Share

Bab 2

Author: Peri Manta
last update Last Updated: 2021-09-21 10:17:14

Aku. Aku hanya seorang perempuan yang sejak kelahirannya tidak pernah mengenal ibu. Kata Bapak, ibuku mengalami preeklampsia sesaat setelah melahirkanku. Bapak pulang dari rumah bidan masih dengan aliran air mata. Sambil menggendongku, dia berusaha mencampurkan beberapa tetes susu kental manis kalengan dengan air hangat yang telah dijerangnya di kompor minyak tanah. Katanya lagi, aku baru berhenti mengoeek setelah sesendok demi sesendok air campuran berwarna putih itu masuk ke mulutku.

Lepas aku tertidur, dia meletakkan aku dari gendongan ke dipan bambu satu-satunya di rumah ini. Ketika malam, dia menangis sembari menyalakan damar—sebab saat itu belum terpasang aliran listrik di kampung ini. Hmm, Bapak menangis mengingat istrinya telah berpulang ke pangkuan Ilahi, sedangkan aku baru menikmati malam kesatu kelahiranku.

“Ibumu cantik, sama seperti dirimu, Fatma. Kelak, walau bapak tak bisa berbuat banyak untukmu, jadilah wanita baik-baik.” Begitulah setiap hari Bapak menasihati.

Bapak bukan pria kaya yang siap setiap saat meladeni kemauan putrinya. Aku harus menerima apa adanya bapakku sebagai seorang tukang angkut sampah. Tak ada namanya baju-baju ala princess di perayaan ulang tahunku. Mana pula ada uang lebih untuk membeli mainan kesukaan atau makanan yang membikin liur menetes? Bahkan, aku harus puas makan bangku sekolah sampai kelas enam.

“Fatma, jika kamu bisa mendapat peringkat satu di ujian kemarin, pasti saat ini kamu masih bisa bersekolah melalui beasiswa,” sesal Bapak, kala kuikuti gerak tangannya memilah botol-botol plastik sepulang menarik gerobak sampah.

Apa waktu itu wajahku menyedihkan karena tak lagi mengenakan seragam sekolah? Entahlah. Aku sendiri tak yakin, sebab sebenarnya aku tak secantik yang Bapak bilang. Jadi, kemungkinan Bapak menangkap sorot kesedihan di balik wajah seorang putri yang sehari-hari dilihatnya.

“Fatma bisa bantu Bapak lebih lama.” Aku membohongi diri sendiri.

Tahu, apa yang sejujurnya ingin aku katakan? Aku ingin bilang bahwa aku mau terus sekolah, tumbuh menjadi remaja dengan gejolak cinta pertamanya, juga lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak—untuk mengangkat derajat Bapak. Namun, kubuang jauh-jauh, manakala Bapak tiba-tiba mulai sakit-sakitan.

Hidup kami semakin sulit setiap harinya. Tak banyak yang bisa kulakukan demi kesembuhan Bapak. Aku melanjutkan menarik gerobak sampah semampuku, bergulat dengan lalat dan bau busuk sepanjang hari, juga tidur di antara gunungan botol plastik dan barang bekas lainnya.

Suatu ketika di pertengahan musim hujan, beberapa hari setelah ulang tahunku yang kedua puluh, aku menggantikan tubuh ringkih Bapak di atas dipan, tergolek tak berdaya. Badanku demam selama berhari-hari. Tak ada nafsu makan, apalagi sajian utama hanya singkong rebus dan air putih. Aku menggigil di antara rinai hujan yang tak kenal kesudahan di malam hari, meracau—menyebut nama Ibu berkali-kali dalam pejam mata, seolah-olah beliau berdiri di sampingku dan siap mengajakku pergi.

Angin yang bertiup kencang, menyusup masuk lewat daun pintu yang dibuka Bapak. Sempat aku membuka mata dan melihatnya sesak napas sebelum keluar menerjang hujan. Katanya sebelum pergi, “Tunggu, Fatma. Bapak akan panggilkan dokter untukmu.”

Akan tetapi, Bapak berbohong kepadaku. Dia tak lagi pulang ke rumah. Maksudku, dia mungkin pulang, hanya saja aku tak lagi mendengar suaranya. Sepanjang malam aku sudah menguatkan diri sendiri, bahwa menjadi orang tak mampu harus bersahabat dengan keras dunia. Panas, hujan, dingin, gerah, juga noda. Segala noda. Cara itu cukup manjur untuk menurunkan suhu tinggi tubuhku. Ajaib, bukan?

Sayangnya, ketika kakiku baru bisa turun dari dipan dan menyentuh ubin, aku harus membukakan pintu untuk Bapak yang ... tak lagi bernapas. Bapakku pergi, membawa beberapa pertanyaanku yang tak pernah terjawab—di malam aku sakit.

Apa menjadi orang miskin bisa bahagia? Apa seorang putri raja harus cantik dan punya istana? Apa aku ... akan punya suami seperti pangeran?

Bapak pergi, sebelum mendatangkan dokter untukku. Riuh suara tetangga—yang selama ini tak pernah mengunjungi rumahku—berdengung, menyebut-nyebut Bapak sebagai korban tabrak lari. Apa itu penting? Tidak. Tidak ada yang lebih penting selain menangisi kepergian orang tua tunggalku, ketika untuk sesaat aku menyalahkan kata “takdir”.

Oh, ya, takdir!

Kuberi tahu satu pertanyaanku soal takdir. Kenapa takdirku buruk?

Kupikir aku hanya manusia sampah, dalam artian seorang gadis yang dibesarkan di lingkungan sampah. Namun, entah mengapa masih ada pria yang tertarik melihat bodiku yang tak terawat. Pria itu sungguh jahanam!

Purna empat puluh hari kepergian Bapak, pria itu datang ke rumah. Awalnya memintaku secara baik-baik. Namun, kutolak mentah-mentah keinginannya memperistriku. Aku tak begitu kenal, hanya beberapa kali sempat melihatnya minum kopi di warung-warung seberang tempat pembakaran sampah. Meski secara fisik dia tampan dan berbadan kekar, tetapi aku tak suka melihat liar matanya saat menatapku.

Dua-tiga kali dia datang melamar, masih kutolak. Akhirnya, dia tampakkan wajah yang sesungguhnya. Pria binal! Lancang sekali dia masuk rumah seperti kucing jalanan hendak mencuri ikan. Sialnya, ikan itu tak lagi ada yang menjaga dan memiliki.

“Cukup kamu buat aku menahan liur, Fatma! Malam ini kamu milikku!” Dia menyeringai—masih di bawah gemuruh hujan. Tangannya membekap mulutku, lututnya menindih dadaku hingga aku tak mampu berkutik.

Tuhan? Di mana Tuhan berada kala itu? Aku tak tahu.

“Jangan khawatir, Sayang! Aku akan menikahimu setelah ini, kita akan tinggal bersama, dan kamu tak payah mendorong gerobak bau itu lagi.”

Pria itu mendengkur tanpa rasa bersalah, tepat saat aku menyeka cairan menjijikkan di sekujur tubuh. Aku memekik dalam hati, menangis tanpa suara, berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi.

Mimpi, mimpi, mimpi ....

Sayangnya aku tidak hidup di dunia mimpi. Ya, aku boleh bermimpi seindah mungkin, tetapi saat aku membuka mata, aku adalah Fatma si gadis—ah, tidak! Bukan lagi gadis—buruk rupa, yang membersihkan darah keperawanannya dengan air mata, lalu membanjiri pernikahannya dengan air mata pula. Jelas, meski aku bukan wanita perebut suami orang, aku adalah perempuan hina yang telah ternoda. Sama-sama rendah.

Dua tahun berlalu, dan kehidupan masih tak berubah. Itu sebabnya, aku mulai merasa Tuhan tidak adil, tatkala Dia datangkan wanita sesempurna Mbak Ajeng dalam pandanganku.

Aku benar, bukan?

“Sudah kubilang, tidak ada yang namanya kesempurnaan, Fatma.”

Aku mengangkat wajah, bertautan pandang dengan Mbak Ajeng. Siang yang cerah ini dia kembali bertandang ke rumah, lalu mendengarkan kisah pahitku.

“Tapi, tidak beruntung itu ... jelas adalah sebuah ketidaksempurnaan yang paling menyakitkan, Mbak.”

“Apa itu berarti yang selalu beruntung sepertiku ini, akan selalu mendapat kesempurnaan?”

“Nyatanya Mbak Ajeng tetap beruntung meski ditimpa ketidaksempurnaan. Setidaknya, sisi sempurna yang lain menutup kekurangan itu, ‘kan?”

“Kamu kurang jauh berjalan, Fatma. Sangat kurang jauh.” Dia memicingkan mata.

“Aku berjalan, Mbak. Hanya saja ... saat pulang ke rumah, aku kembali tidak beruntung,” jawabku lesu.

“Kalau begitu, kenapa kamu harus pulang? Kenapa tidak lari saja?”

Aku terperanjat. “Lari? Bisakah?”

Bisakah aku lari? Ke mana? Bersama siapa?

Related chapters

  • Poor Fatma   Bab 3

    Darah menetes dari hidungku dan nyeri di kepala bagian belakang menyebabkan pandangan berkunang-kunang. Tadinya hanya segelas kopi yang menyiram wajahku, tetapi saat pria itu mendorong tubuhku hingga aku menggulingkan meja berkayu lapuk itu, seluruh makanan yang kusiapkan ikut menempel di badan. Bajuku jadi berwarna sambal, putih-putih bulir nasi melekat di rambut, dan hijau sayur daun ketela rambat tersangkut di lengan begitu air kuahnya menetes habis.“Kamu mengundang seorang teman tanpa ijinku? Siapa wanita itu? Dari dinas sosial, ‘kan? Mengadu apa, heh?” Pria itu menempelkan pelipisku ke tembok dengan kasar.Sudahkah kalian tahu nama pria itu Surya? Artinya matahari. Nama yang terlalu berharga untuk pria bengis macam dia. Pernah aku melamun, membayangkan akan memberi nama anak lelakiku serupa itu. Biar keturunanku kelak menjadi seorang yang bersinar dan menyinari layaknya matahari. Namun, bilamana Surya menginjak dadaku secara paksa hanya untuk me

    Last Updated : 2021-09-21
  • Poor Fatma   Bab 4

    Pernah, pada suatu Minggu pagi yang cerah, Bapak libur mengangkut sampah. Aku yang masih kelas tiga sekolah dasar diajaknya berjalan-jalan tanpa gerobak besi bercat hijau. Itu hal yang menyenangkan sekali, sebab untuk pertama kalinya aku menggandeng tangan Bapak tanpa bau busuk menyertai.Kami berjalan sampai jalan raya dan menunggu sampai pukul tujuh tepat di halte bus. Kendaraan lalu-lalang di hadapan, sungguh membuatku takjub. Lucunya, aku sempat berangan-angan akan membelikan mobil untuk Bapak—kelak, saat aku dewasa dan menjadi orang kaya.Sebuah bus berukuran sedang berhenti, beberapa orang berdesakan turun. Sejurus itu, Bapak meraih tubuh kecilku sehingga aku menapak lebih cepat di dalam bus. Detak di dadaku bertalu cepat tetapi menyenangkan iramanya. Saat Bapak sudah mendapatkan tempat duduk, dia memangkuku. Ah, aku bisa melihat dengan jelas kendaraan dan orang-orang berseliweran di trotoar dari kaca jendela bus. Pohon-pohon di tepi jalan—meski berdi

    Last Updated : 2021-09-21
  • Poor Fatma   Bab 5

    Ajari aku rasa, pun geliat dalam dadaBisik berdersik biarpun angin tak menggelitikKuncup merekah di tiap langkahAjari aku mengolah gelisah buang gelebahRindu teramu walau dunia jemuMekar di tangan kekar tanpa kelakarPria. Apa hari ini adalah hari pria? Ataukah hari ini adalah hari pengagungan wanita? Aku menanyakan ini karena ada hal tak biasa sedang terjadi.Aku duduk manis di kursi kayu sesuai perintah Surya. Namun, dia tidak mengikat tanganku ke belakang dengan sobekan kain rokku—seperti biasanya, kalau mendapati aku tak ada di rumah ketika dia pulang. Dia juga tidak melepas sabuk hitam dari kolong sabuk celananya. Tak ada gamparan, tak ada cacian. Luka yang hampir mengering berkat salep Dokter Pandri juga tidak mengucurkan darah lagi.Surya mondar-mandir. Mulai dari membereskan kamar, mencuci piring, menyiapkan makan malam, juga menyapu rumah, dilakukan dengan tangannya sendiri. Setia

    Last Updated : 2021-09-21
  • Poor Fatma   Bab 6

    “Seekor harimau menjadi kucing jinak?” Mbak Ajeng mengangkat satu alisnya, lalu kembali berkata, “Itu bukan keajaiban, Fatma, tapi rencana terselubung!”“Awalnya aku juga ragu, Mbak. Namun, hingga detik ini Surya memperlakukanku dengan sangat baik. Dia benar-benar berubah.”Mbak Ajeng terdiam sejenak. Dia melirik sekilas jam berbentuk persegi panjang kecil di tangan kirinya—yang tampak mewah karena berwarna keemasan, lantas berdecak pelan.“Mbak terburu-buru, ya? Aku belum buatkan teh, lagi pula cuaca tidak sedang hujan. Mbak Ajeng juga bawa mobil. Kenapa tidak menunggu sebentar lagi, sampai Surya pulang?”“Ehm, tidak bisa, Fatma. Lain kali saja. Hari ini jadwalku mengantar Lio ke tempat terapi. Beberapa hari ke depan aku juga sibuk ke luar kota. Aku pasti akan banyak mencemaskanmu.” Mbak Ajeng menarik lebar sudut bibirnya. Namun, entah kenapa matanya malah berkaca-kaca.Kupikir, den

    Last Updated : 2021-10-07
  • Poor Fatma   Bab 7

    Kalau aku memiliki anak, maka akan kuperlakukan dia jauh lebih baik dari Bapak memperlakukan aku. Ini bukan berarti dia kurang baik sebagai ayah, hanya saja aku ingin lebih hebat sebagai seorang ibu. Seumpama Bapak memeluk penuh kasih sayang saat aku lahir ke dunia ini, maka cinta kepada anakku sudah berkembang sejak benih Surya berbentuk segumpal darah dalam rahimku. Andai kata orangtua tunggalku itu menjaga bayi Fatma karena terpaksa—sebab istrinya telah tiada, maka aku menjaga janin ini dengan ikhlas hati—sebab untuk dialah aku masih bertahan hidup di dunia ini.Aku mendongak ke tembok atas ruangan bercat putih. Ada layar semacam televisi tetapi didominasi warna gelap, hanya sedikit warna putih membentuk segitiga dan bulatan kecil di tengahnya. Ada tulisan kecil-kecil di sisi kiri bawah yang menumpuk, tetapi mataku tak bisa membacanya dari jarak jauh. Meski bisa terbaca pun, belum tentu aku mengerti maksudnya. Saat seorang perawat menempelkan alat-alat medis di

    Last Updated : 2021-10-08
  • Poor Fatma   Bab 8

    Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia ....“Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l

    Last Updated : 2021-10-09
  • Poor Fatma   Bab 9

    Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud

    Last Updated : 2021-10-10
  • Poor Fatma   Bab 10

    Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

    Last Updated : 2021-10-11

Latest chapter

  • Poor Fatma   Bab 16

    “Fatma, aku sengaja membeli ini karena gaya berbusanamu tidak jauh dari ini. Bagaimana?”Mbak Ajeng membongkar satu per satu kardus, kemudian menunjukkan banyak baju baru kepadaku. Kaus-kaus berlengan panjang, rok denim semata kaki, kemeja lengan pendek, juga celana bahan berwarna monokrom. Sekaligus pula, dia gunting label-label merek dan harga, lantas memasukkan asal ke dalam keranjang baju. Dia juga bilang, baju-baju itu harus dicuci terlebih dahulu sebelum bisa kukenakan.“Besok Bi Par akan mengurus cucian ini. Tapi, karena besok Mbok Sami libur, maka kamu harus membantuku memasak, ya!” Dia tersenyum lebar.Aku mengangguk sekilas, sedangkan Mbak Ajeng tidak berhenti mengobrak-abrik kardus. Kali ini dia tertawa kecil sambil menunjukkan sekotak alat rias. Satu kuas disapu-sapukan ke pipinya yang bersinar, seakan-akan memberi contoh bagaimana cara menggunakan alat itu. Kemudian beralih pewarna bibir, bedak, juga pewarna-pewarna lainnya.

  • Poor Fatma   Bab 15

    Pantatku jatuh ke sebuah permukaan yang lembut dan tebal, tetapi empuk sekali. Rasanya seperti tertarik masuk ke dalam pusaran lumpur dan susah untuk bangkit keluar. Ada hawa dingin yang keluar dari sebuah alat persegi panjang yang terpasang di sudut teratas bagian kiri kamar, membuat tubuhku kedinginan begitu pertama kali masuk ke sini. Sementara itu, selimut berwarna putih yang hampir setebal kasur di rumahku, agaknya memang dingin karena terbuat dari bahan khusus, jauh berbeda dari sarung kumal peninggalan Bapak yang setiap malam kupakai sebagai gelung badan.Meski selama ini kamar ini kosong, tetapi Mbak Ajeng tidak luput mengisikan perabot di setiap sisi, sama seperti di kamarnya. Bedanya, ukuran kamar ini tidak terlalu besar. Jika warna-warna di seluruh dinding di rumah ini didominasi warna krem, di kamar ini justru warnanya putih polos. Mungkin, karena memang ini diperuntukkan bagi tamu yang hendak menginap.Begitu sampai di rumah ini, Mbak Ajeng membawa Lio ke

  • Poor Fatma   Bab 14

    Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa punya arti. Sesuatu yang tampaknya sepele, nyatanya bisa menciptakan sepercik asa bagi orang lain. Tak peduli apakah aku melakukannya dengan sengaja atau tidak.Kami duduk berdekatan di depan kamar rawat, sama-sama menatap kerlip bintang yang muncul malu-malu. Memasuki musim kemarau, langit malam lebih cerah ketimbang saat hujan deras. Meski begitu, suasana yang ada sama seperti ketika pertama kali aku dan Mbak Ajeng saling mengenal.“Aku juga pernah menjadi bintang, Fatma. Sejak kecil, predikat seperti itu sudah melekat di diriku. Dari juara kelas, ratu fashion, sampai bintang kampus. Ya, seperti yang kamu lihat, apa yang ada di diriku tampak selalu sempurna.” Mbak Ajeng menjeda sunyi dengan kalimat-kalimat yang terdengar miris, sebab dia ucapkan dengan wajah pucat pasi.“Aku akan senang kalau Mbak bisa selalu menjadi bintang. Mbak Ajeng harus bangkit.”“Aku bukan seorang donat

  • Poor Fatma   Bab 13

    Semalaman aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Mbak Ajeng. Terlepas dari semua kebaikan wanita itu, yang yang paling membuat rasa bersalah adalah keadaannya saat ini. Masih teringat olehku binar wajahnya manakala dia menghidu aroma teh saring, lalu menyeruput pelan dengan gaya yang amat anggun; tutur lembut bibirnya yang serasi dengan elegan penampilan; juga tawa-tawa kecilnya saat mengajariku banyak hal.Mbak Ajeng pernah bilang kepadaku bahwa hendaknya minum air lemon setiap pagi agar lemak di perut luruh. Sayangnya, uang di kantung bajuku jauh dari kata cukup untuk membeli buah kuning itu. Dia juga menasihati agar tidak makan sayur bening bayam jika lewat enam jam, dijelaskankannya segala reaksi kimia tentang sayur hijau itu, tetapi otakku terlalu kecil untuk menjangkau kalimatnya.Pernah juga dia membawakan sebotol kapsul dengan tulisan Vitamin E, katanya agar kulitku bisa kencang dan awet muda. Namun, di hari ketiga dan seterusnya, aku lupa untuk menela

  • Poor Fatma   Bab 12

    Nyawa hanya satu, tetapi tidak mudah lenyap hanya karena segala derita telah kutanggung. Buktinya detik ini hidungku masih kembang-kempis sebagai jendela pernapasan. Kunamai jendela karena fungsinya sebagai pintu telah digantikan sebuah alat yang tersambung ke tabung oksigen.Lagi-aku aku masih hidup dan harus merasakan sakit di sekujur badan. Bedanya, tidak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berjalan. Lemah, aku membujur di kasur empuk, di sebuah tempat berpencahayaan terang. Aroma ruangan ini sama seperti ketika memeriksakan kandungan, dulu.“Pasti ada alasan kenapa seseorang memutuskan sesuatu atau memilih sebuah jalan. Seperti Ajeng yang memintamu menjadi madunya, juga Pandri yang terpaksa menyetujui permintaannya. Dan kamu, Fatma. Apa alasanmu tetap bertahan hidup bersama si berengsek itu?”Sedikit sakit, tetapi kupaksa menoleh ke sumber suara. Suara seorang pria yang pernah selentingan teringat di memori. Aku menerka, dan benar saja itu dia.

  • Poor Fatma   Bab 11

    Bapak pria setia. Sepeninggal Ibu, tidak sekali pun ada niatannya untuk menikah lagi. Meski harus bersusah-susah menggendongku dengan selendang di belakang punggung sambil menarik gerobak sampah, statusnya bertahan sebagai seorang duda.Pada usiaku yang ketiga belas, datang seorang wanita yang usianya jauh di atas Bapak. Kutaksir dia seorang yang berkecukupan, sebab tangan dan lehernya berhias perhiasan emas. Dia pun datang dengan mengendarai motor yang tidak kuno modelnya.Kata wanita itu, dia warga desa sebelah. Dengan terang-terangan diutarakannya keinginan untuk menjadikan Bapak sebagai suami—pengganti dari suami yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kenapa memilih bapakku? Alasannya cukup menarik. Menurut dia, Bapak punya aura lelaki penuh tanggung jawab, tampan, dan pantas menjadi ayah tiri bagi anak-anaknya.Sayang, Bapak menolak hasrat wanita itu. Baginya, hanya ada satu wanita yang terpuja di hatinya yaitu almarhum Ibu. Padahal, sudah terhitun

  • Poor Fatma   Bab 10

    Lio tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap tajam buku gambar. Pensil warna biru sudah ada di genggaman, tetapi dia seolah-olah belum berniat mengarsirkannya di lembar putih polos. Mungkin saja dia tengah bingung apa yang hendak dilukis di sana.Aku berdiri terpaku di ruang tengah rumah Mbak Ajeng, menatap nanar ke arah anak itu. Tanpa sadar kuremas perut. Ingatan akan bayi yang pernah bergerak aktif di dalam sini, membuat degup jantung terpacu. Ada yang terasa sesak di dada—yang kemudian menstimulasi mata untuk membuat bendungan hangat.Sejenak, aku merasa Tuhan pilih kasih. Kenapa Dia biarkan seorang anak seperti Lio kepayahan mengikuti arus dunia, sedangkan aku yang terlanjur menginginkan anak, harus rela kehilangan secara terpaksa.“Kamu mau menyapa Lio dulu, atau langsung ke kamar Ajeng?” Dokter Pandri—yang menyusul langkahku setelah memarkir mobil—memberi penawaran.“Bertemu Mbak Ajeng saja,” tegasku.

  • Poor Fatma   Bab 9

    Aku sedang rindu hujan. Hujan yang membawaku pada lamunan, juga hujan yang mendatangkan garis waktu bernama takdir. Takdir bertemu dengan Mbak Ajeng.Entah sudah berapa lama, karena aku tak menghitung pasti lewat angka-angka di kalender. Mungkin, sekitar empat bulan, atau lima bulan. Mbak Ajeng benar-benar tidak bertandang lagi ke rumah ini. Sempat tercetus kata sesal dalam hati, sebab ucapanku pada pertemuan terakhir waktu itu mungkin melukai hatinya.Ada dua hal yang membuatku begitu ingin bertemu lagi dengannya. Pertama ialah kesendirian. Pada jam-jam siang, tak banyak yang bisa kulakukan. Selesai mengerjakan pekerjaan rumah, aku hanya bisa duduk di ruang tamu dan memandang kosong ke halaman depan. Tidak ada lagi canda tawa dari seorang tamu asing yang tersasar ke rumah, tidak ada perhatian-perhatian manis layaknya seorang kakak yang memanjakan adiknya, dan tidak ada aroma wangi seorang wanita sempurna yang mencocok hidung.Hal kedua adalah tentang Surya. Sud

  • Poor Fatma   Bab 8

    Andaikan aku punya sayapKu ‘kan terbang tinggi, mengelilingi angkasa‘Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamakuMelihat indahnya duniaMelihat indahnya ... dunia ....“Lagu itu terdengar dari radio tetangga, yang entah kenapa disetel keras-keras. Saat itu usiaku baru empat tahun, tapi belum fasih bicara. Dengan mengingat-ingat liriknya, kucoba menyanyikan lagu itu, Mbak. Lalu, tahukah apa yang terjadi?”Mbak Ajeng menggigit bibir sambil mengetuk-ketuk telunjuk di dagu. “Entahlah. Memangnya apa?”Aku bercerita lagi. “Anak tetanggaku mencibir dari jauh, lidahnya dijulur-julurkan, dan mukanya tampak jelek karena kantung matanya ditarik ke bawah. Mengesalkan sekali!”Semula Mbak Ajeng menahan tawa. Namun, akhirnya lepas juga. Mungkin, yang dirasa lucu bukan cerita itu, melainkan karena aku bercerita sambil menggosok-gosok tangan yang perih akibat gigitan Lio.&l

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status