Pisah Terindah #37"Aku sungguh tidak menyangka kalau kamu akan selicik ini Dara!" "Di depanku kamu menampilkan diri bagai wanita yang berhati mulia dengan balutan penampilan yang sangat santun tetapi nyatanya hati kamu busuk!" "Mas? Kamu ngomong apa, sih?" Spontan saja aku melontarkan tanya dengan suara setengah berteriak. Aku teramat kaget mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Mas Danar. Kata-kata yang teramat menyakitkan. "Sudahlah, Dara. Cukuplah sandiwara kamu itu. Aku sudah tahu kebusukan apa yang kamu sembunyikan. Nggak usah berpura-pura polos lagi di depan aku." Lagi-lagi ucapan Mas Danar begitu mengoyak hatiku. Kupandangi lamat-lamat wajah Mas Danar. Garis-garis mukanya terlihat mengeras. Aku tahu, sesuatu telah berhasil mengibarkan emosinya. Akan tetapi apa? Dan kenapa sasarannya adalah aku. "Mas, kamu omongannya nyakitin banget, sih, Mas? Melemparkan tuduhan yang nggak jelas seperti itu. Emangnya aku ngelakuin apa?" Aku masih berusaha untuk meredam loncatan p
Pisah Terindah #38Di depan pintu utama aku menyapa security yang telah siap untuk bertugas. Setelah menginjakkan kaki di dalam kantor aku segera mengarahkan langkah ke tempat yang biasa kutempati. Namun, baru beberapa langkah saja, aku spontan menghentikan gerak kaki begitu melihat siapa yang tengah duduk di sofa yang tak jauh dari meja yang selama ini kutempati. Seorang wanita berpakaian formal duduk dengan kaki disilang. Dia tengah berkutik dengan ponsel yang ada di tangannya. Aku tahu bahwa kehadirannya ke sini akan memberi kabar yang kurang baik buatku. Aku melangkah perlahan. Ternyata di belakangku juga ada Mbak Tania yang baru masuk. Berbeda dengan aku yang sekuat tenaga melawan rasa tak berdaya, Mbak Tania justru melangkah dengan enerjik hingga dalam sekejap saja dia sudah mendahuluiku. Begitulah hasil dari penglihatanku selama beberapa minggu di sini. Jika sehabis memenangkan sebuah perkara, energi Mbak Tania akan terproduksi berkali-kali lipat. "Selamat pagi, semua!" s
Pisah Terindah #39"Jadi memang seperti ini yang terjadi di belakang aku?" Aku dan Mas Daniel sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. "Dara, kamu benar-benar luar biasa! Ternyata, kamu jauh melebihi yang aku sangka." "Dan kamu, Daniel, licik sekali cara kamu memanfaatkan Dara." Mas Danar berdiri hanya berjarak beberapa langkah di sampingku. Sorot matanya menyiratkan ada emosi yang tengah berkobar. "Hei, brother, nyantai dikitlah! Hidup jangan terlalu dibawa serius,"ujar Mas Daniel dengan santainya. Sementara aku merasakan hal yang sebaliknya. Meskipun tidak merasa bersalah karena memang tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tetapi tetap ada kecemasan yang menyelimuti hati. Mendapati aku tengah bersama dengan Mas Daniel, kemungkinan besar Mas Danar akan semakin salah paham. Kesalahpahaman yang kemarin-kemarin saja masih ngambang karena Mas Danar tidak memberi aku kesempatan untuk menjelaskan. Sekarang akan bertambah lagi. Kepalaku berdenyut hebat dibuatnya. Padahal tujuanku i
Pisah Terindah #40 Pov Danar Aku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia. Bisa-bisanya aku tidak menyadari bahwa musuh yang sebenarnya adalah orang yang ada di sampingku. Dara, entah dendam sebesar apa yang disemayamkan di hatinya hingga dia sampai tega menikamku dengan brutal. Ya, brutal! Mungkin kedengarannya sangat hiperbola. Tetapi seperti itulah yang kurasakan ketika mengetahui kenyataan ini. Ingin aku tidak percaya, tetapi ini benar-benar nyata. Karir yang kubangga-banggakan, yang kutargetkan akan melesat lebih tinggi lagi, serta yang menjadi tumpuan hidup sekarang telah berantakan. Laksana bangunan yang hanya menyisakan puing-puing. Entah masih bisa dibangun kembali atau tidak. Karir hancur saja sudah merupakan mimpi terburuk dalam perjalanan hidupku hingga saat ini. Namun, masih bisa kuterima dengan jiwa ksatria dan kujadikan pecutan untuk bangkit jika yang menghancurkan aku adalah saingan yang nyata. Namun, manakala yang menghancurkan adalah orang yang selama
Pisah Terindah #41 Pagi ini, setelah segala rutinitas di rumah selesai aku segera menuju kantor Mbak Tania. Tentunya setelah mengantarkan Shahna ke sekolahnya. Sejatinya ini adalah hari terakhir aku beraktivitas di kantor hukum ini. Namun, di dalam hati aku berharap tidak begitu adanya. Besok, besok, dan besoknya lagi aku berharap masih akan tetap dibutuhkan di sini. Ya, aku sangat berharap karena sebuah pekerjaan dengan penghasilan tetap sangat kubutuhkan mulai dari sekarang. Aku melangkah pelan. Sesekali pandangan kuedarkan ke arah yang berbeda. Sebelum melewati pintu depan, aku sempatkan menyapa petugas keamanan yang juga baru menempati tempatnya. Di dalam sudah ada tiga orang staff. Mereka tengah berbincang santai di sofa yang ada di pojok ruangan. Aku pun menyapa mereka lalu langsung menuju meja yang biasa kutempati. Beberapa kali kumenarik napas panjang. Aku tengah mencoba menetralkan suasana hati yang sedang hinggapi kelabu ini. Segelas air mineral hangat telah tersedia
Pisah Terindah #42"Benar, kan, kalau firasat seorang ibu itu tidak pernah salah? Cepat atau lambat semua akan terbukti juga." Ibu mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman sinis. Aku yang duduk dengan posisi berhadapan dengan ibu mencoba untuk tetap bersikap biasa. Meskipun aku sangat tahu, apa pun yang akan diucapkan ibu tak lain dan tak bukan ujung-ujungnya adalah penghakiman untukku. Entah itu tersirat lewat sindiran-sindiran maupun terang-terangan. Lagi pula ini bukanlah kali pertama hal semacam ini terjadi. Selama menjadi istri Mas Danar sikap seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hariku dari ibu. Mungkin bisa dibilang aku sudah kebal dengan sikap-sikap sinis ibu kepadaku. Ibu datang beberapa menit yang lalu saat aku baru saja sampai di rumah setelah menjemput Shahna. Aku tidak kaget atas kedatangan ibu karena beberapa jam sebelumnya ibu sudah menanyakan keberadaanku. Aku sudah bisa menebak kalau kedatangannya dibersamai oleh kemarahan yang sudah meluap-luap di dada
Pisah Terindah #43Sebuah amplop cokelat terletak di meja. Untuk beberapa saat pandanganku terpaku ke benda berbentuk persegi panjang itu. Aku belum punya keinginan untuk meraih apalagi membukanya karena tanpa membuka pun aku sudah bisa memastikan apa isinya. Hal itu berbanding terbalik dengan perasaanku saat ini. Aku sama sekali tidak bisa memastikan apa yang dirasakan hatiku. Apakah aku sedih, nelangsa, atau malah sebaliknya? Entahlah rasanya masih ngambang. Pikiranku terasa hampa. "Nggak mau dibuka?" tanya Windi sembari mengarahkan pandangan ke meja tempat dia meletakkan kertas cokelat berbentuk persegi panjang tersebut. Beberapa saat yang lalu ketika Windi baru saja datang ada yang mengantarkan amplop tersebut. Aku yang baru saja hanyut dalam ketermanguan melirik sebentar pada Windi, lalu melemparkan pandangan sembarangan. "Seperti mimpi," ujarku pelan. Kali ini hanya terdengar helaan napas Windi yang terdengar berat. "Kamu nggak siap?" Pertanyaan Windi lirih menyinggahi
Pisah Terindah #44Dan ... terjadi juga apa yang seharusnya tidak terjadi dan tidak diinginkan terjadi dalam sebuah bahtera rumah tangga. Perceraian! Jangankan melakoni, sekadar menyebut atau pun membayangkannya saja aku sudah gemetar. Tetapi kenyataan punya jalan kisah sendiri. Inilah takdirku sekarang. Pisah terindah sepertinya bukan menjadi milikku. Karena nyatanya tak ada keindahan yang kutemukan. Jangankan bernapas lega atas sebuah perpisahan untuk menyimpul satu senyuman saja rasanya tak ada kekuatan yang kumiliki. Justru di sinilah titik perjuangan harus kumulai kembali. Aku harus merasakan tersungkur, jatuh, dan berdarah-darah. Lalu bangkit sendiri, mengobati diri sendiri, hingga harus bertahan sendiri. Walau terseok. Semua berjalan begitu cepat. Hitungan hari yang tak sampai menyentuh seratus angka. Iya, tak lebih dari tiga bulan semua tuntas. Usai, selesai! Sedangkan untuk membangun dan membinanya telah menghabiskan waktu bertahun-tahun. Cita-cita menikah sekali seumur
Pisah Terindah #54 Menghubungi Windi, itulah yang terlintas di benakku dan seketika itu juga aku lakukan. [Win, nanti bisa ke rumah? Sore pulang kerja.] [Bisa, sih, kayaknya. Why?] [Jangan kayaknya, yang pasti-pasti aja. Aku butuh banget kehadiran kamu.] [Iya.] [Okey, makasih, ya. Aku tunggu.] [Ok.] Aku menghela napas panjang. Baiklah hadapi saja apa yang akan terjadi. Kutenggelamkan lagi pikiran dan konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang masih terasa asing bagiku. Kendati masih kaku, tetapi aku mulai menyukainya.*** Waktu untuk pulang sudah tiba. Aku kembali mengecek tumpukan berkas yang ada di samping laptop di meja yang kutempati. Setelah semua komplit, aku pun mematikan perangkat elektronik yang seharian ini kugunakan. "Sudah beres, Dara?" Aku menengakkan kepala begitu mendengar namaku disebut. Rupanya Pak Beni sudah berdiri di samping mejaku dengan sebuah ransel hitam yang sudah tersandang di pundaknya. "Udah, Pak." "Nggak usah terlalu formal, Dara. Kita di sin
Pisah Terindah #53"Kalau Shahna pengen bobo sama Papa bagaimana?" Aku tertegun, lidahku terasa kelu dan otakku seketika kehilangan memori yang berisi huruf-huruf. Aku dibuat tak mampu merangkai kata-kata. "Nanti bisa menginap di rumah Oma." Aku mengucapkan kalimat yang tiba-tiba saja mampir ke kepalaku. "Nggak mau di rumah Oma. Rumah Oma 'kan jauh. Maunya di sini, di rumah kita." Aku kembali terdiam. Sepertinya aku memang belum bisa untuk memberi pengertian yang sederhana namun bisa dimengerti dan dimaklumi oleh anak seusia Shahna. Sepertinya harus bertahap dan pelan-pelan. Aku pun memilih untuk tidak melanjutkan lagi obrolan kami. Aku tidak mau memberi harapan-harapan kosong pada Shahna. Aku tak ingin mengecewakannya lebih dalam lagi. Setiap anak pasti akan sangat kecewa atas pepisahan kedua orang tuanya, apa pun alasannya. Tak terkecuali dengan Shahna.Terkait bagaimana pertemuan antara Shahna dan Papanya untuk ke depannya, aku rasa lebih baik dibicarakan dulu dengan Mas Da
Pisah Terindah #52 Kurasa dugaan Mas Danar kalau ada kedekatan antara aku dan Mas Daniel pasti akan makin menguat setelah tadi dia melihat aku dan Mas Daniel di parkiran. Apa pun itu, harusnya tidak lagi kupedulikan karena kenyataannya kami bukan siapa-siapa lagi. Sama halnya seperti aku melihat keberadaan mereka berdua. Harusnya tak perlu ada rasa apa-apa lagi di hatiku. Jika Mas Danar dan Lalisa terang-terangan bersama adalah hal yang wajar. Mereka adalah pasangan suami istri yang sah. Masih adakah rasa cinta di hatiku pada Mas Danar? Sejujurnya, bagiku tidak mudah menghilangkan rasa yang dulu tumbuh dan bersemi di hati. Rasa yang tulus, rasa yang kujaga dengan sebaik-baiknya. Walaupun setahun belakangan kami lebih akrab dengan konflik, tetapi tidaklah serta merta menghapus kasih sayang yang selama ini ada. Meskipun begitu, telah habis waktu untukku tetap memelihara rasa itu. Keadaannya sudah berbeda sekarang. Jika dahulu memujanya akan berbuah pahala, tetapi tidak dengan sek
Pisah Terindah #51 Pak Bima mengulas senyum lalu dengan santai berkata, "Bu Dara jangan tegang begitu." Aku menarik napas pelan, mencoba untuk rileks. Namun rasanya tidak begitu berhasil. Gendang di rongga dadaku tetap bertalu-talu dengan riuh. Entah kabar apa yang akan kudengar beberapa saat lagi. Semoga saja bukanlah kabar yang tidak kuinginkan. "Dua hari yang lalu Naja mengabari saya kalau dia mau ikut suaminya ke Singapura dan akan menetap di sana. Dia mengajukan resign. Saya bermaksud menawarkan posisi yang selama ini diisi Naja pada Bu Dara." Syaraf-syaraf yang tadinya sempat tegang berlahan melentur kembali. Tak hanya kelegaan yang bersarang di dadaku tetapi juga bunga-bunga turut bermekaran. "Saya dengar dari Bu Tania, kalau Bu Dara pernah jadi asistennya." "Ini ... ini benaran, Pak? Serius?" Walau aku yakin aku tak salah dengar, tetap saja aku ingin memastikannya sekali lagi. "Ya, tentu saja. Malah sangat serius." Pak Bima kembali melebarkan senyumnya. Aku terdiam
Pisah Terindah #50Seorang wanita cantik datang menghampiri beberapa saat setelah aku memasuki kantor yang mengusung tema monokrom ini. Sambutan ramah langsung kudapat dari wanita tinggi semampai berpenampilan formal tersebut. "Selamat pagi dan selamat datang, Bu Dara. Perkenalkan saya Naja yang semalam menghubungi ibu." Senyum ramah terlukis di wajah dengan riasan minimalis itu di ujung kalimatnya. "Selamat pagi, juga." Aku pun mengulas senyum sebagai timbal balik atas sambutan hangat yang kuterima. "Ibu, mari ikut saya ke ruangan di sebelah sana!" Wanita yang memperkenalkan diri sebagai Naja itu mengarahkan tangannya ke ruangan yang berada paling ujung. Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya. "Jadi, begini Bu Dara saya butuh beberapa informasi untuk melengkapi bahan di persidangan nanti. Tentu saya sangat berharap informasi yang akurat dan detail dari ibu. Ibu tidak keberatan, kan?" Pertanyaan itu diluncurkan setelah beberapa saat di awal dimulai dengan basa-basi. "Tentu
Pisah Terindah #49 "Ibu? Ibu ada di sini?" Ibu tak langsung menanggapi Mas Danar. Dia mengalihkan pandangan padaku lalu kembali lagi menatap Mas Danar dan Lalisa yang nampak mencoba tersenyum ramah meskipun kesan kikuk masih dapat kubaca. "Kalian mau ngapain ke sini?" Nada bicara ibu terdengar agak ketus. Entah karena masih bawaan kesal padaku atau memang murni kesal pada anak dan mantunya itu. Atau jangan-jangan hanya perasaanku saja. "Kamu ngapain nyusul ke sini? Tunggu di mobil aja," ujar Mas Danar pada Lalisa. Pelan dia bicara tetapi masih terdengar jelas hingga ke telingaku. "Aku juga mau silaturahmi sama Mbak Dara. Masak nggak boleh. Mbak Dara 'kan dulu juga nengok aku waktu lahiran." Spontan jawaban Lalisa membuat ibu mengalihkan pandangan padaku seolah menuntut jawaban akurat. "Ibu mau bicara sama kamu, Danar. Sekalian antar ibu pulang!" Ibu melakukan pergerakkan bersiap untuk berdiri. "Aku mau ambil beberapa barang, Bu." "Untuk apa? Ini kan rumah kamu, emangnya ad
Pisah Terindah #48 Menjelang sore kami sampai di rumah dan sepertinya kami kedatangan tamu. Benar saja, setelah aku selesai memarkir mobil dengan sempurna sebuah mobil pun berhenti tepat di depan pintu gerbang yang masih terbuka. Tak butuh waktu lama, turun seseorang yang kedatangannya cukup membuatku deg-degan. Ibu Mas Danar, wanita dengan usia lebih dari setengah abad yang sebulan yang lalu masih berstatus ibu mertuaku adalah tamuku sore ini. Entah apa maksud dan tujuannya menjelang sore begini menyambangi kami. Shahna seketika menyambut kedatangan neneknya dengan hangat. Dia memang selalu begitu, sangat senang jika ada orang yang bertamu ke rumah. Mungkin karena kami jarang ada yang mengunjungi. Maklum saja , aku tidak punya banyak kerabat. "Ibu apa kabar?" tanyaku murni sebagai berbasa-basi. Karena sudah terlihat kalau keadaannya sehat wal afiat sehingga bisa sampai ke rumahku. Ibu menyambut uluran tanganku meskipun dengan wajah dingin. Dia tidak menjawab pertanyaan yang k
Pisah Terindah #47Bertepatan dengan aku menggeser arah kamera ponsel padaku, Mas Danar pun menoleh ke belakang kemudian terlihat menjauh. Sepertinya ponselnya ditaruh buru-buru. Posisi ponsel agak bergeser sehingga arahnya tertuju pada dinding. Aku hanya bisa melihat bidang dengan warna dominan kuning gading. Terdengar sedikit suara gaduh lalu diikuti dengan tangisan anak kecil. "Itu siapa yang nangis, Ma? Memangnya di tempat Papa ada adek bayi?" tanya Shahna. Aku segera mematikan sambungan telepon. Takut Shahna akan mendengarkan hal lain yang akan semakin mengundang rasa penasarannya. "Hmm ... mungkin papa lagi di suatu tempat yang ada anak-anaknya," jawabku tanpa pikir panjang. Aku berharap dengan jawaban itu Shahna tidak akan bertanya lebih jauh lagi. "Emang boleh di tempat kerja orang dewasa ada anak kecilnya? Emang nggak ganggu?" "Tapi ... tadi papa kayak ada di kamar, bukan di kantor," lanjut Shahna lagi menyampaikan penalarannya yang membuatku harus berpikir keras untuk
Pisah Terindah #46 Kuajak Shahna ke kamar. Belakangan dia memang lebih sering tidur berdua denganku. Aku mengambil beberapa buku cerita anak- anak untuk dipilih Shahna. Akan tetapi dia tidak menampakkan ketertarikan sama sekali.Tak ingin cepat menyerah, aku pun mengambil ponsel dan membuka aplikasi you tube. Aku mencari beberapa dongeng dalam format animasi lalu mengunduhnya. "Kalau nonton yang ini, gimana?" Aku mengarahkan layar ponsel pada Shahna. Gelengan kepala adalah respons yang diberikannya. Aku pun berpindah ke video berikutnya. Shahna hanya mematung lalu beberapa saat setelah itu menggeleng lagi. Aku mengembuskan napas berat. Tumben-tumbenan Shahna jadi rewel begini. Sebelum-sebelumnya dia bersikap biasa-biasa saja atas ketiadaan papanya dalam waktu yang panjang. Kalau pun dia mendadak ingin dikelonin papanya, jika dibilang papanya sedang kerja di kota lain, dia akan cepat paham. Entah kenapa kali ini tidak begitu.Apa ini bentuk dari sensitivitasnya terhadap keadaan. K