"Namanya Cerise Park, guys!!" teriak Sierra kepada kedua sahabatnya sambil memasuki kelas dengan heboh.
"Cerise?" ucap Vanilla mengulangi nama itu.
"Anak kelas sebelah, ya?" sela salah satu teman sekelasnya yang menguping pembicaraan mereka.
"Seirra, kamu pasti cembokir kan, dia deket banget sama Altair di kelas sebelah," sahut teman sekelas lain sambil mengejek. Satu kelas pun ikut riuh dan menyoraki Sierra yang merupakan mantan dari siswa tampan bernama Altair itu.
"Wah, sayang sekali sang mantan mudah move-on!!" sorak Sovann, yang merupakan anggota ekskul basket Ravi dan Altair. Ia dengan usil ikut menyoraki Sierra yang semakin memeriahkan sorakan kelas.
Mendengar komentar tersebut, Sierra menatap tajam semua teman sekelasnya yang mengganggunya. Tanpa berkata apa pun, dia duduk di bangkunya dan memilih untuk tidak peduli.
Saat melihat kehebohan di kelas, Ravi justru merasa panas dingin, yang membuatnya menjadi panik.
***
Sierra nampaknya iri terhadap hubungan dekat antara Altair dan siswi baru yang cantik itu. Dengan diam-diam, Sierra mengambil ponselnya dan segera mengirim pesan chat.
Sierra: Cieee, yang udah deket sama cewek
Altair: Lah, terus kenapa
Sierra: Ga apa-apa, selamat ya, pepet terus :)
Altair: Lu gatau apa-apa
Sierra: Harus tahu apalagi kalau semuanya sudah jelas
Altair: Dia udah mau tunangan, lo ga usah takut
"Tunangan?" gumam Sierra.
"Siapa yang tunangan? Ravi?" tanya Avery refleks menjawab gumaman teman sebangkunya.
"Hmm? Tunggu bentar...."
Dengan instingnya yang tajam, Sierra tiba-tiba membuat sebuah kesimpulan yang menarik. Ada siswi baru di sekolah dan mungkin dia akan segera bertunangan. Vanilla baru saja mengakhiri hubungannya karena Ravi yang akan bertunangan. Hari ini, Ravi terlihat hening dan tidak seperti biasanya.
"Mungkinkah?" gumamnya lagi.
*Ting!* Sebuah pemberitahuan chat muncul lagi, menandakan pesan baru dari Altair.
Altair: Lagipula untuk apa sih minta putus hanya gara-gara Avery
Altair: Gak lama, Sovann juga bakal ngajak Avery pacaran kayaknya
Sierra menekan tombol kunci layar ponselnya. Sekarang dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mungkinkah Cerise adalah tunangan Ravi? batin Sierra.
Sierra mengalihkan pandangannya ke belakang kelas, di mana Ravi berada bersama teman-temannya. Ketika Ravi menyadari bahwa Sierra sedang menatapnya, dia pura-pura tidak melihat dan mengalihkan pandangannya. Dia hanya berharap agar Sierra tetap menjaga hubungan persahabatannya dengan Vanilla. Jika bisa, jagalah Vanilla sampai menemukan cinta sejatinya yang lain.
***
"Vanilla, sini," panggil Sierra di dekat gerbang sekolah. Vanilla pun menyahut panggilannya. "Coba lihat ini."
Sierra pun menunjukkan potongan pesan chat Altair pada ponselnya. "Wah, kamu masih berhubungan baik sama Altair? Eh-"
Setelah melihat kata 'tunangan' dalam percakapan tersebut, Vanilla langsung memahami apa yang dimaksud Sierra.
"Ingat, ini 'kan baru asumsi," ucap Sierra coba menenangkan. "Kalau ini beneran, kamu bakal kaya gimana?"
Mendengar hal itu, Vanilla menjadi tertegun. "Kalau boleh jujur, aku semakin sakit hati jika tunangannya bersekolah di sini," ucapnya.
Sierra tersenyum mendengarnya. "Aku senang kamu jujur tentang perasaanmu. Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku ya," ucap Sierra.
Vanilla memeluk tubuh tinggi Sierra. "Makasih ya, Sierra. Kamu selalu ada di saat aku butuh. Maaf, aku pernah meninggalkan kalian saat aku masih pacaran sama Ravi dulu," ucap Vanilla. Sierra pun memeluk balik sahabatnya itu.
Dari kejauhan, Ravi melihat Sierra dan Vanilla berpelukan di samping gerbang sekolah. Ia cukup lega melihat Sierra benar-benar menjaga mantan kekasihnya itu. "Ayo," tutur Ravi setelah ia siap untuk mengendarai motornya.
Cerise pun segera duduk di belakang Ravi. "Kuy," ucapnya setelah siap untuk pulang bersama.
***
Hari ini tidak ada kelas tambahan. Ini merupakan pertama kalinya Vanilla pulang sendiri setelah putus. Tampaknya dia tidak ingin langsung pulang ke kosnya. Dia ingin pergi ke taman di kota untuk berjalan-jalan sendiri dan mengurangi stres.
Setelah membeli es krim dari sebuah stan di taman, secara tak sengaja ia melihat Ravi dan Cerise di sisi lain jalan. Ya, kecurigaannya bersama Sierra ternyata tepat.
Cerise terlihat meminta dengan manja agar masuk ke toko perhiasan di seberang jalan. Vanilla pun bersembunyi sambil terus mengawasi mereka. Akhirnya, Ravi berhenti dan memarkirkan motornya di dekat jembatan, kemudian mereka berdua masuk ke toko perhiasan tersebut.
Setelah 15 menit dari saat mereka masuk, Cerise sudah keluar dari toko dan membawa paper bag yang berisi sebuah kotak cincin. Dengan tidak sabar, Cerise ingin segera mengenakan cincin itu, lalu dia mengambil kotak cincin dan membukanya. Namun, secara tidak sengaja, cincin itu terjatuh dan bergulir ke sungai di bawah jembatan.
Cerise terlihat berusaha mengejar cincin dengan panik, namun tangan Ravi segera menghentikan usahanya karena sungai di bawah jembatan itu dikelilingi oleh rumput tinggi yang terlihat berbahaya.
Dari ekspresi wajah mereka, terlihat bahwa Ravi berjanji akan membelikan cincin baru suatu saat lagi nanti. Sepertinya dia berusaha membuat Cerise melupakan cincin itu. Awalnya Cerise panik, namun dia mulai merasa tenang dan mengangguk setelahnya. Akhirnya, mereka berdua meninggalkan cincin tersebut dan pergi.
Melihat kejadian itu, Vanilla tiba-tiba merasa ingin menhikuti isi hatinya. Selama hubungannya dengan Ravi, belum pernah sekali pun dia diberi cincin. Sekarang, dia merasa menginginkan cincin itu.
Ravi dan Cerise sudah tidak terlihat lagi. Vanilla segera melepas ranselnya dan meletakkannya di samping jembatan. Dia melangkahi pagar dan menjejakkan kakinya ke dalam rumput tinggi yang tajam itu. Langkahnya membawanya turun menuju sungai, tempat kemungkinan cincin itu berada.
Meskipun masih mengenakan rok pendek sekolah, Vanilla tidak memperdulikan luka-luka yang terus melukai kakinya. Dengan melihat sedikit pantulan cahaya di permukaan air, akhirnya dia menemukan cincin itu.
***
Vanilla telah sampai di kamar kosnya. Saat melihat tirai kamar depan yang tampaknya tidak akan pernah dibuka lagi, dia menduga bahwa Ravi mungkin sudah pindah. Namun, sekarang Vanilla bingung bagaimana cara menutupi luka-luka yang ada di kakinya.
Dari ujung kaki hingga pangkal pahanya, terdapat luka-luka tipis seakan tersayat. Beberapa bahkan mengeluarkan darah. Vanilla kemudian menutupi luka-luka tersebut dengan plester luka. Sementara itu, luka-luka yang lain ia coba mengobatinya dengan mengoleskan cairan obat luka.
Padahal, ini masih hari pertama di minggu ini. Sepertinya, tidak ada harapan untuk bisa menutupi luka-luka kecil yang ada di kakinya. Jika dipakaikan perban, kain kasa tersebut akan menyelimuti seluruh kakinya. Jadi, hal itu tak mungkin ia lakukan.
***
"Ya ampun, Vanilla! Kakimu kenapa?" teriak Sierra dengan histeris. Kakinya penuh luka tipis dengan beberapa plester.
"Ssst! Diam. Diam," Vanilla malah menyuruh kedua temannya untuk diam.
Vanilla baru merasa menyesal atas tindakannya kemarin. Semua ini terjadi karena cincin yang kini dipakainya. Mungkin seharusnya dia tidak melakukan hal tersebut, terutama karena dia mengenakan rok sekolah yang pendek, sehingga luka-luka itu terlihat jelas.
"Gak sakit, kok. Sumpah," ucap Vanilla yang terus meyakinkan teman-temannya.
Sejujurnya, luka-luka ini cukup menyakitkan. Namun, semua ini sebanding dengan nilai dari cincin yang jelas-jelas mahal. Tidakkah begitu?
Di belakang kelas, Ravi dan kawan-kawannya merasa agak canggung, merasa enggan menunjukkan simpati pada Vanilla, terutama setelah dia putus. Ravi menjadi lebih jarang berbicara dengannya, bahkan mencoba sibuk dengan mengobrol bersama teman-temannya yang lain dari tim basket.
Namun, dalam pikiran Ravi, ia tentu cemas tentang kondisi kaki Vanilla. Dia merasa heran mengapa kaki Vanilla memiliki luka sayatan seperti itu di seluruhnya.
(Bersambung)
Akhirnya, bel istirahat sekolah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya menuju kantin. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Altair yang langsung menyapanya.“Hai, nyonya Kim. Waduh, kakimu kenapa tuh?” ucap Altair sambil menanyakan kondisi kaki Vanilla.“Hai juga, Altair,” balas Vanilla yang hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyuman.Dari balik tubuh Altair, muncul siswi baru tersebut. Murid baru itu merasa mengenal cincin merah muda yang ada di jari gadis di depannya.“Tunggu sebentar,” ucapnya. Ia meraih tangan Vanilla untuk memastikan bahwa cincin itu merupakan cincin miliknya.“Ini ‘kan cincin pemberian Ravi untukku kemarin?” tanya Cerise pada gadis yang baru ia jumpai itu. Ia cukup kaget mengapa cincin itu persis dengan cincin yang ia beli. Hal itu terbukti dari ukiran huruf ‘R’ yang ada pada cincin itu.“Kamu bilang apa barusan?” tanya Avery sambil mendekat. Ia merasa salah dengar karena gadis itu menyebut mantan dari sahabatnya tersebut."Ma-maaf, sepertinya aku sal
Bel pulang telah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya saling berpamitan di gerbang sekolah karena arah pulang mereka yang berbeda-beda.Vanilla sebenarnya memiliki rencana untuk singgah di suatu tempat. Dia merasa gelisah, dan merasa bahwa akan lebih sulit bagi dirinya jika hanya diam sendirian di kamar kosnya.“Vanilla,” panggil seseorang dari belakang.Saat Vanilla berbalik, dia kaget mendapati bahwa yang muncul di hadapannya adalah Ravi. Ravi menyempatkan diri untuk bertemu dengan Vanilla sebelum dia pergi ke tempat parkir motor, sambil menunggu kedatangan Cerise.“Vanilla, cincin itu-”“Maaf!” tutur Vanilla dan ia langsung membungkuk.“Cincin ini akan aku kembalikan ke Cerise. Maaf karena aku telah mencurinya!” jelas Vanilla. Ia jelas malu dan tengah menahan tangisan. Tak ia sangka bahwa ternyata ini yang terjadi, jika memungut cincin Cerise.Ravi dan teman-temannya bahkan telah mengetahui situasi tersebut. Yang lebih buruk lagi, kesalahpahaman Ravi menyebabkan dia memberitahu semu
Altair mencoba melihat kondisi Vanilla. Ia tampak seperti menahan kesakitan.“Inilah hal yang aku takutkan terjadi padamu. Kau hancur karena cintamu terhadap Ravi,” ucap Altair.“Bukan hal itu….” jawab Vanilla sambil menangis terisak-isak.Ia pun berusaha melanjutkan, “Aku dikejar… oleh dua orang pria... Tapi aku tidak bisa cerita sekarang….”Vanilla ingat bahwa ia hampir dilecehkan pada waktu itu. Seharusnya ia tidak mengatakan kasus ini kepada siapapun. Masa depannya akan menjadi taruhan.Pria-pria tersebut bisa saja ia temui dimana saja. Ia juga baru ingat bahwa pergerakannya juga dimata-matai. Dirinya bahkan bisa saja berakhir sama persis dengan penulis Aithne Han, atau mungkin lebih buruk.“Astaga, lalu bagaimana?” ucap Altair dengan panik.Mata Vanilla mulai berkunang-kunang. Efek dari lari sejauh itu ternyata separah ini. Lalu, bagaimana caranya aku bisa p
“Ngomong-ngomong kita bakal pulang jam berapa?” tanya Akarsana pada yang lain. “Sekarang masih jam tiga lebih. Kayaknya sampai jam lima, sesuai jam pulang les gua,” sahut Zavier. Semuanya setuju untuk tidak main berlama-lama. Selesai bermain permainan tembak-tembakan, Vanilla sekilas melihat pria yang memakai seluruh baju hitam. Topi itu. Pria baju hitam yang memakai topi khasnya. Matanya terlihat sedang melihatnya. Dengan melihat atributnya saja, Vanilla mengenali bahwa itu adalah pria yang selalu mengikutinya. Kini, Vanilla tidak akan lupa. Vanilla sempat beranggapan bahwa dirinya akan aman, jika bersama dengan yang lain. Nyatanya, kini ia takut kasus yang menjeratnya itu malah berdampak buruk pada yang lain. Vanilla berpikir, masa depan teman-temannya jangan sampai ikut rusak karena kasus yang menimpanya. Melihat semuanya sedang bersenang-senang, ia tidak ingin merusak kebahagiaan teman-temannya itu. “Vanilla?” Vanilla terse
Mereka sedang berada di kamar Vanilla. Ravi mengantarkannya hingga Vanilla duduk di kasurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. “Kamu gak pulang?” tanya Vanilla. “Pulang kemana?” jawab Ravi. “Pulang ke rumahmu, lah,” ucap Vanilla dengan heran. “Ini ‘kan udah pulang,” jawab Ravi dengan santai. “Sana pulang!” suruh Vanilla sambil menendang-nendang. Ia menganggap omongan Ravi itu hanya bercanda. “Lima langkah dari sini ‘kan udah pulang. Ngapain juga diam-diaman terus di kamar masing-masing?” tanya Ravi yang juga heran dengan reaksi Vanilla. “Kamu masih ngekos di kamar itu?” tanya Vanilla tidak menyangka. “Masih, lah,” jawab Ravi. “Kok, gitu? Bayaran sewanya ‘kan masih jalan kalau gak ditempatin,” ucap Vanilla. “Ya, gak apa-apa. Entah kenapa gua masih ingin tinggal disini,” jawabnya. “Jual ‘overkost’ aja di akun sewaan sekolah,” tutur Vanilla. “Gua juga punya alasan. Sama kayak lu yang izi
Setelah dirinya menemui Cerise, ia tidak pulang menuju apartemennya. Ia mengendarai motor menuju rumah susun yang berada di dekat sekolah itu.Di sana, Vanilla sangat terkejut mendapati Ravi yang sedang meletakkan helm di depan kamarnya.“Ravi? Kenapa pulang ke sini? Ini ‘kan weekend?” tanyanya.“Vanilla, jawab pertanyaanku. Kau berpacaran dengan Altair?” tanya Ravi langsung pada intinya.“Gila, tentu saja tidak!” jawab Vanilla refleks.“Sekarang tunangan telah dibatalkan. Kini, kau tidak ada alasan lagi untuk menghindar,” ucap Ravi dan langsung memeluk gadis yang ada di depannya itu. Jujur, ia takut kehilangan.“... Sungguh?” tanya Vanilla dengan hati-hati.Ravi pun menjawabnya dengan anggukan.***Mereka kini sedang berada di kamar Vanilla. Ravi menanyakan segala yang ingin ia tahu, seperti apa saja yang Vanilla lalui sendiria
“Sampai kapan kita harus di sini?” ucap Vanilla saat ia mulai sadar dan tenang. Mereka cukup lama bersembunyi di lemari loker itu. “Sepertinya sudah aman,” ucap Ravi. Ia membuka pintu loker dan melihat ke arah sekitar. Nampaknya pria-pria itu mengira mereka kabur dari tempat ini. “Ayo.” Mereka pun keluar dengan hati-hati dan segera pulang. Vanilla kagum melihat cara Ravi menghindari para antek politikus itu. Sangat berbeda saat ia menghindarinya sendirian. Ravi menghindari penjahat tersebut dengan cermat dan semakin membuat Vanilla jatuh hati. Tak terbayangkan jika Ravi tidak sedang berada di sisinya. *** Sudah malam, namun Ravi masih berada di kamar Vanilla. Sedari tadi, Vanilla tidak banyak berbicara. Mukanya menunjukkan bahwa ia trauma. Ravi mencoba menenangkannya pelan-pelan. Ravi kali ini tidak akan meninggalkan Vanilla sendirian. “Sudah merasa enakan?” tanya Ravi. Vanilla tidak menjawab denga
“Terserah. Aku pergi.”Altair pergi tanpa menggubris pertanyaan Ravi. Jawaban Altair semakin membuat Ravi tidak percaya. Teman satu ekskulnya itu, kini menyukai perempuan yang sama.Entah mengapa ia merasa kalah dibanding Altair. Hal ini karena ia terjerat dengan Cerise.“BRENGS*K!!!”***Ravi mulai ragu terhadap keputusan yang ia buat. Orang tuanya tidak marah karena tunangan hanya ditunda. Ravi juga mengira bahwa ia bisa mengelabui Cerise. Namun sepertinya, Cerise juga mencintainya dan tidak mau lepas.Ravi pulang ke rumah susunnya setelah ia mengantar Cerise. Ia ingin segera menemani Vanilla, yang tidak masuk sekolah pada hari ini. Saat ia masuk ke kamarnya, ia tidak menemukan Vanilla di dalam. Kamarnya pun ia dapati dalam keadaan pintu terbuka. Kemana perginya Vanilla?Secara tidak sengaja, Ravi memang ikut berurusan dalam kasus ini. Ia juga tidak membiarkan Vanilla menghadapi ka
Avery membuka pintu depan rumah itu. Ia melihat selotip dan papan tulisan ‘disita’ di sekitar pintunya. Sierra di belakang membawa senter besar untuk menerangkan penglihatan mereka. Mereka masuk dengan perlahan. Mereka berdua tidak menyangka Vanilla berada di rumah ini. Mereka langsung dihadapkan dengan ruang tamu yang kosong. Mereka berdua menelusuri ruang-ruang sekitar untuk mencari Vanilla. Mereka tidak melihat Vanilla di ruangan mana pun. Mereka berdua mengerti bahwa mereka harus mencari dimana Vanilla sedang bersembunyi. Avery dan Sierra langsung tertuju pada sebuah kamar di lantai atas. Pasti itu adalah kamar Vanilla. Mereka membuka pintu yang tidak terkunci itu. Mereka melihat banyak boneka yang sudah berdebu. Interior kamar girly juga menunjukkan bahwa ini benar Vanilla. Di sana ada sesuatu yang janggal. Terdapat sebuah kursi yang terletak di atas sebuah meja. Diatasnya terdapat lubang kotak yang bisa digapai untuk masuk. Avery dan Sie
Saat Avery bangkit dari tempat duduknya, tiba-tiba tangannya ditarik ke luar ruangan oleh Sovann. Ia sangat terkejut, mengingat obsesinya yang meluap baru-baru ini terhadap pria itu. Avery masih coba menstabilkan raut mukanya di hadapan pria itu.Secara tak terduga, Sovann mengeluarkan tempat cincin berwarna merah dari saku seragamnya. Sovann membuka kotak cincin itu, lalu ia pun menunjukkan cincin itu ke depan Avery.“Kalau seperti ini, kau tidak akan pergi lagi ‘kan?” tanya Sovann dengan nada hati-hati.Avery tak menyangka. Pria yang dulunya sering menjahilinya tersebut kini melamarnya. Namun, Avery tidak lupa alasan mengapa ia pergi ke tempat ini. Ia ingin menyelamatkan sahabatnya terlebih dahulu.Tangan Avery menutup kotak cincin itu. Perlakuan tersebut sempat membuat Sovann kaget. Avery pun menjelaskan alasan ia belum bisa menerima cincin pemberian Sovann tersebut.“Aku ingin Vanilla selamat terlebih dahulu. Jika ia dit
Kebiasaan buruk setiap malam Avery adalah diam-diam melihat aktivitas Sovann di media sosialnya. Ia ingin pria itu menyesal setelah dirinya pergi jauh. Naasnya, tampak tidak banyak pengaruh kepergiannya terhadap kehidupan Sovann.Memang sudah saatnya ia berhenti memikirkannya. Avery pun hendak memblokir kontak Sovann guna menghentikan ketergantungannya setiap malam. Ia hanya tersiksa seorang diri hanya karena merindukan pria itu.Jam masih pukul 3 pagi. Avery masih belum bisa tidur sedari tadi. Ini memang tak sengaja melakukannya setiap hari. Insomnia susah dihilangkannya sejak ia pindah. Ia terus memikirkan bagaimana kabar Sovann yang selalu hadir di pikirannya.Namun di sisi lain, Avery tidak menyesal pindah ke kota ini. Jika ia tidak keluar dari zona nyamannya, mungkin hidupnya akan seperti itu-itu saja. Ia akan menjadi orang biasa di antara teman-temannya yang pintar itu.Kecantikannya juga tertutup oleh teman-temannya yang cantik itu. Ia setidaknya m
Saat Vanilla mengambil cutter itu, akhirnya ia juga membawa sebuah laptop untuk berjaga-jaga. Ia juga ingin memilih tempat yang aman untuk bunuh diri. Ia tidak ingin ditemukan di dalam kamarnya.Vanilla pergi ke rumah keluarganya yang dulu. Setelah sekian lama, akhirnya ia pulang. Kira-kira sudah dua tahun ia meninggalkan rumah ini.Dulu, rumah ini terasa seperti istana yang menahannya untuk keluar. Rumah ini seperti penjara, namun sangat nyaman. Sangat sedih melihat terdapat tulisan papan dan selotip yang bertulis ‘disita’ di beberapa bagian rumah.Rupanya rumah ini ikut ditangguhkan untuk membayar utang perusahaan orang tuanya itu.Rumah ini belum ada yang menempati lagi. Sepertinya, rumah ini akan terbengkalai sebagai aset perusahaan yang dihutanginya itu. Vanilla pun nekat masuk ke dalam dan cukup terkejut mengetahui pintu rumah ini sama sekali tidak terkunci.Ia mendapati potongan kayu yang seperti dicongkel dengan besi. Sepertinya
Ravi sangat shock terhadap aksi Reivant dengan menjatuhkan lemari hingga lemari itu jatuh ke lantai. Ia sepertinya merupakan seseorang yang psikopat. Setelah melihat Reivant telah meninggalkan ruangan, Ravi segera mengecek apakah Vanilla baik-baik saja di dalam.Ia tidak mendengar suara Vanilla buat dari dalam. Ravi kebingungan terhadap apa yang harus ia lakukan. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha mengangkat lemari yang kacanya sudah pecah itu ke posisi semula.Saat lemari itu diangkat, semua isinya berhamburan karena kaca penghalangnya pecah. Vanilla pun ikut terjatuh dari laci atas saat pintu itu terbuka karena rusak. Dengan susah payah, Ravi mengembalikan posisi lemari itu meski isinya sudah berhamburan keluar.Setelah itu, ia memfokuskan dirinya ke Vanilla yang baru saja terperangkap pada lemari yang jatuh itu.“Kau baik-baik saja? Ada yang terluka?!” ucap Ravi dengan panik. Kaki dan telapak tangannya tampak tergores hingga mengeluarkan dar
Vanilla sangat sadar bahwa Ravilah yang telah menolongnya. Sebenarnya, ia sama sekali tidak merasa senang. Tidak adakah orang yang menolongnya selain dia? Yang menolongnya lagi-lagi Ravi, seolah tidak ada orang lain di dunia ini. Dirinya merasa sangat tidak enak. Ia harap Ravi segera pulang meninggalkan dirinya sendiri di kamar ini. Ravi yang tampak mengkhawatirkannya pun akhirnya memecah keheningan di antara mereka. “Kamu… dan Reivant berpacaran?” tanya Ravi dengan hati-hati. Vanilla sungguh sangat malas membahasnya. Keberadaan Ravi di kamar ini seperti hanya ingin tahu masalah-masalah apa saja yang sedang dialaminya. Vanilla hanya membuang muka berharap suami orang lain itu pergi. “Baiklah, jika kau masih belum mau terbuka denganku...” ucap Ravi. Vanilla tidak peduli. Ia ingin sosok mantannya itu pergi dari hadapannya. Sedari tadi Vanilla hanya membuang muka sambil menutup matanya. Ia hanya menunggu Ravi berinisiatif untuk pergi. “Ji
Hari sudah sore. Vanilla masih terduduk di sebuah halte yang letaknya paling dekat dari sekolah. Tatapannya kosong menatap jalanan. Di dalam otaknya, ia sedang berpikir. Mengapa hidupnya serusak ini, padahal ia tidak melakukan hal yang buruk selama hidupnya.Rumor-rumor tidak benar itu selalu lebih dipercaya oleh banyak orang. Mengapa ada orang yang sangat membencinya hingga membuat rumor itu dengan sangat niat? Lalu, mengapa orang-orang sangat mudah percaya tanpa bertanya langsung kepada korbannya?Tak pernahkah mereka berpikir bahwa semua ini berupa fitnah? Tak ingatkah kalian sosok seperti apa diriku di waktu yang lalu? Aku hanya gadis biasa yang sangat polos, bahkan terpintar di kelas. Tak pernah terpikirkan kah bahwa semua itu hanya rumor untuk menghancurkan nama baikku?Mereka mulai membenciku saat aku jatuh miskin karena orang tuaku meninggal dan bangkrut. Aku pun terfitnah mencuri uang jumlah besar di kelas. Aku juga sering bolos sekolah karena alasan sa
Pria yang menariknya itu adalah Reivant. Setelah baru sadar bahwa pria itu Reivant, Vanilla menarik tubuhnya untuk menolak ajakan apapun yang akan dilakukannya.“Ikuti aku!!” teriak Reivant sambil terus menggenggam tangan Vanilla.“Tidak mau!” balas Vanilla dengan menghentikan langkahnya.“Kau sudah berani melawan, ya?”Bugh!Reivant menendang perut Vanilla dengan lututnya.“Akh!” Vanilla hanya meringis perutnya ditendang secara tiba-tiba.Reivant pun terus menarik Vanilla ke arah mobilnya. Vanilla pun berhasil ia masukkan dan Reivant segera menyetir mobilnya menuju bar yang biasa ia kunjung itu.Seseorang melihat pergerakan Reivant dan Vanilla. Ia secara diam-diam mengambil beberapa gambar dan memilih foto mana yang lebih ambigu. Ia pun melanjutkan narasi yang berada di ponselnya itu.‘... Kehamilan Vanilla nampaknya akan diaborsi.’Ia menekan tombol &ls
Empat orang gadis menghalangi jalannya. Vanilla bahkan tidak tahu siapapun nama dari sekelompok gadis itu. Vanilla sempat mengira bahwa mereka melakukan itu secara tidak sengaja. Namun, satu gadis yang paling depan itu tetap menghalangi jalan saat Vanilla hendak ke arah lain. “Kau masih berani menginjakkan kaki di sekolah ini?” ucap gadis itu. Vanilla hanya terdiam. Ia malas berbicara kepada orang yang tidak ia kenal itu. Vanilla sangat ingin menghindari mereka, namun mereka malah terus menghalangi. Ia pun terpaksa mendengar perkataan mereka yang ingin mereka bicarakan. “Vanilla. Kim. Kau tahu perbedaan kau dengan ini?” Gadis itu memegang botol perisa vanilla yang biasa digunakan untuk membuat kue. “Perbedaannya adalah vanila yang ini masih disegel, namun kau sudah rusak segelnya,” ucap gadis itu dan disusul tertawaan gadis-gadis yang berada di belakangnya. Beberapa orang yang menonton pun ikut tertawa karena mendengar sindiran yang blak-blaka