Segera setelah mengatakannya Erick bisa melihat wajah Lani memerah di balik cahaya temaram.Perempuan itu pun akhirnya mengangguk kecil."Oke, deal!"Lani mulai menyiapkan telinganya untuk mendengar cerita Erick.Erick mulai menimang-nimang. Lelaki itu beranjak duduk bersandar di kepala ranjang. Begitu pun Lani.Namun, baru saja hendak memulai, tiba-tiba saja hatinya dipenuhi keraguan. "Ng ... mending nggak usah deh," ucapnya gamang. Ia masih ragu untuk membagi kisah kelam masa lalu yang sudah berusaha ia kubur dalam-dalam. Kisah yang tak banyak orang tahu bahkan keluarga terdekatnya sekali pun. Hanya mereka para saksi kunci yang mengetahui apa yang pernah terjadi dengan masa lalunya.Bahwa dulu ... ia pernah mengalami sebuah kejadian pahit yang tak mengenakan. Kadang saat mengingatnya perasaan mengoyak hati, membayangkan kilas-kilas kejadian kelam di masa lalunya."Mas ...." Lani memasang ekspresi andalan yang kadang membuat Erick tak tega untuk menolak.Pada akhirnya pria itu mengh
Waktu bergulir, hari beranjak, dan bulan berganti. Tiga bulan sudah Lani menyandang status sebagai bagian dari keluarga konglomerat-- Wardhana.Tak banyak yang berubah. Ia masih tetap dirinya. Lani yang menyukai kesederhanaan, lembut, dan penyayang. Mempunyai suami dan mertua yang kaya raya tak membuatnya menjadi pongah dan mudah puas akan pencapaian itu.Ia masih merasa belum berhasil setelah ada di titik ini. Karena Erick, lelaki itu ... masih saja belum mempercayakan Lani akan hatinya yang utuh. Dinding kokoh yang pria itu bangun untuk membentengi diri masih terlalu kuat untuk Lani robohkan.Entah harus bagaimana dan seberapa lama ia menunggu. Yang pasti Lani masih tetap sabar menanti di sini, di tempat yang sama, dan tak beranjak. Kelak ia pun yakin. Cepat atau lambat suaminya akan luluh juga.Di tengah lamunannya, tiba-tiba Lani dikejutkan dengan suara dering ponsel yang berbunyi di saku gamisnya. Perempuan itu beranjak dari balkon setelah menutup pintu kaca pembatas agar tak mem
Setibanya di rumah sakit Lani semakin kebingungan, saat Bi Ningsih tiba-tiba membawanya menuju ruang pemeriksaan ibu dan janin setelah mendaftarkan diri."Bi, kenapa kita ke sini? Lani nggak hamil!" "Yakin?" tanya Bi Ningsih seraya tersenyum penuh arti, "sok periksa dulu, baru protes!" sambung Bi Ningsih tak ingin dibantah.Lani tertegun di tempat. Lekat ia tatap perut datarnya sebelum melangkah masuk.Setelah melewati pergolakan batin yang hebat, akhirnya ia melangkah masuk. Pasrah saat seorang dokter perempuan memintanya berbaring di atas brankar dan mulai memeriksa.Lani menunggu harap-harap cemas. Dia mulai memikirkan Erick lagi. Bagaimana kalau hal itu benar, dan suaminya tak bisa menerima. Lagi pula selama ini ia tak pernah memakai kontrasepsi. Jadi, kemungkinan positif-nya bisa saja besar.Setelah selesai, dokter itu membantu Lani bangkit, kemudian tersenyum lebar. Tangannya tampak terulur hendak menjabat tangan Lani."Selamat ya, Bu ... ibu positif hamil!""Alhamdulillah ...
Tamparan keras itu mendarat di pipi kanan Erick. Meninggalkan bekas kemerahan di sana. Lani menggeleng beberapa kali, tangisnya tak bisa lagi terbendung. Ia rasa Erick sudah sangat keterlaluan. Setidaknya bila Lani tak berarti apa pun selama ini. Tak bisakah ia sedikit menghargainya sebagai seorang istri?Diperlakukan seperti ini, Lani benar-benar merasa hina. Ia bahkan merasa lebih hina dari pada para jalang yang berkeliaran luar sana."Sadarlah Mas Erick ... aku ini istrimu! Tak bisakah sedikit Mas menghargai perasaanku? Selama ini aku hanya diam, bukan berarti aku tak bisa merasa. Aku punya hati Mas, aku punya hati yang sewaktu-waktu merasakan sakit. Aku punya perasaan yang bisa bereaksi saat disakiti. Aku punya iman, yang kupegang teguh hingga bisa bertahan dengan lelaki sepertimu!" Emosi Lani tak bisa lagi terkontrol. Untuk pertama kali di dalam hidupnya ia berteriak sekencang ini pada seseorang.Erick tertegun, ia benar-benar tak menyangka Lani akan menamparnya dan berteriak hi
Mata Erick perlahan terbuka saat merasakan cahaya matahari masuk dari celah jendela. Menerangi kamarnya yang tampak kelam seperti dirinya."Lani!" Seperti biasa ia memanggil-manggil nama Lani. Namun, tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara televisi yang masih menyala karena Erick selalu lupa mematikannya.Pria itu mendesah lelah. Seminggu sudah Lani pergi tanpa kabar. Segala upaya telah ia lakukan, tetapi berakhir nihil. Keberadaan Lani seolah tak tercium sama sekali. Ia malu bertanya pada Ainun apalagi kakeknya. Yang ada Sultan akan melontarkan segala sumpah serapah atau memukulinya dengan tongkat andalan.Meskipun malas Erick tetap menjejakkan kaki menuju kamar mandi. Kemudian memulai aktifitasnya seperti biasa. Pria itu menatap dirinya di cermin, kemudian mengernyitkan dahi. "Astaga Erick ... Lo kacau banget, sejak kapan ini tumbuh, dan apa ini ... fix kegantengan lo berkurang satu persen!" Erick menyentuh bulu-bulu halus di sekitar rahangnya yang mulai tumbuh, kemudian lingk
Di taman belakang Panti Malak Al Jannah Lani duduk, pikirannya berkelana entah ke mana. Dalam hening, ia usap perutnya yang masih datar, lalu memejamkan mata sejenak.Hampir sepuluh hari sudah berlalu perempuan itu dalam pelarian. Menghindari suaminya semampu yang ia bisa. Ini sudah kali ketiga Lani hampir ketahuan Erick yang datang ke kawasan panti. Namun, beruntung lagi-lagi ia berhasil bersembunyi, karena kebetulan Erick tak mengetahui lokasi kontrakannya.Sebenarnya perempuan itu merasa tak tega membuat Erick kelimpungan mencarinya. Namun, ia juga masih belum mampu bertatap muka dengan lelaki itu, apalagi mengingat obrolan terakhir mereka bak pisau yang menikam.Sesak rasanya ketika ia kembali mengingat kenyataan bahwa butuh waktu bertahun-tahun bagi Lani untuk membuat lelaki itu melihat ke arahnya, menyadari kehadirannya, juga mengerti perasaannya.Namun, hanya sedetik bagi Mariam untuk mengambil akal sehat Erick, hanya dengan parasnya.Sebenarnya pelarian ini hanya upaya agar in
"Iya, Mas. Aku mencintaimu jadi rasanya ingin kumaki diri ini yang begitu bodoh, karena masih bisa bertahan dengan lelaki brengsek sepertimu!" Seandainya ... seandainya, kata-kata itu mampu terucap dengan lantang dari bibirnya. Namun, sayang. Kalimat itu hanya mampu perempuan itu gumamkan. Lani tak kuasa melontarkannya begitu saja. Pada akhirnya ia hanya bisa menggigit bibir, lalu meremas handuk basah di atas baskom, dan mulai meletakkan sedikit melemparnya ke dahi Erick. "Aw, pelan-pelan, Lan. Ini jidat bukan lantai!" Erick mengaduh, dan menggeser tubuhnya sedikit. "Aku tahu, kalau dahi Mas lantai, sejak tadi aku nggak pake tangan tapi kaki," timpal Lani datar. "Ebusyet. Sejak kapan mulut lo jadi pedes macam ayam geprek. Gue lagi sakit, loh." "Kalau Mas nggak sakit aku nggak akan pulang." Erick melongo. Matanya tampak mengerjap beberapa kali melihat perubahan sikap Lani yang tiba-tiba. Pada akhirnya, lelaki itu memilih bungkam. Untuk saat ini berdebat hanya hanya akan memperk
"Neng belum kasih tahu tentang kehamilannya sama Pak Erick?" Bi Ningsih bertanya saat melihat Lani duduk di meja makan seraya memakan sebuah apel. Lani menggeleng pelan."Belum, Bi," jawabnya singkat."Kenapa?" Lani tersenyum kecil kemudian meletakan apel yang tersisa setengah itu di meja."Belum nemu waktu yang pas aja. Tapi cepat atau lambat Lani bakal kasih tahu, kok."Akhirnya Bi Ningsih hanya bisa mengangguk kecil. Meskipun ia tak tahu secara detail tentang apa yang menjadi penyebab kepergiaan Lani selama seminggu. Namun, ia yakin perempuan itu memang lebih senang menyimpan masalahnya sendiri.Bi Ningsih yakin ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua hingga menyebabkan sinar bening di mata Lani yang selalu terpancar itu perlahan surut. "Mau makan lagi?" tanya Bi Ningsih mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bi. Nunggu Kakek sama yang lain aja. Lagian Lani kurang nafsu makan akhir-akhir ini.""Iya, sih. Bibi juga ngalamin waktu hamil si Entin. Masa-masa hamil muda emang kaya
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun
Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita
"Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia
Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai
Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa
Seketika Erick termangu. Geming menatap Lani yang mulai beringsut mendekat. Kuat kepalan tangannya setiap melihat perempuan itu menghela napas, dan membuka mulut. Perasaan yang selama tiga bulan sempat teredam, kembali muncul ke permukaan kala Lani mulai mengungkitnya kembali.Erick pikir perempuan ini telah melupakan kejadian itu seiring berjalannya waktu bersama dengan proses konselingnya.Melupakan permintaan yang membuat lelaki itu untuk pertama kalinya merasa takut kehilangan. Namun, ternyata ia salah. Proses itu dilakukan hanya untuk mengendalikan trauma Lani serta mengontrol kendali pada dirinya. Bukan serta merta memengaruhi ingatan di benaknya, apalagi ingatan yang melekat dalam diri sang penderita. "Mas ...."Seketika lelaki itu mendongak, setelah menghela napas panjang ia meletakkan tangan di kedua bahu Lani. "Maaf karena aku nggak bisa menuruti keinginanmu beberapa bulan yang lalu. Jujur permintaanmu saat itu di luar kuasaku, Lan. Jadi, kumohon kasih aku kesempatan. K
Mobil-mobil mewah itu tampak sudah berjejer rapi di pekarangan rumah Erick malam hari ini. Didorong menggunakan kursi roda oleh Hendra menantunya--tampak Sultan Wardhana tersenyum semringah melihat Lani menyambutnya di ambang pintu.Tak hanya Erick, ternyata perubahan juga terjadi pada sosok Hendra Wirawan--papanya. Setelah tiga bulan berusaha memperbaiki diri. Akhirnya hubungan ia dengan keluarga pihak istri--terlebih Sultan Wardhana--perlahan mulai membaik.Keluarga besar Wardhana itu masuk satu per satu menuju kediaman Erick dan Lani. Setelah Hendra dan Sultan, tampak Rima serta Ainun berjalan bersebelahan, lalu bergantian memeluk Lani. Setelahnya diikuti Opick dan Mariam. Mereka berkumpul di ruang tengah dengan prasmana yang sudah disiapkan oleh pihak catering yang sengaja dipesan. Tampak datang belakangan Panji dan Diana berdiri celingukan di ambang pintu. Erick yang melihat itu langsung berjalan menghampiri."Astagfirullah, Di. Baju lu udah kek jaring-jaring Ikan Pari," celetu
Sesaat setelah menjejakkan kakinya memasuki kamar, Lani dibuat tertegun dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Dinding yang biasa bercat hijau, kini dilapisi wallpaper bermotif elegan. Warnanya berpaduan peach dan hijau tosca. Sangat seiras dan enak dipandang. Langkahnya mulai berayun memasuki ruangan seluas 9 x 9 meter tersebut. Menyisir pandangannya ke sekeliling, lalu terhenti tepat di depan ranjang dengan seprai berwarna senada dinding. Dilapisi kelambu putih yang diikat dengan pita cantik di tiap sisi tiang penyangganya.Jemari lentik perempuan itu mulai terulur menusuri setiap inci ranjang berukuran king size itu, lalu beralih pada Erick yang berdiri memperhatikannya sejak tadi. "Suka?" tanya Erick sembari melempar senyum ke arah istrinya. Lani mengangguk. "Iya, ini nyaman, Mas," pujinya. Senyum Erick melebar. "Syukurlah. Ya, udah. Mas mandi dulu, ya. Setelahnya kita salat Ashar di musala bawah.""Sebentar, Mas!" Lani menghentikan langkah Erick yang baru saja hendak beranja
Dua bulan kemudian....Di hadapannya Lani melihat Erick sibuk mengemasi barang mereka ke dalam tas berukuran sedang, hingga tak ada satu pun yang tertinggal. Sementara ia hanya duduk diam memperhatikan di sofa. Setelah serangkaian konseling serta psikoterapi yang dijalani. Akhirnya perempuan itu dinyatakan pulih, walaupun belum sepenuhnya sembuh. Lani masih harus mengikuti konseling rutin seminggu sekali dengan psikolognya Prof. William. Selama hampir kurang lebih tiga bulan berlalu sejak guncangan hebat yang berakibat pada psikisnya. Perempuan itu tak bisa mengingat apa saja yang terjadi selama tiga bulan terakhir ini. Karena konon, pasien yang mengalami depresi atau apa pun itu penyakit yang mengganggu kejiwaan seseorang. Mereka kerap kali melakukan tindakan di luar alam bawah sadar, hingga menunjukkan gejala-gejala yang sebenarnya tak ia kehendaki. Namun, meskipun begitu. Dalam beberapa kasus ada pula penderita yang mengalami gejala setengah sadar pasca depresi, dan masih bisa m