“Jadi gitu…” respon Maya sembari memegang dagunya. “Aku sepakat sama temen Kak Sunam. Kayak-kayaknya Patih Janu itu tukang jebak. Dia kelihatan ngotot banget,” tegas Bima. Hutan dipenuhi suara kicauan burung dan desis dedaunan yang bergesekan terkena angin. Naya, Bima, dan Sunam masih duduk di atas rumput dengan santai, mengelilingi bekas tempat tumbuhnya tanaman merambat dari Batu Akik sebagai uji coba. “Semua masih duga-duga, Bim. Yang terpenting sekarang aku harus segera mencari cara untuk menyembuhkan Ratu Sharma, kalau tidak bisa terjadi kekacauan,” timpal Sunam. Naya yang sedari tadi mendengarkan dengan cermat pun melayangkan pertanyaan, “Aku yang masih nggak paham adalah.. Kenapa harus pakai Kapita-ku? Atau ayahku?” Sunam hanya bisa menghela nafas, menggeleng-gelengkan kepala. “Masih banyak misteri, Nay. Ratu Sharma tidak sempat menjelaskan alasannya. Rasanya setahun kemarin aku tak ada kemajuan, kecuali tentang keberadaan Batu Akik. Aku sudah coba mengotak-atik kompas
Cahaya begitu menyilaukan, Naya sampai menutup matanya dengan tangan, berusaha untuk melindungi dari kebutaan -meski sementara-. Perlahan-lahan cahaya semakin meredup, menyisakan pemandangan yang tak pernah dibayangkan oleh orang-orang bumi seperti Naya dan Bima. Ternyata mereka berada di ruang angkasa yang begitu luas, sedang mereka bisa menapak selayaknya berpijak pada tanah. Setelah kesadaran makin penuh, refleks Naya dan Bima menutup hidungnya, takut jika mereka menghirup udara yang mestinya tidak dihirup manusia normal seperti mereka. Tahu betul bahwa dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam ruang angkasa bukan sembarang tempat, seperti orang-orang yang sudah berhasil tinggal di bulan meski tidak dalam waktu yang lama. Bagaimana mereka mesti mengenakan pakaian khusus dan menyediakan tabung oksigen untuk nafas sehari-hari. “Kalian kenapa?” Sunam memandangi mereka keheranan. Melihat Sunam bisa bernafas dengan normal, Naya berhenti menutup hidungnya dan
Syukur Mayura bisa menghindari serangan mendadak, walau harus dengan susah payah. Bagian paha belakangnya yang terluka karena serangan Ahool membuatnya bergerak lebih lamban. Karena itulah, salah satu Ahool dengan gesit berhasil menyaingi laju Mayura, kembali menembakkan bongkahan es tajam dan mengenai sayap kanan Mayura. Ia pun terdorong ke kiri, sudah tidak kuat menahan rasa sakit dan meluncur pelan-pelan ke bawah. Naya dan Bima yang pertama kali dalam situasi darurat seperti ini semakin panik, tapi Sunam masih teguh dalam ketenangan meski dengan wajah sengit. “Sedikit lagi, Mayura, sedikit lagi. Kumohon…” Tak berselang lama, ketika masih berada di udara, tahu-tahu mereka seperti habis melewati sebuah lapisan tak kasat mata. Sunam menjadi sumringah dan hanya dia yang menyadarinya, tersenyum lebar sampai membuka mulut, menatap Mayura dengan bangga. Bagaimana pun, Mayura tak kuasa lagi mengepakkan sayapnya, hingga kemudian ia menukik mencari tempat mendarat yang a
“Yang sayang anak, sayang anak, silahkan gasing asapnya!” seru seorang lelaki tua sembari memperagakan dagangannya yang bisa mengepulkan asap berwarna-warni ketika diputar. Kerumunan manusia terlihat di pinggiran plaza depan istana dan jalanan utama kota. Berbagai ornamen terbuat dari kain batik warna-warni, rangkaian bunga, dan anyaman kayu dipasang di beberapa sudut tempat, menambah kemeriahan. Jalanan dipenuhi stan-stan kayu kecil yang berjejer, entah berisi makanan, minuman, barang-barang antik, dll. Ada yang berteriak menjajakan barang dagangannya, ada yang bergelak tawa bercanda dengan orang-orang di sebelahnya sambil berjalan menuju plaza. Aroma asap sate, gorengan ikan, hingga arumanis bercampur menjadi satu. Sayembara tari merupakan salah satu hiburan paling terkenal, selain drama musikal yang suka diselenggarakan di berbagai kota. Kebetulan hari ini Kota Talang Tuwo menjadi tuan rumah untuknya. Dan plaza depan istana merupakan tempat paling cocok untuk mengadakan
Hampir dua bulan sudah ospek sekolah berlalu, Naya dan murid-murid lain sedang pusing melumat pelajaran kimia di kelas, masih setia menggunakan seragam putih abu-abu. Ia duduk sendirian di pojok belakang, menerawang angkasa dari balik jendela. Tangannya memegang bolpoin hitam di atas kertas buku, tapi tatapan matanya kosong, jiwanya berkeliaran entah kemana. “Anak-anak, setelah ini saya bagikan tugas kelompok yang harus diselesaikan dua minggu ke depan, ya. Sisa jam pelajaran ini kalian gunakan untuk berdiskusi saja. Sekarang waktunya kalian mencari anggota kelompok maksimal lima orang, nanti ditulis nama-namanya di kertas.” Lamunan Naya seketika buyar mendengar pengumuman sang guru yang menurutnya mendadak dan mencekik. Wajahnya berubah nanar, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Ketika mengamati teman-temannya yang lain, semua menjadi heboh, ada yang berdiri menghampiri satu sama lain agar bisa segera membuat kelompok, saling berebut sambil bercanda. Melihat itu kepala Na
Tak menggubris pertanyaan Naya, sang perempuan melihat keadaan sekitar lalu matanya tertuju pada teleskop di belakang Naya, utamanya pada simbol sayap tegas di sisinya. “Ah... Simbol Almiya. Berarti benar di sini tempatnya.” Segera Bima maju melindungi Naya, meski badannya juga gemetaran. “K-Kalian mau apa?!” “Hush... Jangan berisik. Atau kalian mau mereka yang di dalam kami tangkap juga?” Naya menatap rumahnya yang sepi, berharap mereka masih aman tertidur pulas di dalam. Ia bimbang, apa yang sebaiknya dilakukan. Melawan atau melarikan diri? Keduanya punya resiko besar untuk nyawanya, sebab mereka bisa saja tak segan menembakkan senapannya saat bergerak sedikit saja. Mungkin menunggu semua lebih jelas dulu, apa maksud kedatangan mereka datang ke tempat terpencil seperti ini. Merampokkah, atau mereka hanyalah kumpulan psikopat yang sekedar ingin menghabisi oran
Mendengar pernyataan Sunam, Naya serasa mendapatkan durian runtuh. Entah antara kemalangan atau keberuntungan, dia mendapatkan kabar yang tidak terduga untuknya. Seketika itu juga ia menghentikan langkah, menoleh kepada Sunam untuk pertama kalinya sejak mereka keluar dari rumah. “Jangan bercanda lah... Masa pencuri? Gila kau, ayahku orang bermartabat!” “Biarkan aku menjelaskan sebagai bukti. Pertama, mustahil kalau aku tahu nama ayahmu hanya dalam sekali tebak. Kedua, Tasanee jelas-jelas menculikmu sebagai umpan agar ayahmu menyerahkan diri. Dia tidak mungkin tiba-tiba datang ke bumi hanya untuk bermain-main dengan keluargamu. Ingat, langsung tertuju pada keluargamu,” jelas Sunam panjang lebar. Naya pun membisu, namun dengan mulut sedikit menganga. Sejenak berpikir, Naya kemudian kembali menghadap ke depan sembari melangkahkan kaki, diikuti Sunam. “Wah, semesta lagi nguji habis-habi
Mendengar ledakan yang tak biasa, Naya secara refleks berlari sekuat tenaga, diikuti Bima yang tak akan mampu menandingi kecepatannya. Gerbang rumah ia dorong dengan tergesa-gesa, menemukan sebagian adik-adik panti memojok di dinding seberang rumah, gemetar ketakutan. Kepingan-kepingan bangunan berserakan di halaman, sedang atap rumah bagian kamar Naya terlihat berlubang cukup besar. Asap masih mengepul menyentuh angkasa. Jelas ini bukan sekedar hantaman, melainkan sumbernya juga mengeluarkan api. Entah itu roket, rudal, bom, atau apapun itu. Tidak menunggu aba-aba lagi, Naya melesat mengecek isi dalam rumah yang masih penuh asap. Sedikit berbatuk, dia menelusuri satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya menemukan Mbak Tini di lantai 2. Ia sedang menggendong salah satu adik panti yang pingsan sementara dahinya terluka dan berdarah. Di belakangnya ada Sunam yang membopong adik panti lain yang masih sadar meski tubuhnya lemas sembari batuk-batuk, tidak ada luka-luka berarti selain be
Syukur Mayura bisa menghindari serangan mendadak, walau harus dengan susah payah. Bagian paha belakangnya yang terluka karena serangan Ahool membuatnya bergerak lebih lamban. Karena itulah, salah satu Ahool dengan gesit berhasil menyaingi laju Mayura, kembali menembakkan bongkahan es tajam dan mengenai sayap kanan Mayura. Ia pun terdorong ke kiri, sudah tidak kuat menahan rasa sakit dan meluncur pelan-pelan ke bawah. Naya dan Bima yang pertama kali dalam situasi darurat seperti ini semakin panik, tapi Sunam masih teguh dalam ketenangan meski dengan wajah sengit. “Sedikit lagi, Mayura, sedikit lagi. Kumohon…” Tak berselang lama, ketika masih berada di udara, tahu-tahu mereka seperti habis melewati sebuah lapisan tak kasat mata. Sunam menjadi sumringah dan hanya dia yang menyadarinya, tersenyum lebar sampai membuka mulut, menatap Mayura dengan bangga. Bagaimana pun, Mayura tak kuasa lagi mengepakkan sayapnya, hingga kemudian ia menukik mencari tempat mendarat yang a
Cahaya begitu menyilaukan, Naya sampai menutup matanya dengan tangan, berusaha untuk melindungi dari kebutaan -meski sementara-. Perlahan-lahan cahaya semakin meredup, menyisakan pemandangan yang tak pernah dibayangkan oleh orang-orang bumi seperti Naya dan Bima. Ternyata mereka berada di ruang angkasa yang begitu luas, sedang mereka bisa menapak selayaknya berpijak pada tanah. Setelah kesadaran makin penuh, refleks Naya dan Bima menutup hidungnya, takut jika mereka menghirup udara yang mestinya tidak dihirup manusia normal seperti mereka. Tahu betul bahwa dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam ruang angkasa bukan sembarang tempat, seperti orang-orang yang sudah berhasil tinggal di bulan meski tidak dalam waktu yang lama. Bagaimana mereka mesti mengenakan pakaian khusus dan menyediakan tabung oksigen untuk nafas sehari-hari. “Kalian kenapa?” Sunam memandangi mereka keheranan. Melihat Sunam bisa bernafas dengan normal, Naya berhenti menutup hidungnya dan
“Jadi gitu…” respon Maya sembari memegang dagunya. “Aku sepakat sama temen Kak Sunam. Kayak-kayaknya Patih Janu itu tukang jebak. Dia kelihatan ngotot banget,” tegas Bima. Hutan dipenuhi suara kicauan burung dan desis dedaunan yang bergesekan terkena angin. Naya, Bima, dan Sunam masih duduk di atas rumput dengan santai, mengelilingi bekas tempat tumbuhnya tanaman merambat dari Batu Akik sebagai uji coba. “Semua masih duga-duga, Bim. Yang terpenting sekarang aku harus segera mencari cara untuk menyembuhkan Ratu Sharma, kalau tidak bisa terjadi kekacauan,” timpal Sunam. Naya yang sedari tadi mendengarkan dengan cermat pun melayangkan pertanyaan, “Aku yang masih nggak paham adalah.. Kenapa harus pakai Kapita-ku? Atau ayahku?” Sunam hanya bisa menghela nafas, menggeleng-gelengkan kepala. “Masih banyak misteri, Nay. Ratu Sharma tidak sempat menjelaskan alasannya. Rasanya setahun kemarin aku tak ada kemajuan, kecuali tentang keberadaan Batu Akik. Aku sudah coba mengotak-atik kompas
Hari berikutnya, pagi dengan suasana yang cukup mendung, Naya, Sunam, dan Bima berkumpul di ruangan luas dekat dapur. Sedang Mbak Tini dan adik-adik panti sudah duluan pergi mengungsi ke villa kedua milik bibi Naya, setelah sang bibi memaksa penjaga villa untuk segera kembali dengan sogokan tambahan uang ‘lembur’. Walaupun Naya dan Bima mesti datang ke sekolah untuk class meeting hari terakhir, mereka sudah tak peduli. Lagipula, mereka sudah lagi tak mau jadi babu atau pajangan untuk menarik perhatian orang-orang. “Nggak papa nih ninggalin mereka semua di sana?” kata Bima sembari menengok pemandangan di balik pintu rumah yang terbuka. “Tenang saja, Tasanee tak tahu lokasinya. Lagipula, aku pikir dia tak mau mengambil resiko jika Naya dan ayahnya menggabungkan kekuatan untuk balas dendam,” jelas Sunam santai setelah meneguk es teh di depannya. “Kalau kata Letjen Uda, Kapita-mu sebenarnya sekuat itu. Aku belum bisa membayangkan bagaimana jika kelima Kapita Almiya bergabung bersama Ka
Mendengar ledakan yang tak biasa, Naya secara refleks berlari sekuat tenaga, diikuti Bima yang tak akan mampu menandingi kecepatannya. Gerbang rumah ia dorong dengan tergesa-gesa, menemukan sebagian adik-adik panti memojok di dinding seberang rumah, gemetar ketakutan. Kepingan-kepingan bangunan berserakan di halaman, sedang atap rumah bagian kamar Naya terlihat berlubang cukup besar. Asap masih mengepul menyentuh angkasa. Jelas ini bukan sekedar hantaman, melainkan sumbernya juga mengeluarkan api. Entah itu roket, rudal, bom, atau apapun itu. Tidak menunggu aba-aba lagi, Naya melesat mengecek isi dalam rumah yang masih penuh asap. Sedikit berbatuk, dia menelusuri satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya menemukan Mbak Tini di lantai 2. Ia sedang menggendong salah satu adik panti yang pingsan sementara dahinya terluka dan berdarah. Di belakangnya ada Sunam yang membopong adik panti lain yang masih sadar meski tubuhnya lemas sembari batuk-batuk, tidak ada luka-luka berarti selain be
Mendengar pernyataan Sunam, Naya serasa mendapatkan durian runtuh. Entah antara kemalangan atau keberuntungan, dia mendapatkan kabar yang tidak terduga untuknya. Seketika itu juga ia menghentikan langkah, menoleh kepada Sunam untuk pertama kalinya sejak mereka keluar dari rumah. “Jangan bercanda lah... Masa pencuri? Gila kau, ayahku orang bermartabat!” “Biarkan aku menjelaskan sebagai bukti. Pertama, mustahil kalau aku tahu nama ayahmu hanya dalam sekali tebak. Kedua, Tasanee jelas-jelas menculikmu sebagai umpan agar ayahmu menyerahkan diri. Dia tidak mungkin tiba-tiba datang ke bumi hanya untuk bermain-main dengan keluargamu. Ingat, langsung tertuju pada keluargamu,” jelas Sunam panjang lebar. Naya pun membisu, namun dengan mulut sedikit menganga. Sejenak berpikir, Naya kemudian kembali menghadap ke depan sembari melangkahkan kaki, diikuti Sunam. “Wah, semesta lagi nguji habis-habi
Tak menggubris pertanyaan Naya, sang perempuan melihat keadaan sekitar lalu matanya tertuju pada teleskop di belakang Naya, utamanya pada simbol sayap tegas di sisinya. “Ah... Simbol Almiya. Berarti benar di sini tempatnya.” Segera Bima maju melindungi Naya, meski badannya juga gemetaran. “K-Kalian mau apa?!” “Hush... Jangan berisik. Atau kalian mau mereka yang di dalam kami tangkap juga?” Naya menatap rumahnya yang sepi, berharap mereka masih aman tertidur pulas di dalam. Ia bimbang, apa yang sebaiknya dilakukan. Melawan atau melarikan diri? Keduanya punya resiko besar untuk nyawanya, sebab mereka bisa saja tak segan menembakkan senapannya saat bergerak sedikit saja. Mungkin menunggu semua lebih jelas dulu, apa maksud kedatangan mereka datang ke tempat terpencil seperti ini. Merampokkah, atau mereka hanyalah kumpulan psikopat yang sekedar ingin menghabisi oran
Hampir dua bulan sudah ospek sekolah berlalu, Naya dan murid-murid lain sedang pusing melumat pelajaran kimia di kelas, masih setia menggunakan seragam putih abu-abu. Ia duduk sendirian di pojok belakang, menerawang angkasa dari balik jendela. Tangannya memegang bolpoin hitam di atas kertas buku, tapi tatapan matanya kosong, jiwanya berkeliaran entah kemana. “Anak-anak, setelah ini saya bagikan tugas kelompok yang harus diselesaikan dua minggu ke depan, ya. Sisa jam pelajaran ini kalian gunakan untuk berdiskusi saja. Sekarang waktunya kalian mencari anggota kelompok maksimal lima orang, nanti ditulis nama-namanya di kertas.” Lamunan Naya seketika buyar mendengar pengumuman sang guru yang menurutnya mendadak dan mencekik. Wajahnya berubah nanar, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Ketika mengamati teman-temannya yang lain, semua menjadi heboh, ada yang berdiri menghampiri satu sama lain agar bisa segera membuat kelompok, saling berebut sambil bercanda. Melihat itu kepala Na
“Yang sayang anak, sayang anak, silahkan gasing asapnya!” seru seorang lelaki tua sembari memperagakan dagangannya yang bisa mengepulkan asap berwarna-warni ketika diputar. Kerumunan manusia terlihat di pinggiran plaza depan istana dan jalanan utama kota. Berbagai ornamen terbuat dari kain batik warna-warni, rangkaian bunga, dan anyaman kayu dipasang di beberapa sudut tempat, menambah kemeriahan. Jalanan dipenuhi stan-stan kayu kecil yang berjejer, entah berisi makanan, minuman, barang-barang antik, dll. Ada yang berteriak menjajakan barang dagangannya, ada yang bergelak tawa bercanda dengan orang-orang di sebelahnya sambil berjalan menuju plaza. Aroma asap sate, gorengan ikan, hingga arumanis bercampur menjadi satu. Sayembara tari merupakan salah satu hiburan paling terkenal, selain drama musikal yang suka diselenggarakan di berbagai kota. Kebetulan hari ini Kota Talang Tuwo menjadi tuan rumah untuknya. Dan plaza depan istana merupakan tempat paling cocok untuk mengadakan