Share

Bab 6

Author: Peri Manta
last update Last Updated: 2021-10-07 20:51:02

“Seekor harimau menjadi kucing jinak?” Mbak Ajeng mengangkat satu alisnya, lalu kembali berkata, “Itu bukan keajaiban, Fatma, tapi rencana terselubung!”

“Awalnya aku juga ragu, Mbak. Namun, hingga detik ini Surya memperlakukanku dengan sangat baik. Dia benar-benar berubah.”

Mbak Ajeng terdiam sejenak. Dia melirik sekilas jam berbentuk persegi panjang kecil di tangan kirinya—yang tampak mewah karena berwarna keemasan, lantas berdecak pelan.

“Mbak terburu-buru, ya? Aku belum buatkan teh, lagi pula cuaca tidak sedang hujan. Mbak Ajeng juga bawa mobil. Kenapa tidak menunggu sebentar lagi, sampai Surya pulang?”

“Ehm, tidak bisa, Fatma. Lain kali saja. Hari ini jadwalku mengantar Lio ke tempat terapi. Beberapa hari ke depan aku juga sibuk ke luar kota. Aku pasti akan banyak mencemaskanmu.” Mbak Ajeng menarik lebar sudut bibirnya. Namun, entah kenapa matanya malah berkaca-kaca.

Kupikir, dengan mengenalkan Surya, Mbak Ajeng tidak lagi menaruh rasa prihatin dan khawatir berlebihan. Sungguh, suamiku tidak lagi kejam beberapa minggu ini. Dia bahkan membolehkanku bertemu siapa saja. Dia lebih rajin bekerja dan pulang tanpa aroma alkohol. Setiap Sabtu malam dia mengajak pergi ke pasar malam, menawarkan segala kebutuhan sekunder, juga mengajak bercanda sampai aku tidak takut lagi melihat liar matanya.

“Kamu bisa berjanji untuk menjaga dirimu?”

Kuhela napas lalu terkikik. “Mbak Ajeng jangan seperti itu, dulu sebelum bertemu Mbak, aku menjaga diriku sendiri, ‘kan?”

Dia mengangguk-angguk. Lalu setelahnya berdiri, merapikan setelan baju kerja, dan menenteng tas mengilap dengan warna senada bajunya. Setiap penampilan wanita itu selalu sempurna, padu, dan terlihat berkelas. Anehnya, dia tidak canggung untuk bertandang ke rumah jelek dan duduk di kursi kayu berdebu milikku.

Sedikit berbeda dengannya, Dokter Pandri yang sama baik dan perhatian, justru tidak pernah mau masuk ke rumahku. Pernah, suatu kali satu keluarga itu baru pulang dari acara arisan keluarga, lalu mampir untuk berbagi banyak makanan dan kue. Mbak Ajeng membawa sendiri tumpukan kardus dari mobilnya yang terparkir di jalan—depan rumah. Dengan sepatu ber-hak tinggi, dia kesulitan berjalan sampai depan pintu.

Kutanya, apa dia datang sendirian. Jawabnya, tidak. Ada suaminya menunggu di mobil. Kutanya lagi, kenapa tidak ikut masuk, padahal sewaktu itu Mbak Ajeng masih mengobrol cukup lama denganku.

“Mas Pandri, umm ... menunggu di mobil saja, katanya.” Mbak Ajeng memberi alasan yang masuk akal, tetapi secara langsung membuatku sadar kalau pria itu enggan bertandang ke rumahku.

❤❤❤

Tiga bulan setelah pertemuan terakhir, Mbak Ajeng datang lagi. Kali ini pun dia sendirian. Disodorkannya tas-tas kertas bermacam warna dan ukuran kepadaku, lalu dia menurunkan kaca mata hitam dan menyeka peluh.

“Apa ini?” tanyaku penasaran.

“Baju.”

“Baju? Ah, aku tak akan pantas memakai baju bagus, Mbak.” Kusodorkan kembali baju itu.

“Kenapa tidak, Fatma? Coba saja pakai!”

Mbak Ajeng mengeluarkan beberapa pakaian dari tas itu. Dari modelnya saja sudah terkesan mewah. Ada baju terusan selutut, kaus berleher rendah, baju hangat, juga celana. Berwarna-warni. Melihatnya, rasanya seperti habis dibelikan baju baru oleh Bapak setiap hari raya setahun sekali.

“Tampillah lebih menarik, agar suamimu lebih perhatian!”

Aku tersenyum malu-malu mendengar penuturan Mbak Ajeng. Sebenarnya, selama Mbak Ajeng tidak berkunjung ke rumahku beberapa waktu ini, Surya justru lebih perhatian kepadaku.

“Tanpa semua ini, suamiku sangat memanjakanku, Mbak. Karena ada anaknya dalam perutku,” jujurku. “Ah, tapi terima kasih, ya, Mbak. Akan kusimpan dulu, kupakai kalau perutku sudah tak buncit lagi.”

Mbak Ajeng menjatuhkan semua bawaannya di lantai. Dia menatap takjub kepadaku. Dari ujung kepala hingga berakhir di perut. Ekspresinya susah ditebak, antara senang dan kecewa.

Dielusnya perutku yang mulai membulat, lalu beralih menggenggam tangan. Tak tunggu lama pelukannya hangat terasa olehku. Mbak Ajeng mengucap syukur berkali-kali, juga tertawa kecil.

“Kamu hamil, Fatma? Benar?”

“Ya, Mbak.” Aku menjawab cepat sambil berlalu ke kamar. Kusimpan pemberian Mbak Ajeng dan bergegas membuatkan teh untuknya.

Beberapa saat kemudian kami sudah asyik bercanda di dapur. Meski Mbak Ajeng sudah kularang ikut masuk—sebab dapurku sangat kotor, dia kukuh berdiri di sampingku. Kali ini dia mau mencoba teh hangat dengan sedikit gula, tetapi dia sendiri yang membuatnya.

Katanya, “Ibu hamil jangan banyak bekerja, apalagi yang berat-berat. Kerjakan saja semampumu. Kalau lelah, istirahatlah!”

“Ya, Mbak. Surya juga bilang begitu.”

“Kamu sudah periksa kehamilan tiap bulan?”

Aku tergemap. Sesaat kami saling memandang. Mungkin, detik itulah Mbak Ajeng paham kalau jawaban dari pertanyaannya adalah “belum”.

“Besok, aku akan mengantarmu periksa kandungan, Fatma. Jangan menolak, dan jangan banyak alasan!” katanya sebelum meminum teh buatannya sendiri.

Apa aku merepotkannya? Kenapa Mbak Ajeng begitu perhatian kepadaku? Memang, Surya hanya memberi perhatian, tetapi tidak sekali pun pernah menawariku untuk periksa kandungan. Lalu, kalau aku menerima tawaran Mbak Ajeng, tidak ada salahnya, bukan?

Sedang seru mengobrol tentang kehamilan, terdengar suara ketuk pintu dari arah depan. Masih pukul dua siang, tentu bukan Surya yang datang. Meski dia yang datang pun tak apa, sudah lama ingin kukenalkan Mbak Ajeng kepadanya.

Kami berjalan bersisian menyambut tamu—yang ternyata adalah Dokter Pandri. Wow! Dokter tampan itu mau menginjakkan kaki di sini?

“Lio jatuh dari perosotan. Kita ke rumah sakit sekarang!” ucap dokter itu tanpa basa-basi.

Mbak Ajeng terperanjat, lalu buru-buru mengambil tas. “Bagaimana bisa, Mas?”

Mereka tergesa-gesa berlalu, sampai lupa mengucap pamit. Dalam hitungan detik dua mobil yang dikendarai masing-masing oleh Mbak Ajeng dan Dokter Pandri melewati pandangan. Aku agak kecewa dibuatnya.

Namun, sepertinya perasaan ini berlebihan. Selang semenit aku tepekur memandangi jalanan, mobil Dokter Pandri muncul lagi. Dia turun dari mobil dan berjalan ke arahku.

Ada debar yang aneh saat pria itu memberikan senyuman, mengingat tadi dia datang tanpa sapa maupun bertanya kabar. Air muka yang tadinya suram, mendadak tampak semringah.

“Ayo ikut ke rumah sakit, Fatma! Kita bisa periksakan kandunganmu sekalian.”

“Oh! Itu ....”

Aku menelan ludah. Lidah kelu, tak tahu harus berkata apa lagi, juga tak tahu harus berbuat apa.

Dokter Pandri menjentikkan jemari di depan wajahku, menyadarkan aku dari lamunan.

“Fatma, apa lagi yang kamu tunggu?” Dia menutup pintu rumahku, menggenggam pergelangan tanganku, lalu menuntunku hingga ke mobilnya. Bahkan, aku masuk ke mobil setelah dia membukakan pintunya.

Di dalam mobil, dia memutar lagu dengan entakan pelan dan bersyair romantis yang hampir membuatku tertidur. Dia juga melucu seperti waktu mengantarku dulu. Untuk sesaat dia tidak menampakkan kecemasannya terhadap Lio. Mengherankannya, dia bisa tertawa lepas sembari menyetir.

“Dokter bisa tertawa, padahal Lio sedang sakit,” sindirku.

Dokter Pandri berdeham pelan. “Lio akan baik-baik saja di tangan dokternya. Dan saat ini, tugasku menghibur ibu hamil. Ini perintah nyonya besar,” ungkapnya.

“Oh, jadi Mbak Ajeng yang meminta Dokter menjemputku?”

“Ehm, tidak juga.”

“Maksudnya?”

“Sampai di perempatan, dia menelepon. Katanya, dia menyesal belum berpamitan. Dia juga bilang besok mau mengantarmu memeriksakan kandungan. Jadi, kamu hamil?”

Aku mengiyakan.

“Makanya, aku berpikir sekalian mengajakmu ke rumah sakit. Jangan menunda pemeriksaan kehamilan, Fatma! Kamu harus tahu perkembangan janin dalam rahimmu.”

Darahku berdesir pelan dan menimbulkan denyar yang tak biasa dalam dada. Bukan, bukan karena aku terbawa perasaan—pastinya. Namun, ini karena aku ....

Ah, bagaimana aku bisa menjelaskannya kepada kalian?

Related chapters

  • Poor Fatma   Bab 7

    Kalau aku memiliki anak, maka akan kuperlakukan dia jauh lebih baik dari Bapak memperlakukan aku. Ini bukan berarti dia kurang baik sebagai ayah, hanya saja aku ingin lebih hebat sebagai seorang ibu. Seumpama Bapak memeluk penuh kasih sayang saat aku lahir ke dunia ini, maka cinta kepada anakku sudah berkembang sejak benih Surya berbentuk segumpal darah dalam rahimku. Andai kata orangtua tunggalku itu menjaga bayi Fatma karena terpaksa—sebab istrinya telah tiada, maka aku menjaga janin ini dengan ikhlas hati—sebab untuk dialah aku masih bertahan hidup di dunia ini.Aku mendongak ke tembok atas ruangan bercat putih. Ada layar semacam televisi tetapi didominasi warna gelap, hanya sedikit warna putih membentuk segitiga dan bulatan kecil di tengahnya. Ada tulisan kecil-kecil di sisi kiri bawah yang menumpuk, tetapi mataku tak bisa membacanya dari jarak jauh. Meski bisa terbaca pun, belum tentu aku mengerti maksudnya. Saat seorang perawat menempelkan alat-alat medis di

    Last Updated : 2021-10-08
  • Poor Fatma   Bab 8

    Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia ....“Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l

    Last Updated : 2021-10-09
  • Poor Fatma   Bab 9

    Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud

    Last Updated : 2021-10-10
  • Poor Fatma   Bab 10

    Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

    Last Updated : 2021-10-11
  • Poor Fatma   Bab 11

    Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun

    Last Updated : 2021-10-12
  • Poor Fatma   Bab 12

    Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.

    Last Updated : 2021-10-13
  • Poor Fatma   Bab 13

    Semalaman aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Mbak Ajeng. Terlepas dari semua kebaikan wanita itu, yang yang paling membuat rasa bersalah adalah keadaannya saat ini. Masih teringat olehku binar wajahnya manakala dia menghidu aroma teh saring, lalu menyeruput pelan dengan gaya yang amat anggun; tutur lembut bibirnya yang serasi dengan elegan penampilan; juga tawa-tawa kecilnya saat mengajariku banyak hal.Mbak Ajeng pernah bilang kepadaku bahwa hendaknya minum air lemon setiap pagi agar lemak di perut luruh. Sayangnya, uang di kantung bajuku jauh dari kata cukup untuk membeli buah kuning itu. Dia juga menasihati agar tidak makan sayur bening bayam jika lewat enam jam, dijelaskankannya segala reaksi kimia tentang sayur hijau itu, tetapi otakku terlalu kecil untuk menjangkau kalimatnya.Pernah juga dia membawakan sebotol kapsul dengan tulisan Vitamin E, katanya agar kulitku bisa kencang dan awet muda. Namun, di hari ketiga dan seterusnya, aku lupa untuk menela

    Last Updated : 2021-10-23
  • Poor Fatma   Bab 14

    Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa punya arti. Sesuatu yang tampaknya sepele, nyatanya bisa menciptakan sepercik asa bagi orang lain. Tak peduli apakah aku melakukannya dengan sengaja atau tidak.Kami duduk berdekatan di depan kamar rawat, sama-sama menatap kerlip bintang yang muncul malu-malu. Memasuki musim kemarau, langit malam lebih cerah ketimbang saat hujan deras. Meski begitu, suasana yang ada sama seperti ketika pertama kali aku dan Mbak Ajeng saling mengenal.“Aku juga pernah menjadi bintang, Fatma. Sejak kecil, predikat seperti itu sudah melekat di diriku. Dari juara kelas, ratu fashion, sampai bintang kampus. Ya, seperti yang kamu lihat, apa yang ada di diriku tampak selalu sempurna.” Mbak Ajeng menjeda sunyi dengan kalimat-kalimat yang terdengar miris, sebab dia ucapkan dengan wajah pucat pasi.“Aku akan senang kalau Mbak bisa selalu menjadi bintang. Mbak Ajeng harus bangkit.”“Aku bukan seorang donat

    Last Updated : 2021-11-07

Latest chapter

  • Poor Fatma   Bab 16

    “Fatma, aku sengaja membeli ini karena gaya berbusanamu tidak jauh dari ini. Bagaimana?”Mbak Ajeng membongkar satu per satu kardus, kemudian menunjukkan banyak baju baru kepadaku. Kaus-kaus berlengan panjang, rok denim semata kaki, kemeja lengan pendek, juga celana bahan berwarna monokrom. Sekaligus pula, dia gunting label-label merek dan harga, lantas memasukkan asal ke dalam keranjang baju. Dia juga bilang, baju-baju itu harus dicuci terlebih dahulu sebelum bisa kukenakan.“Besok Bi Par akan mengurus cucian ini. Tapi, karena besok Mbok Sami libur, maka kamu harus membantuku memasak, ya!” Dia tersenyum lebar.Aku mengangguk sekilas, sedangkan Mbak Ajeng tidak berhenti mengobrak-abrik kardus. Kali ini dia tertawa kecil sambil menunjukkan sekotak alat rias. Satu kuas disapu-sapukan ke pipinya yang bersinar, seakan-akan memberi contoh bagaimana cara menggunakan alat itu. Kemudian beralih pewarna bibir, bedak, juga pewarna-pewarna lainnya.

  • Poor Fatma   Bab 15

    Pantatku jatuh ke sebuah permukaan yang lembut dan tebal, tetapi empuk sekali. Rasanya seperti tertarik masuk ke dalam pusaran lumpur dan susah untuk bangkit keluar. Ada hawa dingin yang keluar dari sebuah alat persegi panjang yang terpasang di sudut teratas bagian kiri kamar, membuat tubuhku kedinginan begitu pertama kali masuk ke sini. Sementara itu, selimut berwarna putih yang hampir setebal kasur di rumahku, agaknya memang dingin karena terbuat dari bahan khusus, jauh berbeda dari sarung kumal peninggalan Bapak yang setiap malam kupakai sebagai gelung badan.Meski selama ini kamar ini kosong, tetapi Mbak Ajeng tidak luput mengisikan perabot di setiap sisi, sama seperti di kamarnya. Bedanya, ukuran kamar ini tidak terlalu besar. Jika warna-warna di seluruh dinding di rumah ini didominasi warna krem, di kamar ini justru warnanya putih polos. Mungkin, karena memang ini diperuntukkan bagi tamu yang hendak menginap.Begitu sampai di rumah ini, Mbak Ajeng membawa Lio ke

  • Poor Fatma   Bab 14

    Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa punya arti. Sesuatu yang tampaknya sepele, nyatanya bisa menciptakan sepercik asa bagi orang lain. Tak peduli apakah aku melakukannya dengan sengaja atau tidak.Kami duduk berdekatan di depan kamar rawat, sama-sama menatap kerlip bintang yang muncul malu-malu. Memasuki musim kemarau, langit malam lebih cerah ketimbang saat hujan deras. Meski begitu, suasana yang ada sama seperti ketika pertama kali aku dan Mbak Ajeng saling mengenal.“Aku juga pernah menjadi bintang, Fatma. Sejak kecil, predikat seperti itu sudah melekat di diriku. Dari juara kelas, ratu fashion, sampai bintang kampus. Ya, seperti yang kamu lihat, apa yang ada di diriku tampak selalu sempurna.” Mbak Ajeng menjeda sunyi dengan kalimat-kalimat yang terdengar miris, sebab dia ucapkan dengan wajah pucat pasi.“Aku akan senang kalau Mbak bisa selalu menjadi bintang. Mbak Ajeng harus bangkit.”“Aku bukan seorang donat

  • Poor Fatma   Bab 13

    Semalaman aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Mbak Ajeng. Terlepas dari semua kebaikan wanita itu, yang yang paling membuat rasa bersalah adalah keadaannya saat ini. Masih teringat olehku binar wajahnya manakala dia menghidu aroma teh saring, lalu menyeruput pelan dengan gaya yang amat anggun; tutur lembut bibirnya yang serasi dengan elegan penampilan; juga tawa-tawa kecilnya saat mengajariku banyak hal.Mbak Ajeng pernah bilang kepadaku bahwa hendaknya minum air lemon setiap pagi agar lemak di perut luruh. Sayangnya, uang di kantung bajuku jauh dari kata cukup untuk membeli buah kuning itu. Dia juga menasihati agar tidak makan sayur bening bayam jika lewat enam jam, dijelaskankannya segala reaksi kimia tentang sayur hijau itu, tetapi otakku terlalu kecil untuk menjangkau kalimatnya.Pernah juga dia membawakan sebotol kapsul dengan tulisan Vitamin E, katanya agar kulitku bisa kencang dan awet muda. Namun, di hari ketiga dan seterusnya, aku lupa untuk menela

  • Poor Fatma   Bab 12

    Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.

  • Poor Fatma   Bab 11

    Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun

  • Poor Fatma   Bab 10

    Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

  • Poor Fatma   Bab 9

    Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud

  • Poor Fatma   Bab 8

    Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia ....“Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status