Mungkin, karena memang ini diperuntukkan bagi tamu yang hendak menginap.Begitu sampai di rumah ini, Mbak Ajeng membawa Lio ke

  • Poor Fatma   Bab 14

    Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa punya arti. Sesuatu yang tampaknya sepele, nyatanya bisa menciptakan sepercik asa bagi orang lain. Tak peduli apakah aku melakukannya dengan sengaja atau tidak.Kami duduk berdekatan di depan kamar rawat, sama-sama menatap kerlip bintang yang muncul malu-malu. Memasuki musim kemarau, langit malam lebih cerah ketimbang saat hujan deras. Meski begitu, suasana yang ada sama seperti ketika pertama kali aku dan Mbak Ajeng saling mengenal.“Aku juga pernah menjadi bintang, Fatma. Sejak kecil, predikat seperti itu sudah melekat di diriku. Dari juara kelas, ratu fashion, sampai bintang kampus. Ya, seperti yang kamu lihat, apa yang ada di diriku tampak selalu sempurna.” Mbak Ajeng menjeda sunyi dengan kalimat-kalimat yang terdengar miris, sebab dia ucapkan dengan wajah pucat pasi.“Aku akan senang kalau Mbak bisa selalu menjadi bintang. Mbak Ajeng harus bangkit.”“Aku bukan seorang donat

  • Poor Fatma   Bab 13

    Semalaman aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Mbak Ajeng. Terlepas dari semua kebaikan wanita itu, yang yang paling membuat rasa bersalah adalah keadaannya saat ini. Masih teringat olehku binar wajahnya manakala dia menghidu aroma teh saring, lalu menyeruput pelan dengan gaya yang amat anggun; tutur lembut bibirnya yang serasi dengan elegan penampilan; juga tawa-tawa kecilnya saat mengajariku banyak hal.Mbak Ajeng pernah bilang kepadaku bahwa hendaknya minum air lemon setiap pagi agar lemak di perut luruh. Sayangnya, uang di kantung bajuku jauh dari kata cukup untuk membeli buah kuning itu. Dia juga menasihati agar tidak makan sayur bening bayam jika lewat enam jam, dijelaskankannya segala reaksi kimia tentang sayur hijau itu, tetapi otakku terlalu kecil untuk menjangkau kalimatnya.Pernah juga dia membawakan sebotol kapsul dengan tulisan Vitamin E, katanya agar kulitku bisa kencang dan awet muda. Namun, di hari ketiga dan seterusnya, aku lupa untuk menela

  • Poor Fatma   Bab 12

    Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.

  • Poor Fatma   Bab 11

    Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun

  • Poor Fatma   Bab 10

    Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

  • Poor Fatma   Bab 9

    Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud

  • Poor Fatma   Bab 8

    Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia ....“Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status