Pisah Terindah #29Kembali bekerja setelah bertahun-tahun mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga yang hanya fokus pada urusan domestik. Di hari pertama memang terasa kikuk tetapi itu tak lama. Di hari berikutnya aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan lebih baik. Aku sangat menikmati aktivitas terbaru ini. Menerima tawaran Mbak Tania untuk menggantikan asistennya yang sedang cuti ternyata tidak ada ruginya. Malah mengasyikkan. Meskipun hanya untuk sementara. Aku bersyukur sekali Mas Danar mengizinkan aku untuk bekerja walau hanya beberapa minggu saja, tetapi dengan catatan bahwa aku bekerja bukan karena kekurangan nafkah darinya. Apalagi karena dia lalai akan tanggung jawabnya memberi nafkah. Melainkan hanya untuk memanfaatkan waktu senggang yang kupunya. Seminggu sudah aku bekerja. Itu artinya sudah selama itu juga aku tidak bertemu dengan Mas Danar. Aku sengaja berbaik hati membiarkan Mas Danar fokus dengan kebahagiaan barunya memiliki anak dari wanita yang mampu membuatnya b
Pisah Terindah #30"Dara, nanti sekitar pukul sepuluh tolong ke kantor Mas Lindan, ya. Cuma ngasihin beberapa dokumen aja. Cuman, harus diterima sama Mas Lindan langsung," ujar Mbak Tania yang baru saja datang. "Aku udah terlanjur ada janji sama calon klien. Padahal aku pengen ngobrol serius sama dia," lanjutnya lagi. "Baik, Mbak. Kantornya yang di deretan ruko biru, kan, Mbak?" "Iya, yang itu. Kamu ingat, kan orangnya? Yang dua hari yang lalu ke sini?" "Iya, Mbak. Aku ingat. Yang waktu itu pakai jas abu-abu?" "Ya, benar. Nanti ingatin aku lagi, ya." Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Kukira Mbak Tania akan langsung masuk ke ruangannya setelah menyampaikan tugas yang harus kulakukan. Ternyata dia malah menarik kursi yang ada di hadapanku dan duduk dengan posisi nyaman. "Oh, iya, Dara, kemarin Windi ada ke sini, nggak?" Aku menggeleng pelan. "Nggak, Mbak. Aku nggak ketemu." Mbak Tania menarik napas berat. "Kalau kamu sempat ketemu sama dia, tolong nasihatin, tuh anak s
Pisah Terindah #31Rasa penasaran makin menjadi-jadi menghampiriku. "Apa dibuka aja?" "Tapi ...." Entah kenapa aku harus membuat bingung diri sendiri. Padahal urusan apa pun di kantor Mbak Tania tidak ada kaitan apa-apa dengan kehidupanku. Aku cukup melakukan apa yang diperintahkan oleh orang mempekerjakan aku. Selain itu, aku tidak ada hak untuk ikut campur. Aku juga tidak punya kapasitas untuk melibatkan diri. Aku tidak mengerti apa-apa tentang pasal-pasal hukum. Apa lagi keberadaanku hanya sebagai asisten pengganti yang sifatnya sementara. Meskipun sudah mencoba menyadari tentang posisiku, satu sisi pikiranku yang telah dikuasai rasa penasaran hebat tidak bisa ditundukkan begitu saja. Seperti ada kekuatan lain yang menggerakkan, sehingga jariku telah berada di ujung amplop. "Daripada menanggung penasaran. Lagian juga nggak bakal keciri kalau amplop ini sempat kubuka." Begitu aku berhasil meyakinkan diri untuk mengintip isi amplop itu, telepon genggamku mengeluarkan getar. P
Pisah Terindah #32 "Dara? Lagi apa?" Jantungku seakan mau copot begitu mendengar ada suara yang menyerukan namaku. Tanpa melihat pun aku tahu siapa yang sedang ada di pintu. Meskipun berada pada situasi genting aku tidak boleh memperlihatkan kepanikan selayaknya orang yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak benar. Hal itu penting untuk menghindari kecurigaan. Sayangnya aku tak pernah mempelajari ataupun memahami teori-teori ilmu psikologi yang berkaitan dengan penguasaan diri. Namun, sebisa mungkin kucoba untuk mengontrol diri untuk mengkamuflasekan apa yang kurasa saat ini. Aku mencoba menyiasati agar tidak terlihat seperti orang yang panik. Langkah pertama kucoba untuk tetap tenang tanpa ada gerakan tergesa-gesa yang nantinya akan memperlihat kegugupan. Lalu, setelah menarik napas perlahan, aku mengulas senyum dan mengarahkan pandangan dengan serileks mungkin ke arah Mbak Tania. "Ini, Mbak, lagi nyari HP. Barangkali ketinggalan di sini," ujarku spontan. Padahal in
Pisah Terindah #33 POV LalisaLelah! Lelah raga dan terlebih lagi lelah jiwa. Kupikir takkan seperti ini jalan hidupku. Takkan seperti ini kehidupan pernikahan yang akan kujalani. Memang, menjadi istri dari seorang Danar Aryo Bintang adalah sesuatu yang tak lagi terpikirkan olehku. Namun, tanpa sepenuhnya direncanakan takdir membuatnya menjadi sebuah kenyataan. Menjadi wanita kedua, wanita mana di dunia ini yang benar-benar mau berada pada posisi itu. Jelas tidak ada. Namun, lagi-lagi takdir yang berkata terjadi. Maka semuanya pun terjadi hingga saat ini. Hingga sudah memasuki tahun kedua kujalani. Mas Danar, lelaki yang awalnya menikahiku secara sirri itu memang bukanlah orang baru dalam hidupku. Bertahun-tahun yang lalu dia pernah menjadi matahari bagi duniaku. Terlepas dari kesalahpahaman Papa ketika berhasil menemukan aku yang memang sengaja menghilang dari rumah, yang menjadi alasan utama terjadinya pernikahan itu, kuakui aku pun masuk ke dalam jerat pesona mantan. Hampir
Pisah Terindah #34 Tak sia-sia rasanya meluangkan waktu dan menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk mewujudkan liburan kecil-kecilan ini. Shahna sangat bahagia. Pun dengan Mas Danar terlihat larut dalam kebersamaan kami. Sepertinya ultimatum di awal yang kukeluarkan cukup mempan. Terlebih kami juga bertemu dengan teman lama Mas Danar ketika sama-sama merintis karier dulu. Dia bersama keluarganya juga tengah menghadiri acara keluarga yang tak jauh dari lokasi villa kami menginap. Sebelum kembali pulang, mereka pun menyempatkan waktu untuk bergabung bersama kami. Apalagi juga ada anaknya yang berusia setahun lebih tua dari Shahna. Shahna semakin senang karena punya teman bermain. Tak lupa, setiap kegiatan yang kami lakukan diabadikan dalam bentuk foto maupun video. Mulai dari menunggang kuda, hiking ke air terjun, beredam air panas, makan di restoran, baik yang berkonsep modern maupun yang ala-ala suasana zaman dahulu. Tentu satu hal yang tidak boleh terlewatkan yaitu memostin
Pisah Terindah #35"Mas Daniel." Ekspresi wajah kami saat ini mungkin sama. Sama-sama tidak menyangka akan adanya pertemuan ini. "Dara di sini? Nggak nyangka bakal ketemu di sini. Apa kabar?" Mas Daniel mendekat ke arahku. "Baik, Mas," jawabku sedikit kikuk. "Mas Daniel kenal sama Dara?" Mbak Tania ikut menimpali. "Iya, dari sepuluh tahun yang lalu kayaknya, kalau nggak salah." Kami hanya sedikit berbasa-basi. Dari gelagat Mas Daniel sepertinya dia ingin bicara banyak padaku atau mungkin juga dia punya rasa penasaran tentang keberadaanku di kantor Mbak Tania, tetapi keadaannya tidak memungkinkan. Apalagi Pak Lindan terlihat seperti sedang buru-buru. Mas Daniel pun berpamitan karena sudah ada janji dengan orang lain. Kepergiannya itu menyisakan banyak pertanyaan di kepalaku. Apa kaitan antara Mas Daniel dan perusahaan tempat bekerja Mas Danar sehingga tadi sempat disebut-sebut. Seawam-awamnya aku tentang dunia hukum, setidaknya aku paham kalau sudah berurusan dengan pengacara
Pisah Terindah #36 "Kamu mau tahu aku dari mana?" Mas Danar menatapku dengan tatapan sengit. "Aku dari rumah sakit. Anakku sedang terbaring di ruang perawatan bayi. Kondisinya sangat tidak stabil. Dan aku sebagai bapaknya tidak tahu sama sekali hal itu. Ya, tentu saja aku tidak akan tahu, bahkan jika terjadi hal yang paling buruk sekali pun, aku juga tidak akan tahu. Karena apa? Karena ada seorang wanita egois. Wanita yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan mengatur kehidupan orang seperti maunya dia." "Sungguh kamu keterlaluan sekali, Dara!" lanjut Mas Danar lagi dengan nada suara lebih ditekan."Mas? Kamu bilang aku egois? Egois dari mananya? Aku tidak pernah--" "Sudah cukup Dara! Mulai detik ini tidak ada lagi perjanjian-perjanjian di antara kita." Mas Danar menyambar tas yang tadi diletakkan di kursi lalu dengan langkah terburu-buru langsung keluar. Aku berusaha menyusul langkah Mas Danar. Namun langkahnya yang panjang-panjang tak mampu untuk kujangkau. Belum sempat ak
Pisah Terindah #59 "Mama hebat, selamat mama!" Shahna berseru riang sembari menyerahkan buket bunga mawar putih padaku. "Terima kasih, Sayang mama. Anak hebat, anak cantik yang paling mama sayang se-jagad raya." Aku mendapatkan pelukan dan beberapa ciuman dari Shahna. Dia pun tampil sangat menawan dalam balutan gaun panjang didominasi warna nude. Senada dengan kebaya yang kupakai hari ini. Kebahagiaan pun jelas terpancar di wajah imutnya. Momen wisuda ini memang sudah sangat ditunggu Shahna. Karena selepas ini aku berjanji akan menebus waktu kebersamaan kami yang belakangan ini semangat jarang. Pengertian Shahna yang mempermudah aku menjalani semua ini. Aku pun sangat berterima kasih kepada putri semata wayangku itu. "Selamat, ya, cintaku, sayangku, bestie terbaikku." Windi memelukku erat. Kebahagiaan dan rasa haru tergambar dari wajahnya. "Terima kasih, sahabatku tersayang. Tanpa kamu aku takkan bisa apa-apa." Tanpa diundang embun bermunculan di mataku. Aku benar-benar terh
Pisah Terindah #58 (POV Danar) "Pak Danar, antarkan ini ke proyek A-14. Pak Anthoni sedang menunggu di sana. Sekalian berkas ini kebagian pemasaran." Pak Hamdi memberikan dua tumpuk berkas padaku. Setelah itu, lelaki yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dariku itu berlalu begitu saja. Tak ada basa basi, tidak ada ucapan terima kasih. Begitulah gambaran hari-hariku di salah satu kantor Avalia Utama selama beberapa bulan belakangan ini. Lebih tepatnya semenjak kekalahan di pengadilan waktu itu dan proyek yang sedang digarap menderita kerugian atas ganti rugi terhadap pihak yang menang. Awal-awal memang aku masih berada di kantor pusat dengan tekanan kerja yang luar biasa serta target yang besar. Dalihnya sebagai bentuk pertanggung jawabanku. Lalu, beberapa bulan ini aku dipindahkan ke kantor cabang. Aku memang tidak dipecat tetapi luntang-lantung tanpa jobdesk yang jelas. Tiap bulannya hanya menerima gaji standar. Tidak ada bonus-bonus sama sekali. Sehingga penghasilanku mandek s
Pisah Terindah #57Ikhlas adalah kunci bahagia menjalani kehidupan. Begitu mendiang ibu pernah berkata. Dulu bagiku semua itu adalah bentuk kenaifan belaka. Bentuk ketidak berdayaan melawan kesemena-menaan atau dengan kata lain sekadar memperindah istilah pasrah ke versi yang religius. Ternyata aku keliru. Kenyataan demi kenyataan yang kujalani dengan segala pasang surut emosi mematahkan anggapan yang dulu. Pernah memelihara sakit hati, amarah, bahkan dendam pun sempat bersarang. Namun justru hal itu makin membebani. Harusnya memang dibuat sederhana saja. Salah satu permisalan, ketika seseorang sudah tidak ingin bersama kita lagi. Dia ingin pergi, sebaiknya memang dilepaskan saja. Kenapa masih ingin tetap memiliki? Kenapa harus mati-matian dengan segala daya upaya menahan orang yang memang sudah ingin pergi? Namun kadang ego manusia susah untuk ditaklukkan sehingga ujung-ujungnya memperdalam rasa sakit untuk diri sendiri. Ikhlas adalah titik tertinggi yang tak mudah untuk dirai
Pisah Terindah #56 "Ada Mas Danar di sini? Lagi apa dia?" Pernyataan itu meluncur begitu saja tanpa di awali basa-basi. Wajah diselimuti amarah dan keangkuhan terpampang di depan mataku. "Mas Danar." Aku yang masih diliputi kaget karena kehadiran tamu yang tak disangka-sangka itu mengucap ulang nama mantan suamiku itu. "Harus banget ya Mas Danar ada di sini sampai malam-malam begini?" lanjutnya lagi dengan tatapan sinis. Aku yang hendak menanggapi lontaran kata-kata sinis mantan maduku itu sudah kedahuluan oleh Windi yang sudah berada di belakangku. "Ada siapa, Ra?" "Ada perlu apa ya, Mbak?" tanya Windi dengan tatapan penuh selidik. "Aku istri Mas Danar." Jawaban ketus terlontar begitu saja dari wanita yang telah berhasil membuat karam biduk rumah tanggaku. "Oh, nyari Mas Danar? Ada tuh, lagi sama anaknya? Kenapa emangnya?" tanya Windi dengan gaya menantangnya. Namun Lalisa tidak menghiraukan Windi. Tatapannya kembali tertuju padaku. "Sudah kuduga." Sebuah senyuman sinis
Pisah Terindah #55"Apa kabar, Mas?" Seketika Windi melontarkan sapaan setelah sempat kikuk karena aku dan Mas Danar secara berbarengan menoleh padanya. "Baik, Win. Kamu di sini?" balas Mas Danar. "Iya, tadi kebetulan ada ketemu klien nggak jauh dari sini. Ya, udah, sekalian mampir." Bisaan saja Windi beralasan. "Aku ke belakang dulu, ya. Tak bikinin minum dulu, ya." Windi segera berlalu tanpa menunggu persetujuan apa pun. "Shahna sekolahnya kamu pindahin ke mana? Kenapa dipindah?" Nada Mas Danar bertanya terdengar kurang bersahabat di telingaku. Kentara sekali ada ketidaksukaan darinya. "Aku berencana untuk memindahkan Shahna ke sekolah yang full day." "Rencana? Rencana bagaimana? Aku datang ke sekolahan, gurunya bilang Shahna sudah pindah sekolah. Tidak di sana lagi?" Sesaat aku menghela napas panjang. Aku butuh banyak asupan oksigen agar tetap bisa mengontrol emosi menghadapi Mas Danar. "Memang hari ini Shahna tidak ke sekolah biasa. Tadi masa uji coba dulu. Kalau Shahn
Pisah Terindah #54 Menghubungi Windi, itulah yang terlintas di benakku dan seketika itu juga aku lakukan. [Win, nanti bisa ke rumah? Sore pulang kerja.] [Bisa, sih, kayaknya. Why?] [Jangan kayaknya, yang pasti-pasti aja. Aku butuh banget kehadiran kamu.] [Iya.] [Okey, makasih, ya. Aku tunggu.] [Ok.] Aku menghela napas panjang. Baiklah hadapi saja apa yang akan terjadi. Kutenggelamkan lagi pikiran dan konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang masih terasa asing bagiku. Kendati masih kaku, tetapi aku mulai menyukainya.*** Waktu untuk pulang sudah tiba. Aku kembali mengecek tumpukan berkas yang ada di samping laptop di meja yang kutempati. Setelah semua komplit, aku pun mematikan perangkat elektronik yang seharian ini kugunakan. "Sudah beres, Dara?" Aku menengakkan kepala begitu mendengar namaku disebut. Rupanya Pak Beni sudah berdiri di samping mejaku dengan sebuah ransel hitam yang sudah tersandang di pundaknya. "Udah, Pak." "Nggak usah terlalu formal, Dara. Kita di sin
Pisah Terindah #53"Kalau Shahna pengen bobo sama Papa bagaimana?" Aku tertegun, lidahku terasa kelu dan otakku seketika kehilangan memori yang berisi huruf-huruf. Aku dibuat tak mampu merangkai kata-kata. "Nanti bisa menginap di rumah Oma." Aku mengucapkan kalimat yang tiba-tiba saja mampir ke kepalaku. "Nggak mau di rumah Oma. Rumah Oma 'kan jauh. Maunya di sini, di rumah kita." Aku kembali terdiam. Sepertinya aku memang belum bisa untuk memberi pengertian yang sederhana namun bisa dimengerti dan dimaklumi oleh anak seusia Shahna. Sepertinya harus bertahap dan pelan-pelan. Aku pun memilih untuk tidak melanjutkan lagi obrolan kami. Aku tidak mau memberi harapan-harapan kosong pada Shahna. Aku tak ingin mengecewakannya lebih dalam lagi. Setiap anak pasti akan sangat kecewa atas pepisahan kedua orang tuanya, apa pun alasannya. Tak terkecuali dengan Shahna.Terkait bagaimana pertemuan antara Shahna dan Papanya untuk ke depannya, aku rasa lebih baik dibicarakan dulu dengan Mas Da
Pisah Terindah #52 Kurasa dugaan Mas Danar kalau ada kedekatan antara aku dan Mas Daniel pasti akan makin menguat setelah tadi dia melihat aku dan Mas Daniel di parkiran. Apa pun itu, harusnya tidak lagi kupedulikan karena kenyataannya kami bukan siapa-siapa lagi. Sama halnya seperti aku melihat keberadaan mereka berdua. Harusnya tak perlu ada rasa apa-apa lagi di hatiku. Jika Mas Danar dan Lalisa terang-terangan bersama adalah hal yang wajar. Mereka adalah pasangan suami istri yang sah. Masih adakah rasa cinta di hatiku pada Mas Danar? Sejujurnya, bagiku tidak mudah menghilangkan rasa yang dulu tumbuh dan bersemi di hati. Rasa yang tulus, rasa yang kujaga dengan sebaik-baiknya. Walaupun setahun belakangan kami lebih akrab dengan konflik, tetapi tidaklah serta merta menghapus kasih sayang yang selama ini ada. Meskipun begitu, telah habis waktu untukku tetap memelihara rasa itu. Keadaannya sudah berbeda sekarang. Jika dahulu memujanya akan berbuah pahala, tetapi tidak dengan sek
Pisah Terindah #51 Pak Bima mengulas senyum lalu dengan santai berkata, "Bu Dara jangan tegang begitu." Aku menarik napas pelan, mencoba untuk rileks. Namun rasanya tidak begitu berhasil. Gendang di rongga dadaku tetap bertalu-talu dengan riuh. Entah kabar apa yang akan kudengar beberapa saat lagi. Semoga saja bukanlah kabar yang tidak kuinginkan. "Dua hari yang lalu Naja mengabari saya kalau dia mau ikut suaminya ke Singapura dan akan menetap di sana. Dia mengajukan resign. Saya bermaksud menawarkan posisi yang selama ini diisi Naja pada Bu Dara." Syaraf-syaraf yang tadinya sempat tegang berlahan melentur kembali. Tak hanya kelegaan yang bersarang di dadaku tetapi juga bunga-bunga turut bermekaran. "Saya dengar dari Bu Tania, kalau Bu Dara pernah jadi asistennya." "Ini ... ini benaran, Pak? Serius?" Walau aku yakin aku tak salah dengar, tetap saja aku ingin memastikannya sekali lagi. "Ya, tentu saja. Malah sangat serius." Pak Bima kembali melebarkan senyumnya. Aku terdiam